BLOG AL ISLAM
Diberdayakan oleh Blogger.
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
twitter
Live Traffic
Latest Post
Oktober 02, 2012
Manasik haji Fikih Haji 4 Wajib Haji
Written By sumatrars on Selasa, 02 Oktober 2012 | Oktober 02, 2012
Fikih Haji (4): Wajib Hajiby Muhammad Abduh Tuasikal |
WAJIB HAJ
Ada beberapa wajib haji:
Ihram dari miqot.
Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
Mabit di malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.
Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
Melempar jumroh secara berurutan.
Mencukur habis atau memendekkan rambut.
Thowaf wada’.
Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.
Wajib pertama: Ihram dari miqot.
Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan
tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
‘alaihi wa sallam menetapkan
tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ،
حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ،
حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri
tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut
jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di
dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk
Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan
Muslim no. 1181)
tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut
jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di
dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk
Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan
Muslim no. 1181)
Wajib kedua: Wukuf di Arafah
hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.
hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.
Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammelakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu
Maghrib.
‘alaihi wa sallammelakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu
Maghrib.
Wajib ketiga: Mabit di
Muzdalifah
Muzdalifah
Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan
berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan
berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ
الْحَرَامِ
“Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Allah di Masy'aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لَيْلَةَ
الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
“Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR.
Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)
dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR.
Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur,
maka ada kewajiban dam.
Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam
Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dambagi
yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di
sana adalah wajib. Dam di
sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun
yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di
Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang
disepakati ulama Syafi’iyah.”
maka ada kewajiban dam.
Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam
Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dambagi
yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di
sana adalah wajib. Dam di
sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun
yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di
Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang
disepakati ulama Syafi’iyah.”
Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak
ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena
adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan
Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak
ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena
adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan
Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia
bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 416-417).
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia
bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 416-417).
Wajib keempat: Melempar Jumroh
Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10
Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau
13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau
13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang
berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah:
203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika
melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah
saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan
pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari
jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai
setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah:
203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika
melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah
saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan
pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari
jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai
setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
Wajib kelima: Mabit di Mina pada
Hari-Hari Tasyriq
Hari-Hari Tasyriq
Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bermalam (mabit)
di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq
(ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit
adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau
dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
‘alaihi wa sallam bermalam (mabit)
di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq
(ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit
adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau
dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
Wajib keenam: Mencukur atau
Memendekkah Rambut
Memendekkah Rambut
Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini dalam sabdanya,
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini dalam sabdanya,
وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ
“Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691
dan Muslim no. 1227)
dan Muslim no. 1227)
Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang
berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut
di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan
rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah
menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut
di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan
rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah
menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath:
27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan
menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir).
Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10
Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan
seperti itu akan terkena dam (Ar
Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan
menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir).
Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10
Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan
seperti itu akan terkena dam (Ar
Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut,
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq(mencukur)
atau qoshr (memendekkan)
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq(mencukur)
atau qoshr (memendekkan)
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’
Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak
ada romldi dalamnya (Fiqih
Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ada romldi dalamnya (Fiqih
Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ
“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari
ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma juga berkata,
‘anhuma juga berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ
خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan
thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim
no. 1328).
thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim
no. 1328).
Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah,
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa
mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu
thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika
dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa
Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini
adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri.
Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai,
sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum
menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’
Islam Web, fatwa no. 58685).
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa
mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu
thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika
dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa
Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini
adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri.
Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai,
sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum
menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’
Islam Web, fatwa no. 58685).
Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak
ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak
ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).
Bersambung
Fikih haji 5
Fikih haji 5
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal
Abduh Tuasikal
Sumber
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
Oktober 02, 2012
Manasik Haji - Fikih Haji 3: Rukun Haji
RUKUN HAJI
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Wajib ihram mencakup:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”. (Aku
menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab
panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki
disunnahkan mengeraskan suara.
Rukun kedua: Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah rukun haji
yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di
Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari
rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji
pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
(HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no.
3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Yang dimaksud wukuf adalah hadir
dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring
atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak
suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1:
494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai
dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah
(9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk
waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut,
wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).
Jika seseorang wukuf di waktu mana
saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari,
maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam.
Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan
apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di
Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).
Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke
Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol
(lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)
Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)
Thowaf adalah mengitari Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat-syarat thowaf:
thowaf, yaitu:
Rukun keempat: Sa’i
Sa’i adalah berjalan antara Shofa
dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR.
Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits tersebut
hasan).
Syarat sa’i:
sa’i:
Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Oleh : www.muslim.or.id
- Ihram
- Thowaf ifadhoh
- Sa’i
- Wukuf di Arafah
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Wajib ihram mencakup:
- Ihram dari miqot.
- Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak mendapati khuf).
Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup wajah) dan sarung tangan. - Bertalbiyah.
- Mandi.
- Memakai wewangian di badan.
- Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
- Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan
wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah. - Berniat ihram setelah shalat.
- Memperbanyak bacaan talbiyah.
Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika
telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.
Lafazh talbiyah: telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab
panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki
disunnahkan mengeraskan suara.
Rukun kedua: Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah rukun haji
yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di
Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari
rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji
pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَجُّ
عَرَفَةُ
“Haji adalah wukuf di Arafah.” عَرَفَةُ
(HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no.
3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Yang dimaksud wukuf adalah hadir
dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring
atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak
suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1:
494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai
dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah
(9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk
waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut,
wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).
Jika seseorang wukuf di waktu mana
saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari,
maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam.
Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan
apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di
Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).
Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke
Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol
(lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)
Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)
Thowaf adalah mengitari Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat-syarat thowaf:
- Berniat ketika melakukan
thowaf. - Suci dari hadats (menurut
pendapat mayoritas ulama). - Menutup aurat karena thowaf
itu seperti shalat. - Thowaf dilakukan di dalam
masjid walau jauh dari Ka’bah. - Ka’bah berada di sebelah kiri
orang yang berthowaf. - Thowaf dilakukan sebanyak
tujuh kali putaran. - Thowaf dilakukan
berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat. - Memulai thowaf dari Hajar
Aswad.
thowaf, yaitu:
- Ketika memulai putaran
pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar.
Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika,
wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati
nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar
Aswad bertakbir “Allahu akbar”. - Menghadap Hajar Aswad ketika
memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil
bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad. - Memulai thowaf dari dekat
dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai
thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya
dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib. - Istilam (mengusap)
dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan
pada setiap putaran. Cara istilam adalah
meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan
mulut pada tangannya dan menciumnya. - Roml, yaitu berjalan
cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini
disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan.
Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau
thowaf umroh pada tiga putaran pertama. - Idh-tibaa’, yaitu
membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada
thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan
dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan. - Istilam (mengusap)
rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan
tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar
Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk
diusap. - Berdo’a di antara Hajar Aswad
dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia
berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua
rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil
aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb
kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia
dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab
neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) - Berjalan mendekati Ka’bah
bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi
perempuan. - Menjaga pandangan dari
berbagai hal yang melalaikan. - Berdzikir dan berdo’a secara
siir (lirih). - Membaca Al Qur’an ketika
thowaf tanpa mengeraskan suara. - Beriltizam pada Multazam. Ini
dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu
‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan
cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan,
kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan
membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam
rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut
yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat
terkabulnya do’a berdasarkan
hadits
yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As
Sadlan (Taisirul
Fiqih,
347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah
selesai thowaf dan multazam terletak antara pintu
Ka’bah dan Hajar Aswad.” - Melaksanakan shalat dua
raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim.
Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at
pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan
rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas.
Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi
dalam keadaan idh-tibaa’. - Minum air zam-zam dan
menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan
shalat
dua raka’at sesudah thowaf. - Kembali mengusap Hajar Aswad
sebelum menuju ke tempat sa’i.
- Ulama Syafi’iyah berkata,
“Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf
qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka
idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam
thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i (haji)
diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan
melakukan idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih
Sunnah, 1: 480). - Tidak ada bacaan dzikir atau
do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf.
Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak
ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering
memberatkan.
Rukun keempat: Sa’i
Sa’i adalah berjalan antara Shofa
dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْعَوْا
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
“Lakukanlah sa’i karena Allah إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR.
Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits tersebut
hasan).
Syarat sa’i:
- Niat.
- Berurutan antara thowaf, lalu
sa’i. - Dilakukan berturut-turut
antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu
sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi
jika benar-benar butuh. - Menyempurnakan hingga tujuh
kali putaran. - Dilakukan setelah melakukan
thowaf yang shahih.
sa’i:
- Ketika mendekati Shofa,
mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min
sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.” - Berhenti sejenak di antara
Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu
mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in
qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah
wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.” Ketika
di Marwah melakukan hal yang sama. - Berlari kencang antara dua
lampu hijau bagi laki-laki yang mampu. - Berdo’a dengan do’a apa saja
di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a,
dzikir
atau bacaan tertentu. - Berturut-turut sa’i dilakukan
setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu
yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.
Bersambung Klik:
Fikih Haji 4
Penulis: Muhammad Fikih Haji 4
Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Oleh : www.muslim.or.id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
September 07, 2012
Hijrah Ke Madinah
Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012
Hijrah Ke Madinah
Ketika Islam dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat Madinah, bahkan berkembang pesat di kota itu,
Rasulullah kemudian mengijinkan kaum muslimin yang ada di Makkah untuk berhijrah.
Persiapan
Islam semakin berkembang di Madinah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian
mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke kota tersebut. Maka merekapun
bersegera mempersiapkan diri. Orang pertama yang direncanakan berangkat adalah
Abu Salamah bin Abdul Asad dan isterinya Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah)
radhiallahu ‘anhuma. Namun takdir Allah menentukan lain, Ummu Salamah
tertahan di Makkah. Namun akhirnya dia keluar satu tahun kemudian bersama
puteranya Salamah diiringi ‘Utsman bin Abi Thalhah yang ketika itu belum masuk
Islam.
Sedikit demi sedikit, kaum muslimin
meninggalkan Makkah hingga tidak ada yang tertinggal di Makkah kecuali beberapa
orang termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam,
Abu Bakr, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan keduanya menunggu perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang juga tengah menunggu
perintah Allah kapan harus keluar meninggalkan Makkah.
Kaum musyrikin yang mengetahui para
shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah
pergi membawa harta, anak, dan isteri mereka, ke negeri Aus dan Khazraj (Madinah),
meyakini bahwa negeri tersebut akan membela dan melindungi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka
khawatir, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
sampai menyusul, niscaya kaum muslimin akan memiliki kekuatan dan mereka tidak
merasa aman dari serangannya. Maka sebelum hal itu terjadi, mereka bersepakat
untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Suatu siang, datanglah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam ke rumah Abu Bakr dan berkata:
“Keluarkanlah siapapun yang ada di rumahmu.” Kata Abu Bakr: “Mereka adalah
keluargamu juga, wahai Rasulullah.”
Rasulullah berkata: “Allah telah
mengizinkan saya keluar.” Abu Bakr berkata: “Saya yang akan menyertaimu, wahai
Rasulullah?” Kata Rasulullah: “Ya.”
Kemudian Abu Bakr mengatakan:
“Ambillah salah satu kendaraanku ini, demi bapak dan ibuku tebusanmu.”
Rasulullah berkata: “Dengan harga.”
‘Aisyah menceritakan: “Kemudian kami
mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal keberangkatan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Asma’ bintu Abi
Bakr memotong kain pinggangnya menjadi dua, satu untuk mengikat pinggang dan
yang lain untuk membawa bekal tesebut. Dan sejak itulah dia dijuluki Dzatu
Nithaqain (Perempuan Yang Memiliki Dua Ikat Pinggang).
Ibnul Qayyim mengisahkan (Zaadul
Ma’ad 3/54), Al-Hakim (dalam Al-Mustadrak) dari ‘Umar,
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dan Abu Bakr berangkat menuju gua Tsur. Dalam perjalanan itu, kadang-kadang
Abu Bakr berjalan di depan, kadang di belakang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Melihat hal ini, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya, dan Abu Bakr menjawab:
“Wahai Rasulullah, kalau saya teringat pengintai dari depan, saya sengaja
berjalan di depan. Kalau saya ingat kepada para pengejar, maka saya berjalan di
belakang.”
Kata Rasulullah: “Apakah kau ingin
kalau terjadi sesuatu engkau yang mengalaminya, bukan aku?”
Kata Abu Bakr: “Ya.”
Demikianlah, keduanya sampai dan
bersembunyi di dalam gua. Sementara orang-orang kafir Quraisy yang kehilangan
jejak, menyebar para pencari jejak hingga di mulut gua. Ketika itu Abu Bakr
berkata sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik: “Wahai Rasulullah,
seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah, niscaya mereka melihat
kita.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam bersabda:
مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللهُ
ثَالِثُهُمَا
“Bagaimana menurutmu dengan dua
orang di mana Allah adalah yang ketiganya. Jangan bersedih sesungguhnya Allah
bersama kita.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam Shahih Al-Bukhari
disebutkan bahwa Abdullah bin Abi Bakr selalu bermalam di gua bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr.
Dia seorang pemuda yang cerdik. Sebelum fajar dia sudah berkumpul kembali di
tengah-tengah orang-orang kafir Quraisy mendengarkan berita dari mereka dan
menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dan Abu Bakr.
Sementara salah seorang bekas budak
yang dimerdekakan Abu Bakr, ‘Amir bin Fuhairah senantiasa menggembalakan
kambingnya di sekitar gua dan memerahkan susunya untuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Demikianlah hal
ini berjalan selama tiga malam.
Kisah Suraqah bin Malik
Setelah berusaha mencari dan menyebar
ke seluruh pelosok Makkah, mereka tidak juga menemukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Akhirnya, mereka
menyebarkan sayembara, siapa yang berhasil membawa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr hidup atau mati, akan diberi
hadiah. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dan Abu Bakr mulai meninggalkan Makkah menyisiri tepi pantai menuju Madinah.
Sesampainya di daerah Bani Mudlij,
seseorang melihat mereka dan melapor kepada Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Tapi
berita ini ditolak oleh Suraqah. Namun, dia memerintahkan budaknya membawa kuda
dan tombaknya keluar dari belakang rumah serta menunggunya di balik gunung.
Setelah itu, dia memacu kudanya
mengejar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu
Bakr. Abu Bakr melihatnya dan berkata: “Ya Rasulullah, lihat Suraqah bin Malik
menyusul kita.” Maka Rasulullah pun berdoa. Akhirnya Suraqah beberapa kali
terjungkal dari kudanya. Kemudian dia menyerah dan meminta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr berhenti.
Setelah berbicara dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, Suraqah meminta dituliskan
kesepakatan. Dan ini tetap dipegangnya sampai pada waktu Fathu Makkah. Kemudian
dia menyerahkan tambahan perbekalan kepada rombongan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, namun keduanya mengatakan: “Tidak. Tapi
alihkan perhatian para pengejar dari kami.”
Maka setelah itu Suraqah setiap kali
bertemu dengan para pencari jejak rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam selalu mengatakan: “Saya sudah mencari berita dan
tidak terlihat yang kalian cari.”
Demikianlah, awalnya dia berusaha
menangkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan
Abu Bakr, pada akhirnya dia menjadi pelindung mereka.
Kisah Ummu Ma’bad
Ibnul Qayyim menceritakan: “Rombongan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melanjutkan
perjalanan dan singgah di kemah Ummu Ma’bad, yang tinggal di padang pasir
memberi makan dan minum para kelana yang singgah di tempat itu.”
Rombongan singgah di sana dan
menanyakan apa gerangan yang dimilikinya. Ummu Ma’bad mengatakan tidak ada
kecuali kambing yang jauh dari tempat gembalaan. Selanjutnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam minta izin untuk memerah
susunya. Ummu Ma’bad pun mengizinkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam mengusap kambing-kambing tersebut dan menyebut nama
Allah lalu berdoa. Maka memancarlah susu kambing itu yang kemudian ditampung di
sebuah bejana. Kemudian beliau menyuruh Ummu Ma’bad minum, setelah itu para
shahabatnya baru kemudian beliau sendiri. Setelah semua puas, beliau memenuhkan
bejana itu kembali dan meninggalkannya di sana, kemudian melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, Abu Ma’bad suami
Ummu Ma’bad pulang dan terheran-heran melihat bejana yang penuh dengan air susu.
Dia bertanya dari mana ini? Ummu Ma’bad mengatakan bahwa baru saja singgah
seorang lelaki penuh berkah dengan sifat demikian dan demikian. Mendengar
keterangan isterinya, Abu Ma’bad segera meyakini bahwa itulah orang yang
dicari-cari Quraisy. Dan dia bertekad seandainya punya kesempatan akan
menemuinya.
Tiba di Madinah
Orang-orang Anshar yang telah
mendengar berita keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dari kota Makkah pun berusaha menyambutnya. Setiap hari dari pagi
hingga matahari menyengat, mereka menunggu kedatangan rombongan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di pinggiran kota. Namun sampai
beberapa hari belum juga tampak.
Baru pada hari ke-12 bulan Rabi’ul
Awwal, mereka keluar menunggu seperti biasa. Dan ketika matahari sudah mulai
terik, mereka bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Seorang Yahudi yang
ketika memanjat rumahnya untuk suatu keperluan melihat bayangan dari jauh dan
tidak dapat menahan dirinya. Dengan lantang dia berteriak bahwa yang
ditunggu-tunggu sudah datang.
Mendengar hal ini, orang-orang Anshar
bergegas menyandang senjata mereka dan menuju ke pinggiran kota menyambut
rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Kaum
muslimin bertakbir gembira dengan kedatangan rombongan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ini. Mereka mengucapkan
sambutan dan salam hormat menurut syariat Islam. (Bersambung)
Sebarkan :
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
September 07, 2012
Doa - Semut dan ikan pun turut berdoa
Semut dan ikan pun turut berdoa
Oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
Pembaca,rahimakallahu…
Berbondong gelombang demi gelombang
langkah kaki diarahkan. Ayunan tangan turut menyertai setiap hembusan nafas
manusia-manusia hebat di atas hamparan bumi. Jarak bukanlah penghalang walau
jauh tak terkira. Panas dan hujan bagi mereka adalah sahabat dekat. Terik
matahari tidak mereka hiraukan. Ya,manusia-manusia hebat itu. Ada apa dengan
mereka?
Kampung halaman, Siapa di antara
kita yang tak merindukan negeri kelahiran? Ada sejuta kenangan di sana,tempat
setiap insan besar dan dibesarkan. Namun bagi mereka,manusia-manusia hebat
itu,berpisah dan meninggalkan kampung halaman adalah mengasikkan. Walau berat
memang,meski pahit tentunya. Waktu bukanlah alasan walau terasa lama.
Mereka,manusia-manusia hebat itu,yang selalu dinantikan,”Di purnama bulan apa
kalian akan kembali?”. Mengapa mereka melawan arah rindu yang terkekang?
Sungguh,mereka benar-benar manusia
hebat. Mereka adalah para pengembara dari satu negeri menuju negeri selanjutnya.
Tidak ada tujuan yang dicari kecuali ilmu agama,firman Allah dan sabda rasul
Nya.Mereka adalah para pecinta ilmu yang sedang mengemban misi suci ,thalabul
ilmi. Untuk apa?
Sejarah telah diukir dan terlukis
indah dengan kisah-kisah mengharu biru tentang mereka,para ulama’ panutan umat.
Perjuangan berat dan pengorbanan yang sulit telah mereka lalui.Dan kita pun
pasti bertanya-tanya,”Demi apa mereka lakukan itu semua?”
Pembaca,hafidzakallahu…
Alangkah bahagianya seseorang yang
selalu didoakan dengan kebaikan dan dimohonkan ampunan. Siapa yang tak ingin?
Pernahkah terbayang jika yang
mendoakan adalah makhluk sejagat? Yang ada di langit berlapis dan yang hidup di
atas permukaan bumi,semuanya turut berdoa untuk kebaikan untuk Anda. Bahkan
semut-semut di sarangnya juga ikan-ikan di air tempat hidupnya tak ketinggalan
untuk mendoakan kebaikan. Untuk siapa?
Semua mendoakan kebaikan kepada
hamba yang selalu mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada masyarakatnya. Sungguh
menyenangkan! Dan,hanya ada satu tangga untuk meraihnya yaitu thalabul ilmi.
Maka,terjawablah sudah tanda tanya
yang sempat lahir di atas tadi!
Mereka,manusia-manusia hebat
itu,rela melakukan perjalanan jauh berbulan bahkan bertahun dengan meninggalkan
kampung halaman dan sanak kerabat, salah satu sebabnya adalah harapan yang
selalu hadir di dalam hati dengan sabda Rasulullah,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى
النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ
الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah,para malaikat Nya,penduduk
langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan turut mendoakan
kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”[1]
Subhanallah!
Pembaca,baarakallahu fiik…
Jangan heran dan jangan kaget! Allah
Maha Mampu untuk menjadikan makhluknya dapat berbicara dan berdoa.Amatlah mudah
bagi Allah untuk mengijinkan semut dan ikan turut mendoakan kebaikan untuk para
pemilik ilmu agama.
Allah berfirman dalam ayat Nya,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن
شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ
كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Langit yang tujuh, bumi dan
semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS.
17:44)
Ibnu Katsir menjelaskan,
“Tidak ada satu pun makhluk kecuali
ia pasti bertasbih dengan memuji Allah. Namun,kalian tidak dapat mengerti tasbih
mereka,wahai segenap manusia. Sebab,berbeda dengan bahasa kalian.
Hal ini berlaku secara umum untuk
hewan binatang,pohon tetumbuhan dan benda-benda mati.
Pendapat ini adalah yang paling
masyhur dibanding pendapat lain”[2]
Pembaca,arsyadakallahu…
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan
sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud,beliau berkata,
“Dulu kami dapat mendengar tasbih dari makanan
yang sedang disantap”
Dalam sebuah riwayat,sahabat
menceritakan bahwa Rasulullah pernah mengambil beberapa butir kerikil lalu
meletakkannya di atas telapak tangan beliau,ternyata kerikil-kerikil tersebut
bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil
itu pun diam.
Lalu Rasulullah mengambil
kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Abu
Bakar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali
di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
Lalu Rasulullah mengambil
kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Umar,ternyata
kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah
dan kerikil-kerikil itu pun diam.
Lalu Rasulullah mengambil
kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan
Utsman,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali
di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.[3]
Luar biasa,bukan?
Pembaca,rahimakallahu…
Thalabul ilmi akan membawa kita
menuju sebuah dunia yang dipenuhi dan dihiasi oleh doa-doa seluruh makhluk
sejagat raya.
Dan Anda? Di manakah letak Anda dari
peta kebaikan semacam ini? Duduk terdiam tanpa terbersit untuk menjadi seperti
mereka,yang pandai dan mengerti tentang agama? Tidakkah Anda ingin berada di
barisan shaf terdepan?
Bersemangatlah,Saudaraku,untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam! Sebab untuk orang semacam Anda,semut dan ikan
pun turut berdoa. Baarakallahu fiik
[1] Hadits Abu Umamah Al Bahili riwayat Tirmidzi () di shahihkan oleh Al Albani.
[2] Tafsir Ibnu Katsir
[3] Dishahihkan oleh Al Albani dalam Dzilalul Jannah
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
September 07, 2012
Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!
Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!
oleh Ustadz Abu Nasim
Mukhtar “iben” Rifai
Dari Abu Hurairah,Rasulullah bersabda,”Ada
seseorang mengatakan,”Sungguh aku akan memberikan sedekah”. Di malam hari, ia
keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang pencuri (tanpa diketahui).
Pagi harinya, orang-orang membicarakan,”Tadi malam,ada seorang pencuri mendapat
sedekah”. Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Sungguh
aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari berikutnya,ia keluar membawa
sedekah dan memberikannya kepada seorang wanita pelacur (tanpa diketahuinya).
Pagi harinya,orang-orang membicarkan,”Tadi malam,ada seorang wanita pelacur
mendapat sedekah”.Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian.
Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari ketiga,ia keluar membawa sedekah
dan memberikannya kepada salah satu orang kaya (tanpa diketahui).Pagi
harinya,orang-orang membicarakan,”Tadi malam,ada orang kaya mendapat
sedekah”.Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Untuk
seorang pencuri,seorang pelacur dan orang kaya”.
Lalu orang itu didatangi dan dikatakan
kepadanya,”Adapun sedekah yang engkau berikan kepada si pencuri,mudah-mudahan
dengan harta itu ia dapat menahan diri dari perbuatan mencuri. Adapun si
pelacur,mudah-mudahan dengan harta itu ia kan menahan diri dari perbuatan zina.
Adapun orang kaya,barangkali ia dapat mengambil pelajaran sehingga ia pun mau
berinfak dari harta yang Allah berikan”
Hadits riwayat Bukhari ( 1421 ) Muslim
(1022 )
Pembaca..
Telah diketahui,sedekah hanyalah diberikan
kepada fakir dan miskin. Orang tersebut menyerahkan sedekah kepada seorang
pencuri tanpa sepengetahuannya, jika dia seorang pencuri.Esok
harinya,orang-orang ramai membicarakan tentang seorang pencuri yang mendapat
sedekah. Seorang pencuri,semestinya dihukum dan tidak diberi harta.Orang itu
malah mengatakan,”Alhamdulillah”.Ia memuji Allah karena Allah selalu dipuji
dalam setiap kondisi.
Lalu,orang itu tetap berkeinginan untuk
bersedekah di malam harinya.Tetapi,sedekah berikutnya justru jatuh di tangan
seorang pelacur. Paginya,orang-orang kembali dihebohkan dengan berita, seorang
wanita pelacur mendapat sedekah tadi malam.Hal ini tidak dapat diterima oleh
akal dan fitrah. Namun,orang itu tetap mengucapkan,”Alhamdulillah”.
Kemudian,orang itu masih juga ingin mengeluarkan
sedekah.Seakan-akan dia menilai sedekahnya yang pertama dan kedua tidak
diterima.Tetapi,sedekahnya malah diterima oleh orang kaya.Orang kaya tidak
termasuk golongan yang berhak menerima sedekah.Mereka hanya dapat menerima
hadiah dan hibah atau semisalnya. Pagi harinya,orang-orang terheran-heran ;
semalam,ada orang kaya mendapat sedekah. Namun,orang itu tetap
mengucapkan,”Alhamdulillah,meskipun diterima seorang pencuri, pelacur dan orang
kaya”. Padahal yang ia harapkan, sedekah itu diterima orang fakir,yang menjaga
kehormatan diri dan suci. Dan,keputusan Allah telah ditaqdirkan.
Kepada orang itu
dikatakan,”Sesungguhnya,sedekahmu diterima”. Karena dia ikhlas dalam bersedekah
dan berniat baik,namun tidak terkabul.
Si pencuri,mudah-mudahan akan menahan diri dari
perbuatan mencuri dengan harta sedekah tersebut. Mungkin saja ia sadar dan
berkata,”Harta ini telah memberikan kecukupan”
Si pelacur,mudah-mudahan ia pun dapat menahan
diri dari perbuatan zina. Seringnya tujuan berzina adalah mencari harta,wal
iyadzu billah.
Orang kaya,mudah-mudahan ia bisa terketuk
hatinya lalu berinfak dari harta yang ia miliki.
Demikianlah niat yang baik. Niat yang baik dan
tulus selalu membawa kebaikan. Hadits ini sebagai dalil ; seseorang yang berniat
baik dan telah berusaha namun akhirnya salah, tetap dicatatkan amal kebaikan
untuknya. Oleh sebab itu,ulama’ mengatakan : Jika seseorang menyerahkan zakat
kepada orang yang ia sangka berhak, ternyata di kemudian waktu terbukti bila
orang tersebut tidak berhak,maka zakat tersebut tetap dihukumi sah.
Didalam hadits ini terdapat ibrah lain ;
-
1.Keutamaan sedekah secara ikhlas dan diam-diam. Betapa mahal arti sebuah
keikhlasan. Manusia dicipta dengan wataknya yang senang dipuji,tidak ingin
dibenci. Tanpa ajaran keikhlasan,seorang hamba akan berbuat untuk selain
Allah. Ingin dilihat dan diperhatikan orang banyak. Didengar dan
diperbincangkan khalayak ramai. Sungguh berat menjaga agar ibadah selamat
dari riya’. Yusuf bin Al Husain berkata,”Tugas terberat di dunia adalah
sikap ikhlas. Betapa seringnya aku berusaha untuk menghilangkan riya’ dari
hati,seolah-olah ia muncul kembali dengan warna yang lain”
Islam menganjurkan ,dalam beramal hendaknya
menjaga niat yang tulus dalam mengharap ridho Allah.Sampai-sampai digambarkan
oleh Rasulullah ; ia berinfak menggunakan tangan kanannya,sementara tangan
kirinya tidak mengetahui.Apalagi orang lain.
Hal ini ditunjukkan dengan perbuatan orang
tersebut yang memberikan sedekah di malam hari,agar tidak diketahui orang.
-
2. Dianjurkan untuk mengulangi sedekah jika tidak tepat orang.Hal ini
mengajarkan untuk kita ; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam
beramal.Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik,senantiasa mewujudkan
ibadah yang berkualitas.Tidak merasa puas dengan sedikitnya amalan yang
telah dikerjakan.
Allah berfirman,
( لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُوا مِن
شَىْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ )
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
(QS. 3:92)
-
3. Hukum diberikan sesuai bentuk lahiriyah sampai diketahui keadaan
sesungguhnya. Seseorang yang menampakkan kebaikan,ia disikapi dengan baik
juga. Orang lain yang menunjukkan kejahatan,ia disikapi sesuai dengan
perbuatannya.
Umar bin Khattab berkata, ”Sesungguhnya
orang-orang di masa Rasulullah dinilai dengan wahyu. Dan wahyu telah terputus.
Sekarang, kami menilai kalian dengan bentuk lahir dari amalan. Barangsiapa
menampakkan kebaikan, kami memberikan kepercayaan dan kedekatan untuknya. Tidak
ada urusan kami dengan apa yang dia sembunyikan. Allah yang akan menghisab apa
yang dia rahasiakan. Barangsiapa menampakkan keburukan,kami tidak akan
memberikan amanah dan kepercayaan untuknya. Meskipun dia mengatakan,”Apa yang
dia rahasiakan adalah kebaikan”. Hadits riwayat Bukhari (2498)
-
4.Berkah dari sikap menerima dan ridha.Demikianlah sikap seorang muslim
dalam menghadapi setiap ketentuan Allah.Ia selalu memilih bersikap sabar dan
ridha.Tidak mengeluh,bukannya tidak menerima.
Ummu Salamah pernah mendengar Rasulullah
bersabda,”Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah lalu berdoa sesuai
perintah Allah,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah,berikanlah pahala
untukku pada musibah ini dan berilah ganti dengan lebih baik” kecuali pasti
Allah akan memberikan untuknya pengganti yang lebih baik”
Pada saat Abu Salamah,suaminya,meninggal
dunia,Ummau Slamah berkata,”Siapakah dari kaum muslimin yang lebih baik dari Abu
Salamah.Keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah”.Kemudian aku
mengucapkan doa tersebut. Dan Allah memberikan untukku Rasulullah sebagai
pengganti.Hadits riwayat Muslim (1525)
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
September 07, 2012
Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)
Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)
Al-Ustadz Abu
Muhammad Harits
Setelah melalui berbagai rintangan,
Rasulullah beserta rombongan akhirnya berhasil memasuki kota Madinah. Di kota
inilah Rasulullah kemudian membangun masyarakat baru yang dipenuhi dengan
nilai-nilai keislaman.
Masjid Pertama
Tibalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di Madinah bersama rombongan. Saat itu,
para shahabat Anshar banyak yang belum mengetahui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu.
Baru ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bernaung dan Abu Bakr melindungi beliau
dari terik matahari, mereka mengenalnya.
Anas bin Malik radhiallahu anhu
mengatakan: ”Saya ikut menyaksikan hari masuknya Rasulullah ke kota Madinah. Dan
saya tidak pernah melihat satu haripun yang lebih baik dan lebih cerah
dibandingkan hari itu. Saya juga menyaksikan hari wafatnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan saya belum pernah melihat
hari yang lebih buruk (keadaannya) dan lebih gelap dibandingkan hari itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam singgah di Quba, di tempat Kultsum bin Al-Hidmi di
perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf selama beberapa hari dan mulai membangun Masjid
Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun sejak beliau tiba di Madinah.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan
para ulama, masjid apa yang pertama yang dibangun di atas dasar ketakwaan
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ
أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ
يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ
“Janganlah kamu bersembah yang
dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar
takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di
dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah
menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Ada yang mengatakan Masjid Quba, dan
ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Hasan. Mereka berpegang
kepada kalimat: مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ (sejak hari pertama);
Masjid Quba adalah yang pertama kali dibangun di Madinah sebelum Masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Demikian juga pendapat Ibnu ‘Umar,
Sai’d bin Al-Musayyab, dan Al-Imam Malik menurut riwayat Ibnu Wahb, Asyhab, dan
Ibnul Qasim. Setelah menukilkan beberapa hadits, Al-Imam Al-Qurthubi dalam
Tafsir-nya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa masjid
yang dimaksud adalah Masjid Quba. Dan ini pula pendapat Asy-Syaikh Abdurrahman
As Sa’di dalam At-Taisir. Wallahu A’lam.
Namun ada pula yang mengatakan, masjid
itu adalah Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri tentang dua orang
shahabat yang berdebat tentang masjid yang dimaksud dalam ayat ini, kemudian
disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam,
dan kata beliau: ”Yaitu Masjidku ini.” Al-Imam At-Tirmidzi berkata bahwa hadits
ini shahih.
Ibnu Katsir menerangkan bahwa susunan
ayat ini mengarah kepada masjid Quba, kemudian beliau meneruskan, dengan menukil
riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri sebelumnya, dan
berkata: “Ini shahih, dan tidak ada pertentangan antara ayat dengan hadits
tersebut. Karena kalau Masjid Quba dianggap sebagai masjid pertama yang
didirikan di atas dasar ketakwaan, maka Masjid Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentunya lebih utama dan lebih pantas.” (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, 2/474, dan Tafsir Al-Qurthubi)
Setelah itu, beliau bertolak ke
Madinah. Beberapa orang shahabat mencoba memegang tali kendaraan beliau dan
menuntunnya dengan niat mengajak beliau singgah di tempatnya. Tapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan agar
dibiarkan karena kendaraannya diperintah. Akhirnya, rombongan tiba di lokasi
masjid yang sekarang ini.
Ibnul Qayyim mengisahkan bahwa Al-Imam
Az-Zuhri menceritakan, beberapa kali unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam berputar dan akhirnya kembali di tempat dia menderum
pertama kali (di lokasi masjid sekarang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alaihi wa sallam turun dan segera disambut oleh Abu Ayyub, yang masih
keluarga bibi beliau dari Bani Najjar.
Tanah lokasi masjid itu sebetulnya
milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang diasuh As’ad bin Zurarah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membeli tanah itu dari
keduanya untuk didirikan masjid di atasnya.
Setelah membersihkan tanah itu dari
kuburan kaum musyrikin, pohon-pohon gharqad, mulailah tanah itu
diratakan. Beberapa pokok kurma ditebang dan disusun di arah kiblat masjid.
Ukuran panjangnya (dari kiblat sampai ke belakang) ketika itu sekitar 100 hasta
(kira-kira 50 m). Begitu pula kedua sisinya, hampir sama. Sedangkan pondasinya
sekitar 3 hasta. Dan kemudian dibangun dengan bata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam tidak duduk diam dalam membangun masjid ini, bahkan
ikut mengangkat dan memindahkan tanah. Ketika itu, kiblat masih diarahkan ke
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), atapnya dari pelepah-pelepah kurma. Setelah itu
baru dibangun rumah untuk isteri-isteri beliau.
Mempersaudarakan Muhajirin dan
Anshar
Selanjutnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan
Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka
dipersaudarakan berdasarkan persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya
peristiwa Badr.
Setelah Allah Ta’ala
menurunkan ayat:
وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ…
“Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab
Allah...” (Al-Anfal: 75)
Maka pewarisan dikembalikan kepada
hubungan darah dan tidak lagi berdasarkan ukhuwwah diniyyah (persaudaraan
seagama) ini.
Ibnu Katsir menerangkan dalam
Tafsir-nya bahwa ayat ini menyatakan pewarisan di antara sesama kerabat
lebih utama daripada saling mewarisi antara Muhajirin dan Anshar. Ayat ini me-nasikh
(menghapus) hukum warisan sebelumnya yang berdasarkan hilf
(perjanjian, kesepakatan) dan persaudaraan yang terjadi di antara mereka.
Kemudian beliau menukilkan riwayat
dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam yang dipersaudarakan dengan Ka’b bin Malik, bahwa
seandainya Ka’b bin Malik meninggal dunia ketika itu, dialah yang akan
mewarisinya. Lalu turunlah ayat ini.
Begitu eratnya persaudaraan ini, Allah
Ta’ala menceritakan tentang keadaan ini dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ
يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً
مِمَّا أُوتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan orang-orang yang telah
menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(Al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir menerangkan dalam
Tafsir-nya: ”Allah Ta’ala memuji orang-orang Anshar,
menjelaskan betapa tinggi kedudukan, kemuliaan, kemurahan, tidak adanya
kedengkian pada diri mereka, dan justru sebaliknya mereka mempunyai sikap suka
mengutamakan serta mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri mereka
sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan.” Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan
pula betapa mereka mencintai orang-orang Muhajirin yang datang kepada mereka, di
mana semua ini didorong oleh kemuliaan pribadi mereka. Mereka tidak mendapatkan
dalam diri mereka kedengkian terhadap kedudukan dan kemuliaan orang-orang
Muhajirin, meskipun mereka disebut oleh Allah pertama kali.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَنْصَارَ إِلَى أَنْ
يُقْطِعَ لَهُمُ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوْا لاَ إِلاَّ أَنْ تُقْطِعَ لإِخْوَانِنَا
مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ مِثْلَهَا. قَالَ: إِمَّا لاَ، فَاصْبِرُوا حَتَّى
تَلْقَوْنِيْ فَإِنَّهُ سَيُصِيْبُكُمْ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam mengundang orang-orang Anshar untuk dibagikan kepada mereka
harta Bahrain, namun mereka berkata: ‘Tidak, kecuali kalau engkau bagikan pula
seperti itu kepada saudara-saudara kami kaum Muhajirin. Atau tidak sama sekali.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Kalau begitu
bersabarlah, sampai kalian bertemu denganku. Karena sesungguhnya kalian akan
dapati adanya sikap sewenang-wenang sepeninggalku’.”
Berkaitan dengan ayat tadi, disebutkan
pula oleh Ibnu Katsir bagaimana para shahabat Anshar mendahulukan kepentingan
orang lain dari diri mereka sendiri. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ
إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيْفُ هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ
مِنَ الأَنْصَارِ: أَنَا. فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ: أَكْرِمِيْ
ضَيْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا
إِلا قُوْتُ صِبْيَانِيْ. فَقَالَ: هَيِّئِيْ طَعَامَكِ وَأَصْبِحِيْ سِرَاجَكِ
وَنَوِّمِيْ صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوْا عَشَاءً. فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا
وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا
تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ
فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ضَحِكَ اللهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ
فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ {وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ}
“Abu Hurairah menceritakan: ‘Ada
seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam, kemudian beliau perintahkan supaya menemui istri-istri beliau. Namun
kata mereka: ‘Kami tidak punya sesuatu kecuali air (minum).’ Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Siapa yang menjamu tamu
ini?’ Tiba-tiba seorang shahabat Anshar bekata: ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Maka
berangkatlah dia membawanya ke rumah. Shahabat Anshar ini berkata kepada
isterinya: ‘Muliakan (jamulah) tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam ini.’
Wanita itu berkata: ‘Kita tidak punya
apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.’ Suaminya berkata: ‘Siapkan makananmu
itu, perbaiki pelitamu dan tidurkan anak-anakmu. Kalau mereka minta makan,
alihkan perhatian mereka.’
Wanita itu melaksanakan perintah
suaminya, dia mulai menidurkan anak-anak dan menyiapkan makanan dan berdiri
seakan-akan mau memperbaiki pelita lalu memadamkannya. Mereka pun berbuat
seolah-olah memperlihatkan kepada tamunya itu bahwa mereka juga ikut makan
bersamanya.
Setelah itu mereka berdua tertidur
meringkuk menahan lapar. Keesokan harinya laki-laki itu menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Beliau berkata: ‘Allah tertawa
melihat perbuatan kalian terhadap tamu kalian tadi malam.’
Maka Allah menurunkan firman-Nya:”…dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)’.“
Beliau meriwayatkan pula dalam
Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قَدِمَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْمَدِينَةَ فَآخَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ
الأَنْصَارِيِّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يُنَاصِفَهُ أَهْلَهُ وَمَالَهُ فَقَالَ
عَبْدُالرَّحْمَنِ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلَّنِي عَلَى
السُّوْقِ فَرَبِحَ شَيْئًا مِنْ أَقِطٍ وَسَمْنٍ …
“’Abdurrahman bin ‘Auf tiba di Madinah,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakannya dengan
Sa’d bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Lalu Sa’d menawarkan kepadanya
untuk membagi dua hartanya dan isterinya (dia menceraikan isterinya agar setelah
‘iddahnya selesai, dinikah oleh Abdurrahman). Tapi Abdurrahman berkata: ”Semoga
Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku pasar.” Dia berjualan
di sana dan akhirnya mendapat keuntungan, mula-mula dia dapatkan aqith (sejenis
makanan pokok) dan minyak samin…”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan:
”Yakni, persaudaraan seiman, bukan sedarah atau seketurunan. Sehingga dikatakan,
persaudaraan seiman lebih kokoh daripada persaudaraan sedarah. Karena
persaudaraan senasab (sedarah, seketurunan) akan terputus apabila salah satunya
berbeda agama dengan yang lain. Sebaliknya, persaudaraan seiman tidak akan
terputus meskipun nasabnya berbeda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam telah pula mengingatkan sebagaimana dalam hadits Anas
bin Malik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman salah
seorang dari kalian, sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang
dicintainya untuk dirinya sendiri.”
Dan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“’Seorang mu`min dengan mu`min
lainnya bagaikan bangunan yang kokoh, saling menguatkan satu sama lain.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjalin
jemarinya.”
Dan:
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Kamu lihat kaum mukminin itu
dalam kasih sayang dan perasaan di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila
salah satu anggota tubuh itu mengeluh kesakitan, maka seluruh badan merasakan
panas (demam) dan tidak bisa tidur.”
Berbagai kisah tentang persaudaraan
kaum mukminin yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini, banyak kita
dapati dalam berbagai kitab sejarah, tafsir, dan lainnya. Namun mampukah kita
menerapkannya dalam kehidupan kita di jaman di mana persaudaraan dan hubungan
kasih sayang diikat dan dinilai dengan materi, harta benda dunia?
Ibnu Qayyim menukil ucapan Syaqiq bin
Ibrahim dalam Al-Fawaid yang menerangkan beberapa hal yang
menjadi sebab terhalangnya seseorang mendapat taufiq, di antaranya adalah
tertipu atau merasa bangga duduk dan bergaul bersama orang-orang shalih, tapi
tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka.
Di sisi lain, kita juga membaca
buku-buku sejarah hidup para ulama as-salafush shalih, membahas karya-karya
mereka, namun sudahkah kita meniru akhlak mereka dan menerapkannya dalam
kehidupan? Hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal.
Wallahul muwaffiq. (Bersambung)
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
September 07, 2012
Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang)
Pelajaran dari Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang).
وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا - فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا - فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا
- فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا - فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا - إِنَّ الْإِنسَانَ
لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ - وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ - أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا
فِي الْقُبُورِ - وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ - إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ
يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang
1. Demi kuda perang yang berlari kencang
dengan terengah – engah. - 2. Dan pukulan yang membuat loncatan api. - 3.
Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba waktu shubuh
4. Maka ia menerbangkan debu - 5. Lalu
menyerbu ke tengah – tengah kumpulan membawanya - 6. Sesungguhnya manusia
itu sangat ingkar pada tuhanNya.
7.Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan
sendiri keingkarannya. - 8. Dan sesugguhnya dia sangat kuat cintanya kepada
harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui jika
telah disemburkan apa yang di dalam kubur. - 10. Dan dilahirkan apa yang ada
di dalam dada?
11.Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu
Maha Mengetahui tentang diri mereka.
Dinamakan denga surat Al Adiyaat karena Allah
memulai nya dengan sumpah, menggunakan kata al adiyaat (Kuda para mujahid
yang cepat mengahadapi musuh).
Hubungan antara kedua surat terdapat pada
pembicaraan tentang pengeluaran mayat-mayat dari perut bumi. Firman allah
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“dan bumi mengeluarkan benda – benda beratnya”
Dan dalam surat ini :
إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
“jika di bangkitkan apa yang di dalam kubur”
Pada surat Az Zalzalah di tutup dengan
penjelasan tentang balasan atas kebaikan dan keburukan maka surat Al Adiyat
juga ditutup dengan balasan atas kebaikan dan keburukan :
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
“sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha
Mengetahui tentang mereka”.
Makna Kosa Kata
وَالْعَادِيَاتِ
(Demi kuda perang yang berlari kencang
dengan terengah – engah).
Kuda yang menyerang musuh dengan cepat dan
kuat, sehingga muncul darinya suara engahan.
ضَبْحًا
(engahan).
Suara nafas pada dadanya saat menyerang musuh.
فَالْمُورِيَاتِ
(pukulan yang mengeluarkan loncatan api).
Dengan tapalnya saat memukul batu-batu.
قَدْحًا
(loncatan api)
فَالْمُغِيرَاتِ
(kuda yang menyerang dengan tiba – tiba)
yang menyerang musuh dengan tiba – tiba.
صُبْحًا
(di waktu Shubuh)
Demikianlah yang banyak terjadi bahwa
penyerangan terjadi pada waktu shubuh. Disebutkan karena Nabi jika hendak
menyerang maka Beliau menunggu waktu Shubuh.
فَأَثَرْنَ بِهِ
(maka ia menerbangkan)
Ia menimbulkan dengan serangan itu.
نَقْعًا
(debu)
Karena gerakannya yang kuat.
فَوَسَطْنَ بِهِ
(lalu dia menyerbu ke tengah – tengah
membawanya)
Membawa penunggangnya.
جَمْعًا
(kumpulan)
Kumpulan musuh yang dia serang.
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
(sesungguhnya manusia sangat ingkar
kepada Tuhanya)
Sesungguhnya manusia suka menahan kebaikan (harta)
yang di dalamnya terdapat hak allah atasnya atau mengingkari kebaikan (yang
ada Dia berikan)
عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
(dan sesungguhnya manusia menyasikan
sendiri akan hal itu)
Dia saksikan sendiri keingkarannya,sebab dia
mengetahui bahwa dirinya menahan dan bakhil dengan harta itu.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
(sesungguhnya di sangat kuat cintantanya
kepada harta).
Manusia dalam menyukai kebaikan (maksudnya:harta)
teramat suka, maka dia bakhil dengan harta itu.
بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
(telah disemburkan apa yang di dalam
kubur)
Disemburkan dan dikeluarkan apa yang ada di
dalam kubur dari orang – orang mati. Maksudnya : kebangkitan (allah
membangkitkan mereka)
وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
(dan dilahirkan apa yang ada di dalam
dada)
Tampak dan jelas hakekatnya setelah tadinya
tertutup di dalam hati dari kebaikan dan keburukan.
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
(sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu
Maha Mengetahui tentang diri mereka)
Maha mengetahui amal mereka, baik yang lahir
maupun batin dan membatasi amal – amal mereka itu.
Makna secara global
Allah bersumpah dengan kuda, karena ia
memiliki perangai terpuji yang tidak di miliki oleh binatang yang lain. Hal
itu karena dia adalah kendaraan untuk perang bagi orang arab dan mempunyai
pengaruh atas jiwa kaum mukminin.
Padahal ,terdapat ajakan untuk memiliki kuda
dan berlatih dengannya untuk berjihad di jalan allah. Juga seruan untuk
membiasakan diri dengan urusan yang besar, bersungguh – sungguh dan gesit
beramal, serta untuk memiliki kuda dengan maksud – maksud yang baik.
Kelanjutan dari sumpah tersebut adalah
penjelasan tabiat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat dan lupa bersyukur
pada Khaliq Sang Pemberi nikmat dan sering kali hal itu membawanya tidak
tunduk pada syariat Allah serta hukum – hukumNya.
Terdapat penjelasan bahwa karena sangat
cintanya manusia kepada harta, hal itu membuatnya kikir dan meninggalkan
infaq. Bahkan engkau lihat mereka bersungguh – sungguh mencari harta, sampai
– sampai bersedia membinasakan dirinya demi harta.
Mereka memperhatikan dunia dan berpaling dari
akherat serta lupa pada hak Allah atas apa yang di berikan, sehingga Allah
mengancamnya dan menjanjikan siksaan jika di tetap pada sifat-sifat ini dan
tidak memperbaiki akhlaqnya.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ , وَحُصِّلَ مَا فِي
الصُّدُورِ
“apakah mereka tidak tahu, tatkala di
bangkitkan apa yang ada di dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam
dada”
Artinya
Apakah orang yang mengingkari dan pura –
pura lupa akan perintah dan larangan Allah mengetahui apa yang terjadi jika
dia keluar dari kuburnya dan tampak jelas apa yang ada pada dirinya, dari :niat
– niat, kemauan – kemauan, kebaikan , dan keburukan.
Faedah surat
1.Targhib untuk berjihad dan bersiap untuk
itu dengan memiliki alatnya.
2. penjelasan tentang hakekat manusia, bahwa
dia mengingkari nikmat – nikmat Rabbnya dan kebanyakan mereka akan terus
mengingat musibah yang pernah menimpanya serta melupakan nikmat tatkala
nikmat itu melimpah ruah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh.
3.penjelasan tentang tabiat manusia yang
sangat cinta pada hatrta.
4.penetapan akidah tentang kebangkitan dan
perhitungan.
(dikutip dari buku Ad -Durusil Muhimmah
Li Ammatil Ummah, Penerbit Cahaya Tauhid Press)
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
index,
tafsir quran
KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM
Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama yang kelak a...