Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Hukum Minum Dengan Sekali Nafas

Written By sumatrars on Selasa, 31 Maret 2015 | Maret 31, 2015

Category : Fiqih dan Muamalah
Source article: Muslim.Or.Id

Terdapat hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau minum dengan 3 kali nafas. Yaitu beliau menghabiskan minuman tidak sekaligus, namun perlahan dengan 3 kali mengeluarkan nafas. Maka timbul pertanyaan dan ini pun dibahas para ulama dalam kitab-kitab fiqih, yaitu apakah boleh minum dengan sekali nafas, atau sekali teguk? Simak bahasan singkat berikut.

Anjuran minum perlahan dengan 3 kali nafas

Anas bin Malik radhiallahu’anhu menceritakan,

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يتنفَّسُ في الشرابِ ثلاثًا ، ويقول : ( إنه أَروى وأبرأُ وأَمرأُ )

biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bernafas tiga kali ketika minum. Dan beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dengan begini haus lebih hilang, lebih lepas dan lebih enak‘” (HR. Al Bukhari 5631, Muslim 2028, dan ini adalah lafadz Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ini adalah dalil dianjurkannya bernafas 3 kali ketika minum” (Majmu’ Al Fatawa, 32/208). Maka jelaslah bahwa hal ini hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Karena hukum asal dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sunnah.

Namun perlu dicatat, bahwa bernafas yang dimaksud di sini bukanlah bernafas atau mengeluarkan nafas di dalam gelas atau tempat minum. Namun yang dimaksud adalah di luar gelas. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا شَرِبَ أحدُكم فلا يَتَنَفَّسُ في الإناءِ

jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum)” (HR. Al Bukhari 153, Muslim 267).

Jadi caranya: meneguk air, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, selesai.

Hukum minum dengan satu nafas

Lalu bagaimana dengan minum satu kali nafas atau sekali teguk? Terdapat hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu’anhu, ia berkata:

ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن النفخ في الشراب، فقال رجل ‏:‏ القذاة أراها في الإناء‏؟‏ فقاله‏:‏ ‏”‏أهرقها‏”‏ قال‏:‏ إني لا أروى من نفس واحد‏؟‏ قال‏:‏ ‏”‏فأبن القدح إذاً عن فيك‏”‏

Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam tempat minum. Maka ada seorang yang bertanya: “(Wahai Rasulullah,) terkadang (kalau saya minum) ada gelembung udara yang keluar di bejana (tempat minum)”. Rasulullah bersabda: “keluarkan itu!”. Lalu lelaki tadi berkata: “(Wahai Rasulullah,) haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu minumlah beberapa teguk lalu ambil nafas!” (HR. At Tirmidzi 764, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 385).

Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dengan cara menenggak beberapa teguk lalu baru bernafas, atau beberapa tenggak sampai habis, baru bernafas. Syaikh Al Albani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan: “ini menunjukkan bolehnya minum dengan sekali nafas. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengingkari seorang lelaki yang mengatakan: ‘haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja’. Andai minum dengan sekali nafas itu terlarang, maka ketika itu Rasulullah akan menjelaskan larangannya. Beliau akan berkata semisal: ‘Memangnya boleh minum dengan sekali nafas?'”.

Di tempat lain, Syaikh Al Albani juga menukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Imam Malik membolehkannya minum dengan sekali nafas berdalil dengan hadits ini. Bolehnya hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Musayyab dan sekelompok tabi’in lainnya. Lalu Umar bin Abdul Aziz juga mengatakan: yang dilarang adalah bernafas di dalam bejana, adapun orang yang tidak bernafas di dalam bejana boleh saja minum dengan sekali nafas jika ia mau” (Silsilah Ash Shahihah, 1/670-671, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani 478).

ِAdapun hadits yang menganjurkan minum dengan sekali nafas, haditsnya tidak shahih.

إِذا شَرِبَ أَحَدُكُم فَليَشرَب فِي نَفَسٍ واحِدٍ

jika salah seorang dari kalian minum maka minumlah dengan sekali nafas

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan: “hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Yahya bin Said tidak meriwayatkan dari Aban bin Yazid dan aku khawatir lafadznya maqlub, seharusnya ‘janganlah minum‘ namun disebutkan ‘minumlah‘” (Al ‘Ilal Al Mutanahiah, 2/669).

Minum dengan bernafas lebih dari tiga kali

Minum dengan lebih dari tiga kali nafas tentu saja kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. Terlebih lagi dalam hadits larangan bernafas di dalam bejana disebutkan:

إذا شربَ أحدُكم، فلا يتنفَّسْ في الإناءِ، فإذا أرادَ أن يعودَ، فلينحِّ الإناءَ، ثمَّ ليَعُد إن كانَ يريدُ

jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum). Jika ia ingin mengulang (tegukan) maka singkirkan dahulu bejana (dari mulut untuk bernafas), kemudian teguk lagi jika ingin” (HR. Ibnu Majah 2784, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Menunjukkan tidak ada batasan jumlah tegukan atau nafas ketika minum. Tentu saja selama tidak sampai israf (berlebih-lebihan) dalam minum. Wallahu a’lam.

Demikian, semoga bahasan ringkas ini bermanfaat.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengkompromikan Dua Dalil Lebih Utama

Written By sumatrars on Minggu, 22 Maret 2015 | Maret 22, 2015

Kaidah Fikih, Dalil, Fikih, Kaidah, Menyikapi, Pertentangan.

18/03/2015 by Ibnu Majjah

Alhamdulillah, kita memuji dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada kita, selanjutnya shalawat dan salam teruntuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, Amma ba’du:

Kaedah Fikih yang kita posting pada kesempatan yang mulia ini adalah:

إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ

Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunyaselamamasihmemungkinkan

Kaidah ini menjelaskan patokan yangharus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.

Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.

Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkinmaka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhirlalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.

Silahkan simak eBook ini lebih lanjut dan temukan contoh penerapannya…

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fiqih Shalat, Rajin Shalat Namun Masih Bermaksiat

Written By sumatrars on Sabtu, 24 Januari 2015 | Januari 24, 2015



Category : Fiqih, Fiqih Shalat,
Source article: Rumaysho.Com, Muhammad Abduh Tuasikal

Kita tahu bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sayangnya, ada yang rajin shalat, namun di luar itu ia masih berjudi. Kami pun mendapatkan cerita seperti itu. Apakah shalatnya yang bermasalah? Coba kita kaji bersama dengan melihat perkataan ulama-ulama salaf di masa silam.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata beliau,

إِنَّ الصَّلاَةَ لاَ تَنْفَعُ إِلاَّ مَنْ أَطَاعَهَا

Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, hal. 159 dengan sanad shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 13: 298 dengan sanad hasan dari jalur Syaqiq dari Ibnu Mas’ud).

Al Hasan berkata,

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ تَنْهَهُ عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan sanad yang shahih dari jalur Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qotadah dari Al Hasan)

Abul ‘Aliyah pernah berkata,

إِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهَا ثَلاَثُ خِصَالٍ فَكُلُّ صَلاَةٍ لاَ يَكُوْنُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الخَلاَل فَلَيْسَتْ بِصَلاَةٍ: الإِخْلاَصُ، وَالْخَشْيَةُ، وَذِكْرُ اللهِ. فَالإِخْلاَصُ يَأْمُرُهُ بِاْلمعْرُوْفِ، وَالخَشْيَةُ تَنْهَاهُ عَنِ المنْكَرِ، وَذِكْرُ القُرْآنِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ.

Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhohullah berkata, “Siapa yang merutinkan shalat dan mengerjakannya di waktunya, maka ia akan selamat dari kesesatan.” (Bahjatun Nazhirin, 2: 232).

Jika ada yang sampai berbuat kemungkaran, maka shalat pun bisa mencegahnya dari perbuatan tersebut.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحَ سَرِقَ؟ فَقَالَ: “إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا يَقُوْلُ

Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ada seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?” Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia lakukan.” (HR. Ahmad 2: 447, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Nah berarti shalat yang baik adalah shalat yang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inilah shalat yang mesti dibentuk. Jadi kalau ia rajin shalat, malah masih terus melakukan dosa besar, maka shalatnya lah yang mesti diperbaiki. Wallahu a’lam.

Disalin pada, 27 Rajab 1435 H


Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Maulid Nabi: Bid’ah-kah atau Syar’i-kah?

Written By sumatrars on Jumat, 09 Januari 2015 | Januari 09, 2015



Category : Fiqih dan Muamalah,fatwa,Ulama,Maulid, Download
Source article: Abunamira.Wordpress.Com

Yuk Cari Tahu Tentang Maulid Nabi: Bid’ah-kah atau Syar’i-kah?

Peringatan Maulid Dalam Timbangan Islam

Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan) kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?....... Selengkapnya Silahkan di Download...



Article : Blog Al-Islam
Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kapan Jari Telunjuk Diturunkan Dalam Tasyahud Akhir?

Written By sumatrars on Kamis, 08 Januari 2015 | Januari 08, 2015



Category : Fiqih dan Muamalah, Ftwa Ulama, Fiqh,Fatwa,Ulama
Source article: http://Islamqa.info/ar/165999, Penyusun: Ustadz Sa’id, Muslim.Or.Id
Fatwa Syaikh Shalih Al Munajjid

Soal:

Di tengah-tengah tasyahhud saat seseorang selesai mengucapkan shalawat Ibrahimiyyah apakah jari telunjuk selayaknya tetap diangkat hingga imam selesai salam atau ia boleh membuka genggamannya (menurunkan jari telunjuknya-pent) dan meletakkan (telapak tangan)nya di atas pahanya langsung begitu selesai dari shalawat Ibrahimiyyah? Jazakumullah Khaira.

Jawab:

Alhamdulillah.

Pertama, dalam sunnah nabawiyyah tentang penjelasan tata cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat syari’at mengangkat jari telunjuk dalam shalat dan telah disebutkan perincian penjelasan tentang hal itu disertai dalil-dalilnya di web kami, yaitu jawaban no. 7570 dan 11527.

Kedua, para ahli fiqh sudah menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengisyaratkan dengan jari telunjuk (mengangkatnya-pent) di bagian manapun asal masih dalam tasyahhud, maka berarti ia telah menunaikan sunnah ini (mengangkat jari telunjuk-pent) dan telah mengikuti petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memunaikan shalatnya. Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tempat diangkatnya, sedangkan ini adalah permasalahan afdhaliyyah saja.

Tempat mulai mengangkat telunjuk dan perselisihan Ulama tentangnya

Syaikh Ahmad Al-Barlisi ‘amiiratusy -Syafi’i (wafat 957 H), berkata, “Dengan bentuk mengisyaratkan jari telunjuk yang manapun dari yang sudah disebutkan di atas (dalam kitab beliau-pent) seseorang yang melakukannya sudah terhitung mengamalkan sunnah tersebut. Adapun yang menjadi perselisihan ulama adalah sebatas mana yang afdhal”. Ucapannya selesai, diambil dari Hasyiah ‘Amiiroh (1/188). Lihat juga Al-Majmu’ tulisan An-Nawawi (3/434).

Perselisihan dalam masalah afdhaliyyah ini adalah perkara ijtihad ulama yang (masing-masing pendapat) masih bisa dikatakan memiliki alasan ilmiyyah karena tidak adanya dalil yang jelas dan pasti dalam hal ini.

Ada sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam saat duduk di dalam shalatnya meletakkan telapak tangan kanannya di atas lututnya dan mengangkat jari sebelah jempolnya (telunjuk-pent). Beliau berdo’a dengannya, sedangkan telapak tangan kirinya diletakkan di atas lutut yang satunya. Beliau membuka telapak tangan kiri tersebut dan diletakkan di atas lututnya. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya (no. 294) dan berkata, “Hadits Ibnu Umar ini hadits hasan gharib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Ubaidillah bin Umar kecuali dari sisi ini. Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in mengamalkannya. Mereka memilih isyarat jari telunjuk ketika tasyahhud dan pendapat ini adalah pendapat ulama madzhab kami”. Ucapannya selesai. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam kitab Shahih At-Tirmidzi.

Sabda beliau (dan mengangkat jari sebelah jempolnya [telunjuk-pent] yang digunakan berdo’a oleh beliau) menunjukan bahwa mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a dalam tasyahhud. Adapun lafadz do’a dimulai dari dua kalimat syahadat karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah ‘azza wa jalla, sedangkan hal itu sebab suatu do’a lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mulailah mengucapkan inti do’anya (Allahumma shalli ‘ala Muhammad) hingga akhir tasyahhud dan sampai akhir salam. Adapun awal tasyahhud (Attahiyyatulillah sampai ucapan kita wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin) bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan do’a kesalamatan bagi hamba-Nya.

Riwayat-riwayat yang ada dari para sahabat dan tabi’in dalam masalah ini menunjukkan bahwa mengisyaratkan jari telunjuk maksudnya adalah isyarat kepada tauhid dan ikhlas. Jadi (isyarat), jari telunjuk tersebut hakikatnya adalah ungkapan dalam bentuk perbuatan tentang keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, maka pantaslah jika awal isyarat telunjuk adalah lafadz syahadat (Asyhadu an laa ilaaha illallahu). Oleh karena itu Ibnu Abbbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Isyarat tersebut adalah ungkapan keikhlasan”.

Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengisyaratkan dengan jari (telunjuknya) dalam shalat, maka hal itu baik dan itu ungkapan tauhid”, diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dalam Mushannaf (2/368).

Apa yang disebutkan di atas adalah salah satu pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu permulaan isyarat telunjuk saat syahadat tauhid.

Adapun masalah kapan selesainya isyarat telunjuk tersebut, para sahabat yang meriwayatkan mengangkat jari telunjuk tidaklah menyebutkan nabi shallallahu alaihi wa sallam sallam menurunkannya (di bagian tertentu sebelum selesainya salam-pent), maka (dapat disimpulkan) bahwa mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahhud semuanya adalah do’a .

Abu Abdillah Al-Khurasyi Al-Maliki (wafat th.1101 H) raimahullah berkata, “Dari awal tasyahhud hingga akhirnya, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu dan sesuai dengan yang mereka sebutkan sampai selesai salam walaupun panjang tasyahhud tersebut”. Perkataanya selesai, diambil dari Syarhu Mukhtashor Kholil (1/288).

Dan ulama syafi’iyyah menyetujui mereka, yaitu isyarat telunjuk ketika syahadatain, akan tetapi mereka memberikan penjelasan tambahan secara rinci dan detail yang barangkali tidak ditemukan dalilnya. Mereka mengatakan, “Permulaan mengangkat jari telunjuk adalah ketika sampai pengucapan huruf hamzah dari ucapannya di syahadatain, yaitu (illlallah).

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dari semua ucapan dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa, disunnahkan mengisyaratkan telunjuk tangan kanannya lalu mengangkatnya ketika sampai huruf hamzah dari ucapannya (Laa ilaaha illalllahu)”. Perkataannya selesai, diambil dari kitab Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab (3/434).

Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Mengangkatnya saat ucapannya (illallah), yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah; untuk mengikuti riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak atau jelas menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai (sesaat sebelum) berdiri (ke raka’at ke tiga pada tasyahhud awal-pent) atau sampai salam (pada tasyahhud akhir-pent). Adapun yang dibahas sekelompok orang zaman sekarang tentang mengembalikannya, maka ini menyelisihi penukilan. Ucapannya selesai, diambil dari Nihayatul Muhtaj (1/522).

Ada juga di antara ulama yang mengatakan bahwa isyarat telunjuk tersebut dimulai dari awal tasyahhud. Semua tasyahhud hakikatnya adalah do’a dan terdapat suatu riwayat dalam hadits bahwa beliau berdo’a dengannya. Adapun di awal tasyahhud (Attahiyyaatulillaah) ini adalah pujian mengawali do’a, maka hakikatnya pujian tersebut termasuk bagian do’a dan bukan keluar dari bagian do’a.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Disunnahkan isyarat telunjuk dalam tasyahhud dan do’a” (Ikhtiyaraat, /38).
Dalam fatwa Lajnah Daimah (7/56), “Isyarat telunjuk sepanjang tasyahhud dan menggerakkannya saat do’a serta menggenggam jari jemari (selain telunjuk-pent) terus dilakukan sampai (selesai) salam”.

Yang jelas, permasalahan ini adalah masalah ijtihadiyyah khilafiyyah dan berbagai pendapat dalam masalah ini terkait dengan salah satu cabang kecil dari masalah shalat. Tidak mengapa seseorang menyelisihi ijtihad ini dan mengikuti pendapat yang dia pandang kuat dalam masalah ini dengan berdasarkan ilmu.

Terdapat juga fatwa Lajnah Daimah (5/368), “Mengangkat telunjuk dalam tasyahhud adalah sunnah dan hikmahnya adalah isyarat kepada kemahaesaan Allah. Jika ia mau silahkan menggerakkannya (telunjuk-pent), jika tidak, maka (tidaklah mengapa) tidak menggerakkannya. Permasalahan ini tidak mengharuskan perpecahan dan permusuhan di antara para penuntut ilmu. Seandainya ia tidak mengangkatnya pun atau mengangkatnya namun tidak menggerakkkannya tidaklah mengapa karena masalah ini adalah masalah mudah tidaklah mengharuskan pengingkaran dan (saling) menjauh, namun sunnahnya adalah mengangkatnya di kedua tasyahhud sekaligus sampai seseorang (selesai) salamnya sebagai isyarat kepada tauhid. Adapun menggerakkannya, maka ketika berdo’a sebagaimana yang ditunjukkan sunnah yang shohihah.” Selesai fatwa ini, diambil dari Fatawal Lajnah (5/368).

Lihat jawaban dari pertanyaan nomor 7570.

Wallahu a’lam.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengusap Peci dan Kerudung Ketika Berwudhu, Bolehkah?

Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015



Category : Fiqh dan Muamalah, fikih, sorban, Wudhu

28 November 2014

Source article: Muslim.O.Id

Mengusap Kepala ketika Berwudhu’

Di antara rukun wudhu adalah mengusap kepala sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah [5]: 6).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tatacara mengusap kepala ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan tatacara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dengan kedua (telapak) tangannya. Beliau (mengurap) ke arah depan kemudian kembali lagi ke belakang. Beliau memulai dari bagian depan kepala, kemudian mengusap ke arah belakang dengan kedua telapak tangannya sampai tengkuk, kemudian kembali lagi ke depan sampai ke tempat di mana beliau memulai mengusap kepalanya (yaitu bagian depan kepala).” (HR. Bukhari no. 185, Muslim no. 235, dan Tirmidzi no. 28)

Hadits di atas menunjukkan bahwa mengusap kepala sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala di atas adalah “mengusap keseluruhan kepala”. Sebagaimana dalam hadits di atas, mengusap keseluruhan kepala dapat dilakukan degan dua cara, yaitu: (1) dari tengkuk, ke arah depan, kemudian kembali lagi ke belakang; atau (2) sebaliknya, yaitu dari bagian depan, ke arah tengkuk, kemudian kembali lagi ke depan.

Hadits di atas juga menunjukkan lemahnya pendapat Imam Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i –rahimahumallah- yang menyatakan bahwa mengusap kepala cukup dengan mengusap sebagian kepala, baik dengan mengusap tiga helai rambut, atau seperempat atau setengah bagian kepala saja. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/117).


Mengusap Sorban (Imamah)

Terdapat hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mengusap kain sorban (imamah) yang menutupi seluruh kepala beliau ketika berwudhu. ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan tatacara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ

Aku melihat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam mengusap sorban dan dua buah khuff (sepatu) beliau.” (HR. Bukhari no. 205)

Jika sebagian kepala beliau tidak tertutup sorban, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan bagian kepala yang tidak tertutup sorban tersebut. Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

Sesungguhnya Nabi shallalahu ‘alahi wa sallam berwudhu, maka beliau mengusap ‘an-nashiyah’, (mengusap) imamah dan dua buah khuff (sepatu) beliau.” (HR. Muslim no. 247)

Yang dimaksud dengan ‘an-nashiyah’ adalah rambut yang tumbuh di bagian depan dahi. (Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 28)

Hadits ini juga menunjukkan wajibnya mengusap seluruh bagian kepala karena ketika ada sebagian kepala yang tidak tertutup sorban, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan bagian kepala yang terbuka tersebut sekaligus, tidak mencukupkan diri hanya dengan mengusap sorban atau sebagian kepala yang terbuka saja.

Mengusap sorban ini diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu (1) suci (terbebas dari najis) dan (2) imamah tersebut sulit dan merepotkan jika dilepas, yaitu imamah yang ujungnya dililitkan ke leher, sebagaimana adat kebiasaan orang Arab. (Lihat Syarhul Mumti’, 1/236-237)

Oleh karena itu, tidak boleh mengusap peci (bagi laki-laki) sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad rahimahullah karena dua alasan berikut ini:

  • Peci pada umumnya tidak menutup semua bagian kepala, berbeda dengan sorban. Sehingga dua hal ini tidak bisa dianalogikan.

  • Tidak ada kesulitan untuk melepas peci ketika berwudhu, berbeda dengan sorban. (Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 28 dan Al-Mughni, 1/346)

Lalu bagaimana dengan jilbab (kerudung) perempuan?

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama membolehkan bagi perempuan untuk mengusap kerudung (jilbab). Mereka beralasan dengan meng-qiyaskan antara imamah (bagi laki-laki) dan kerudung (bagi perempuan).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin raimahullah berkata,”Jika terdapat kesulitan, misalnya karena cuaca yang sangat dingin, atau ada kesulitan jika harus mencopot dan memakai kerudung kembali, maka mengusap semacam ini (yaitu mengusap kerudung), tidaklah mengapa. Jika tidak (ada kesulitan semacam itu), maka yang lebih utama adalah tidak mengusap kerudung, sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih dalam masalah ini (yaitu kewajiban mengusap seluruh bagian kepala secara langsung).” (Lihat Syarhul Mumti’, 1/239)

Syaikh Abu Malik berkata,”Adapun wanita, maka aku tidak mengetahui adanya dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam masalah ini (yaitu kewajiban mengusap seluruh bagian kepala). Akan tetapi, boleh bagi para wanita untuk mengusap (bagian atas) kerudungnya. Seandainya dia mengusap bagian depan kepalanya beserta kerudungnya, maka ini lebih baik, dalam rangka keluar dari perselisihan para ulama.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/118).

Hal ini sebagaimana perbuatan Ummu Salamah yang mengusap kerudungnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir. (Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 1/346). Wallahu a’lam.

Selesai disusun menjelang subuh, Masjid Nasuha Rotterdam, 5 Shafar 1436

Referensi:

  • Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Daarul Fikr Beirut, cetakan 1 tahun 1405 (Maktabah Syamilah)

  • Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi (Maktabah Syamilah)

  • Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Maktabah Tauqifiyah.

  • Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, Maktabah Ibnu Taimiyah Kuwait, cetakan 5 tahun 1410.
     


Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Shalat Raghaib dan Nishfu Sya’ban Menurut An Nawawi

Written By sumatrars on Rabu, 16 Juli 2014 | Juli 16, 2014



Labels : Fiqh dan Muamalah, Bid'ah, shalat alfiyah, shalat raghaib

Pada bulan Rajab dan Sya’ban ini, di masyarakat kita tersebar ibadah yang bernama shalat raghaib yang biasanya dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya’ dan biasanya didahului dengan puasa hari Kamisnya. Selain itu ada pula ibadah shalat nishfu Sya’ban atau shalat Alfiyah yang dilakukan pada pertengahan Sya’ban. Biasanya dilakukan sebanyak seratus raka’at dengan membaca surah Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Bahkan terkadang dibumbui dengan fadhilah-fadhilah yang bombastis. Kita simak bagaimana pendapat Imam An Nawawi rahimahullah, ulama besar madzhab Syafi’i mengenai dua ibadah tersebut.

Ketika ditanya mengenai shalat raghaib dan shalat nishfu sya’ban, beliau menjawab:

الحمد لله ، هاتان الصلاتان لم يصلهما النبي-صلى الله عليه وسلم-ولا أحد من أصحابه–رضي الله عنهم–ولا أحد من الأئمة الأربعة المذكورين–رحمهم الله – ، ولا أشار أحد منهم بصلاتهما، ولم يفعلهما أحد ممن يقتدي به، ولم يصح عن النبي منها شيء ولا عن أحد يقتدي به ، وإنما أحدثت في الأعصار المتأخرة وصلاتهما من البدع المنكرات ، والحوادث الباطلات ، وقد صح عن النبي- صلى الله عليه وسلم- أنه قال : “إياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ضلالة ” . وفي الصحيحين عن عائشة –رضي الله عنها– قالت: قال رسول الله-صلى الله عليه وسلم-: “من أحدث في ديننا ما ليس منه فهو رد”. وفي صحيح مسلم أن رسول الله-صلى الله عليه وسلم-قال : “من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”.

وينبغي لكل أحد أن يمتنع عن هذه الصلاة، ويحذر منها، وينفر عنها ويقبح فعلها، ويشيع النهي عنها، فقد صح عن النبي- صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “من رأى منكم منكراً فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه”. وعلى العلماء التحذير منها ، والإعراض عنها أكثر مما على غيرهم ، لأنه يقتدى بهم .
ولا يغترن أحد بكونها شائعة يفعلها العوام وشبههم ، فإن الاقتداء إنما يكون برسول الله- صلى الله عليه وسلم- وبما أمر به لا بما نهى عنه، وحذَّر منه

“Segala puji bagi Allah. Dua shalat ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tidak pula dilakukan oleh salah seorang shahabatnya radhiyallahu’anhum, juga tidak dilakukan oleh salah seorang dari imam madzhab yang empat rahimahumullah, tidak ada pula satu isyarat pun bahwa mereka mereka melakukan kedua shalat ini. Demikian juga tidak dilakukan oleh seorang ulama yang menjadi teladan. Tidak ada satu riwayat pun yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga riwayat dari pada ulama yang menjadi teladan.

Kedua ibadah ini baru muncul pada masa-masa belakangan. Melakukan kedua shalat ini merupakan bid’ah yang munkar dan perkara batil yang diada-adakan. Dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu sesat“. Dan dalam shahihain dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang tak ada asalnya dalam agama kami, maka perkara tersebut tertolak“. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasululullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari kami, maka itu tertolak“.

Semestinya setiap orang menghindari kedua shalat ini dan memperingatkan orang darinya, menjauhkan diri darinya, dan mencela perbuatan tersebut, sertan menyebarkan larangan untuk melakukannya. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya“. Dan merupakan kewajiban bagi para ulama untuk memperingatkan umat darinya. Dan hendaknya mereka menjauhkan diri dari ibadah tersebut lebih serius daripada orang lain, karena mereka merupakan panutan bagi orang lain.

Janganlah tertipu dengan banyaknya orang awam atau semisalnya yang melakukan ibadah ini. Sesungguhnya yang patut diteladani itu adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan perintah dan larangannya, serta apa-apa yang beliau peringatankan” (Musajalah Ilmiyah Baynal Imamain Jalilain Al Izzibni Abdissalam Wabni Shalah, 45-47).

Di tempat lain ketika ditanya mengenai shalat raghaib, beliau menjawab,

هي بدعة قبيحة منكرة أشد إنكار، مشتملة على منكرات فيتعين تركها والإعراض

Ibadah tersebut termasuk bid’ah tercela serta munkar yang paling munkar. Mengandung berbagai macam kemungkaran. Maka sudah jelas kewajiban meninggalkannya dan berpaling darinya” (Fatawa Imam An Nawawi, 57)

Bahkan di tempat lain ketika membahas shalat raghaib, beliau lebih tegas lagi,

قاتل الله واضعها ومخترعها , فإنها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة . وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها وبطلانها وتضليل فاعلها أكثر من أن تحصر

Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan dan membuat-buat ibadah ini. Karena ibadah in adalah bid’ah yang munkar, termasuk dalam bid’ah yang sesat dan kebodohan. Di dalamnya terdapat berbagai kemungkarna yang nyata. Beberapa ulama telah menulis tulisan bermanfaat yang khusus mencela dan menjelaskan kesesatan serta kebid’ahan ibadah ini. Juga menjelaskan dalil tentang betapa tercela, batil dan sesatnya, orang yang melalukan ibadah tersebut dengan dalil yang terlalu banyak untuk bisa dihitung” (Syarah Shahih Muslim, 8/20)

Maka jelaslah bahwa shalat raghaib dan shalat alfiyah adalah ibadah yang diada-adakan, tidak ada tuntunannya dari syariat Islam. Imam An Nawawi rahimahullah, ulama besar madzhab Syafi’i, sangat tegas dalam menjelaskan hal ini. Maka sangat aneh jika orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi’i malah mengamalkannya.

Dari penjelasan-penjelasan di atas juga kita bisa melihat betapa Imam An Nawawi sangat tegas terhadap perbuatan bid’ah dalam agama. Beliau dan juga para ulama ahlussunnah rahimahumullah mencela dan mengingkari perbuatan bid’ah, karena mereka meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat yang juga tegas dalam mengingkari perbuatan bid’ah.

Semoga kita senantiasa diberi hidayah oleh Allah Ta’ala untuk berada di jalan-Nya yang lurus. Wabillahi At Taufiq Wa Sadaad.

Referensi:

Musajalah Ilmiyah Baynal Imamain Jalilain Al Izzibni Abdissalam Wabni Shalah
http://www.alimam.ws/ref/871

Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama : Aurat Wanita Di Depan Mahram Dan Wanita Lain

Written By sumatrars on Rabu, 15 Agustus 2012 | Agustus 15, 2012

Kategori : Fiqh dan Muamalah

Pertanyaan:

Apa batas aurat wanita di depan wanita lain atau di depan lelaki yang menjadi mahram-nya?

Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah* menjawab:
Telah tersebar anggapan di masyarakat bahwa aurat wanita di depan wanita lain atau di depan lelaki yang menjadi mahram-nya adalah antara pusar sampai lutut. Ini adalah sebuah kesalahan.
dan seterusnya Allah Ta’ala menyebutkan orang-orang yang termasuk mahram.
 



Yang benar adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam surat An Nuur:

ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن

Dan seorang mukminah tidak boleh memperlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An Nuur: 31)


Oleh karena itu yang diperbolehkan adalah memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan. Sedangkan bagian tubuh yang bukan tempat perhiasan tidak diperbolehkan memperlihatkannya kepada orang lain kecuali suaminya. Hal ini berdasarkan keumuman hadits:

المرأة عورة

Wanita adalah aurat

Misalnya rambut, ia adalah tempat perhiasan, maka boleh ditampakkannya (kepada wanita dan mahramnya). Begitu juga leher dan dada bagian atas adalah tempat perhiasan, maka maka boleh ditampakkannya. Demikian juga telapak tangan, dan betis serta betis yang biasa diberi khul-khul (gelang kaki), maka boleh ditampakkan.

Sedangkan menampakkan paha, dada, punggung atau semisalnya di depan wanita lain atau lelaki mahram, adalah perkara yang diharamkan. Demikian juga tidak diperbolehkan memakai pakaian yang masih menampakkan aurat, semisal celana panjang yang ketat atau pakaian yang tipis, di depan lelaki mahram.
Sebaiknya wanita muslimah di depan lelaki mahram menggunakan pakaian sebagaimana yang digunakan ketika beraktifitas di dalam rumahnya, semisal gaun wanita yang panjangnya melebihi lutut, atau memakai celana panjang dengan gamis di atasnya, sehingga mengesankan lututnya bersambung, atau pakaian semacam itu.

Jika seorang muslimah hendak menyusui anaknya, maka hendaknya ia menutup dadanya dengan kain penutup dan jangan menampakkannya di depan ayahnya atau saudara lelakinya. Inilah rasa malu yang wajib dimiliki oleh setiap wanita dan dijaga baik-baik.

(Fatawa Syaikh Mayshur Hasan Salman, fatwa no.71, Asy Syamilah)
*) Beliau adalah seorang ulama di masa ini yang berasal dari negeri Palestina, dan merupakan salah seorang murid dari Asy Syaikh Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. Beliau dikenal sebagai seorang muhaqqiq (peneliti), pakar hadits dan pakar fiqih.



Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger