BLOG AL ISLAM
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
Live Traffic
Ikhlas, Itukah Yang Anda Cari?
Written By sumatrars on Minggu, 17 Agustus 2014 | Agustus 17, 2014
Ikhlas itukah yang Anda cari?
Berbicara tentang ikhlas pun membutuhkan keikhlasan. Ikhlas dibutuhkan dimana pun dan kapan pun, oleh siapa pun.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Sebagaimana telah diketahui, ikhlas adalah pondasi amalan. Selain harus sesuai tuntunan, amalan juga harus dilandasi dengan keikhlasan. Tanpanya, amal dan kebaikan hanya akan menjadi sirna. Bagaikan debu-debu yang beterbangan.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sejak kapan kiranya kita mendengar kata ikhlas? Ya, mungkin ada diantara kita yang sudah mendengarnya belasan atau puluhan tahun. Kita harus ikhlas, karena kalau tidak ikhlas maka amal kita tidak diterima di sisi Allah, sebesar apapun amal itu.
Kita sudah mengetahui hal itu sejak lama. Namun, pada kenyataannya seringkali nilai-nilai keikhlasan itu terkikis, terkoyak, tercabik-cabik oleh berbagai ambisi dan kepentingan dunia. Ambisi terhadap kedudukan, pujian, sanjungan, pangkat dan jabatan. Orang rela mencurahkan segala energi dan potensinya, hanya demi mengejar popularitas dan ketenaran belaka.
Amal demi amal dia tumpuk. Kebaikan demi kebaikan dia kerjakan. Prestasi demi prestasi dia koleksi dan banggakan. Setiap jengkal bumi seolah menjadi saksi akan langkah dan segenap jasa yang dia berikan kepada umat manusia dan peradaban. Akan tetapi, Allah Yang Maha Mengetahui isi hati tidak bisa ditipu mengenai apa yang terdapat di dalam hatinya. Apakah dia seorang yang mukhlis/benar-benar ikhlas. Ataukah itu semuanya hanya topeng dan pemanis belaka…
Saudaraku yang dirahmati Allah, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah menafsirkan tentang makna ahsanu amalan; amalan yang terbaik. Kata beliau, ahsanu ‘amalan itu adalah ‘akhlashuhu wa ashwabuhu’ yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Amal yang Allah terima adalah yang ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah, sedangkan benar maknanya jika ia berada di atas tuntunan/as-Sunnah. Poin yang ingin kita petik di sini adalah perihal keikhlasan…
Syi’ar orang-orang yang ikhlas itu adalah seperti yang Allah kisahkan perkataan mereka, “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian demi mencari wajah Allah, kami tidak ingin balasan ataupun ucapan terima kasih.” Demikianlah syi’ar dan isi hati mereka. Tidak mengharapkan balasan dan imbalan dari manusia. Yang mereka inginkan adalah keridhaan Allah. Mereka juga tidak mencari sanjungan dan simpati massa. Sebab yang mereka cari adalah wajah Allah semata. Inilah potret keikhlasan yang sering kita lupakan.
Kita pun pernah mendengar kisah, tentang tiga orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat. Seorang mujahid, seorang yang berilmu dan pandai membaca al-Qur’an, dan seorang kaya yang suka memberikan bantuan dan kepedulian. Ketiga-tiganya harus menerima kenyataan pahit bahwa amal mereka ditolak di sisi Allah dan membuat mereka masuk ke dalam neraka.
Bukan karena amalan itu tidak sesuai Sunnah, bukan karena amalan itu kecil atau tidak memberikan manfaat untuk umat, bukan karena amalan itu remeh. Namun, karena amal-amal besar yang mereka lakukan telah tercabut dari akar keikhlasan. Amal dan kebaikan mereka hangus gara-gara tidak ditegakkan di atas niat yang ikhlas… Sungguh benar ucapan Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal yang besar justru menjadi kecil juga karena niatnya.”
Marilah kita renungkan! Apa beda takbirnya orang yang ikhlas seratus karat dengan takbirnya orang yang munafik tulen? Apa bedanya? Tidak ada bedanya. Karena ucapan takbir ‘Allahu akbar’ ketika sholat diucapkan siapa pun, entah dia muslim atau munafik. Jadi, masalah ikhlas ini bukan masalah penampilan, tata-cara dan sifat fisik yang bisa ditangkap dengan indera. Ikhlas adalah persoalan hati. Sesuatu yang tertancap dan bergolak di dalam hati seorang insan.
Ikhlas ini harus berjuang mati-matian untuk bisa eksis dan berjaya di pentas pertarungan antara pasukan tauhid dan pasukan kemusyrikan, perang yang dahsyat antara brigade iman dengan gerombolan kekafiran, ikhlas harus menang dan mengatasi keadaan. Banyak musuh yang mengincarnya. Musuh mengetahui bahwa ikhlas itulah yang menjadi rahasia kemenangan dan gerbang keselamatan. Sebagaimana kisah Yusuf ‘alaihis salam yang begitu menyentuh dan menegangkan. Keikhlasan beliau adalah pintu cahaya Allah, kunci hidayah dan kesucian diri. Godaan wanita cantik dan berkedudukan tak berhasil menyeretnya dalam kenistaan.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, ikhlas selalu berada dalam incaran dan ancaman. Musuh mengintai dan terus mengawasi gerak-gerik hati. Sebisa mungkin mereka menargetkan agar hati itu terus terbuai oleh kenikmatan semu dan kebahagiaan palsu yang dibungkus dengan selebung ketenaran dan harumnya popularitas. Bahkan, setan berusaha menanamkan pikiran kepada si manusia bahwa jerih payah memburu popularitas inilah sejatinya cermin dari keikhlasan. Dia ingin memberikan wajah ikhlas kepada kesyirikan. Na’udzu billahi min dzalik.
Berbicara tentang ikhlas pun membutuhkan keikhlasan. Ikhlas dibutuhkan dimana pun dan kapan pun, oleh siapa pun. Oleh sebab itu, wajarlah jika Imam Bukhari rahimahullah menempatkan hadits innamal a’malu bin niyaat; bahwa amal dinilai dengan niatnya di bagian awal kitab Sahihnya. Demikian pula Imam Abdul Ghani al-Maqdisi dalam kitabnya ‘Umdatul Ahkam serta Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin dan al-Arbain an-Nawawiyah. Ini semua menunjukkan kepada kita tentang pentingnya meluruskan niat dan menjaga keikhlasan.
Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat seperti perjuangan untuk mencapai ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Ikhlas itu adalah ‘barang’ yang paling mahal.” Ada juga yang mengatakan, “Ikhlas sesaat adalah kunci keselamatan untuk selama-lamanya.” Ada pula yang menasihatkan, “Wahai jiwaku, ikhlaslah kamu niscaya kamu akan selamat.”
Pada hari kiamat nanti, di padang mahsyar, tatkala matahari didekatkan sejarak satu mil. Ketika itu manusia bermandikan peluh dan terjebak dalam genangan keringatnya masing-masing. Di saat itulah Allah berkenan memberikan naungan Arsy-Nya untuk sebagian hamba pilihan. Hamba-hamba yang menghiasi dirinya dengan rona keikhlasan dan semangat ketulusan. Diantara mereka itu adalah, “Seorang lelaki yang berzikir kepada Allah dalam kesendirian lalu mengalirlah air matanya.” Inilah air mata keikhlasan dan rasa takut kepada Allah. Ada juga “Seorang lelaki yang memberikan sedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” Ini semua adalah cerminan keikhlasan.
Article : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Hadits Tentang Haji (01): Masalah Miqat bagi yang Berhaji
Category : Bahasan Utama, Haji, miqat, umrah
Transcribed : 16 Aug 2014, 20 Syawal 1435 H
Masalah miqat bagi yang
berhaji wajib dipahami. Seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk
panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap.
Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para
ulama. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ
الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ
الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ
، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ
حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk
Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.”
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk
masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati
kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah
haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka
miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga
dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
« يُهِلُّ أَهْلُ
الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ
نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ » “Penduduk Madinah
hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan
penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).” Abdullah menuturkan bahwa
ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no.
130 dan Muslim no. 13). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud
no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, وَمُهَلُّ أَهْلِ
الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ “Penduduk masyriq (dari
arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Tempat Miqat Miqat makaniyah yaitu
tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:
(1) Dzul Hulaifah (sekarang
dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.
(2) Al Juhfah, miqat
penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah). (3) Qarnul Manazil (sekarang
dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed. (4) Yalamlam (sekarang
dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman. (5) Dzatu ‘Irqin (sekarang
dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur
jazirah). miqat_haji_01 Masuk Daerah Miqat Harus
Berihram Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ
أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ “Miqat-miqat tersebut
sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang
lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun
ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang
melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram.
Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar
ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram. Seperti misalnya penduduk
Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul
Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat
penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan. Sebagaimana dibolehkan
pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah
yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah. Melewati Miqat Tanpa
Berihram Kata Syaikh As Sa’di
rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia
harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang
teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh
Umdatil Ahkam, hal. 389). Contoh penduduk Indonesia
yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat
ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia
terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke
miqat. Apakah itu Berlaku Bagi
yang Mau Berhaji dan Umrah Saja? Menurut pendapat yang
lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena
berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat
adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk
berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para
ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan
berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390.
Bagi yang Berada di Dalam
Daerah Miqat dan Berada di Makkah Bagi penduduk Jeddah
misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika
mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka
mulai safar, bisa dari rumah mereka. Syaikh As Sa’di
mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk
umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.”
(Idem). Jika ada yang berkata,
“Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh
akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka
diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak
diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di
tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf
di Arafah.” (Idem). Semoga bermanfaat, hanya
Allah yang memberi taufik. Referensi:
Syarh ‘Umdatil Ahkam,
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama,
tahun 1431 H. Rewritten by :
Rachmat Machmud end Republished by :
Redaction Duta Asri Palem 3
|
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...