Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Nasehat Ulama Untuk Meninggalkan “Qiila wa Qaala” Di Internet

Written By sumatrars on Selasa, 18 Maret 2014 | Maret 18, 2014

Kategori : Nasehat Ulama, Soal dan Jawab

Penanya: wahai Syaikh, Apa nasehat anda bagi para pemuda yang menyibukkan diri dalam “al qiila wal qaal” di internet dan berbantah-bantahan?

Asy Syaikh: menyibukkan apa?

Penanya: menyibukkan diri dalam “al qiila wal qaal” di internet

Asy Syaikh: al qiila wal qaal ?

Penanya: ya

Asy Syaikh: nasehatku agar mereka mempelajari ilmu (agama) dan menyibukkan diri dengan ilmu (agama) sehingga ia mencapai kebaikan dan mengamalkannya, dan ia memberikan manfaat bagi manusia dengan ilmu itu, dan hendaknya ia meninggalkan al qiila wal qool yang tidak memberikan kepada mereka kebaikan, ia hanya memberikan mereka miudharat, ini nasehat saya bagi mereka.

Penanya: dan mereka menyibukkan diri berbantah-bantahan sedangkan mereka bukan ahlinya

Asy Syaikh: selamanya (tidak!), wajib atas mereka untuk memperdalam ilmu agama dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfat dan janganlah mereka menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mereka bukan ahlinya .

Penanya: Jazaakumullahhu khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan).

[Transkrip tanya jawab bersama guru tercinta Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad, ulama muhaddits kota Madinah, hafidzahullah ta'aala, setelah pelajaran mata kuliah kitab Sunan An-Nasaaiy yang disampaikan di Fakultas Syari'ah, Universitas Islam Madinah, Kerajaaan Arab Saudi. Tanggal rekaman: 2 Muharram 1435/ 05 November 2013]

Keterangan:

Makna al qiila wal qaal menurut para ulama:

Al Imam Malik rahimahullah mengatakan: ” qiila wa qal” memperbanyak ucapan dan menyebar berita yang mengkhawatirkan, seperti ucapan seseorang: “si fulan mengatakan (begini)”, “si fulan melakukan (ini)” dan ikut-ikutan dalam perkara yang tidak pantas.

Al Imam An Nawawiy rahimahullah berkata: “qiila wa qaal” adalah masuk campur dalam kabar-berita orang lain dan menghikayatkan sesuatu yang tidak penting dari keadaan-keadaan dan perbuatan mereka. (Syarah Shahih Muslim, pada hadits no. 3236) . Beliau juga berkata : makna “qiila wa qaal” adalah; menceritakan semua yang ia dengarkan, ia berkata: “katanya begini”, “kata si fulan begitu” dari perkara yang ia (sendiri) tidak mengetahui keabsahannya, tidak pula menyangkanya (demikian). Cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta, (tatkala) ia menceritakan semua yang ia dengarkan. (Syarah Riyadhus Shaalihin, Bab no. 41).

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “qiila wa qaal” maksudnya mengutip ucapan dan kebanyakan apa yang diucapkan oleh manusia dan ia banyak berkomentar dengannya. Dan tidak ada tujuannya melainkan membicarakan orang lain, “mereka bilang begini dan katanya begitu”. Apalagi jika perkara ini terkait kehormatan Ahli Ilmu(ulama) dan kehormatan penguasa, maka akan sangat dan sangat dibenci di sisi Allah (Syarah Riyadhus Shalihiin).

Berkata guru kami Asy Syaikh Rabi’ hafidzahullah : “qiila wa qaal” adalah masuk campur dalam kebathilan dan pada perkara yang tidak penting. (Mudzakkiroh Fii Al-Hadits An-Nabawiy, hal. 18).

Dikutip dari Artikel Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Jangan Meminta Kekuasaan

Kategori : Bahasan Utama

Inilah yang dinasehatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada ‘Abdurrahman bin Samurah, “Janganlah engkau meminta kekuasaan.” Apa masalahnya jika meminta kekuasaan atau gila kedudukan seperti yang kita saksikan saat ini pada para caleg?

Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652)

Imam Nawawi membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang mendesak untuk itu.”

Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah.” (Fathul Bari, 13: 124)

Beliau berkata pula, “Siapa saja yang tidak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka ia tidak akan diberi kemudahan untuk menjalankan kepemimpinannya. Permintaan untuk jadi pemimpin (dengan penuh tamak) seperti ini tidak perlu dipenuhi. Namun perlu diketahui bahwa setiap kepemimpinan tentu saja akan mengalami kesulitan. Karenanya jika tidak dapat pertolongan dari Allah, maka sulit menjalani kepemimpinan tersebut.” (Idem)

Al Muhallab berkata, “Meminta kepemimpinan di sini tidak dibolehkan ketika seseorang tidak punya kapabilitas di dalamnya. Termasuk pula tidak dibolehkan jika saat masuk dalam kekuasaan, ia malah terjerumus dalam larangan-larangan agama. Namun siapa saja yang berusaha tawadhu’ (rendah hati), maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Idem, 13: 125)

Ibnu At Tiin mengatakan, “Larangan meminta kekuasaan ini berlaku secara umum. Namun ada kasus tertentu seperti pada kisah Nabi Yusuf yang beliau masih meminta kekuasaan sebagaimana disebut dalam ayat,

اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir).” (QS. Yusuf: 55).

Begitu pula terdapat pada Nabi Sulaiman,

وَهَبْ لِي مُلْكًا

“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shad: 35).

Ibnu At Tiin berkata bahwa larangan meminta kekuasaan seperti itu berlaku untuk selain Nabi. (Idem)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang meminta kekuasaan, maka pertolongan Allah tidak bersamanya. Dalam kepemimpinannya tidak mendapatkan kecukupan (kemudahan) dari Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 104).

Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Muslim.Or.Id.

Referensi:

  • Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

  • Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat tahun 1432 H.

Disalin dari Artikel Blog Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger