Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Takut Lewat Kuburan

Written By sumatrars on Selasa, 14 Agustus 2012 | Agustus 14, 2012

Dampak dari seringnya menonton film-film horor yang secara tidak langsung mengajarkan aqidah-aqidah yang batil, membuat sebagian kaum muslimin takut jika melewati kuburan. Mereka menganggap bahwa kuburan itu tempat keramat, angker, perlu sikap khusus jika melewatinya. Ini semua tidak lepas dari aqidah-aqidah batil yang diajarkan oleh film-film horor juga oleh paham-paham sesat yang beredar, semisal keyakinan bahwa mayat bisa hidup lagi, bahwa orang mati bisa memberikan mudharat, bahwa roh orang mati bergentayangan di dunia, dll.

Takut terhadap kuburan ada 2 macam:

Pertama: takut yang terlarang.
Takut yang terlarang jika lewat kuburan, kita bagi menjadi dua:

1. Khaufus Sirr
Khaufus Sirr adalah rasa takut yang dialami seorang hamba terhadap selain Allah bahwa makhluk tersebut, dengan kuasa dan kehendaknya, dapat menyebabkan bahaya pada si hamba walaupun tanpa interaksi (Taisiirul ‘Aziz, 1/23). Syaikh Shalih Fauzan menjelaskan, “Khaufus sirr adalah takut terhadap selain Allah dan meyakini mereka bisa menimpakan sesuatu yang tidak disukainya. Baik takut terhadap berhala, thaghut, orang mati, makhluk gaib berupa jin maupun manusia yang tidak ada di hadapan. Sebagaimana yang dikisahkan Allah tentang kaum Nabi Huud, mereka berkata:

إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ

Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Hud menjawab: “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan Dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku‘ (QS. Huud: 54-55)” (Al Irsyad Ilaa Shahihil I’tiqaad, 1/74)

Lebih jelas lagi, Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah menuturkan: “Khaufus sirr itu seseorang takut tertimpa keburukan dari selain Allah, tanpa sebab”1.

Khaufus sirr merupakan ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Syaikh Ibnu Baaz berkata: “Khaufus sirr hanya dikhususkan kepada Allah semata karena sesungguhnya kepada-Nya lah manusia patut karena Allah lah memiliki kuasa menimpakan sesuatu secara sirr tanpa bisa dirasa oleh inderawi” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 1/51)

Syaikh Sulaiman At Tamimi berkata, “khauf jenis ini dalam realitanya dialami oleh para penyembah kubur. Mereka takut kepada orang-orang shalih (yang sudah mati) atau bahkan kepada para thaghut sebagaimana takutnya mereka kepada Allah” (Taisiirul ‘Aziz, 1/417). Sebagaimana yang diyakini sebagian orang, mereka takut penghuni kubur ‘marah’ sehingga memberikan berbagai sesaji, atau karena takutnya bila melewati kubur mereka membungkuk sambil permisi.

Oleh karena itu, jika seseorang takut lewat kuburan dengan disertai keyakinan bahwa mayat-mayat di dalam kubur atau jin-jin yang ada disana dapat menyebabkan keburukan secara seketika tanpa sebab sebagaimana Allah yang menakdirkan keburukan pada makhluknya, maka yang demikian tidak diperbolehkan dan dikhawatirkan terjerumus dalam syirik akbar.

2. Takut yang menghalangi ketaatan
Takut yang membuat seseorang meninggalkan kewajibannya atau meninggalkan sebuah ketaatan, atau membuatnya melakukan sesuatu hal yang haram. Dalam kitab Al Irsyad (1/75) Syaikh Shalih Fauzan menjelaskan: “Takut jenis ini haram hukumnya, bahkan termasuk syirik kecil. Takut jenis inilah yang disinggung oleh firman Allah Ta’ala :

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَاناً وَقَالُوا

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”” (QS. Al Imran: 173)

Takut jenis ini pulalah yang disinggung dalam hadits riwayat Ibnu Maajah dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

لا يحقر أحدكم نفسه. قالوا: يا رسول الله! كيف يحقر أحدنا نفسه؟ ، قال: يرى أمرًا لله عليه فيه مقال، ثم لا يقول فيه، فيقول الله – عز وجل – له يوم القيامة: ما منعك أن تقول في كذا وكذا؟ فيقول: خشية الناس. فيقول الله – عز وجل -: فإياي كنت أحق أن تخشى

Janganlah seseorang itu menghinakan dirinya sendiri”. Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah bagaimana mungkin seseorang menghinakan dirinya sendiri?”. Beliau bersabda: “Ia melihat sesuatu dalam urusan agama Allah yang harus disampaikan, namun ia tidak menyampaikannya. Maka Allah akan bertanya kepadanya kelak di hari kiamat: ‘Mengapa kamu tidak berkata demikian dan demikian?’. Ia menjawab, saya takut kepada orang-orang. Maka Allah berkata kepadanya: ‘Kalo begitu sungguh Aku lebih layak untuk ditakuti’” (HR. Ibnu Maajah no. 800, namun hadits ini dhaif karena adanya inqitha’ sebagaimana dijelaskan Syaikh Muqbil dalam Ahadits Mu’allah 151)

Maka jika seseorang takut melewati kuburan hingga menghalanginya menunaikan kewajiban atau malah membuatnya melakukan hal yang haram, ini terlarang. Contohnya, takut lewat kuburan hingga enggan shalat jama’ah di masjid (bagi laki-laki).

Kedua: Takut yang boleh.
Takut yang dibolehkan jika lewat kuburan, kita bagi menjadi dua:

1. Takut karena ingat kematian dan takut terhadap adzab kubur
Yaitu teringat akan kematian dan ngerinya adzab kubur. Adzab kubur memang sangat mengerikan, jika manusia yang hidup bisa mendengar adzab kubur, niscaya mereka enggan untuk menguburkan saudaranya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُسْمِعَكُمْ من عَذَابَ الْقَبْرِ ما أسمعني

Seandainya kalian tidak akan saling menguburkan, tentulah aku akan berdoa kepada Allah agar memperdengarkan kepada kalian siksa kubur yang aku dengar.” (HR. Muslim 7393, Ahmad 12026, dari sahabat Anas bin Malik radhilallahu’anhu)”

Takut terhadap kengerian adzab kubur sampai membuat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sering berdoa agar terhindar dari adzab kubur.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ عَلَىَّ عَجُوزَانِ مِنْ عُجُزِ يَهُودِ الْمَدِينَةِ فَقَالَتَا لِى إِنَّ أَهْلَ الْقُبُورِ يُعَذَّبُونَ فِى قُبُورِهِمْ ، فَكَذَّبْتُهُمَا ، وَلَمْ أُنْعِمْ أَنْ أُصَدِّقَهُمَا ، فَخَرَجَتَا وَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَجُوزَيْنِ وَذَكَرْتُ لَهُ ، فَقَالَ « صَدَقَتَا ، إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ كُلُّهَا » . فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِى صَلاَةٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, ia berkata: Suatu ketika ada dua orang tua dari kalangan Yahudi di Madinah datang kepadaku. Mereka berdua berkata kepadaku bahwa orang yang sudah mati diadzab di dalam kubur mereka. Aku pun mengingkarinya dan tidak mempercayainya. Kemudian mereka berdua keluar. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam datang menemuiku. Maka aku pun menceritakan apa yang dikatakan dua orang Yahudi tadi kepada beliau. Beliau lalu bersabda: ‘Mereka berdua benar, orang yang sudah mati akan diadzab dan semua binatang ternak dapat mendengar suara adzab tersebut’. Dan aku pun melihat beliau senantiasa berlindung dari adzab kubur setiap selesai shalat” (HR. Bukhari no. 6005)

Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita untuk berziarah kubur, agar kita ingat dan ingat akan kematian serta takut akan binasa di akhirat kelak. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian
(HR. Muslim no.108, 2/671)

dalam riwayat lain :
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
takut jenis ini justru akan melembutkan hati dan menambah ketaqwaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Orang yang teringat kematian dan takut akan adzab kubur, akan takut kepada Allah. Sehingga ia menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan bersegera melakukan kebaikan agar selamat dari adzab kubur. Oleh karena itu Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu pun takut jika lewat kuburan, yaitu takut akan kematian dan adzab kubur. Beliau berkata:

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « إن القبر أول منازل الآخرة فمن نجا منه فما بعده أيسر منه ، ومن لم ينج منه فما بعده أشد منه » قال : فقال عثمان رضي الله عنه : ما رأيت منظرا قط إلا والقبر أفظع منه

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Alam kubur adalah awal perjalanan akhirat, barang siapa yang berhasil di alam kubur, maka setelahnya lebih mudah. Barang siapa yang tidak berhasil, maka setelahnya lebih berat’
Utsman Radhiallahu’anhu berkata, ‘Aku tidak pernah memandang sesuatu yang lebih mengerikan dari kuburan’” (HR. Tirmidzi 2308, ia berkata: “Hasan Gharib”, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Futuhat Rabbaniyyah, 4/192).

Takut jenis ini merupakan termasuk ibadah yang agung, karena pada hakikatnya adalah takut kepada Allah, bukan kepada kuburannya. Oleh karena itu orang yang mengalami takut jenis tidak menghalanginya untuk berjalan melewati kuburan, hanya saja ketika melewatinya ia takut akan adzab kubur dan takut terhadap Allah serta ingat akan akhirat.

2. Takut yang manusiawi (khauf thabi’i)
Khauf Thabi’i atau rasa takut yang manusiawi tidak terlarang dalam Islam. Bahkan ajaran Islam melarang umatnya menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan bahaya. Maka takut terhadap hal-hal yang dapat membahayakan tentu tidak terlarang. Yaitu takut terhadap hal-hal yang jelas membahayakan semisal takut terhadap musuh, takut terhadap binatang buas, takut tertabrak mobil, dll. Syaikh Sulaiman At Tamimi mengatakan: “Khauf Thabi’i semisal takut terhadap musuh, binatang buas, takut, tertimpa reruntuhan, takut tenggelam dan lainnya. Ini tidak tercela” (Taisiirul ‘Aziz, 1/418)

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa:
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفاً يَتَرَقَّبُ

Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir” (Al Qashash: 21)

Juga dalam ayat yang lain:
قَالَ رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْساً فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ

Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku” (Al Qashash: 33)

Namun Allah tidak mencela rasa takut Nabi Musa karena hal itu merupakan rasa takut yang manusiawi.
Dengan demikian, jika seseorang takut lewat kuburan karena adanya hal-hal yang jelas membahayakan semisal karena tempatnya sepi dan sering terjadi perampokan di sana, atau sering dilewati binatang buas, atau terlalu gelap hingga khawatir terjatuh, dll. Ini semua takut yang dibolehkan.

Jika Karena Takut Jin?
Setelah kita bahas macam-macam takut lewat kuburan yang dibolehkan dan dilarang, ada satu pertanyaan. Bagaimana jika seseorang meyakini orang mati di dalam kubur tidak akan bisa hidup lagi, tidak bisa memberi manfaat ataupun bahaya, namun ia tetap takut lewat kuburan karena takut terhadap jin. Ini termasuk takut yang boleh atau terlarang?

Syaikh Shalih Alu Syaikh menjawab: “Ini perlu dirinci. Khauf thabi’i (takut yang manusiawi) itu boleh saja. Namun jika seseorang itu takut dengan khaufus sirr, yaitu ia takut jin menimpakan keburukan padanya tanpa sebab dengan kuasa mereka, misalnya takut bahwa jin itu dapat mematikannya seketika, serupa seperti Allah Jalla Wa ‘Alaa menakdirkan kematian atas dirinya, ini merupakan kesyirikan.

Adapun khauf thabi’i terhadap suatu hal yang membahayakan, ini bukan kesyirikan. Namun khauf thabi’i itu memiliki sebab-sebab yang zhahir. Khaufus sirr jika sesorang takut padahal tidak ada apa-apa. Maka takut terhadap roh jin tanpa adanya sebab yang zhahir menunjukkan akan hal itu. Oleh karena itu, hal ini (takut terhadap jin) tidak ragu lagi ia termasuk syirik asghar (syirik kecil) dan terkadang termasuk syirik akbar (syirik besar) tergantung kondisinya”2

Semoga bermanfaat.

1Dinukil dari http://ahlalhdeeth.cc/vb/showthread.php?p=865639
2idem

Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Uleenuha-Koran Tapi Rasa Magazine
Syariat agama Islam adalah syariat yang syarat akan kemuliaan. Kemuliaan tersebut tergambarkan dengan kesempurnaan aturan yang telah Alloh ta’ala ajarkan melalui utusan-Nya yang terbaik,  Rosul Muhammad Shalallohu ‘alaihi wasallam. Tak terkecuali kesempurnaan yang terlihat pada penyajian Islam sebagai solusi dalam segala lini kehidupan manusia. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an Surat Al Ma’idah ayat 3, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan Ku-cukupkan atasmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi agamamu”.

Kesempurnaan Islam telah merubah gelapnya peradaban menjadi terang benderang. Sehingga keotentikan ajaran ini wajib dipahami oleh setiap muslim dan wajib pula untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sehingga dapat mengangkat kembali peradaban. Dan merupakan sebuah kelayakan bila Islam dijadikan jawaban dari segala macam problematika zaman.

Dalam detik zaman yang berjarak, kita dapati bahwa penggalan waktu yang tengah dihadapi adalah babak ‘akhir zaman’. Yang pula, telah dikabarkan akan banyaknya keburukan, cobaan, musibah, dan fitnah yang ditimpakan kepada  setiap manusia tak terkecuali diri setiap kaum muslimin baik itu pria, wanita, orang tua, anak anak dan tak luput pula para pemuda.

Kita ketahui bersama bahwa peran pemuda adalah sebagai agent of visioner. Kontribusi pemuda sangatlah berarti dalam membangun kejayaan. Lihatlah pemuda yang juga menjadi sahabat membanjiri tinta tinta keemasan pada lembar sejarah peradaban. Adakah keraguan dalam diri kita akan keutamaan Ali Ibnu Abi Tholib, Khoild Ibnu Walid, dan Usamah Ibnu Zaid? Ya, Merekalah para pemuda yang luar biasa. Tak cukup kata untuk meyakinkan kita bahwa pemuda memang tongkat pergerakan.

Namun pemuda sangatlah rentan sekali tertimpa fitnah. Pengrusakan moral, gaya berfikir dan orientasi hidup menjadi ancaman yang dapat melunturkan fungsi pemuda sebagai penerus peradaban. Diantara kerusakan itu kita temui adanya semboyan yang familiar ditengah pemuda saat ini “muda foya foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Sebagian pemuda menganggap bahwa periode ketaatan beribadah adalah ketika masa tua. Jika para pemuda sadar, bagaimana mungkin waktu yang digunakan untuk foya foya tanpa amal sholeh akan dapat menghantarkannya masuk surga. Sungguh hal ini adalah hal yang mustahil.  Masa muda adalah masa keemasan sebuah individu membangun karakter diri. Sebegitu pentingnya masa ini, sehingga nanti ketika di hari pembangkitan tidak akan melangkah kaki kita hingga ditanyai  4 perkara yang diantaranya adalah “untuk apakah  masa muda digunakan?”.

Forum Kajian Islam Mahasiswa (FKIM) merasa tergerak untuk menyebarkan pemahaman yang benar tentang bagaimana sikap yang benar yang harus diambil oleh para pemuda untuk menyikapi masa mudanya. FKIM merasa tergerak untuk menerbitkan sebuah media mahasiswa yang nantinya akan dibagikan secara gratis ketika penerimaan mahasiswa baru angkatan 2012/2013. Di dalam media ini, akan ada tema tema menarik yang akan menyinggung seputar masalah kepemudaan, motivasi menuntut ilmu dan topik terhangat dalam kepemudaan yang tentunya dikemas dengan tampilan yang menarik dan bahasa yang mudah untuk dibaca, yang mana nantinya media ini akan dibagikan secara gratis ke beberapa universitas di Yogyakarta pada saat mahasiswa baru sedang melaksanakan OSPEK.

Dengan diterbitkannya media ini kami berharap bisa membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat bersandar dan berserah diri.

Untuk melihat proposal lengkap, dapat mendownload pada link berikut

Proposal Sponsorship Koran Uleenuha
Bagi donatur yang ingin memberikan bantuan dalam kegiatan dakwah, bisa ditransfer ke nomor
Bank Syariah Mandiri 7022602785 Atas nama Romy Raditya Aji
Donatur yang telah menyalurkan bantuan dimohon memberikan sms konfirmasi ke no. 085728167568 (Wahyu Dwi Saputra)
Setelah sebelumnya saya sharing tentang 5 Aplikasi Android Untuk Menyambut Bulan Ramadhan 2012, pada kesempatan kali ini saya akan berbagi informasi tentang aplikasi di iOS yang dapat Anda install untuk mendukung ibadah kita kepada Allah di bulan suci ini.

Nah, berikut ini 7 aplikasi yang bisa diinstall di iPhone, iPod Touch, dan iPad yang dapat menemani Anda di bulan yang penuh berkah ini:

1. Quran Majeed
Aplikasi al-Quran di iPhone yang tampilannya bisa diperbesar kecil dengan cara pinch zoom dengan kualitas yang high quality. Aplikasi ini sudah pernah saya direview di artikel Quran Majeed – Aplikasi al-Qur’an Untuk iPhone, iPod Touch, dan iPad yang Ciamik


2. iAzkar

iAzkar adalah aplikasi iPhone yang menampilkan Doa dan Dzikir sehari-hari seperti dzikir pagi petang, dzikir setelah sholat, keutamaan dzikir. Tampilannya yang menawan dengan disertai audio pembacaan setiap doa,



3. MuslimPro (Ramadan Edition)
Saya juga pernah mereview ini pada artikel Muslim Pro – Aplikasi iPhone/iPod Touch Pengingat Sholat Gratis. Namun ada sedikit perbedaan pada versi ini, karena ini adalah edisi/versi spesial untuk bulan Ramadhan, maka UI (User Interface) alias antarmukanya diubah total dari versi sebelumnya.

4. Hisn al-Muslim
Perbedaan Hisn al-Muslim dan iAzkar di atas adalah kalau iAzkar hanya menampilkan beberapa dzikir dan yang diutamakan adalah dzikir pagi petang, sedangkan Hisn al-Muslim menampilkan seluruh doa dan dzikir yang diambil dari kitab Hisnul Muslim karya Syaikh Wahf al-Qahthaniy.



5. Resala Ramadan
Selain untuk Android, aplikasi Resala Ramadan tersedia juga pada iOS, karena memang pada awalnya, aplikasi ini dibuat berbasis iOS oleh tim Yufid Yogyakarta. Aplikasi ini mendukung 3 bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris. Menurut saya, pada versi iOS ini, Resala Ramadan lebih bagus tampilannya dari pada versi Androidnya.

6. Ramadan Times
Jika Anda ingin ada yang mengingatkan ketika telah masuk waktu sahur dan berbuka, aplikasi ini cocok untuk Anda gunakan. Aplikasi walaupun sederhana mungkin sangat bermanfaat untuk Anda, dengan tampilan yang inovatif, serta mendukung beberapa metode kalkulasi perhitungan waktu sholat, serta sudah support Retina Display. Silakan baca reviewnya pada artikel Ramadan Time – Aplikasi Ramadhan Untuk iPod Touch, iPhone, dan Ipad.


7. Resala Eid
Aplikasi Islami terakhir yang menjadi pilihan Anda untuk diinstal pada iDevice Anda adalah Resala Eid yang juga dibuat oleh Tim Yufid Yogyakarta. Aplikasi ini menampilkan artikel seputar topik 2 Hari Raya umat Islam yaitu Hari Raya Idul Fithri dan Idul Ad-ha. Saya juga pernah mereview aplikasi ini pada artikel Resala Eid – Aplikasi Tuntunan Hari Raya dalam Tiga Bahasa Untuk iPhone.


29 Sya’ban 1433 H, Bintaro, Indonesia.

Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tafsir Surat Al Baqarah 185

Tafsir Surat Al Baqarah 185

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS.  Al Baqarah: 185)

شَهْرُ رَمَضَانَ
Bulan Ramadan”
Imam Ath Thabari menjelaskan, “الشهر /asy syahr/ (bulan) dikatakan oleh sebagian ulama, berasal dari kata الشهرة /asy-syuhrah/ artinya dikenal banyak orang. Jika dikatakan قد شَهر فلانٌ سَيْفه /qad syahara fulanun saifahu/ artinya ‘fulan telah mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengarahkannya kepada orang yang ingin diserang’. Jika dikatakan يشهرُه شهرًا /yasyharuhu syahran/ atau شَهر الشهر /syahira syahran/ artinya hilal telah nampak. Jika dikatakan أشهرْنا نحن /asy-harna nahnu/ artinya kita telah memasuki suatu bulan”.

Beliau melanjutkan, “Sedangkan رمضان /ramadhan/ sebagian ahli balaghah arab menyatakan bahwa dinamakan demikian karena begitu menyengat panasnya di bulan itu, hingga bayi pun merasa kepanasan” (Tafsir Ath Thabari, 3/444)

Sebagian ulama mengatakan bahwa Ramadhan adalah salah satu nama Allah, dan mereka berpendapat tidak boleh menyebut Ramadhan tanpa didahului ‘syahru‘. Pendapat ini didasari oleh hadits:

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’” (HR. Al Baihaqi 4/201).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Dengan demikian Ramadhan bukanlah nama Allah dan boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an

Ayat ini adalah dalil bahwa Al Qur’an pertama kali diturunkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana ayat lain:

إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al Qadr: 1)

Juga firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad Dukhan: 3)

Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501)

Bahkan selain Al Qur’an, Ramadhan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari ke malam ke 7 bulan Ramadhan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadhan. Sedangkan Al Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadhan” (dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1575)

Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu :

أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَيئًا أنزله منه، حتى جمعه
“Al Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath Thabari, no. 2818)

Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu juga berkata:

أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه
“Allah menurunkan Al Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath Thabari, no. 2816)

هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan بَيِّنَاتٍ /bayyinaat/ artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502)

Ayat ini juga dalil bahwa Al Qur’an adalah landasar hukum Islam dan ia diturunkan kepada semua manusia, mencakup muslim ataupun bukan, sebagaimana Islam. Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata: “Al Qur’an adalah landasan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus bersamanya kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al Furqaan: 1) ” (Ushul Fiit Tafsir, 1/7)

Oleh karena itu, orang yang sudah mendengar Islam namun tidak menerimanya ia tidak bisa berkilah di hari kiamat kelak. Karena Allah telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk kebenaran dan nadziir (peringatan). Al Jashash berkata: ‘Ayat ini (Al Baqarah 185) adalah bukti akan kebatilan madzhab mujabbirah yang berpandangan bahwa Allah tidak memberikan petunjuk pada orang kafir. Karena dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi semua mukallaf‘ (Ahkamul Qur’an, 1/222)

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Dalam Tafsir Jalalain (1/38) dijelaskan bahwa makna شَهِدَ /syahida/ di sini adalah حَضَرَ /hadhara/ artinya tidak sedang bersafar. Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ adalah melihat istihlal (munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang muqim (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat (Tafsir Ibni Katsir, 1/503). الشَّهْرَ /asy syahra/ di sini merupakan zharf zaman atau keterangan waktu, sehingga yang dimaksud adalah orang yang tidak bersafar dan sehat ketika bulan Ramadhan. Lalu di sini digunakan kata perintah فَلْيَصُمْ /falyashum/ dan kaidah fiqhiyyah mengatakan bahwa ‘hukum asal dari perintah adalah wajib‘. Sehingga ayat ini adalah dalil wajibnya berpuasa bagi orang yang tidak sedang bersafar dan sehat.

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”

Jika lafazh sebelumnya menjelaskan hukum puasa bagi yang tidak bersafar dan dalam kondisi sehat, maka lafazh ini menjelaskan tentang hukum puasa bagi orang yang bersafar atau sakit. Ibnu Katsir menjelaskan, “maksudnya barangsiapa yang menderita sakit hingga membahayakan dirinya jika puasa, atau minimal bisa memberikan gangguan, atau yang sedang bersafar maka mereka boleh tidak berpuasa. Jika mereka tidak berpuasa, mereka wajib menggantinya di hari-hari yang lain” (Tafsir Ibni Katsir, 1/503).

Orang yang sakit, tidak lepas dari tiga keadaan:
  • Sakitnya ringan dan puasa tidak memberikan banyak pengaruh. Maka haram hukumnya meninggalkan puasa.
  • Sakitnya tidak berat, namun dengan berpuasa akan memberikan kesulitan atau kesusahan. Maka makruh hukumnya berpuasa, dan dianjurkan untuk tidak berpuasa.
  • Sakitnya berat, akan membahayakan dirinya jika puasa. Maka haram hukumnya berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/341)
Safar, umumnya dipenuhi kesusahan dan kelelahan, terutama di masa itu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ
Safar adalah sepotong adzab” (HR. Bukhari 1804, Muslim 1927)

Oleh karena itu Ar Rahman memberikan kemudahan kepada hambanya yang bersabar untuk tidak berpuasa. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah musafir lebih utama berpuasa atau tidak? Pendapat yang kuat, hukumnya dipandang menurut keadaannya:
  • Jika seorang musafir berpuasa atau tidak, tidak jauh berbeda keadaannya. Maka lebih utama berpuasa, walaupun tetap boleh tidak berpuasa. Karena dahulu sebagian sahabat ada yang berpuasa ketika safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau tidak melarangnya. Selain itu dengan berpuasa di bulan Ramadhan, berarti lebih cepat menunaikan kewajiban dari pada ditunda di luar Ramadhan. Selain itu dapat menjalankan puasa bersama banyak orang, dari pada di luar Ramadhan.
  • Jika puasa dimungkinkan memberikan kesulitan pada dirinya, maka dianjurkan tidak berpuasa
  • Jika puasa dipastikan memberikan kesulitan besar pada dirinya, maka haram berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/344)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

Bolehnya musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa adalah bukti bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam syariat-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya… semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” (Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106)

Semua hukum syariat baik hal-hal yang wajib, sunnah, makruh ataupun haram pasti mudah, karena tidak melebihi batas kemampuan manusia. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)

Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam melaksanakannya, maka berlaku kaidah:
المشقة تجلب التيسير
Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50)

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya

Lafazh ini masih membahas tentang kewajiban qadha bagi orang sakit dan musafir, yaitu mereka diwajibkan mengganti di hari lain sampai sempurna jumlah hari puasanya menjadi 1 bulan. Ath Thabari membawakan riwayat dari Ad Dhahak bahwa beliau mengatakan: “(maksud الْعِدَّةَ /al ‘iddah/ bilangan di sini) adalah bilangan hari ketika musafir dan orang sakit tidak berpuasa” (Tafsir Ath Thabari, 3/477)

Syaikh As Sa’di memiliki penjelasan bagus: “Wallahu’alam, maksud ayat ini, yaitu dimungkinkan muncul suatu keraguan bahwa (dengan adanya kebolehan berbuka bagi musafir dan orang sakit) tujuan dari puasa hanya didapatkan oleh sebagian orang. Maka ayat ini menjawab keraguan tersebut, yaitu mereka diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan harinya” (Tafsir As Sa’di, 1/86)

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”

Makna ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah “hendaknya kalian berdzikir kepada Allah setelah menyelesaikan ibadah kalian”. Beliau juga menjelaskan, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang disyari’atkannya takbiran ketika hendak shalat idul fitri” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al Kuwatiyyah (13/213) dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya takbiran ketika Idul Fitri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan Idul Fitri karena terdapat athaf terhadap firman Allah وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ Adapun lafadz yang ini maksudnya adalah menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan”.

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
supaya kamu bersyukur
Ibnu Katsir menjelaskan maknanya, “Yaitu jika anda telah menegakkan perintah Allah dengan menunaikan ketaataan-ketaatan dan kewajiban-kewajiban, meninggalkan yang haram, menjaga batasan-batasan agama, maka semoga anda termasuk dalam golongan orang yang bersyukur” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).

Allah Ta’ala telah memberi manusia nikmat yang berlimpah, yang tidak bisa kita hitung banyaknya. Bahkan orang yang merasa paling menderita di dunia pun tidak akan bisa menghitung nikmat Allah kepadanya. Lalu, salah satu bentuk dan bukti rasa syukur seseorang atas nikmat-nikmat tersebut, adalah dengan menjalankan berbagai ketaatan terutama hal-hal yang diwajibkan baginya. Sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa shalat malam hingga kakinya bengkak. ‘Aisyah pun lalu bertanya, mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab: ‘Bukankah aku akan bahagia jika menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?’” (HR. Bukhari 4837, Muslim 2820).

Wallahu’alam bis shawab

Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Stop Makan Ketika Adzan Shubuh Berkumandang

Stop Makan Ketika Adzan Shubuh Berkumandang

Sebagian ada yang meyakini bahwa masih diperkenankan untuk makan atau minum meskipun telah diteriakkan adzan. Dalil yang digunakan adalah beberapa hadits yang dianggap mereka shahih. Namun ada dalil shorih (tegas) dari Al Qur’an yang masih membolehkan makan hingga masuk fajar shodiq. Artinya, setelah fajar shodiq tidak diperkenankan untuk makan atau minum sama sekali. Bagaimana mengkompromikan kedua macam dalil yang ada? Lalu apakah dalil yang membicarakan hal tersebut shahih?

Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud no. 2350).

Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.

Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.

Hukum status hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 433/ 510), Abu Daud (2350), Ad Daruquthni dalam sunannya (2/ 165), Al Hakim dalam Mustadrok (1/ 203) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur:
Hammad  bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.

Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya tsiqoh (terpercaya) selain Muhammad bin ‘Amr. Dia adalah shoduq (jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri mengatakan bahwa jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi Abu Hatim tidak menjelaskan sebab kenapa disebutdho’if.

Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:

1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
Dan muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin Salamah.

Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang disebutkan sebelumnya dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata, “Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits ‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di antara hadits yang dho’if.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/  423): telah berkata pada kami Ghossan (Ibnu Ar Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin Salamah.

Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam keshahihan hadits.

Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah).

Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218), di mana beliau berkata:

وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ مَحْمُولٌ عِنْدَ عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ -صلى الله عليه وسلم- عَلِمَ أَنَّ الْمُنَادِىَ كَانَ يُنَادِى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَوْلُ الرَّاوِى وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خَبَرًا مُنْقَطِعًا مِمَّنْ دُونَ أَبِى هُرَيْرَةَ أَوْ يَكُونَ خَبَرًا عَنِ الأَذَانِ الثَّانِى وَقَوْلُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- :« إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ». خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا

“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga sinkronlah antara hadits-hadits yang ada.” (Sunan Al Baihaqi, 4/ 218).

Hadits Shahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ »

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Bilal biasanya mengumandangkan adzan di waktu malam (belum terbit fajar shubuh). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).

Kata “حَتَّى”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,

إذا طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه فان لفظه صح صومه فان ابتلعه افطر

“Jika fajar terbit dan di dalam mulut terdapat makanan, maka muntahkanlah. Jika makanan tersebut dimuntahkan, maka puasanya sah. Jika terus ditelan, batallah puasanya. ” (Al Majmu’, 6: 308).

Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,

أن من طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه ويتم صومه فان ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه وهذا لا خلاف فيه ودليله حديث ابن عمر وعائشة رضي الله عنهم أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ” ان بلالا يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم ” رواه البخاري ومسلم وفى الصحيح أحاديث بمعناه

“Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada di mulutnya, maka muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut ikut tertelan setelah ia mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat beberapa hadits yang semakna dengannya.”

Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).

Atsar Sahabat yang Menuai Kritikan

أخرجه أحمد 3/348 من طريق ابن لهيعة، عن أبي الزبير قال : سألت جابراً عن الرجل يريد الصيام ، والإناء على يده ليشرب منه ، فيسمع النداء ؟ قال جابر : كنا نتحدث أن النبي –صلى الله عليه وسلم- قال : ليشرب ” .

Ada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/ 348) dari jalur Ibnu Luhai’ah dari Abu Az Zubair bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Jabir mengenai seseorang yang ingin puasa sedangkan bejana masih ada di tangannya untuk dia minum lalu ia mendengar adzan. Maka Jabir pun berkata: Pernah kami membicarakan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, “Minumlah.”
Hadits ini dho’if karena alasan Ibnu Luhai’ah.

Begitu pula riwayat lain yang menuai kritikan,

أخرجه ابن جرير 2/175 من طريق الحسين بن واقد، عن أبي غالب، عن أبي أمامة قال : أقيمت الصلاة والإناء في يد عمر ،قال : أشربها يا رسول الله ؟ قال : نعم ، فشربها “.

Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir (2/ 175) dari jalur Al Husain bin Waqid dari Abu Gholib dari Abu Umamah, ia berkata, “Iqomah shalat telah dikumandangkan dan bejana masih berada di tangan ‘Umar. Lantas ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku meminumnya?” “Iya, minumlah”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad Daruquthni dan Al Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu Gholib –sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban. Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih (baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170).

Ibnu Hajar telah meringkas mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib (664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur), namun kadang keliru.”

Kesimpulan
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Dan terbitnya fajar shubuh diikuti dengan adzan shubuh dengan sepakat ulama sebagaimana kata Ibnu Taimiyah dalam Ikhtiyarot. Hadits tersebut menyelisihi hadits,

كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).

Adzan Ibnu Ummi Maktum adalah akhir dari bolehnya makan dan minum, setelah itu tidak diperkenankan lagi. Oleh karenanya, jumhur (mayoritas) ulama tidak mengamalkan hadits yang membolehkan makan dan minum setelah terdengar adzan shubuh.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)

Namun sayang seribu sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak mengetahui penjelasan ini dan malah seringnya meneruskan makan dan minum ketika telah terdengar adzan karena menganggap demikianlah yang dimaksud dalam hadits.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Sumber tulisan:
  1. Fathul ‘Aziz, Syaikh ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim, hal. 107-109.
  2. Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202.
  3. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=3188

@ APO Bengkel, Jayapura, Papua, 3 Ramadhan 1433 H

Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Ramadhan-22: Tidur Saat Puasa Adalah Ibadah?
Banyak orang yang ketika menjalankan ibadah puasa mereka menghabiskan waktu dengan tidur, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini dan apakah benar tidur ketika puasa itu adalah ibadah?
Dijawab oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Jawabannya Klik Player:

Download

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hukum Makan Ketika Adzan Shubuh

Kategori : Bahasan Utama

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”[1]

Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?

Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.

Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.

Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.[2]

Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.

Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.

Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)

Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر

Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh. Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]

Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]

Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama  untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.

Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.

ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا

Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.

ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر

Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”

وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر

Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]

Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,

هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن

“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]

Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”

Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”[8]

Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.

Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1431 H (30/08/2010)

Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Nasehat Dalam Menyikapi Para Da’i Sufiyyah

Nasehat Dalam Menyikapi Para Da’i Sufiyyah

Penanya dari Al Jazair berkata, masjid-masjid di daerah kami banyak terdapat imam-imam sufiyah yang berpandangan bahwa salafiyah itu sesat. Mereka berpegang teguh pada syaikh-syaikh sufiyah di sini, sampai-sampai mereka takut terhadap syaikh-syaikhnya sebagaimana takutnya mereka kepada Allah, bahkan lebih. Mereka tidak menerima dalil, sebagaimana syaikh-syaikh mereka juga begitu. Bagaimana bermuamalah dengan mereka dan bagaimana menasehati mereka?

Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam* hafizhahullah menjawab:
Mereka ini umumnya merupakan pembesarnya para penentang dakwah sunnah. Namun jangan tinggalkan mereka secara total. Sampaikan nasehatmu, lalu kepada Allah lah kita bergantung.

Namun, sikap yang diharapkan dari ahlussunnah, hendaknya mereka menyebarkan dakwah sunnah dengan hikmah… dengan hikmah… Karena dakwah ahlussunnah itu ketika orang memahaminya, ia akan merasa puas. Karena ia membuat dada lapang, hati tenang, mensucikan jiwa, menerangkan akal, memberikan keyakinan yang kokoh bagi orang yang menerimanya, bihamdillah. Tidak akan tersisa pada dirinya keraguan, syubhat, kebingungan terhadap ajaran-ajaran dakwah yang lain. Bahkan sebagaimana kami katakan, ia akan yakin dengan keyakinan yang kokoh. Jika orang mengenal dakwah ahlussunnah sedikit-demi-sedikit, ia akan meninggalkan tasawuf, rafidhah, hizbiyah, sebagaimana yang telah banyak terjadi, bihamdillah, di berbagai tempat yang tersebar dakwah ahlussunnah.

Ketahuilah aku mengajak kepada ikhwah ahlussunnah untuk bersemangat membangun masjid-masjid sunnah. Yaitu untuk menegakkan dakwah, menegakkan sunnah, mendidik umat dan menghidupkan perkara-perkara yang selayaknya dihidupkan. Masjid yang dibangun oleh ahlussunnah dan dikelola oleh ahlussunnah adalah sebab terbesar dalam penyebaran sunnah, bi idznillah rabbil ‘alamin. Tentunya dengan menerapkan sikap hikmah dan sabar terhadap para da’i sufiyah atau selain mereka. Juga sebisa mungkin bersikap lemah-lembut terhadap masyarakat, sehingga mereka sedikit-demi-sedikit mendekati sunnah.

Kita memohon kepada Allah semoga Ia memudahkan kepada kita jalan hidayah dan menghindarkan kita dari jalan kesesatan. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

[Ditranskrip dari : http://www.olamayemen.net/Default_ar.aspx?ID=6763]

* Beliau adalah salah seorang ulama dari negeri Yaman, murid senior dari Asy Syaikh Al Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah

Penerjemah: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Dihembuskan Berbagai Keraguan Di Bulan Ramadhan

Kategori : Bahasan Utama

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh kebaikan, keberkahan, dan penuh ibadah dengan berbagai macam amal keta’atan. Berbagai peristiwa penting dalam sejarah islam terjadi di bulan ini.
  1. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)..” (QS. Al-Baqarah: 185)
  2. Di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu malam lailatul qadr. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Lailatul al-qadr itu lebih baik daripada seribu bulan” (QS. Al-Qadr: 3)
  3. Allah mewajibkan puasa di bulan ramadhan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan shalat tarawih di bulan ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa mengerjakan qiyam ramadhan atas dasar iman dan mengarapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)
  4. Di dalamnya terjadi perang yang besar, yaitu perang badar pada hari pembeda dimana Allah membedakan antara yang haq dan yang batil.
  5. Di dalamnya terjadi pembebasan yang agung, yaitu pembebasan kota Mekkah yang mulia (Fathul Makkah).
Karena itu, kita harus memahami kedudukan bulan yang agung ini dan menyibukkan diri dengan berbagai amal keta’atan seperti puasa, shalat tarawih, tilawah al-qur’an, dan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyibukkan diri beliau dengan berbagai amal keta’atan tersebut. Namun, di zaman kita sekarang banyak orang yang lalai dari hal ini.
  1. Sebagian orang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang kebanyakannya hanya membuang-buang waktu seperti menonton acara-acara drama, lawakan, pertandingan-pertandingan, dan acara-acara hiburan lainnya.
  2. Sebagian orang, mereka menyibukkan diri dengan makanan dan minuman. Alih-alih menjadikan ramadhan sebagai bulan untuk berpuasa dan shalat, mereka justru menjadikan ramadhan sebagai bulan untuk makan, minum, dan begadang. Mereka begadang semalaman dan tidur seharian di siang hari. Mereka juga meninggalkan shalat wajib dan menyianyiakannya dari waktunya yang telah ditentukan.
  3. Sebagian yang lain, mereka menyibukkan diri dan membuat orang lain sibuk dengan keragu-raguan dan perdebatan tentang awal masuknya bulan ramadhan dan jumlah bilangan raka’at shalat tarawih dengan mengkait-kaitkan dalil-dalil yang ada dalam masalah tersebut. Diantaranya:
    1. Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan tentang metode ru’yatul hilal. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan metode tersebut sebagai pedoman dalam menentukan awal dan akhir dari bulan ramadhan dimana Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi oleh awan, maka sempurnakanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari & Muslim).
      Maka disana ada orang yang berupaya menghilangkan tuntunan Nabi untuk mengamalkan metode ru’yatul hilal dan menggantinya dengan metode hisab falaki. Ada juga orang yang berupaya mengkaitkan metode ru’yatul hilal dengan metode hisab. Jika hasil dari metode ru’yatul hilal tidak sesuai dengan metode hisab maka menurut mereka hasil metode ru’yatul hilal tersebut tidak teranggap. Dan pada hari ini [yaitu pada hari saat beliau ceramah –Pent] tersebar selebaran-selebaran yang isinya menyebutkan bahwasanya tidak mungkin melihat hilal pada malam jum’at. Demikianlah mereka menetapkan suatu hal di masa depan padahal tidak ada yang mengetahui tentang masa depan kecuali Allah. Betapa seringnya mereka mengeluarkan perkataan semacam ini dan pada kenyataanya yang terjadi adalah berbeda dengan apa yang mereka katakan, yaitu bahwa melihat hilal pada malam hari itu sangat mungkin dilakukan. Hal itu dikarenakan yang namanya melihat biasanya tidak tercampuri oleh keragu-raguan. Dan orang yang melihat tidaklah sama dengan orang yang mendengar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “…Mereka (orang-orang kafir) melihat dengan mata kepala mereka sendiri (seakan-akan) jumlah kaum muslimin dua kali lipat jumlah mereka” (QS. Al-‘Imran: 13).
      Sedangkan metode hisab adalah metode buatan manusia yang tentunya punya kekurangan dan sangat dimungkinkan untuk terjadi kesalahan. Dan ibadah kita seluruhnya dibangun diatas metode melihat, melihat hilal [untuk mengetahui awal dan akhir bulan ramadhan –Pent.], melihat terbitnya fajar, melihat tergelincirnya matahari, melihat panjang bayangan benda sama dengan panjang aslinya, melihat tenggelamnya matahari, melihat hilangnya warna kemerah-merahan di langit untuk mengetahui waktu-waktu shalat yang lima waktu.
    2. Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan tentang waktu subuh dan waktu memulai puasa. Allah Ta’ala berfirman tentang kedua waktu tersebut (yang artinya): “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..” [QS. Al-Baqarah: 187]. Dari ayat ini jelaslah bahwa waktu subuh sekaligus waktu awal dimulainya puasa diketahui dengan cara melihat yang tidak ada celah bagi keragu-raguan untuk masuk ke dalamnya. Dan jika hasil metode hisab menyelisihi metode ru’yah (melihat hilal –Pent.) maka hasil metode hisab tidak teranggap.
    3. Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan tentang disyari’atkannya shalat tarawih. Padahal telah disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat tarawih mengimami para sahabatnya pada malam hari kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir shalat tarawih akan diwajibkan atas mereka. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang mereka yang mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri sampai sahabat Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu, pada masa kekhalifahannya beliau mengumpulkan mereka dan menjadikan mereka berjama’ah dengan satu imam untuk menghilangkan ketakutan yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
    4. Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan berkenaan dengan jumlah raka’at shalat tarawih dan mereka ingin membatasinya dengan jumlah tertentu saja. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat tarawih di bulan ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadist ini beliau tidak membatasi jumlah raka’at shalat tarawih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Barangsiapa yang sholat bersama imam sampai imam selesei akan dicatat untuknya (pahala –Pent) shalat sepanjang malam” (HR. Abu dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Dalam hadist ini beliau juga tidak membatasi jumlah raka’atnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mememotivasi para sahabatnya untuk mengerjakan shalat tarawih tanpa beliau membatasi jumlah raka’atnya. Hal yang dituntut dalam shalat tarawih adalah kesempurnaan shalatnya bukan jumlah raka’atnya.
    5. Sebagian orang yang lain merasa ragu berkenaan dengan shalat tahajjud di akhir malam pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir bulan ramadhan yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya (HR. Muslim). Dalam hadist yang lain disebutkan, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’ -Pent), menghidupkan malam-malam tersebut, dan membangunkan keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan juga dijelaskan dalam hadist-hadist lainnya serta riwayat-riwayat yang shahih dari para ulama salaf dimana mereka bersungguh-sungguh dalam mengerjakan shalat malam dan memanjangkan bacaan sholat mereka pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Demikianlah apa yang ingin aku (Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah) jelaskan seputar permasalahan-permasalahan ini dengan harapan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan mereka kepada kebenaran. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga beliau, dan para sahabat beliau.
[Alhamdulillahi bini’matihi tatimmushalihat –Pent]

Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/14028

Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger