Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Hijrah Ke Madinah

Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012

Hijrah Ke Madinah

Ketika Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Madinah, bahkan berkembang pesat di kota itu, Rasulullah kemudian mengijinkan kaum muslimin yang ada di Makkah untuk berhijrah.
 
Persiapan
Islam semakin berkembang di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke kota tersebut. Maka merekapun bersegera mempersiapkan diri. Orang pertama yang direncanakan berangkat adalah Abu Salamah bin Abdul Asad dan isterinya Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah) radhiallahu ‘anhuma. Namun takdir Allah menentukan lain, Ummu Salamah tertahan di Makkah. Namun akhirnya dia keluar satu tahun kemudian bersama puteranya Salamah diiringi ‘Utsman bin Abi Thalhah yang ketika itu belum masuk Islam.
Sedikit demi sedikit, kaum muslimin meninggalkan Makkah hingga tidak ada yang tertinggal di Makkah kecuali beberapa orang termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan keduanya menunggu perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang juga tengah menunggu perintah Allah kapan harus keluar meninggalkan Makkah.
Kaum musyrikin yang mengetahui para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah pergi membawa harta, anak, dan isteri mereka, ke negeri Aus dan Khazraj (Madinah), meyakini bahwa negeri tersebut akan membela dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka khawatir, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sampai menyusul, niscaya kaum muslimin akan memiliki kekuatan dan mereka tidak merasa aman dari serangannya. Maka sebelum hal itu terjadi, mereka bersepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Suatu siang, datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam ke rumah Abu Bakr dan berkata: “Keluarkanlah siapapun yang ada di rumahmu.” Kata Abu Bakr: “Mereka adalah keluargamu juga, wahai Rasulullah.”
Rasulullah berkata: “Allah telah mengizinkan saya keluar.” Abu Bakr berkata: “Saya yang akan menyertaimu, wahai Rasulullah?” Kata Rasulullah: “Ya.”
Kemudian Abu Bakr mengatakan: “Ambillah salah satu kendaraanku ini, demi bapak dan ibuku tebusanmu.” Rasulullah berkata: “Dengan harga.”
‘Aisyah menceritakan: “Kemudian kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Asma’ bintu Abi Bakr memotong kain pinggangnya menjadi dua, satu untuk mengikat pinggang dan yang lain untuk membawa bekal tesebut. Dan sejak itulah dia dijuluki Dzatu Nithaqain (Perempuan Yang Memiliki Dua Ikat Pinggang).
Ibnul Qayyim mengisahkan (Zaadul Ma’ad 3/54), Al-Hakim (dalam Al-Mustadrak) dari ‘Umar, menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr berangkat menuju gua Tsur. Dalam perjalanan itu, kadang-kadang Abu Bakr berjalan di depan, kadang di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Melihat hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya, dan Abu Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, kalau saya teringat pengintai dari depan, saya sengaja berjalan di depan. Kalau saya ingat kepada para pengejar, maka saya berjalan di belakang.”
Kata Rasulullah: “Apakah kau ingin kalau terjadi sesuatu engkau yang mengalaminya, bukan aku?”
Kata Abu Bakr: “Ya.”
Demikianlah, keduanya sampai dan bersembunyi di dalam gua. Sementara orang-orang kafir Quraisy yang kehilangan jejak, menyebar para pencari jejak hingga di mulut gua. Ketika itu Abu Bakr berkata sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik: “Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah, niscaya mereka melihat kita.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
مَا ظَنُّكَ  بِاثْنَيْنِ اللهُ ثَالِثُهُمَا  
“Bagaimana menurutmu dengan dua orang di mana Allah adalah yang ketiganya. Jangan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Abdullah bin Abi Bakr selalu bermalam di gua bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Dia seorang pemuda yang cerdik. Sebelum fajar dia sudah berkumpul kembali di tengah-tengah orang-orang kafir Quraisy mendengarkan berita dari mereka dan menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr.
Sementara salah seorang bekas budak yang dimerdekakan Abu Bakr, ‘Amir bin Fuhairah senantiasa menggembalakan kambingnya di sekitar gua dan memerahkan susunya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Demikianlah hal ini berjalan selama tiga malam.
Kisah Suraqah bin Malik
Setelah berusaha mencari dan menyebar ke seluruh pelosok Makkah, mereka tidak juga menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Akhirnya, mereka menyebarkan sayembara, siapa yang berhasil membawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr hidup atau mati, akan diberi hadiah. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr mulai meninggalkan Makkah menyisiri tepi pantai menuju Madinah.
Sesampainya di daerah Bani Mudlij, seseorang melihat mereka dan melapor kepada Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Tapi berita ini ditolak oleh Suraqah. Namun, dia memerintahkan budaknya membawa kuda dan tombaknya keluar dari belakang rumah serta menunggunya di balik gunung.
Setelah itu, dia memacu kudanya mengejar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Abu Bakr melihatnya dan berkata: “Ya Rasulullah, lihat Suraqah bin Malik menyusul kita.” Maka Rasulullah pun berdoa. Akhirnya Suraqah beberapa kali terjungkal dari kudanya. Kemudian dia menyerah dan meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr berhenti.
Setelah berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, Suraqah meminta dituliskan kesepakatan. Dan ini tetap dipegangnya sampai pada waktu Fathu Makkah. Kemudian dia menyerahkan tambahan perbekalan kepada rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, namun keduanya mengatakan: “Tidak. Tapi alihkan perhatian para pengejar dari kami.”
Maka setelah itu Suraqah setiap kali bertemu dengan para pencari jejak rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam selalu mengatakan: “Saya sudah mencari berita dan tidak terlihat yang kalian cari.”
Demikianlah, awalnya dia berusaha menangkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr, pada akhirnya dia menjadi pelindung mereka.
Kisah Ummu Ma’bad
Ibnul Qayyim menceritakan: “Rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melanjutkan perjalanan dan singgah di kemah Ummu Ma’bad, yang tinggal di padang pasir memberi makan dan minum para kelana yang singgah di tempat itu.”
Rombongan singgah di sana dan menanyakan apa gerangan yang dimilikinya. Ummu Ma’bad mengatakan tidak ada kecuali kambing yang jauh dari tempat gembalaan. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam minta izin untuk memerah susunya. Ummu Ma’bad pun mengizinkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengusap kambing-kambing tersebut dan menyebut nama Allah lalu berdoa. Maka memancarlah susu kambing itu yang kemudian ditampung di sebuah bejana. Kemudian beliau menyuruh Ummu Ma’bad minum, setelah itu para shahabatnya baru kemudian beliau sendiri. Setelah semua puas, beliau memenuhkan bejana itu kembali dan meninggalkannya di sana, kemudian melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, Abu Ma’bad suami Ummu Ma’bad pulang dan terheran-heran melihat bejana yang penuh dengan air susu. Dia bertanya dari mana ini? Ummu Ma’bad mengatakan bahwa baru saja singgah seorang lelaki penuh berkah dengan sifat demikian dan demikian. Mendengar keterangan isterinya, Abu Ma’bad segera meyakini bahwa itulah orang yang dicari-cari Quraisy. Dan dia bertekad seandainya punya kesempatan akan menemuinya.
Tiba di Madinah
Orang-orang Anshar yang telah mendengar berita keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari kota Makkah pun berusaha menyambutnya. Setiap hari dari pagi hingga matahari menyengat, mereka menunggu kedatangan rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di pinggiran kota. Namun sampai beberapa hari belum juga tampak.
Baru pada hari ke-12 bulan Rabi’ul Awwal, mereka keluar menunggu seperti biasa. Dan ketika matahari sudah mulai terik, mereka bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Seorang Yahudi yang ketika memanjat rumahnya untuk suatu keperluan melihat bayangan dari jauh dan tidak dapat menahan dirinya. Dengan lantang dia berteriak bahwa yang ditunggu-tunggu sudah datang.
Mendengar hal ini, orang-orang Anshar bergegas menyandang senjata mereka dan menuju ke pinggiran kota menyambut rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Kaum muslimin bertakbir gembira dengan kedatangan rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ini. Mereka mengucapkan sambutan dan salam hormat menurut syariat Islam. (Bersambung)
Sebarkan :
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Doa - Semut dan ikan pun turut berdoa

Semut dan ikan pun turut berdoa

Oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
Pembaca,rahimakallahu…
            Berbondong gelombang demi gelombang langkah kaki diarahkan. Ayunan tangan turut menyertai setiap hembusan nafas manusia-manusia hebat di atas hamparan bumi. Jarak bukanlah penghalang walau jauh tak terkira. Panas dan hujan bagi mereka adalah sahabat dekat. Terik matahari tidak mereka hiraukan. Ya,manusia-manusia hebat itu. Ada apa dengan mereka?
            Kampung halaman, Siapa di antara kita yang tak merindukan negeri kelahiran? Ada sejuta kenangan di sana,tempat setiap insan besar dan dibesarkan. Namun bagi mereka,manusia-manusia hebat itu,berpisah dan meninggalkan kampung halaman adalah mengasikkan. Walau berat memang,meski pahit tentunya. Waktu bukanlah alasan walau terasa lama. Mereka,manusia-manusia hebat itu,yang selalu dinantikan,”Di purnama bulan apa kalian akan kembali?”. Mengapa mereka melawan arah rindu yang terkekang?
            Sungguh,mereka benar-benar manusia hebat. Mereka adalah para pengembara dari satu negeri menuju negeri selanjutnya. Tidak ada tujuan yang dicari kecuali ilmu agama,firman Allah dan sabda rasul Nya.Mereka adalah para pecinta ilmu yang sedang mengemban misi suci ,thalabul ilmi. Untuk apa?
            Sejarah telah diukir dan terlukis indah dengan kisah-kisah mengharu biru tentang mereka,para ulama’ panutan umat. Perjuangan berat dan pengorbanan yang sulit telah mereka lalui.Dan kita pun pasti bertanya-tanya,”Demi apa mereka lakukan itu semua?”
Pembaca,hafidzakallahu…
            Alangkah bahagianya seseorang yang selalu didoakan dengan kebaikan dan dimohonkan ampunan. Siapa yang tak ingin?
            Pernahkah terbayang jika yang mendoakan adalah makhluk sejagat? Yang ada di langit berlapis dan yang hidup di atas permukaan bumi,semuanya turut berdoa untuk kebaikan untuk Anda. Bahkan semut-semut di sarangnya juga ikan-ikan di air tempat hidupnya tak ketinggalan untuk mendoakan kebaikan. Untuk siapa?
            Semua mendoakan kebaikan kepada hamba yang selalu mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada masyarakatnya. Sungguh menyenangkan! Dan,hanya ada satu tangga untuk meraihnya yaitu thalabul ilmi.
            Maka,terjawablah sudah tanda tanya yang sempat lahir di atas tadi!
            Mereka,manusia-manusia hebat itu,rela melakukan perjalanan jauh berbulan bahkan bertahun dengan meninggalkan kampung halaman dan sanak kerabat, salah satu sebabnya adalah harapan yang selalu hadir di dalam hati dengan sabda Rasulullah,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah,para malaikat Nya,penduduk langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan turut mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”[1]
Subhanallah!
Pembaca,baarakallahu fiik…
            Jangan heran dan jangan kaget! Allah Maha Mampu untuk menjadikan makhluknya dapat berbicara dan berdoa.Amatlah mudah bagi Allah untuk mengijinkan semut dan ikan turut mendoakan kebaikan untuk para pemilik ilmu agama.
            Allah berfirman dalam ayat Nya,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
            Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. 17:44)
Ibnu Katsir menjelaskan,
            “Tidak ada satu pun makhluk kecuali ia pasti bertasbih dengan memuji Allah. Namun,kalian tidak dapat mengerti tasbih mereka,wahai segenap manusia. Sebab,berbeda  dengan bahasa kalian.
            Hal ini berlaku secara umum untuk hewan binatang,pohon tetumbuhan dan benda-benda mati.
            Pendapat ini adalah yang paling masyhur dibanding pendapat lain”[2]
Pembaca,arsyadakallahu…
            Al Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud,beliau berkata,
“Dulu kami dapat mendengar tasbih dari makanan yang sedang disantap”
            Dalam sebuah riwayat,sahabat menceritakan bahwa Rasulullah pernah mengambil beberapa butir kerikil lalu meletakkannya di atas telapak tangan beliau,ternyata kerikil-kerikil tersebut bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
            Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Abu Bakar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
            Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Umar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
            Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Utsman,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.[3]
Luar biasa,bukan?
Pembaca,rahimakallahu…
            Thalabul ilmi akan membawa kita menuju sebuah dunia yang dipenuhi dan dihiasi oleh doa-doa seluruh makhluk sejagat raya.
            Dan Anda? Di manakah letak Anda dari peta kebaikan semacam ini? Duduk terdiam tanpa terbersit untuk menjadi seperti mereka,yang pandai dan mengerti tentang agama? Tidakkah Anda ingin berada di barisan shaf terdepan?
            Bersemangatlah,Saudaraku,untuk mempelajari ilmu-ilmu agama Islam! Sebab untuk orang semacam Anda,semut dan ikan pun turut berdoa. Baarakallahu fiik
[1] Hadits Abu Umamah Al Bahili riwayat Tirmidzi () di shahihkan oleh Al Albani.
[2] Tafsir Ibnu Katsir
[3] Dishahihkan oleh Al Albani dalam Dzilalul Jannah
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!

Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!

oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
Dari Abu Hurairah,Rasulullah bersabda,”Ada seseorang mengatakan,”Sungguh aku akan memberikan sedekah”. Di malam hari, ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang pencuri (tanpa diketahui). Pagi harinya, orang-orang membicarakan,”Tadi malam,ada seorang pencuri mendapat sedekah”. Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari berikutnya,ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang wanita pelacur (tanpa diketahuinya). Pagi harinya,orang-orang membicarkan,”Tadi malam,ada seorang wanita pelacur mendapat sedekah”.Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari ketiga,ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada salah satu orang kaya (tanpa diketahui).Pagi harinya,orang-orang membicarakan,”Tadi malam,ada orang kaya mendapat sedekah”.Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Untuk seorang pencuri,seorang pelacur dan orang kaya”.
Lalu orang itu didatangi dan dikatakan kepadanya,”Adapun sedekah yang engkau berikan kepada si pencuri,mudah-mudahan dengan harta itu ia dapat menahan diri dari perbuatan mencuri. Adapun si pelacur,mudah-mudahan dengan harta itu ia kan menahan diri dari perbuatan zina. Adapun orang kaya,barangkali ia dapat mengambil pelajaran sehingga ia pun mau berinfak dari harta yang Allah berikan”
Hadits riwayat Bukhari ( 1421 ) Muslim (1022 )
Pembaca..
Telah diketahui,sedekah hanyalah diberikan kepada fakir dan miskin. Orang tersebut menyerahkan sedekah kepada seorang pencuri tanpa sepengetahuannya, jika dia seorang pencuri.Esok harinya,orang-orang ramai membicarakan tentang seorang pencuri yang mendapat sedekah. Seorang pencuri,semestinya dihukum dan tidak diberi harta.Orang itu malah mengatakan,”Alhamdulillah”.Ia memuji Allah karena Allah selalu dipuji dalam setiap kondisi.
Lalu,orang itu tetap berkeinginan untuk bersedekah di malam harinya.Tetapi,sedekah berikutnya justru jatuh di tangan seorang pelacur. Paginya,orang-orang kembali dihebohkan dengan berita, seorang wanita pelacur mendapat sedekah tadi malam.Hal ini tidak dapat diterima oleh akal dan fitrah. Namun,orang itu tetap mengucapkan,”Alhamdulillah”.
Kemudian,orang itu masih juga ingin mengeluarkan sedekah.Seakan-akan dia menilai sedekahnya yang pertama dan kedua tidak diterima.Tetapi,sedekahnya malah diterima oleh orang kaya.Orang kaya tidak termasuk golongan yang berhak menerima sedekah.Mereka hanya dapat menerima hadiah dan hibah atau semisalnya. Pagi harinya,orang-orang terheran-heran ; semalam,ada orang kaya mendapat sedekah. Namun,orang itu tetap mengucapkan,”Alhamdulillah,meskipun diterima seorang pencuri, pelacur dan orang kaya”. Padahal yang ia harapkan, sedekah itu diterima orang fakir,yang menjaga kehormatan diri dan suci. Dan,keputusan Allah telah ditaqdirkan.
Kepada orang itu dikatakan,”Sesungguhnya,sedekahmu diterima”. Karena dia ikhlas dalam bersedekah dan berniat baik,namun tidak terkabul.
Si pencuri,mudah-mudahan akan menahan diri dari perbuatan mencuri dengan harta sedekah tersebut. Mungkin saja ia sadar dan berkata,”Harta ini telah memberikan kecukupan”
Si pelacur,mudah-mudahan ia pun dapat menahan diri dari perbuatan zina. Seringnya tujuan berzina adalah mencari harta,wal iyadzu billah.
Orang kaya,mudah-mudahan ia bisa terketuk hatinya lalu berinfak dari harta yang ia miliki.
Demikianlah niat yang baik. Niat yang baik dan tulus selalu membawa kebaikan. Hadits ini sebagai dalil ; seseorang yang berniat baik dan telah berusaha namun akhirnya salah, tetap dicatatkan amal kebaikan untuknya. Oleh sebab itu,ulama’ mengatakan : Jika seseorang menyerahkan zakat kepada orang yang ia sangka berhak, ternyata di kemudian waktu terbukti bila orang tersebut tidak berhak,maka zakat tersebut tetap dihukumi sah.
Didalam hadits ini terdapat ibrah lain ;
    1.Keutamaan sedekah secara ikhlas dan diam-diam. Betapa mahal arti sebuah keikhlasan. Manusia dicipta dengan wataknya yang senang dipuji,tidak ingin dibenci. Tanpa ajaran keikhlasan,seorang hamba akan berbuat untuk selain Allah. Ingin dilihat dan diperhatikan orang banyak. Didengar dan diperbincangkan khalayak ramai. Sungguh berat menjaga agar ibadah selamat dari riya’. Yusuf bin Al Husain berkata,”Tugas terberat di dunia adalah sikap ikhlas. Betapa seringnya aku berusaha untuk menghilangkan riya’ dari hati,seolah-olah ia muncul kembali dengan warna yang lain”
Islam menganjurkan ,dalam beramal hendaknya menjaga niat yang tulus dalam mengharap ridho Allah.Sampai-sampai digambarkan oleh Rasulullah ; ia berinfak menggunakan tangan kanannya,sementara tangan kirinya tidak mengetahui.Apalagi orang lain.
Hal ini ditunjukkan dengan perbuatan orang tersebut yang memberikan sedekah di malam hari,agar tidak diketahui orang.
    2. Dianjurkan untuk mengulangi sedekah jika tidak tepat orang.Hal ini mengajarkan untuk kita ; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam beramal.Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik,senantiasa mewujudkan ibadah yang berkualitas.Tidak merasa puas dengan sedikitnya amalan yang telah dikerjakan.
Allah berfirman,
( لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَىْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ )
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. 3:92)
    3. Hukum diberikan sesuai bentuk lahiriyah sampai diketahui keadaan sesungguhnya. Seseorang yang menampakkan kebaikan,ia disikapi dengan baik juga. Orang lain yang menunjukkan kejahatan,ia disikapi sesuai dengan perbuatannya.
Umar bin Khattab berkata, ”Sesungguhnya orang-orang di masa Rasulullah dinilai dengan wahyu. Dan wahyu telah terputus. Sekarang, kami menilai kalian dengan bentuk lahir dari amalan. Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami memberikan kepercayaan dan kedekatan untuknya. Tidak ada urusan kami dengan apa yang dia sembunyikan. Allah yang akan menghisab apa yang dia rahasiakan. Barangsiapa menampakkan keburukan,kami tidak akan memberikan amanah dan kepercayaan untuknya. Meskipun dia mengatakan,”Apa yang dia rahasiakan adalah kebaikan”. Hadits riwayat Bukhari (2498)
    4.Berkah dari sikap menerima dan ridha.Demikianlah sikap seorang muslim dalam menghadapi setiap ketentuan Allah.Ia selalu memilih bersikap sabar dan ridha.Tidak mengeluh,bukannya tidak menerima.
Ummu Salamah pernah mendengar Rasulullah bersabda,”Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah lalu berdoa sesuai perintah Allah,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah,berikanlah pahala untukku pada musibah ini dan berilah ganti dengan lebih baik” kecuali pasti Allah akan memberikan untuknya pengganti yang lebih baik”
Pada saat Abu Salamah,suaminya,meninggal dunia,Ummau Slamah berkata,”Siapakah dari kaum muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah.Keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah”.Kemudian aku mengucapkan doa tersebut. Dan Allah memberikan untukku Rasulullah sebagai pengganti.Hadits riwayat Muslim (1525)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)

Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Setelah melalui berbagai rintangan, Rasulullah beserta rombongan akhirnya berhasil memasuki kota Madinah. Di kota inilah Rasulullah kemudian membangun masyarakat baru yang dipenuhi dengan nilai-nilai keislaman.

Masjid Pertama
Tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di Madinah bersama rombongan. Saat itu, para shahabat Anshar banyak yang belum mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Baru ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bernaung dan Abu Bakr melindungi beliau dari terik matahari, mereka mengenalnya.
Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan: ”Saya ikut menyaksikan hari masuknya Rasulullah ke kota Madinah. Dan saya tidak pernah melihat satu haripun yang lebih baik dan lebih cerah dibandingkan hari itu. Saya juga menyaksikan hari wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan saya belum pernah melihat hari yang lebih buruk (keadaannya) dan lebih gelap dibandingkan hari itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam singgah di Quba, di tempat Kultsum bin Al-Hidmi di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf selama beberapa hari dan mulai membangun Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun sejak beliau tiba di Madinah.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, masjid apa yang pertama yang dibangun di atas dasar ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ
“Janganlah kamu bersembah yang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Ada yang mengatakan Masjid Quba, dan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Hasan. Mereka berpegang kepada kalimat: مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ (sejak hari pertama); Masjid Quba adalah yang pertama kali dibangun di Madinah sebelum Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Demikian juga pendapat Ibnu ‘Umar, Sai’d bin Al-Musayyab, dan Al-Imam Malik menurut riwayat Ibnu Wahb, Asyhab, dan Ibnul Qasim. Setelah menukilkan beberapa hadits, Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa masjid yang dimaksud adalah Masjid Quba. Dan ini pula pendapat Asy-Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam At-Taisir. Wallahu A’lam.
Namun ada pula yang mengatakan, masjid itu adalah Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri tentang dua orang shahabat yang berdebat tentang masjid yang dimaksud dalam ayat ini, kemudian disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan kata beliau: ”Yaitu Masjidku ini.” Al-Imam At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini shahih.
Ibnu Katsir menerangkan bahwa susunan ayat ini mengarah kepada masjid Quba, kemudian beliau meneruskan, dengan menukil riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri sebelumnya, dan berkata: “Ini shahih, dan tidak ada pertentangan antara ayat dengan hadits tersebut. Karena kalau Masjid Quba dianggap sebagai masjid pertama yang didirikan di atas dasar ketakwaan, maka Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentunya lebih utama dan lebih pantas.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/474, dan Tafsir Al-Qurthubi)
Setelah itu, beliau bertolak ke Madinah. Beberapa orang shahabat mencoba memegang tali kendaraan beliau dan menuntunnya dengan niat mengajak beliau singgah di tempatnya. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan agar dibiarkan karena kendaraannya diperintah. Akhirnya, rombongan tiba di lokasi masjid yang sekarang ini.
Ibnul Qayyim mengisahkan bahwa Al-Imam Az-Zuhri menceritakan, beberapa kali unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berputar dan akhirnya kembali di tempat dia menderum pertama kali (di lokasi masjid sekarang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam turun dan segera disambut oleh Abu Ayyub, yang masih keluarga bibi beliau dari Bani Najjar.
Tanah lokasi masjid itu sebetulnya milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang diasuh As’ad bin Zurarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membeli tanah itu dari keduanya untuk didirikan masjid di atasnya.
Setelah membersihkan tanah itu dari kuburan kaum musyrikin, pohon-pohon gharqad, mulailah tanah itu diratakan. Beberapa pokok kurma ditebang dan disusun di arah kiblat masjid. Ukuran panjangnya (dari kiblat sampai ke belakang) ketika itu sekitar 100 hasta (kira-kira 50 m). Begitu pula kedua sisinya, hampir sama. Sedangkan pondasinya sekitar 3 hasta. Dan kemudian dibangun dengan bata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak duduk diam dalam membangun masjid ini, bahkan ikut mengangkat dan memindahkan tanah. Ketika itu, kiblat masih diarahkan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), atapnya dari pelepah-pelepah kurma. Setelah itu baru dibangun rumah untuk isteri-isteri beliau.
Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar
Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka dipersaudarakan berdasarkan persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya peristiwa Badr.
Setelah Allah Ta’ala menurunkan ayat:
وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ…
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah...” (Al-Anfal: 75)
Maka pewarisan dikembalikan kepada hubungan darah dan tidak lagi berdasarkan ukhuwwah diniyyah (persaudaraan seagama) ini.
Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir-nya bahwa ayat ini menyatakan pewarisan di antara sesama kerabat lebih utama daripada saling mewarisi antara Muhajirin dan Anshar. Ayat ini me-nasikh (menghapus) hukum warisan sebelumnya yang berdasarkan hilf (perjanjian, kesepakatan) dan persaudaraan yang terjadi di antara mereka.
Kemudian beliau menukilkan riwayat dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam yang dipersaudarakan dengan Ka’b bin Malik, bahwa seandainya Ka’b bin Malik meninggal dunia ketika itu, dialah yang akan mewarisinya. Lalu turunlah ayat ini.
Begitu eratnya persaudaraan ini, Allah Ta’ala menceritakan tentang keadaan ini dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir-nya: ”Allah Ta’ala memuji orang-orang Anshar, menjelaskan betapa tinggi kedudukan, kemuliaan, kemurahan, tidak adanya kedengkian pada diri mereka, dan justru sebaliknya mereka mempunyai sikap suka mengutamakan serta mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan.” Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan pula betapa mereka mencintai orang-orang Muhajirin yang datang kepada mereka, di mana semua ini didorong oleh kemuliaan pribadi mereka. Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka kedengkian terhadap kedudukan dan kemuliaan orang-orang Muhajirin, meskipun mereka disebut oleh Allah pertama kali.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَنْصَارَ إِلَى أَنْ يُقْطِعَ لَهُمُ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوْا لاَ إِلاَّ أَنْ تُقْطِعَ لإِخْوَانِنَا مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ مِثْلَهَا. قَالَ: إِمَّا لاَ، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ فَإِنَّهُ سَيُصِيْبُكُمْ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengundang orang-orang Anshar untuk dibagikan kepada mereka harta Bahrain, namun mereka berkata: ‘Tidak, kecuali kalau engkau bagikan pula seperti itu kepada saudara-saudara kami kaum Muhajirin. Atau tidak sama sekali.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Kalau begitu bersabarlah, sampai kalian bertemu denganku. Karena sesungguhnya kalian akan dapati adanya sikap sewenang-wenang sepeninggalku’.”
Berkaitan dengan ayat tadi, disebutkan pula oleh Ibnu Katsir bagaimana para shahabat Anshar mendahulukan kepentingan orang lain dari diri mereka sendiri. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيْفُ هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: أَنَا. فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ: أَكْرِمِيْ ضَيْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا إِلا قُوْتُ صِبْيَانِيْ. فَقَالَ: هَيِّئِيْ طَعَامَكِ وَأَصْبِحِيْ سِرَاجَكِ وَنَوِّمِيْ صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوْا عَشَاءً. فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ضَحِكَ اللهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ  {وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ}
“Abu Hurairah menceritakan: ‘Ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, kemudian beliau perintahkan supaya menemui istri-istri beliau. Namun kata mereka: ‘Kami tidak punya sesuatu kecuali air (minum).’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Siapa yang menjamu tamu ini?’ Tiba-tiba seorang shahabat Anshar bekata: ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Maka berangkatlah dia membawanya ke rumah. Shahabat Anshar ini berkata kepada isterinya: ‘Muliakan (jamulah) tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ini.’
Wanita itu berkata: ‘Kita tidak punya apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.’ Suaminya berkata: ‘Siapkan makananmu itu, perbaiki pelitamu dan tidurkan anak-anakmu. Kalau mereka minta makan, alihkan perhatian mereka.’
Wanita itu melaksanakan perintah suaminya, dia mulai menidurkan anak-anak dan menyiapkan makanan dan berdiri seakan-akan mau memperbaiki pelita lalu memadamkannya. Mereka pun berbuat seolah-olah memperlihatkan kepada tamunya itu bahwa mereka juga ikut makan bersamanya.
Setelah itu mereka berdua tertidur meringkuk menahan lapar. Keesokan harinya laki-laki itu menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Beliau berkata: ‘Allah tertawa melihat perbuatan kalian terhadap tamu kalian tadi malam.’
Maka Allah menurunkan firman-Nya:”…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)’.
Beliau meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قَدِمَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْمَدِينَةَ فَآخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ الأَنْصَارِيِّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يُنَاصِفَهُ أَهْلَهُ وَمَالَهُ فَقَالَ عَبْدُالرَّحْمَنِ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلَّنِي عَلَى السُّوْقِ فَرَبِحَ شَيْئًا مِنْ أَقِطٍ وَسَمْنٍ …
“’Abdurrahman bin ‘Auf tiba di Madinah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Lalu Sa’d menawarkan kepadanya untuk membagi dua hartanya dan isterinya (dia menceraikan isterinya agar setelah ‘iddahnya selesai, dinikah oleh Abdurrahman). Tapi Abdurrahman berkata: ”Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku pasar.” Dia berjualan di sana dan akhirnya mendapat keuntungan, mula-mula dia dapatkan aqith (sejenis makanan pokok) dan minyak samin…”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan: ”Yakni, persaudaraan seiman, bukan sedarah atau seketurunan. Sehingga dikatakan, persaudaraan seiman lebih kokoh daripada persaudaraan sedarah. Karena persaudaraan senasab (sedarah, seketurunan) akan terputus apabila salah satunya berbeda agama dengan yang lain. Sebaliknya, persaudaraan seiman tidak akan terputus meskipun nasabnya berbeda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah pula mengingatkan sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman salah seorang dari kalian, sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.”
Dan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“’Seorang mu`min dengan mu`min lainnya bagaikan bangunan yang kokoh, saling menguatkan satu sama lain.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjalin jemarinya.”
Dan:
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Kamu lihat kaum mukminin itu dalam kasih sayang dan perasaan di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh itu mengeluh kesakitan, maka seluruh badan merasakan panas (demam) dan tidak bisa tidur.”
Berbagai kisah tentang persaudaraan kaum mukminin yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini, banyak kita dapati dalam berbagai kitab sejarah, tafsir, dan lainnya. Namun mampukah kita menerapkannya dalam kehidupan kita di jaman di mana persaudaraan dan hubungan kasih sayang diikat dan dinilai dengan materi, harta benda dunia?
Ibnu Qayyim menukil ucapan Syaqiq bin Ibrahim dalam Al-Fawaid yang menerangkan beberapa hal yang menjadi sebab terhalangnya seseorang mendapat taufiq, di antaranya adalah tertipu atau merasa bangga duduk dan bergaul bersama orang-orang shalih, tapi tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka.
Di sisi lain, kita juga membaca buku-buku sejarah hidup para ulama as-salafush shalih, membahas karya-karya mereka, namun sudahkah kita meniru akhlak mereka dan menerapkannya dalam kehidupan? Hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Wallahul muwaffiq. (Bersambung)

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang)

Pelajaran dari Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang).

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا - فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا - فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا - فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا - فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا - إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ - وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ - أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ - وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ - إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah – engah. - 2. Dan pukulan yang membuat loncatan api. - 3. Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba waktu shubuh
4. Maka ia menerbangkan debu - 5. Lalu menyerbu ke tengah – tengah kumpulan membawanya - 6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar pada tuhanNya.
7.Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan sendiri keingkarannya. - 8. Dan sesugguhnya dia sangat kuat cintanya kepada harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui jika telah disemburkan apa yang di dalam kubur. - 10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?
11.Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang diri mereka.
Dinamakan denga surat Al Adiyaat karena Allah memulai nya dengan sumpah, menggunakan kata al adiyaat (Kuda para mujahid yang cepat mengahadapi musuh).
Hubungan antara kedua surat terdapat pada pembicaraan tentang pengeluaran mayat-mayat dari perut bumi. Firman allah
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“dan bumi mengeluarkan benda – benda beratnya”
Dan dalam surat ini :
إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
“jika di bangkitkan apa yang di dalam kubur”
Pada surat Az Zalzalah di tutup dengan penjelasan tentang balasan atas kebaikan dan keburukan maka surat Al Adiyat  juga ditutup dengan balasan atas kebaikan dan keburukan :
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
“sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang mereka”.
Makna Kosa Kata
وَالْعَادِيَاتِ
(Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah – engah).
Kuda yang menyerang musuh dengan cepat dan kuat, sehingga muncul darinya suara engahan.
ضَبْحًا
(engahan).
Suara nafas pada dadanya saat menyerang musuh.
فَالْمُورِيَاتِ
(pukulan yang mengeluarkan loncatan api).
Dengan tapalnya saat memukul batu-batu.
قَدْحًا
(loncatan api)
فَالْمُغِيرَاتِ
(kuda yang menyerang dengan tiba – tiba)
yang menyerang musuh dengan tiba – tiba.
صُبْحًا
(di waktu Shubuh)
Demikianlah yang banyak terjadi bahwa penyerangan terjadi pada waktu shubuh. Disebutkan karena Nabi jika hendak menyerang maka Beliau menunggu waktu Shubuh.
فَأَثَرْنَ بِهِ
(maka ia menerbangkan)
Ia menimbulkan dengan serangan itu.
نَقْعًا
(debu)
Karena gerakannya yang kuat.
فَوَسَطْنَ بِهِ
(lalu dia menyerbu ke tengah – tengah membawanya)
Membawa penunggangnya.
جَمْعًا
(kumpulan)
Kumpulan musuh yang dia serang.
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
(sesungguhnya  manusia sangat ingkar kepada Tuhanya)
Sesungguhnya manusia suka menahan kebaikan (harta) yang di dalamnya terdapat hak allah atasnya atau mengingkari kebaikan (yang ada Dia berikan)
عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
(dan sesungguhnya manusia menyasikan sendiri akan hal itu)
Dia saksikan sendiri keingkarannya,sebab dia mengetahui bahwa dirinya menahan dan bakhil dengan harta itu.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
(sesungguhnya di sangat kuat cintantanya kepada harta).
Manusia dalam menyukai kebaikan (maksudnya:harta) teramat suka, maka dia bakhil dengan harta itu.
بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
(telah disemburkan apa yang di dalam kubur)
Disemburkan dan dikeluarkan apa yang ada di dalam kubur dari orang – orang mati. Maksudnya : kebangkitan (allah membangkitkan mereka)
وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
(dan dilahirkan  apa yang ada di dalam dada)
Tampak dan jelas hakekatnya setelah tadinya tertutup di dalam hati dari kebaikan dan keburukan.
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
(sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang diri mereka)
Maha mengetahui amal mereka, baik yang lahir maupun batin dan membatasi amal – amal mereka itu.

Makna secara global
Allah bersumpah dengan kuda, karena ia memiliki perangai terpuji yang tidak di miliki oleh binatang yang lain. Hal itu karena dia adalah kendaraan untuk perang bagi orang arab dan mempunyai pengaruh atas jiwa kaum mukminin.
Padahal ,terdapat ajakan untuk memiliki kuda dan berlatih dengannya untuk berjihad di jalan allah. Juga seruan untuk membiasakan diri dengan urusan yang besar, bersungguh – sungguh dan gesit beramal, serta untuk memiliki kuda dengan maksud – maksud yang baik.
Kelanjutan dari sumpah tersebut adalah penjelasan tabiat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat dan lupa bersyukur pada Khaliq Sang Pemberi nikmat dan sering kali hal itu membawanya tidak tunduk pada syariat Allah serta hukum – hukumNya.
Terdapat penjelasan bahwa karena sangat cintanya manusia kepada harta, hal itu membuatnya kikir dan meninggalkan infaq. Bahkan engkau lihat mereka bersungguh – sungguh mencari harta, sampai – sampai bersedia membinasakan dirinya demi harta.
Mereka memperhatikan dunia dan berpaling dari akherat serta lupa pada hak Allah atas apa yang di berikan, sehingga Allah mengancamnya dan menjanjikan siksaan jika di tetap pada sifat-sifat ini dan tidak memperbaiki akhlaqnya.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ , وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
“apakah mereka tidak tahu, tatkala di bangkitkan apa yang ada di dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada”
Artinya
Apakah orang yang mengingkari dan pura  – pura lupa akan perintah dan larangan Allah mengetahui apa yang terjadi jika dia keluar dari kuburnya dan tampak jelas apa yang ada pada dirinya, dari :niat – niat, kemauan – kemauan, kebaikan , dan keburukan.
Faedah surat
1.Targhib untuk berjihad dan bersiap untuk itu dengan memiliki alatnya.
2. penjelasan tentang hakekat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat – nikmat Rabbnya dan kebanyakan mereka akan terus mengingat musibah yang pernah menimpanya serta melupakan nikmat tatkala nikmat itu melimpah ruah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh.
3.penjelasan tentang tabiat manusia yang sangat cinta pada hatrta.
4.penetapan akidah tentang kebangkitan dan perhitungan.
(dikutip dari buku Ad -Durusil Muhimmah Li Ammatil Ummah, Penerbit Cahaya Tauhid Press)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi

Kesudahan Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi

ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Para shahabat Nabi memiliki kedudukan demikian tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Namun sungguh mengherankan, ada orang-orang yang berani melecehkan mereka dan senantiasa berusaha mencari kelemahan mereka. Orang-orang yang berani merendahkan para shahabat Nabi adalah orang-orang yang tidak tahu diri, yang tidak tahu kapasitas dirinya. Di antara tanda-tanda keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat, adalah kepekaannya untuk melihat dan mengintrospeksi diri sebelum melihat dan mengoreksi orang lain. Dia akan sangat mengerti tentang kapasitas dirinya sebelum mengerti kapasitas orang lain, sehingga ketika mendengar sabda Rasulullah :
“Janganlah mencela para shahabatku, janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan dua telapak tangan atau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)
Maka dia akan berupaya menahan hatinya dari berburuk sangka kepada para shahabat dan menahan lisannya dari mencela mereka. Karena dia sadar, bukan kapasitasnya untuk membicarakan, menilai dan mengkritik orang-orang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya n itu. Namun di sisi lain, kita tak pernah lupa akan sejarah orang-orang yang tak tahu diri. Orang-orang cebol (kerdil) yang ingin menggapai bintang di angkasa sambil melolong dengan lolongan-lolongan keji, berkedok kebebasan dan sikap kritis.
Lolongan kaum orientalis kafir yang kemudian dikemas dengan kemasan sok ilmiah oleh antek-antek mereka dari anak-anak kaum muslimin untuk mengkritik para shahabat Rasulullah n. Dan ini bukanlah hal yang baru dalam peradaban umat manusia. Lolongan tersebut sesungguhnya merupakan kelanjutan dari lolongan kaum Syi’ah Rafidhah yang senantiasa berambisi menghancurkan citra Rasulullah dan ajaran agama Islam yang dibawanya.
Al-Imam Malik bin Anas berkata : “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi, namun tidak mampu. Maka mereka pun akhirnya mencela para shahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Karena, jika beliau itu orang baik niscaya para shahabatnya adalah orang-orang yang baik pula.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, hal. 580)
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Jika engkau melihat siapa saja yang mencela seorang shahabat Rasulullah maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Hal itu karena keyakinan kami bahwa Rasulullah adalah haq, Al Qur`an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah. Tujuan mereka dalam mencela para saksi kami (para shahabat) tidak lain adalah menghancurkan Al Qur`an dan As Sunnah. Mereka sesungguhnya lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq1.” (Al-Kifayah, hal.49)
Para pembaca,
Semua shahabat Rasulullah adalah orang-orang baik dan adil, yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Allah telah memuji para shahabat Rasulullah di dalam Al Qur`an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itupun telah terukir melalui lisan Rasulullah, suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh seorangpun setelah mereka. Semoga Allah menyayangi mereka dan menganugerahkan untuk mereka kedudukan tertinggi di kalangan shiddiqin, syuhada` dan shalihin. Merekalah yang menyampaikan ajaran Rasulullah kepada kita. Mereka menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah berupa perkara-perkara yang sifatnya umum maupun khusus, keharusan dan bimbingan. Mereka mengerti Sunnah Rasulullah, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berfikir dan memahami suatu perkara (berdasarkan ilmu). Pendapat-pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri.” (Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Al-Baihaqi, 1/441)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Para shahabat semuanya adil, baik yang terlibat dalam fitnah (pertempuran di antara mereka, pen.) atau yang tidak terlibat di dalamnya, menurut ijma’ ulama yang diperhitungkan kata-katanya.” (At-Taqrib ma’a Tadribirrawi, 2/190).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, semua shahabat itu adil, karena adanya pujian dari Allah  di dalam Al Qur`an dan (Rasulullah) di dalam Sunnahnya terhadap segala akhlak dan perbuatan mereka, serta terhadap apa yang mereka korbankan berupa harta dan nyawa bersama Rasulullah, dengan semata-mata mengharap pahala dan balasan yang mulia di sisi Allah I.” (Al-Ba’its Al-Hatsits hal.154)
Al-Imam Ibnul Mulaqqin berkata: “Semua shahabat Rasulullah n mempunyai kekhususan, yaitu tidak perlu ditanyakan tentang keadilannya. Karena mereka telah mendapatkan rekomendasi di dalam Al Qur`an dan As Sunnah serta ijma’ ulama yang diperhitungkan ucapannya.” (Al-Muqni’ fi Ulumil Hadits, 2/492, dinukil dari Al-Inthishar Lish Shahbi Wal Aal, hal. 218)
Al-Imam Ibnul Atsir  berkata: “Para shahabat seperti para perawi lainnya dalam semua hal itu, kecuali dalam hal al-jarh wat ta’dil (pujian dan kritikan), karena mereka semua adalah orang-orang yang adil, dan tidak boleh dikritik. Hal ini karena Allah dan Rasul-Nya telah merekomendasi dan memuji mereka…” (Usdul Ghabah 1/10, dinukil dari Al-Inthishar, hal. 222)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya semua shahabat adalah orang-orang yang adil, dan tidaklah menyelisihi dalam hal ini kecuali orang-orang yang nyeleneh dari kalangan ahlul bid’ah.” (Al-Ishabah, 1/10-11)
Asy-Syaikh Mahmud Muhammad Syakir berkata: “Bila demikian agungnya keutamaan bershahabat dengan Rasulullah, maka seorang muslim manakah yang mampu setelah ini untuk menjulurkan lisannya mencela seseorang dari shahabat Muhammad Rasulullah ?! Dengan lisan manakah dia meminta udzur ketika saling beragumentasi dihadapan Rabb mereka (di hari kiamat)?! Apa yang hendak dia katakan saat telah tegak baginya hujjah dari Al Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya ?! Hendak lari kemanakah dia dari adzab Allah pada hari (kiamat) itu?!” (Majallah Al-Muslimun, edisi 3 th. 1371 H, dinukil dari kitab Matha’in Sayyid Quthub fi Ash-habi Rasulillah n,, hal. 11).
Maka dari itu, orang-orang yang sok menilai, mengkritik dan mencela para shahabat, tak lain ibarat seekor kambing kerdil yang berambisi (dengan tanduknya) menghancurkan batu besar yang sangat kokoh. Batu itu pun tetap utuh tak bergeming, sedangkan si kambing kerdil menuai petaka. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Barangsiapa melakukannya (mencela shahabat, pen.), maka wajib diberi pelajaran dan dihukum, tidak diberi ampun, bahkan terus dihukum hingga bertaubat. Jika bertaubat maka diampuni, namun jika bersikukuh dengannya maka terus dihukum dan dipenjara sampai mati atau rujuk (kembali kepada kebenaran, red.).” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Al-Imam Malik bin Anas t berkata: “Barangsiapa mencaci Nabi (n)maka (hukumannya) dibunuh, dan barangsiapa mencela para shahabat maka diberi pelajaran.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 569)
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih t berkata: “Barangsiapa mencela para shahabat Nabi maka harus dihukum dan dipenjara.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Dengan demikian, apakah para pencela shahabat itu dikafirkan?
Para pembaca, berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash-Sharimul Maslul, hal. 586-587, maka dapatlah disarikan sebagai berikut:
1. Mencela shahabat, dengan diiringi pernyataan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau dialah yang sebenarnya sebagai nabi dan Malaikat Jibril telah keliru dengan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, atau menganggap bahwa Al Qur`an kurang sekian ayat dan ada yang disembunyikan dan lain sebagainya, maka tidak diragukan lagi kekafirannya, bahkan tidak diragukan pula kekafiran orang yang ragu akan kekafiran mereka.
2. Mencela shahabat namun tidak menjatuhkan keadilan dan agama mereka. Misalnya menyifati sebagian shahabat dengan kikir, pengecut, ilmunya sedikit, atau kurang zuhud dan lain sebagainya, maka yang seperti ini berhak diberi pelajaran/dihukum dan tidak dikafirkan.
3. Melaknat dan menjelek-jelekkan mereka dengan lafadz yang umum, maka masih diragukan apakah dikafirkan ataukah tidak, karena adanya kemungkinan antara laknat kemarahan dan laknat yang bersumber dari keyakinan.
4. Mencela shahabat sampai pada tingkatan meyakini bahwa mereka telah murtad sepeninggal Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang dari mereka saja, atau semua telah melakukan kefasikan (sepeninggal beliau), maka yang seperti ini tidak diragukan tentang kekafirannya.
Akhir kata, demikianlah kesudahan buruk bagi orang-orang yang mencela shahabat Rasulullah n. Semoga Allah I menjauhkan kita dari akhlak tercela ini, dan tiada yang dapat kami ucapkan kecuali sebuah harapan dari Allah I yang terukir dalam lantunan doa:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang beriman bercokol pada hati kami, Wahai Rabb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
1 Zindiq adalah orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman. Asal-usul mereka adalah orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan dan meyakini reinkarnasi serta memiliki keyakinan sebagaimana orang-orang Majusi.
diambil dari asysyariah.com

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sayyid Qutb Pencela Shahabat

Sayyid Qutb Pencela Shahabat

ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Abu Sa’id Al-Khudri z berkata: Nabi n bersabda:
“Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3673, Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2541, oleh Al-Imam An-Nawawi diberi nama bab-nya Tahrimu Sabbish Shahabah g (Haramnya mencela shahabat Nabi g), Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4658, Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3861, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya  3/11, 54, 63.
Sabda Nabi n:
“Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
menjelaskan bahwa apabila salah seorang dari kalian menginfaqkan semisal gunung Uhud berupa emas, niscaya pahala infaqnya itu tidak akan mencapai pahala dan keutamaan yang diperoleh shahabat dari infaq yang mereka berikan berupa satu mud makanan atau setengahnya,  karena infaq shahabat itu disertai dengan keikhlasan yang lebih dan baiknya niat. Juga karena infaq yang mereka keluarkan dalam keadaan mereka itu lebih membutuhkannya karena keadaan mereka yang serba kekurangan, banyak kebutuhan dan kepentingan yang darurat. (Aunul Ma‘bud, 12/269)
Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, infaq para shahabat lebih utama karena infaq tersebut dikeluarkan pada saat darurat dan keadaan yang sempit, berbeda halnya dengan infaq selain mereka. Juga infaq mereka itu dikeluarkan untuk menolong dan melindungi Rasulullah, yang perkara ini jelas tidak terjadi sepeninggal Rasulullah. Demikian pula jihad mereka dan seluruh amalan ketaatan mereka. Allah I telah berfirman:
“Tidaklah sama di antara kalian, orang yang menginfaqkan hartanya dan berperang sebelum Al-Fathu1 dengan orang yang selain mereka. Mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Allah  daripada orang-orang yang berinfaq dan berjihad setelah itu….” (Al-Hadid: 10)
Hal ini juga disertai dengan apa yang ada dalam jiwa mereka berupa rasa kasih sayang, cinta, khusyu, tawadhu’, mengutamakan orang lain (daripada diri mereka sendiri) dan jihad fi sabilillah dengan sebenar-benarnya. Dan keutamaan/kemuliaan bersahabat dengan Rasulullah, walau hanya sebentar tidak dapat diimbangi oleh satu amalan pun. Derajat ini tidak dapat dicapai dengan sesuatu pun, dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Penjelasan Hadits
Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, maka Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun. Maka Rasulullah n menegur Khalid dengan sabda beliau di atas. Hadits di atas menunjukkan kepada kita semua tentang haramnya mencela para shahabat Nabi , sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebagai penamaan bab di dalam Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi .
Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi kita untuk memperbolehkan pencelaan terhadap mereka. Karena apabila larangan mencela ini ditujukan kepada shahabat yang belakangan masuk Islam terhadap shahabat yang terdahulu dalam keimanan, sementara kedua-duanya memiliki keutamaan shuhbah (bershahabat dengan Rasulullah ) kita dapati perkataan Rasulullah n yang menunjukkan kejelekan pelakunya dan jeleknya hasil dari perbuatan ini.
Dan bila sesama shahabat saja dilarang saling mencela, lalu bagaimana kiranya bila yang mencela itu bukan shahabat? Atau malah orang yang tidak mempunyai keutamaan sama sekali dari kalangan Zanadiqah (kelompok zindiq), Rawafidh (Syi’ah), serta para pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah? Kira-kira apa gerangan yang akan diucapkan dan dihukumkan Rasulullah terhadap orang-orang tersebut, dan bagaimana besarnya sanksi serta ‘iqab (hukuman) beliau n terhadap pelaku perbuatan tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengapa Rasulullah melarang Khalid mencela shahabat-shahabat beliau sementara Khalid  juga termasuk shahabat beliau? Dan akhirnya beliau menyatakan demikian:
Hal ini karena Abdurrahman bin ‘Auf dan yang semisalnya adalah termasuk As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) yang menjadi shahabat beliau n, di mana pada saat itu Khalid  dan semisalnya masih memusuhi beliau. Mereka, para As-Sabiqunal Awwalun, menginfaqkan harta mereka dan berjihad sebelum Fathu (perjanjian Hudaibiyyah). Dan mereka ini lebih tinggi derajatnya daripada shahabat yang berinfaq dan berjihad setelah Fathu. Namun masing-masing Allah berikan kebaikan.
Sehingga shahabat seperti Abdurrahmanzdan semisalnya memiliki kelebihan dalam hubungan persahabatannya dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh Khalidz dan shahabat semisalnya dari kalangan mereka yang ber-Islam dan berperang setelah Fathu. Maka Rasulullah  n pun melarang  mencela mereka yang bersahabat dengan Nabi sebelum Fathu.
Siapa saja yang sama sekali tidak pernah menjadi shahabat Rasulullah, maka perbandingan dia dengan orang yang menjadi shahabat Rasulullah seperti perbandingan Khalid dengan para shahabat yang terdahulu masuk Islam, bahkan orang tersebut tidak ada kadarnya bila dibandingkan dengan kemuliaan Khalid z dan para shahabatnya g.” (Ash-Asharimul Maslul `ala Syatimir Rasul, hal. 576)
Al-Imam ‘Ali Al-Qari menyatakan sangat dimungkinkan pembicaraan dalam hadits ini ditujukan untuk umat secara  umum, tidak dibatasi hanya shahabat yang berselisih tersebut. Yang dengan cahaya nubuwwah, Rasulullah n mengetahui bahwa perbuatan semisal ini akan terjadi pada ahlul bid‘ah. Maka beliaupun melarang mereka dengan hadits ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 10/246)
Keutamaan Shahabat tidak Bisa Dicapai oleh Siapapun
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah meski hanya sebentar tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Tidak dapat dicapai derajat ini dengan sesuatu pun dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas, yang demikian itu merupakan keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Sehingga apapun amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang datang setelah para shahabat, tidaklah dapat mencapai derajat para shahabat dari sisi shuhbah (persahabatan) mereka dengan Rasulullah n dan keutamaan mereka pernah bergaul dengan beliau, hadir di majelisnya, mendengarkan wejangannya dan pengajarannya dalam waktu lama ataupun sebentar, apalagi menyertai beliau dalam berjihad meninggikan kalimat Allah, menolong dakwah beliau dengan pengorbanan jiwa dan harta.
Jelas keutamaan seperti ini tidak dapat diraih oleh selain shahabat, sampai pun derajat shahabat yang paling rendah2 tidak akan bisa diraih atau shahabat yang hanya sesaat melihat Nabi n, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan beriman.
Ibnu ‘Abbas  berkata: “Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad . Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama Nabi n lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada  ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)
Ibnu Mas‘ud berkata: “Sesungguhnya Allah melihat ke hati-hati hamba-Nya, maka Allah dapatkan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati hamba setelah hati Muhammad, maka Allah dapatkan hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun menjadikan mereka sebagai penolong nabi-Nya, mereka berperang membela agama-Nya. Apa yang dipandang oleh kaum muslimin (para shahabat) baik maka itu baik di sisi Allah dan apa yang mereka pandang jelek maka itu jelek di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad, 1/380 dan atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 470)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras berkata: “Para shahabat itu pantas untuk mendapatkan kecintaan dan pemuliaan karena keutamaan mereka, terdepannya mereka dalam beriman dan kekhususan mereka  menjadi shahabat Rasulullah. Bersamaan dengan itu, mereka telah berbuat baik kepada umat ini karena merekalah yang menyampaikan seluruh apa yang datang dari Rasul mereka. Tidak sampai pada seseorang satu ilmu pun atau satu berita pun melainkan dengan perantaraan para shahabat.” (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 166)
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi setelah membawakan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah tentang kedudukan dan keutamaan shahabat, beliau berkata: “Berita-berita yang semakna dengan ini begitu luas, seluruhnya bercocokan dengan berita yang ada dalam nash Al Qur`an. Semua itu mengandung konsekuensi kesucian shahabat dan kepastian tentang kebaikan serta kebersihan mereka. Sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang membutuhkan pengakuan dari satu makhluk pun berkenaan tentang kebaikan mereka ketika Allah I  telah menetapkan hal tersebut terhadap mereka karena Dia jua-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam batin mereka.”
Beliau juga mengatakan: “Seandainya  tidak datang satu keterangan dari Allah dan Rasul-Nya tentang para shahabat dari apa yang telah kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami dan hadapi berupa hijrah, jihad, menolong agama Allah dan Rasul-Nya, pengorbanan darah dan harta (untuk membela agama Allah, pen.), membunuh bapak dan anak-anak mereka (yang masih kafir ketika berhadapan di medan laga, pen.), saling menasehati dalam agama, kekuatan iman dan yakin, cukuplah semua itu sebagai kepastian tentang kelurusan mereka dan untuk meyakini kesucian mereka. Mereka itu lebih utama selama-lamanya dari seluruh orang yang dianggap baik dan seluruh orang yang disucikan, dari kalangan orang-orang yang datang setelah mereka.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 48-49)
Hukum Mencela Shahabat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Mencela shahabat Rasulullah n adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Mencela shahabat g adalah haram, termasuk perkara keji (buruk) yang diharamkan, baik yang dicela itu dari kalangan shahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama muslimin, pen.) ataupun selain mereka, karena mereka itu berijtihad dalam peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam perkara-perkara yang terjadi.” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mencela salah seorang shahabat termasuk perbuatan maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Abu Zur‘ah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah n, maka ketahuilah orang itu adalah zindiq. Karena keberadaan Rasulullah n itu haq di sisi kita, demikian pula Al Qur`an. Dan hanya para shahabat Nabi saja yang menyampaikan Al Qur`an dan Sunnah-sunnah beliau kepada kita. Sementara para zindiq tersebut ingin mencacati persaksian kita terhadap mereka -para shahabat- agar mereka dapat membatilkan Al Qur`an dan As Sunnah yang kita ambil dari para shahabat beliau n. Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacatkan keberadaannya, mereka itulah para zindiq.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 49)
Adapun bentuk sanksi ataupun ‘iqab yang diberikan bagi orang yang mencela shahabat, diperselisihkan para ulama. Ada yang menvonis  harus dibunuh, ada yang tidak. Jumhur ulama sendiri berpandangan orang yang berbuat demikian diberi hukuman ta`zir3 dan tidak dibunuh. Sementara sebagian Malikiyyah berpendapat orang itu dibunuh. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Al-Imam Ahmad berpendapat orang yang mencela salah seorang dari shahabat Rasulullah , baik dari kalangan ahlul bait ataupun selain mereka, maka hukumannya dengan dipukul keras, dan beliau tawaqquf4 dalam masalah membunuh dan mengkafirkan orang yang berbuat demikian. Ada yang berpendapat bahwa siapa yang melakukan hal itu maka  ia harus diberikan “pelajaran”, dihukum dan diminta bertaubat. Bila ia bertaubat maka diterima taubatnya, namun bila ia mengulangi maka diberikan hukuman dan dipenjara selama-lamanya sampai mati atau bertaubat.
Demikian dihikayatkan hal ini oleh Al-Imam Ahmad dari ahlul ilmi yang pernah beliau jumpai. Dan Al-Kirmani menghikayatkannya dari Al-Imam Ahmad, Ishaq, Al-Humaidi, Sa’id bin Manshur dan selain mereka.
Al-Harits bin ‘Utbah berkata: “Didatangkan ke hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsmanz.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya:  “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi. Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz  memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”
Al-Imam Malik berkata: “Siapa yang mencerca Nabi n maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Semua atsar kami nukilkan dari kitab Ash-Sharimul Maslul, hal. 567, 568, 569,  karya  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebagai kesimpulannya, mencela shahabat itu ada tiga macam:
Pertama: mencela para shahabat Nabi n dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi n yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dalam Al Qur`an Allah I berfirman:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)
Sementara sebaik-baik umat ini adalah generasi pertamanya (generasi para shahabat). Namun dengan adanya celaan yang ditujukan kepada generasi pertama ini berarti mayoritas mereka para shahabat Nabi n adalah orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.
Kedua: mencela  shahabat dengan melaknat dan menjelekkan mereka. Maka ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi, yang satu mengkafirkan pelakunya, adapun yang lain menyatakan pelakunya tidak kafir tapi ia harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertaubat dari apa yang diucapkannya.
Ketiga: mencela shahabat dengan perkara yang tidak berkaitan dengan agama mereka seperti mengatakan mereka penakut atau pelit. Maka pelakunya tidak dikafirkan namun diberi hukuman ta`zir yang bisa membuat dia jera dari perbuatannya. (Ash-Sharimul Maslul  hal. 586-587, Syarh Lum‘atil I‘tiqad, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)
Sosok Sayyid Quthb sebagai Pencela Shahabat
Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulianya kedudukan para shahabat dengan persaksian Allah I dan Rasul-Nya n sehingga tidak boleh mengarahkan celaan kepada mereka, bahkan wajib bagi kita untuk tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan maka kesalahan itu terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka. Bila salah seorang dari mereka punya satu dosa maka ia mungkin sudah bertaubat dari dosa tersebut, atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang dengan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah dengan keutamaannya terdahulu masuk Islam atau dengan syafaat Nabi n dan para shahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau n, atau ia telah ditimpa  ujian dan cobaan ketika di dunia yang dengan itu akan menjadi kaffarah bagi dosanya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya, hal. 175)
Namun lihatlah seorang yang bernama Sayyid Quthub yang mencela para shahabat Nabi n, buta mata hatinya dari melihat keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh para shahabat, sehingga dengan berani dan lancangnya Sayyid mencerca dan mencela mereka. Di antara cercaan Sayyid kepada para shahabat Rasulullah n, sebagaimana yang dapat kami sebutkan berikut ini:
1. Ia menjelekkan shahabat yang mulia, menantu Rasulullah n yang digelari Dzun Nuraini (karena pernah mempersunting dua putri beliau n) Amirul Mukminin ‘Utsman z, dengan tidak menganggap masa kekhilafahannya. Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk: “Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakar dan ‘Umar c, -pen.) dan sesungguhnya masa ‘Utsman merupakan celah di antara keduanya.” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah, hal. 206)
Ia menuduh bahwa gambaran tentang hakikat hukum Islam mengalami perubahan pada masa pemerintah ‘Utsman. Ia berkata: “Sungguh termasuk aspek yang buruk, ‘Utsman menemui masa khilafahnya dalam keadaan ia telah tua renta, lemah semangatnya untuk meneguhkan Islam dan lemah keinginannya untuk menyumbat makar Marwan dan makar Umayyah yang datang dari belakangnya.” (hal. 186)
Dituduhnya pula ‘Utsman dengan tuduhan dusta bahwa beliau tidak baik pengaturannya dalam masalah harta kaum muslimin, mengutamakan keluarganya untuk memimpin manusia dengan pernyataannya: “Utsman rahimahullah memahami bahwa keberadaannya sebagai imam menganugerahkannya kebebasan dalam mengatur  harta kaum muslimin, ia bebas memberi dan menghadiahkan. Sehingga di kebanyakan kesempatan ia memberikan harta tersebut kepada orang yang dijadikannya sebagai pimpinan dalam perpolitikan. Bila tidak demikian, maka dalam perkara apa engkau menjadi imam/ pimpinan? Sebagaimana ‘Utsman dianugerahi kebebasan untuk membawa Bani Mu’ith dan Bani Umayyah dari kalangan kerabatnya untuk memimpin manusia, dan di kalangan keluarganya ini ada Al-Hakam (ibnul ‘Ash) yang pernah diusir oleh Rasulullah. Hal itu semata-mata dilakukannya karena ia menganggap bahwa termasuk kewajibannya adalah memuliakan keluarganya, berbuat baik pada mereka dan menjaga/ memperhatikan mereka.”  (hal. 186)
Sebagaimana ia menuduh ‘Utsman telah menyimpang dari ruh Islam dengan pernyataannya: “Sungguh para shahabat (ketika itu) memandang bahwa (apa yang terjadi di masa ‘Utsman) merupakan penyimpangan dari ruh Islam, maka mereka pun saling memanggil kembali ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah (yakni ‘Utsman z,,,, pen) dari ujian. Sementara khalifah dalam ketuaan dan kerentaannya tidak dapat menguasai perkaranya dari Marwan. Sungguh termasuk perkara yang sulit bagi kita untuk menjelekkan ruh Islam pada diri ‘Utsman, namun termasuk perkara yang sulit juga bagi kita untuk memaafkannya dari kesalahan, yang kesalahannya ini bertemu dengan kejelekan dalam kepemimpinan khilafahnya, sementara dia adalah orang  tua yang tidak berdaya yang diliputi oleh keburukan Umayyah.” (hal. 187)5
Bahkan Sayyid Quthb ini memuji pemberontakan yang dilakukan terhadap Khalifah ‘Utsman dengan menyatakan: “Pada akhirnya meletuslah pemberontakan terhadap ‘Utsman. Tercampurlah dalam pemberontakan itu Al-Haq dengan Al-Bathil, kebaikan dengan kejelekan. Namun orang yang melihat perkara dengan mata Islam dan merasakan perkara dengan ruh Islam, mau tidak mau akan menetapkan bahwa pemberontakan itu dalam keumumannya lebih dekat kepada ruh Islam dan mengarah pada ruh Islam daripada tindakan ‘Utsman, atau lebih lembut dan halus daripada tindakan Marwan dan Bani Umayyah yang ada di belakangnya.” (hal. 189)6
2. Orang ini tidak berhenti sampai di situ, ia juga mencela para shahabat Muhajirin dan Anshar dari kalangan Ahli Badr, Bai’atur Ridhwan dan ahlu syura. Ia berkata: “Sungguh termasuk perkara yang sudah menjadi kodrat bahwasanya orang-orang yang mencari manfaat ini tidaklah ridha terhadap ‘Ali z dan mereka tidak rela dengan syariat persamaan hak (yang ia maksudkan adalah kaum Muhajirin, -pen.) Demikian pula orang-orang yang melanggar keutamaan dan menginginkan monopoli (yang dimaksudkannya adalah kaum Anshar, –pen.). Mereka ini pun pada akhirnya bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok Umayyah, di mana di dalamnya mereka bisa mencari muka untuk memenuhi ambisi mereka.” (hal. 193).
3. Ia menukil berita dusta dan mengada-ada yang disandarkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah  kepada  para shahabat Rasulullah n. Sayyid berkata:  “Cukuplah bagi kami untuk  menampilkan contoh kemewahan yang sangat yang dibawakan oleh Al-Mas’udi7 (seorang Syi’ah yang hasad kepada para shahabat Rasulullah n,, pen). Al-Mas’udi berkata: “Pada masa ‘Utsman, para shahabat mengumpulkan sawah ladang dan harta. ‘Utsman pada hari terbunuhnya, didapatkan dalam simpanan hartanya ada sekitar 150 ribu dinar dan ribuan dirham. Sementara nilai sawah ladangnya yang ada di Wadi Al-Qura, Hunain dan selainnya sekitar 100 ribu dinar. Dia juga meninggalkan unta dan kuda yang banyak. Adapun Az-Zubair, harta peninggalannya setelah wafatnya mencapai harga 50 ribu dinar dan ia meninggalkan 1.000 ekor kuda dan 1.000 budak perempuan. Adapun Thalhah maka hasil buminya dari negeri Iraq mencapai 1.000 dinar setiap hari dan dari Nahiyatus Sarah lebih banyak lagi. Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf di tempat pertambatannya ada 1.000 ekor kuda, ia juga punya 1.000 ekor unta, 10 ribu ekor kambing, dan seperempat dari peninggalan hartanya setelah wafatnya mencapai 84 ribu. Lain lagi Zaid bin Tsabit, ia meninggalkan emas dan perak yang bisa memecahkan kapak-kapak. Di samping itu ia juga meninggalkan harta yang lain dan sawah ladang. Az-Zubair membangun rumahnya di Bashrah, juga di Mesir, Kufah dan Iskandariyah. Thalhah juga demikian, ia membangun rumahnya di Kufah dan memperindah rumahnya di Madinah dengan membangunnya dengan kapur, batu bata dan pohon jati. Sa’d bin Abi Waqqash membangun rumahnya di ‘Aqiq, meninggikan atap/tiangnya dan meluaskan halamannya…” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah hal.  209-210) dan seterusnya dari ucapan Syi’i yang  penuh kedustaan.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Orang yang memikirkan dengan mendetail tindakan-tindakan Sayyid Quthub dan tata caranya serta mengetahui madzhabnya niscaya akan tahu bahwa Sayyid Quthub ini seorang pencela, sehingga ‘Umar z pun akan terkena celaannya, karena sepanjang hidupnya ‘Umar melebihkan (sebagian muslimin) dalam pemberian. Melebihkan satu dari yang lain yang dijalankan oleh ‘Umar ini, merupakan kezaliman dalam pandangan Sayyid Quthub. Hanya saja ia meninggalkan cercaan kepada ‘Umar sebagai penyamaran dari satu sisi dan agar bisa menjalankan doktrin sosialis pada sisi yang lain. Orang yang memikirkan dengan teliti dan memahami ucapan Sayyid Quthub akan tahu  bahwa ia mengharuskan pemerintah/ penguasa untuk merampas/ mengambil dengan paksa harta-harta umat dan membaginya dengan cara sosialis-marxis.”8
4. Ia mencela  Mu’awiyah dan  ‘Amr ibnul ‘Ash c, dan bersikap ghuluw terhadap ‘Ali z. Ia berkata dalam kitabnya Kutub wa Syakhshiyyat (hal. 242-243): “Mu’awiyah dan temannya yang bernama ‘Amr tidaklah mengalahkan ‘Ali dikarenakan keduanya lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh jiwa-jiwa manusia dan lebih memahami untuk bertindak dengan tindakan yang bermanfaat yang sesuai sikon daripada ‘Ali. Akan tetapi mereka berdua bisa memerangi dan mengalahkan ‘Ali dikarenakan bebasnya mereka menggunakan setiap kotoran dan makar, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam memilih sarana-sarana bergumul. Tatkala Mu’awiyah dan temannya ini cenderung kepada dusta, tipu daya, nifaq, sogok menyogok dan jual beli hak/ kehormatan, ‘Ali pun tidak dapat turun mengikuti mereka ke derajat yang paling rendah ini. Maka tidaklah heran keduanya sukses sedangkan ‘Ali gagal, namun kegagalan itu lebih mulia dari seluruh kesuksesan.”9
Masih banyak lagi cercaan, tuduhan dan dugaan jelek yang dilemparkan Sayyid Quthub terhadap para shahabat Rasulullah n. Namun pemaparan di atas cukuplah sebagai gambaran bagi kaum muslimin akan kejahatan Sayyid Quthub terhadap para shahabat .
Asy-Syaikh Rabi‘ hafizhahullah berkata: “Demikianlah Sayyid Quthub mengarahkan cercaan yang zalim dan tuduhan yang penuh dosa kepada para shahabat tanpa hujjah, bukti, petunjuk dan ilmu serta tanpa sumber terpercaya kecuali sekedar khayalannya yang tumbuh dari aqidah sosialisnya yang ghuluw dan kecuali dari racun-racun yang diminumnya sampai puas dari sumber-sumber Rafidhah dan pengajaran-pengajaran  orang-orang sosialis.” (Adhwa’u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah )
Dan tentunya akan lebih adil kalau kita juga melihat bagaimana aqidah Sayyid dan pemikirannya, agar menjadi jelas bagi kita siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para shahabat  mulia yang dicercanya?
1. Aqidah wihdatul wujud dan hululiyyah Dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur`an (6/4003-4004) tentang tafsir surat Al-Ikhlas, ia berkata:  “Sesungguhnya alam ini adalah kesatuan wujud. Tidak ada di sana hakikat kecuali hakikat-Nya. Dan tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Maka seluruh wujud yang lain hanyalah bersandar wujudnya kepada Wujud yang hakiki itu.” Ucapannya ini, jelas sekali menunjukkan pemahaman wihdatul wujud.
Demikian pula ucapannya: “Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia itu merasakan penderitaan dalam menjalani kenyataan hidup, namun bersamaan dengan itu mereka mestinya merasakan bahwasanya tidak ada hakikat kecuali Allah dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela aqidah Nirwana10 yang dianut oleh pemeluk Hindu Budha.11
2.  Meremehkan dakwah para rasul yang hanya berpusat pada larangan beribadah kepada berhala (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114), sementara ia sendiri tidak mengingkari kesyirikan yang dilakukan di kuburan-kuburan12.
3. Menolak sifat-sifat Allah I sebagaimana kelompok bid‘ah Jahmiyyah, seperti ketika ia menolak sifat istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya di saat menafsirkan surat Yunus ayat 1 (Fi Zhilalil Qur`an, 3/1762-1763). Ia menganggap sifat-sifat Allah itu hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya.13
4.   Menganggap Al Qur`an itu bukan kalamullah tetapi makhluk, dalam Fi Zhilalil Qur`an (5/2715): “Akan tetapi mereka tidak kuasa untuk menyusun satu surat pun yang semisal kitab Al Qur`an ini karena kitab ini adalah buatan Allah bukan buatan manusia.”14
5.   Mencela Nabiyullah Musa u dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an (hal.  200-204) bahwa Nabi Musa adalah seorang pemimpin yang membela ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatik golongan/suku), seorang yang emosional tidak sabaran, tidak memiliki ketenangan. Ia berjanji tidak akan menjadi penolong orang-orang yang berbuat dosa, namun perbuatannya menyelisihi janjinya dengan membantu seseorang dari kaumnya yang berkelahi dengan seseorang dari kaum Fir’aun, ia meminta kepada Allah dengan permintaan yang tidak pantas.15
6. Seorang sufi yang ghuluw dan berbahaya dengan pernyataannya: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, (aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu dan bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu”, dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an.
Pemikiran seperti ini disebutkan oleh sebagian Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pemikiran seorang zindiq.16
Dan masih banyak lagi model penyimpangan orang ini, namun beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub. Namun ternyata dengan kebobrokan dan borok menjijikkan yang ada padanya, tidaklah membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para shahabat yang mulia.
Mungkin sekelompok manusia akan menyalahkan kita, karena kita menjelekkan Sayyid Quthub pencela shahabat Nabi . Sementara katanya, dia adalah seorang yang punya banyak jasa terhadap Islam, dia gugur sebagai syahid, dia begini, dia begitu dan seterusnya dari sederet pujian untuk si Sayyid. Lalu orang itu memberikan pembelaan terhadap Sayyid Quthub karena ghirahnya terhadap tokoh nyeleneh dan bebal17 ini. Maka kita katakan kepadanya sebagaimana ucapan Asy-Syaikh Rabi’18 hafizhahullah: “Wahai sekalian muslimin, di mana ghirah kalian terhadap aqidah Islamiyyah (yang dirusak oleh orang seperti Sayyid Quthub)? Di mana ghirah kalian terhadap tokoh-tokoh umat ini (para shahabat Rasulullah n yang dicela oleh Sayyid Quthub)? Di mana sikap kalian bila dibandingkan dengan sikap salaful ummah terhadap orang yang mencela shahabat Rasulullah n? Dan sampai kapan kalian sabar menanggung kezaliman, kelaliman dan penganiayaan ini?”
Wallahul musta’an.
1 Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata Al-Fathu di sini. Mayoritas ulama menafsirkan dengan pembukaan kota Makkah. Adapun Asy-Sya’bi dan yang lain menafsirkan dengan Perjanjian Hudaibiyah.
2 Para shahabat itu memang berbeda-beda derajat, keutamaan dan kemuliaannya, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq lebih utama dari shahabat-shahabat yang lain, kemudian setelahnya para Al-Khulafa` Ar-Rasyidun yang lain, dan seterusnya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah beserta syarahnya, hal. 167-169)
3 Ta‘zir adalah hukuman yang tidak dapat dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya secara umum. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/254)
4 Mendiamkan, tidak memberikan pendapat
5 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-14 Ramyu ‘Utsman bil inhiraf ‘an ruhil Islam
6 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-15 Sayyid Quthb yara anna ats-tsaurah al-lati qadaha Ibnu Saba` Al-Yahudi aqrabu ila ruhil islam min ‘Utsman bin ‘Affan.
7 Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Bila pembaca merujuk pada kitab Al-Mas‘udi niscaya akan mengetahui bahwa Al-Mas‘udi membawakan kedustaan ini untuk mencela shahabat-shahabat besar tersebut.” (Adhwa` Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min Utsman wa mu‘dhamis shahabah
8 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
9 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
10 Nirwana maknanya selamat, yakni selamatnya ruh yang terus menerus mengalami perbaikan di tengah peredaran dan perputarannya dalam menitis ke tubuh-tubuh manusia. Ketika telah selamat, ruh ini tidak butuh lagi untuk menitis karena ia telah selamat dari perjalanan tersebut dan telah menyatu dengan Sang Pencipta. Ia telah meninggalkan jasad di alam materi dan masuk ke alam yang kekal abadi. Derajat Nirwana atau tercapainya keselamatan itu merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan bagi penganut Hindu dan Budha.
11 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-9 Qaul Sayyid Quthub bi ‘aqidah wihdatul wujud wal hulul wal jabr, karya Asy-Syaikh Rabi‘ Al-Madkhali, Al-’Awashim Mimma fi Kutub Sayyid Quthb minal Qawashim pasal ke-5, karya Asy-Syaikh Rabi’ dan makalah Asy-Syaikh Rabi’ berjudul: Qaul Sayyid Quthb bi ‘Aqidah Wihdatul Wujud wal Hulul wal Jabr wa Difa‘uhu ‘an-Aqidah An-Nirfana Al-Hindukiyyah Al-Budziyyah
12 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-6 Asy-syirku wa ‘ibadatul awtsan ‘inda Sayyid waman sara nahjihii
13 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-10 Ghuluw Sayyid fi ta‘thil sifatillah kama huwa sya’nu Jahmiyyah dan  Makalah Asy-Syaikh Rabi‘ berjudul: Min Ushuli Sayyid Quthub Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafis Shalih
14 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-8 Qaulu Sayyid bi khalqil Qur’an wa anna kalamillahi ‘ibaratun anil iradah
15 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal pertama Adabu Sayyid ma‘a rasulillah dan kalimillah Musa ‘alaihis shalatu wa sallam
16 Makalah Syaikh Rabi‘: Min Ushuli Sayyid Quthb Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafish Shalih
17 Dikatakan demikian karena telah dinasehati oleh Asy-Syaikh Mahmud Syakir agar tidak mencela shahabat, namun Sayyid malah membenarkan perbuatannya mencela shahabat. (Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah)
18 Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
Diambil dari: asysyariah.com
Di sebarkan oleh : Blog Al Islam
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger