Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label index. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label index. Tampilkan semua postingan

Mengkompromikan Dua Dalil Lebih Utama

Written By sumatrars on Minggu, 22 Maret 2015 | Maret 22, 2015

Kaidah Fikih, Dalil, Fikih, Kaidah, Menyikapi, Pertentangan.

18/03/2015 by Ibnu Majjah

Alhamdulillah, kita memuji dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada kita, selanjutnya shalawat dan salam teruntuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, Amma ba’du:

Kaedah Fikih yang kita posting pada kesempatan yang mulia ini adalah:

Ø¥ِعْÙ…َالُ الدَّÙ„ِÙŠْÙ„َÙŠْÙ†ِ Ø£َÙˆْÙ„َÙ‰ Ù…ِÙ†ْ Ø¥ِÙ‡ْÙ…َالِ Ø£َØ­َدِÙ‡ِÙ…َا Ù…َا Ø£َÙ…ْÙƒَÙ†َ

Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunyaselamamasihmemungkinkan

Kaidah ini menjelaskan patokan yangharus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.

Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.

Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkinmaka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhirlalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.

Silahkan simak eBook ini lebih lanjut dan temukan contoh penerapannya…

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Upaya Keji Penculikan Jasad Rasulullah

Written By sumatrars on Minggu, 18 Januari 2015 | Januari 18, 2015

Category : Manhaj , Kuburan, Nabi, Pembongkaran, Penculikan, Rasulullah
Source article: IbnuMajjah.Com

Segala puji hanya bagi Allah عزّوجلّ, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Baru-baru ini tersebar berita yang sangat menarik perhatian kaum muslimin. Ketika calon jam’ah haji hendak berangkat ke Tanah Suci, mereka dikejutkan dengan berita bahwa kuburan Rasulullah صلى الله عليه وسلم akan dibongkar dan jasad beliau yang mulia akan dipindahkan ke pekuburan umum di Baqi’.

Demikianlah kabar yang dihembuskan oleh para musuh Islam yang berasal dari media Inggris The Independent dan Daily Mail lalu disebarkan keseluruh dunia dan media-media sosial hingga menimbulkan keresahan dan makian kepada negara Tauhid ‘Saudi Arabia’.

Demikianlah berita bohong diatas kebohongan tersebut dan amat sayang ini dimanfaatkan oleh orang yang benci kepada dahwah tauhid, padahal orang-orang zindiq dan kaum kuffarlah yang berusaha membokar kuburan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagaimana diceritakan para pakar sejarah Islam.

Simaklah eBook ini dan kita akan mengetahui faktanya, dan kami berharap kita kaum muslimin tidak mudah terprovokasi dan selalu tabayyun karena kita adalah bersaudara…

Download Format Word

Klik Untuk di Download

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Dakwah Kepada Islam atau Kepada Kelompok Islam

Written By sumatrars on Jumat, 09 Januari 2015 | Januari 09, 2015

Category : Dkwah,Manhaj
Source article: eBook Ibnumajjah.Com

Posted on 09/01/2015 by Blog Al Islam

Nama eBook: Dakwah Kepada Islam atau Kepada Kelompok Islam

Penulis: Ustadz Abu Hafshah Abdurrahman al-Buthoni حفظه الله

Pengantar:

الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، والصلاة والسلام على إمام المرسلين، نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد

Dakwah kepada Allah merupakan kewajiban terpenting, ibadah dan ketaatan paling mulia, karena dengannya menjadi jelas antara hidayah dan kesesatan dan ia merupakan tugas para rasul dan pengikut mereka hingga hari Kiamat, hingga Allah عزّوجلّ mengutus nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم dan beliau terus berdakwah kepada jalan yang lurus hingga Allah عزّوجلّ memenangkannya di atas semua agama dan umat manusia masuk ke dalam agama-Nya berbondong-bondong lalu beliau wafat dalam keadaan Allah عزّوجلّ telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya.

Alhamdulillah dewasa ini dakwah Islam kian semarak di mana-mana. Buah yang dihasilkan pun cukup cemerlang berupa semakin banyaknya umat yang mengikuti kegiatan keislaman.

Namun sayang sebagian aktivis dakwah tidak lagi mempedulikan apakah dakwah mereka sesuai dengan dakwah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya ataukah malah berseberangan. banyak da’i tidak mengetahui maksud berdakwah yaitu mengajak kepada apa dan kepada siapa dan dengan cara apa.

Masyarakat pun menyangka bahwa setiap dakwah dan setiap da’i pasti melambangkan dakwah Islam yang hakiki.

Penulis -semoga Allah menjaganya- menjelaskan fenomena ini dan akibat yang ditimbulkan olehnya, kemudian kami berdo’a semoga para da’i ikhlas dan berilmu mengajak manusia kepada Islam yang sesungguhnya, amin…

Download eBook Format Word:

Klik untuk Download

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bahasan Utama,Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah

Written By sumatrars on Kamis, 08 Januari 2015 | Januari 08, 2015

Category : Bahasan Utama, Kalender, Hijriyah, Masehi, Tasyabbuh

Raihlah Enam Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Suatu fenomena yang menyedihkan, banyak di antara kaum muslimin yang masih asing dengan kalender mereka sendiri, bukan hanya orang awamnya, namun juga thalabatul ‘ilmi (penuntut ilmu agama) di antara mereka. Padahal di dalam penggunaan kalender Hijriyyah terdapat banyak barakah dan keuntungan. Sayangnya, banyak dari kaum muslimin tidak mengetahui keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kalender Hijriyyah dalam kesehariannya. Nah, berikut enam keuntungan yang bakal Anda dapatkan jika Anda menggunakan kalender Hijriyyah,

  1. Menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Ketauhilah,berkalender Hijriyyah merupakan perintah Allah, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”(QS. Al-Baqarah: 189).

Sisi pendalilan

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda mulai dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya hilal dimulailah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Dengan demikian, hilal-hilal itu sebagai patokan waktu dalam kehidupan manusia dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qamariy (berdasarkan peredaran bulan) karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa berkalender Hijriyyah merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له

Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul Fithri). Maka apabila (pandangan) kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh“(HR. Al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762).

Sisi pendalilan

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata,

Aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ (kesepakatan) sahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Istikhdamut Tarikhil Miladi,http://www.dorar.net/art/223).

  1. Berpegang Teguh Dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ Sahabat

Berkalender Hijriyyah merupakan bentuk berpegang teguh dengan Sunah Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ sahabat, mengapa?

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya,

Bab Penanggalan. Darimana mereka menentukan penanggalan?

عن سهل بن سعد قال ما عدوا من مبعث النبي صلى الله عليه وسلم ولا من وفاته ما عدوا إلا من مقدمه المدينة

Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Mereka (para Sahabat) tidaklah menghitung (penanggalan) berdasarkan saat diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula berdasarkan wafat beliau, namun hanyalah berdasarkan awal tahun masuknya beliau ke kota Madinah (Hijrah)”.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang sejarah asal pencanangan kalender Hijriyyah, bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ditegur oleh Abu Musa radhiallahu ‘anhu ketika menulis surat tanpa tanggal lalu Umar pun memerintahkan orang-orang untuk membuat penanggalan dengan dasar hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka pun melakukannya (http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7151&idto=7154&bk_no=52&ID=2186).

Berarti nampak dari penjelasan di atas, bahwa pencetus kalender Hijriyyah adalah salah satu dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dan diikuti oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum tanpa ada penentangan sedikit pun, ini menandakan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara mereka.

  1. Berkalender Hijriyyah Berarti Memudahkan Kita Mengetahui Waktu-Waktu Ibadah

Banyak waktu-waktu ibadah yang ditentukan dengan kalender Hijriyyah, misalnya tentang ibadah haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).

  1. Berkalender Hijriyyah artinya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelisihi musyrikin
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum memerintahkan kita untuk menyelisihi perkara yang menjadi ciri khas kaum musyrikin, beliau bersabda,

خالفوا المشركين

Selisihilah kaum musyrikin!” (Muttafaqun ‘alaihi).

Sedangkan nashara serta romawi sebagai biang kerok munculnya kalender masehi adalah bagian dari kaum musyrikin. Maka, kita dituntut untuk menyelisihi mereka dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka (diantaranya dalam masalah berkalender masehi) (baca Tahukah Anda 5 Rahasia dibalik kalender masehi?).

  1. Berkalender Hijriyyah Menunjukkan Keterikatan Diri Kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
    Hal ini karena dasar perhitungan kalender Hijriyyah adalah berdasarkan hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga membuat setiap orang yang berpenanggalan dengan kalender ini akan mengingat hjrah dan perjuangan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengingatkan pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum muslimin di masa lalu. Selanjutnya diharapkan setiap muslim yang berkalender dengannya akan bisa mengambil suri tauladan dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.

  2. Berkalender Hijriyyah Artinya Mengibarkan Bendera Syi’ar Umat Islam dan Simbol Kekokohan Jati Diri Mereka
    Umat Islam bukan umat pengekor. Umat Islam adalah pemimpin dunia. Khalifatun fil ardh, maka tentunya tidak pantas kalau mengambil simbol kuffar dengan penanggalan masehi. Bahkan seorang muslim diperintahkan untuk memiliki jati diri yang khas.

Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wa sallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.

Source article: Muslim.Or.Id

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Apa Hukum Merayakan Maulid Nabi?

Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015

Category : Manhaj, Maulid Nabi
Source article: Muslim.Or.Id

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.

Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?

Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).

***

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Riba Biang Keladi Kemacetan

Category : Bahasan Utama, Riba,Kredit
Source article: Muslim.Or.Id

Tahu tidak, biang keladi kemacetan di kota-kota besar di tanah air adalah riba. Kenapa bisa?

Bisa saja. Karena sekarang kredit leasing semakin merajalela. Jika kredit semakin dipermudah, berarti kendaraan bermotor semakin banyak di jalan-jalan. Kita lihat sendiri bagaimana jumlah motor dan mobil yang semakin meningkat belakangan ini. Bisa terjadikan peningkatan yang sangat dahsyat dikarenakan kredit semakin dipermudah. Coba bayangkan dengan uang satu juta, seseorang sudah bisa bawa pulang motor. Dengan DP 25 juta-an, mobil Avanza sudah bisa di tangan.

Itu semua yang mengakibatkan kemacetan. Jadi biang keladi sebenarnya adalah pada kredit leasing. Leasing saat inilah yang tak lepas dari riba.

Leasing yang Tak Lepas dari Riba

Pembelian mobil atau motor melalui jasa leasing atau jasa bank, mungkin jika kita saksikan seperti terjadi jual beli. Padahal kenyataannya yang terjadi adalah utang piutang.

Buktinya apa?

Yang sebenarnya terjadi adalah customer memesan kendaraan pada dealer dengan cara pembayaran tertunda. Karena pembayaran demikian, maka pihak dealer yang tidak ingin uang berputar lama bekerja sama dengan pihak leasing. Pembayaran secara cash dilakukan oleh pihak leasing pada dealer. Selanjutnya pelunasan pembayaran dari customer diteruskan pada pihak leasing.

Hakekat transaksi yang terjadi antara leasing dan konsumen bukanlah jual beli. Namun pihak leasing mengutangkan lantas mengambil untung dari utang piutang tersebut. Padahal para ulama telah sepakati bahwa setiap utang piutang yang di dalamnya ditarik keuntungan atau manfaat, maka itu adalah riba.

Misalnya ingin mendapatkan motor vario 17 juta rupiah secara cash. Namun cicilan lewat leasing atau bank menjadi 22 juta rupiah. Hakekat yang terjadi adalah 17 juta rupiah dipinjamkan dari pihak leasing atau bank dan 22 juta rupiah itulah total cicilannya. Keuntungan tersebutlah yang disebut riba.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kenapa tidak bisa dikatakan jual beli?

Karena pihak leasing tidak memiliki kendaraan. Yang memiliki barang adalah pihak dealer yang langsung dijual pada pihak konsumen. Kalau dikatakan pihak leasing yang menjual tidaklah benar karena kendaraan tersebut tidak berpindah tangan pada pihak leasing. Pihak leasing pun bisa melanggar hadits berikut.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Riba Hanya Mengundang Murka Allah

Bukan hanya dampak dari menyebarnya kredit leasing yang dihukumi riba ini pada kemacetan jalan. Namun lebih daripada itu, tersebarnya riba semakin mengundang murka Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kita dengan yang halal dan menjauhkan kita dari yang haram.

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak
[Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu] (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan kata Syaikh Al Albani)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perkara Duniawi Bukan Patokan Kebaikan

Category : Al-Quran, harta, kekayaan, pahala, Tafsir, tazkiyatun nafs
Source article: Muslim.Or.Id

(Disarikan dari Al Qawa’idul Hisan Al Muta’alliqah bit Tafsiril Qur’an, karya Syaikh As’Sa’di rahimahullah)

Penulis: Yulian Purnama

28 November 2014,

Sebagian kita mungkin masih tertipu dengan kaidah yang menyesatkan, yaitu jika seseorang merasa dalam keadaan hebat, kaya raya, harta melimpah, kedudukan tinggi, itu pertanda bahwa Allah memberinya kebaikan. Dunia itu menipu, dan ini adalah salah satu tipuannya. Dan ternyata Allah Ta’ala dalam Al Qur’an telah banyak mengingatkan kita akan hal ini.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaparkan sebuah kaidah berharga: “Al Qur’an membimbing manusia agar memahami bahwa ukuran kebaikan seorang insan adalah dari iman dan amal shalihnya. Adapun sekedar merasa dalam kebaikan atau dengan berpatokan dengan karunia duniawi yang Allah berikan padanya, atau dengan kedudukannya, semua ini merupakan sifatnya kaum yang menyimpang” (Qawa’idul Hisan, 126).

مَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Saba: 37)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’ara: 88-89).

dan banyak lagi ayat yang menjadikan iman dan amal shalih sebagai ukuran kebaikan di hadapan Allah, dan menafikan harta dan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan.

Di sisi lain, Al Qur’an juga memberikan hikmah yang berharga bahwasanya sikap gemar mengaku-ngaku bahwa ia sudah berada dalam kebaikan tanpa dibuktikan dengan praktek nyata dan juga sikap gemar menjadikan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan adalah sikapnya orang-orang yang menyimpang.

فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

maka ia (orang kafir) berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat“” (QS. Al Kahfi: 34).

Ia pun berkata:

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا

dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”” (QS. Al Kahfi: 36)

Allah Ta’ala berfirman, menceritakan kelakukan kaum Yahudi dan Nasrani:

وَقَالُوا لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“” (QS. Al Baqarah: 111).

Allah menjawab pengakuan mereka tersebut:

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS. An Nisa: 123).

Pengakuan tetapkan hanya pengakuan, Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada gunanya mengaku-ngaku dan merasa sudah baik, sudah shalih, sudah rajin beribadah, namun yang dilihat oleh Allah adalah amalan kita, bukan pengakuannya. Apakah amalan kita sudah sesuai dengan pengakuan? Apakah amalan kita sudah shalih? Ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya? Inilah yang semestinya menjadi perhatian.

Dan jelaskan bahwa perkara duniawi itu sama sekali bukanlah patokan kebaikan seseorang. Orang yang mendapat kelebihan dalam perkara duniawi, bukan berarti Allah merahmatinya. Dan orang yang diuji dengan kekurangan dalam perkara dunia, bukan berarti Allah memurkainya. Allah Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sama sekali bukanlah demikian!” (QS. Al Fajr: 15-17).

Demikian semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tazkiyatun Nufus, Azab Lewat Hujan

Category : Tazkiyatun Nufus

* Diambil dari buku penulis: Panduan Amal Shalih di Musim Hujan terbitan Pustakan Muslim.

Selesai disusun di pagi hari, 6 Safar 1436 H di Darush Sholihin

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Source article: Muslim.Or.Id

29 November 2014

Saat ini musim hujan. Satu hal yang mesti dipahami tentang hujan, hujan kadang diturunkan sebagai rahmat, kadang sebagai siksa atau hukuman.

Hujan Sebagai Rahmat

Hujan adalah rahmat Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil. (Lihat Zaadul Masiir, 5: 322)

Hujan itu adalah rezeki yang sifatnya umum bagi seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ

Dan di langit terdapat rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz Dzariyat: 22). Yang dimaksud dengan rezeki di sini adalah hujan sebagaimana pendapat Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas, Laits dari Mujahid dan mayoritas ulama pakar tafsir. (Lihat Zaadul Masiir, 5: 421)

Ath Thobari mengatakan, “Di langit itu diturunkannya hujan dan salju, di mana dengan sebab keduanya keluarlah berbagai rezeki, kebutuhan, makanan dan selainnya dari dalam bumi.” (Tafsir Ath Thobari, 21: 520)

Bukti sebagai rahmat, hujan adalah pertolongan untuk wali Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّن السَّمَاء مَاء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ

“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al Anfal: 11)

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan yang Allah turunkan dari langit ketika hari Badr dengan tujuan mensucikan orang-orang beriman untuk shalat mereka. Karena pada saati itu mereka dalam keadaan junub namun tidak ada air untuk mensucikan diri mereka. Ketika hujan turun, mereka pun bisa mandi dan bersuci dengannya. Setan ketika itu telah memberikan was-was pada mereka yang membuat mereka bersedih hati. Mereka dibuat sedih dengan mengatakan bahwa pagi itu mereka dalam keadaan junub dan tidak memiliki air. Maka Allah hilangkan was-was tadi dari hati mereka karena sebab diturunkannya hujan. Hati mereka pun semakin kuat. Turunnya hujan ini pun menguatkan langkah mereka. … Inilah pertolongan Allah kepada Nabi-Nya dan wali-wali Allah. Dengan sebab ini, mereka semakin kuat menghadapi musuh-musuhnya.” (Tafsir Ath Thobari, 11: 61-62)

Hujan Bisa Jadi Sebagai Siksa

Lihatlah azab pada kaum Nuh,

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan difirmankan:Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.“” (QS. Hud: 44)

Lihatlah pula azab pada kaum ‘Aad,

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al Ahqaf: 24-25)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir dengan mendung hitam, beliau khawatirkan itu adalah azab. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ فِى وَجْهِهِ . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا ، رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ ، وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَ فِى وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ . فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَا يُؤْمِنِّى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ ، وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا ( هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا ) »

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mendung atau angin, maka raut wajahnya pun berbeda.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasululah, jika orang-orang melihat mendung, mereka akan begitu girang. Mereka mengharap-harap agar hujan segera turun. Namun berbeda halnya dengan engkau. Jika melihat mendung, terlihat wajahmu menunjukkan tanda tidak suka.” Beliau pun bersabda, “Wahai ‘Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman? Siapa tahu ini adaah azab. Dan pernah suatu kaum diberi azab dengan datangnya angin (setelah itu). Kaum tersebut (yaitu kaum ‘Aad) ketika melihat azab, mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (HR. Bukhari no. 4829 dan Muslim no. 899)

Semoga jadi renungan berharga bagi kita. Moga Allah turunkan pada kita hujan yang bermanfaat, bukan hujan yang membawa petaka dan azab.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3)

Written By sumatrars on Jumat, 02 Januari 2015 | Januari 02, 2015

Category : Akhlaq dan Nasehat
Source article: Muslim.Or.Id

Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal

Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:

Pertama, teguran dan nasihat yang baik

Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]

Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]

Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah

Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]

Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]

Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]

Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.

Bolehkah Memukul Anak yang Nakal untuk Mendidiknya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]

Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.

Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.

Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]

Cara-Cara Menghukum Anak yang Tidak Dibenarkan Dalam Islam[10]

Di antara cara tersebut adalah:

  1. Memukul wajah

  2. Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]

  3. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas

  4. Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]

  5. Memukul dalam keadaan sangat marah

  6. Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.

    Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]

  7. Bersikap terlalu keras dan kasar

  8. Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]

  9. Menampakkan kemarahan yang sangat

Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]

Penutup

Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.


Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (2)

Written By sumatrars on Kamis, 01 Januari 2015 | Januari 01, 2015

Category : Akhlaq dan Nasehat,Perilaku
Source article: Abunamira.wordpress.com

Transcribed on : 01 Januari 2015 M

Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).

Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah manusia itu dewasa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[1]

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[2]

Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[3]

Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[5]

Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….

(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[6]

Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.”[7]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[8]

Ketiga, sumber bacaan dan tontonan

Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.

Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف

Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[9]

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).

Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[10]

- bersambung insya Allah    -

References

[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.
[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.
[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.
[5] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.
[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.
[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.
[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.
[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.
[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.

Bersambung ke > Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3)

Anak Nakal Bagaimana Mengatasinya (1)

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami / Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger