AQIDAH
Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin
dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
Mencela sesama kaum muslimin secara
umum termasuk dalam perbuatan dosa besar, apalagi mengkafirkan sesama muslimin.
Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ،
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan
memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)
Lebih dari itu adalah mencela
sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan
ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena
lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak
kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal
ini.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا
بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ
يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Janganlah seseorang menuduh orang lain
dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena
tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak
sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا
كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada
saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari
keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا
أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah
seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)
Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ
إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah
seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)
Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang
diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis)
sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat
perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir
hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga
dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya
agama Islam.
Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadits di atas.
Penjelasan pertama, hadits di atas dimaknai bagi orang-orang yang
meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau
seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah
yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir.
Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika
pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat,
namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat.
Penjelasan ke dua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa
pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya.
Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.
Penjelasan ke tiga, sebagian ulama memaknai hadits ini khusus untuk
orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat
ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini
lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir
sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi
mengkafirkan sesama muslimin.
Penjelasan ke empat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan
mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar
menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak
bertaubat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.
Penjelasan ke lima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis
(tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal
ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka
seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan
yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan).
Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadits bahwa siapa saja yang
menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan
kembali kepada si penuduh.
Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir
adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari
perbuatan mengkafirkan sesama muslimin. [Selesai]
Sumber: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah,
karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 86-90.
Penulis; Rachmat.M.Ma,Flimban
Artikel: Muslim.or.id ; Penulis: M