Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Nasehat Syaikh Shalih Al Fauzan Dalam Menyambut Ramadhan

Written By sumatrars on Senin, 21 Juli 2014 | Juli 21, 2014

Labels : Nasehat Ulama, bulan puasa, Lailatul Qadar, Puasa, Ramadhan, ramadhan mubarak

Posted: 19 Jun 2014 07:19 AM PDT

Suatu saat, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mendapat pertanyaan, “kami mengharapkan dari anda suatu bimbingan dan arahan yang berkaitan dengan kedatangan bulan Ramadhan? Apa yang wajib dilakukan oleh seorang muslim dalam menghadapi hal itu?

Beliau menjawab :

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan pengikutnya, dan segenap para sahabatnya. Amma ba’du.

Tidak lama lagi, hilal bulan Ramadhan yang diberkahi akan muncul dengan membawa berbagai kebaikan dan keutamaan bagi umat Islam. Inilah bulan yang Allah jadikan penuh dengan keberkahan, dimana pada bulan ini [dahulu] diturunkan al-Qur’an.

Allah menetapkan pada bulan itu ada Lailatul Qadar/malam kemuliaan. Allah mewajibkan puasa pada bulan ini kepada segenap kaum muslimin. Dan Allah mensyari’atkan puasa Ramadhan ini bagi seluruh umat Islam.

Siang harinya diwarnai dengan puasa. Malam harinya diisi dengan sholat malam. Dan apa-apa yang ada diantara waktu-waktu itu dihiasi dengan dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai jenis ketaatan.

Oleh sebab itu, semua waktu yang ada pada bulan itu penuh dengan keberkahan, semuanya mengandung kebaikan. Dan semuanya merupakan ghanimah/perbendaharaan dan harta yang sangat berharga bagi seorang muslim.

Maka sudah semestinya bagi setiap muslim untuk bergembira dengan datangnya bulan ini; karena pada bulan ini dia akan mendapatkan jalan keselamatan dari berbagai kebinasaan dan kehancuran.

Hal itu dikarenakan bulan ini menyajikan untuknya banyak sekali kebaikan dan sebab-sebab keselamatan, yaitu apabila dia benar-benar memahami agungnya kedudukan bulan ini dan memetik faidah darinya dengan sebaik-baiknya.

Adapun orang yang tenggelam dalam kelalaian atau diliputi kebodohan terhadap keagungan bulan ini, maka sesungguhnya orang semacam itu tidak akan ‘mampu’ membedakan antara bulan ini dengan bulan-bulan yang lain.

Bahkan, bisa jadi dia akan menganggap bulan Ramadhan adalah bulan untuk bermalas-malasan. Bulan untuk menyantap berbagai makanan dan minuman.

Bulan untuk tidur di siang hari dan begadang di malam hari -tanpa faidah- sehingga dia tidak mendapatkan manfaat apa-apa darinya. Bahkan terjatuh dalam dosa.

Karena keburukan/dosa pada bulan itu akan dilipatgandakan dosanya daripada di bulan-bulan yang lainnya dan diberikan ganjaran hukuman yang lebih berat, sebagaimana pula pada bulan itu kebaikan akan diperbesar pahalanya.

Amal kebaikan pada bulan itu akan diperbesar pahalanya di sisi Allah jauh lebih banyak daripada amal kebaikan serupa yang dilakukan pada waktu-waktu selainnya. Demikian pula perbuatan-perbuatan maksiat maka dosanya jauh lebih berat, dan itu semuanya adalah disebabkan kemuliaan waktu yang ada pada bulan ini.

***

Dicuplik dari website beliau : http://alfawzan.af.org.sa/node/7473


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Menjawab Tuduhan-Tuduhan Dusta Terhadap Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab

Labels :Aqidah, Fawa Ulama

Oleh Ustadz Firanda Andirja, MA

Membela harkat dan martabat sesama Muslim merupakan ibadah ysng sangat mulia. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa membela kehormatan saudaranya maka Allah akan membela wajahnya dari api neraka pada hari Kiamat.[1]

Terlebih lagi jika yang dibela adalah harkat dan martabat Ulama yang memiliki jasa sangat besar bagi kaum Muslimin sekelas Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab, seorang tokoh dan pejuang dakwah yang bermadzhab Hanbali. Berkat jasa beliau maka berdirilah Kerajaan Arab Saudi yang aman dan tenang, dan merupakan satu-satunya negara yang menerapkan hukum dan syariat Islam.

Dan sejak dahulu hingga saat ini banyak dusta yang disebarluaskan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ini. Orang-orang yang berakal sehat, tentu, tatkala membaca dusta-dusta itu bakal mempertanyakan kebenarannya, karena tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sangat tidak mendasar dan penuh kedustaan.

Berikut diantara tuduhan-tudahan yang diarahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab. Semoga menjadi pencerahan bagi kita dan para penentang-penentangnya.

Pertama: Kaum Wahhabi Dituduh Sebagai Khawarij?

Tahukah Anda, siapakah Khawarij itu? Khawarij adalah suatu sekte sesat yang menggambarkan momok haus darah, hobi menumpahkan darah kaum Muslimin. Apakah hakikat sekte sesat ini? Sehingga, apakah benar kaum Salafi Wahhabi adalah Khawarij yang haus darah kaum Muslimin?

Para Ulama yang menulis khusus tentang firqah-firqah Islam telah menyebutkan secara spesifik tentang aqidah Khawarij.

Abul-Hasan al-Asy’ari (wafat 330 H) berkata tentang perkara yang mengumpulkan kelompok-kelompok Khawarij :

Kelompok-kelompok Khawarij bersepakat dalam hal pengkafiran Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu karena beliau menyerahkan hukum[2] dan mereka (kelompok-kelompok Khawarij) berselisih, apakah kekufurannya tersebut merupakan kesyirikan ataukah bukan?

Mereka bersepakat bahwa seluruh dosa besar merupakan kekufuran, kecuali kelompok an-Najdat[3] karena kelompok an-Najdat tidak mengatakan demikian.

Mereka bersepakat bahwasanya Allah Ta’ala mengadzab para pelaku dosa besar yang abadi, kecuali kelompok an-Najdat, para pengikut Najdah (bin ‘Amir).[4]

Abdul-Qahir al-Baghdadi (wafat 429 H) berkata: Para Ulama telah berselisih tentang perkara apakah yang mengumpulkan (disepakati) oleh kelompok-kelompok Khawarij yang beragam sekte-sektenya.

Al-Ka’bi dalam kitab Maqalat-nya menyebutkan bahwa yang mengumpulkan seluruh sekte-sekte Khawarij adalah mengkafirkan Ali Radhiyallahu anhu, Utsman Radhiyallahu anhu, dan dua hakim, para peserta perang Jamal, dan seluruh yang ridha dengan penyerahan hukum kepada dua hakim, dan juga pengkafiran karena pelanggaran dosa, dan wajibnya khuruj (memberontak) kepada pemimpin yang zhalim.

Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari berkata, “Yang menyebabkan mereka berkumpul adalah pengkafiran (terhadap) Ali, Utsman, para peserta perang Jamal, dan hakim, dan siapa saja yang ridha terhadap penyerahan hukum kepada dua hakim, atau membenarkan kedua hakim tersebut, atau salah satu dari keduanya, dan memberontak kepada penguasa yang zhalim”.

Yang benar adalah yang disebutkan oleh Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari dari mereka (Khawarij). Al-Ka’bi telah keliru tatkala menyebutkan bahwa Khawarij bersepakat tentang kafirnya pelaku dosa, karena sekte Khawarij an-Najdat tidak mengkafikan orang-orang yang melakukan dosa dari orang-orang yang sepakat dengan mereka.[5]

Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata,”Barangsiapa yang sepakat dengan Khawarij dalam hal mengingkari penyerahan hukum (kepada dua hakim), dan mengkafirkan para pelaku dosa besar, serta pendapat (boleh) memberontak kepada para penguasa yang zhalim, dan para pelaku dosa besar kekal di neraka, para penguasa boleh saja dari selain Quraisy, maka dia adalah Khawarij, meskipun ia menyelisihi Khawarij pada perkara-perkara yang lain yang diperselisihkan oleh kaum Muslimin. Dan jika ia menyelisihi mereka pada perkara-perkara yang kami sebutkan, maka ia bukanlah Khawarij”[6].

Asy-Syahristani (wafat 548 H) berkata, “Barang siapa yang memberontak kepada penguasa yang sah yang telah disepakati oleh jama’ah maka (ia) dinamakan khariji, sama saja apakah bentuk pemberontakan tersebut pada zaman para Sahabat, yaitu memberontak kepada para Khulafaur-Rasyidin, atau pemberontakan terjadi setelah itu, yaitu memberontak kepada para tabi’in yang mengikuti para Sahabat dengan baik, dan juga memberontak kepada para penguasa di sepanjang zaman …. dan Wa’idiyah termasuk dalam Khawarij; dan merekalah yang menyatakan kafirnya pelaku dosa besar dan kekal di neraka”.[7]

Dari penjelasan para ulama ahli sekte-sekte Khawarij di atas, maka dapat diketahui ada beberapa aqidah yang khusus dan merupakan ciri khas sekte-sekte Khawarij yang disepakati oleh seluruh sekte-sekte Khawarij. Aqidah-aqidah tersebut adalah: Pertama, mengkafirkan Ali dan dua hakim, yaitu Abu Musa al-‘Asy’ari dan ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu an huma. Kedua, mengkafirkan para pelaku dosa besar, kecuali sekte an-Najdat yang tidak berpendapat demikian. Ketiga, mewajibkan memberontak kepada penguasa yang zhalim.

Inilah aqidah khusus yang disepakati oleh seluruh sekte Khawarij. Tiga aqidah inilah yang telah dilakukan oleh Khawarij yang muncul pertama kali pada zaman Ali bin Abi Thalib, (1) mereka telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib serta sebagian sahabat, dan (2) sebab mereka mengkafirkan karena mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah terjerumus dalam dosa besar yaitu berhukum kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (karena Ali menyerahkan hukum kepada dua hakim), dan barang siapa yang terjerumus dalam dosa besar menjadi kafir menurut mereka, (3) sehingga jadilah mereka memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah bahwasanya barangsiapa memiliki aqidah ini (sepakat dengan Khawarij dalam aqidah ini) meskipun ia menyelisihi Khawarij dalam hal-hal yang lain maka ia adalah (tetaplah sebagai) seorang Khawarij. Adapun jika ia menyelisihi aqidah-aqidah khusus Khawarij ini, maka ia bukanlah Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm di atas.

Dengan meninjau kesimpulan di atas, maka marilah kita renungkan tentang kelompok Salafi Wahhabi, apakah mereka beraqidah sebagaimana aqidah sekte Khawarij?

Apakah mereka yang disebut Salafi Wahhabi mengkafirkan Ali, Mu’awiyyah, Aisyah, ‘Amr bin al-‘Ash, dan para Sahabat yang ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin? Ataukah mereka yang justru menjunjung tinggi para Sahabat tersebut, dan membela mereka habis-habisan, terutama Sahabat Mu’awiyyah dan Ummul-Mukminin Aisyah yang telah dikafirkan oleh kaum sekte sesat Syi’ah?

Apakah kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan seorang Muslim hanya dikarenakan satu dosa besar yang dilakukan olehnya? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang getol membantah pemahaman takfiriyin yang hobi mengkafirkan pemerintah? Apakah pernah didapati kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan orang yang berzina, mencuri, atau membunuh orang lain? Kalaupun kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan, maka yang mereka kafirkan adalah orang yang dinyatakan kafir oleh al-Qur’an dan Sunnah, dan itu pun setelah ditegakkan hujjah dan penjelasan kepadanya.

Apakah kaum Salafi Wahhabi menyerukan untuk memberontak keada pemerintah? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang senantiasa menyeru untuk taat kepada pemerintah? Barangsiapa yang mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh para da’i Salafi, maka ia akan memahami bahwasanya kaum Salafi sangat memerangi sikap oposisi kepada pemerintah.

Kedua, Kaum Wahhabi Di tuduh Telah Mengkafirkan Kaum Muslimin
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab dituduh mengkafirkan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengikutinya.

Ini merupakan tuduhan dusta yang telah beliau bantah dalam tulisan-tulisannya. Sebagai bukti nyata, Kerajaan Arab Saudi yang meneruskan dakwah beliau ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang berjuta-juta datang setiap tahunnya. Jika para jama’ah haji dianggap kafir dan musyrik, tentu mereka adalah najis dan tidak boleh menginjak tanah Haram di Mekkah. Bahkan kenyataannya Kerajaan Arab Saudi justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama’ah haji. Kaum Wahhabi adalah kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.

Syaikh Abdul-Lathif bin Abdirrahman Alu Syaikh berkata:

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab termasuk orang yang paling menjaga dan menahan diri menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan penghuni kubur atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya adanya orang yang mengingatkannya”.[8]

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata:

Permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf (dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan kekafiran, maka dikatakan: ‘Barangsiapa yang mengatakan perkataan ini maka ia kafir’, akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka tidak duhukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang menjadi kafir karena meninggalkan hujjah tersebut”.[9]

Beliau juga berkata: “Adalah kedustaan, seperti perkataan mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijrah kepada kami, kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang; dan kedustaan seperti ini banyak dan dilakukan secara terus-menerus. Semua ini adalah kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya.

Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada pada Abdul-Qadir, dan berhala yang ada di kuburan Ahmad al-Baidawi dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak berhijrah kepada kami, atau tidak mengkafirkan, dan tidak berperang? Maka suci Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan kedustaan besar”.[10]

Beliau juga berkata: “Adapun takfir (pengkafiran), maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasulullah, kemudian setelah ia mengetahui agam Rasul (tetapi) lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul; maka orang inilah yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –al-hamdulillah- tidak seperti ini”.[11]

Berikut Keyakinan Kaum Wahhabi Tentang Takfir (Pengkafiran).

Pertama, Kaum Salafi Wahhabi memandang bahwa takfir (pengkafiran) merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu pengkafiran harus dibangun berdasarkan dalil syar’i.

Kedua, Kaum Salafi Wahhabi hanya mengkafirkan dengan perkara-perkara yang merupakan Ijma’ ulama.

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata saat beliau ditanya:

Atas (landasan) apa ia berperang? Alpa yang menyebabkan seseorang dikafirkan?”, maka beliau menjawab:

Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan/tidak melaksanakannya karena lalai, maka kami –meskipun kmi memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang menginggalkan keempat rukun karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasan kepadanya jika ia telah tahu dan tetap mengingkari”.[12]

Ketiga, Kaum Salafi Wahhabi memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlaq, seperti halnya perkataan para ulama “barang siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk maka ia kafir”, akan tetapi tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Qur’an makhluk lantas kita kafirkan.

Keempat, Kaum Salafi Wahhabi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan, baru masuk Islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dan lain-lain).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

Tidak seorang pun boleh mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin meskipun ia keliru atau bersalah hingga ditegakkan hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara yakin Islamnya tegak maka tidaklah Islam tersebut hilang darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat”.[13]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:

Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena penerapan vonis tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya halangan-halangan”.[14]

Ketiga, Kaum Wahhabi Dituduh Memiliki Aqidah Tajsim Dan Tasybih
Tajsim dan tasybih yang merupakan kekufuran adalah jika kita mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan kita, wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti wajah kita, penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti ilmu kita dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kekuatan kita.[15]

Imam at-Tirmidzi rahimahullah dengan menukil perkataan Imam Ishaq bin Rahuyah, beliau berkata: Ishaq bin Ibrahim berkata: Hanyalah merupakan tasybih jika ia berkata ‘tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan (manusia) atau pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran (manusia)’. Jika ia berkata ‘pendengaran (Allah Subhanahu wa Ta’ala) seperti pendengaran (makhluk)’,maka inilah tasybih.

Adapun jika ia berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Tangan, pendengaran, dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ia tidak mengatakan bagaimananya serta tidak mengatakan bahwasanya pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran (makhluk), maka hal ini bukanlah tasybih. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.[16]

Al-Imam Ahmad berkata,”Barangsiapa yang berkata ‘Penglihatan Allah seperti penglihatanku dan tangan Allah seperti tanganku, serta kaki Allah seperti kakiku’, maka ia telah mentasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya”.[17]

Karenanya menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat ilmu, qudrah, penglihatan, pendengaran, berbicara akan tetapi tidak sama dengan ilmu manusia, qudrah manusia, penglihatan dan pembicaraan manusia; maka demikian ini bukan tasybih atau tajsim, bahkan ini adalah tauhid kepada Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi sifat-sifat tersebut maha tinggi dan tidak akan sama dengan sifat-sifat makhluk.

Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. [asy-Syura/42:11].

Perhatikanlah dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, sehingga penglihatan dan pendengaran Allah tidak seperti penglihatan dan pendengaran manusia atau makhluk.

Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tentang sifat-sifat Allah dibangun di atas mensifati Allah sesuai dengan apa yang Allah sifatkan tentang diri-Nya dalam al-Qur’an atau melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya tanpa adanya (1) tahrif dan (2) ta’thil serta tanpa (3) takyif dan (4) tamtsil.[18]

Secara bahasa, tahrif adalah merubah atau mengganti,[19] dan secara terminologi, tahrif –yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah- adalah merubah lafal-lafal nash yang berkaitan dengan sifat Allah atau merubah makna dari lafal-lafal tersebut.[20] Sedangkan ta’thil, secara terminologi adalah menolak sifat-sifat Allah yang datang dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik menolak sebagian sifat (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Asya’irah dan all-Maturidiyah) ataupun menolak seluruh sifat Allah (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum al-Jahmiyah dan al-Mu’tazilah). Adapun takyif, secara terminologi adalah membagaimanakan sifat-sifat Allah, seperti menyatakan bahwa sifat Allah begini dan begitu tanpa dalil, dan tanpa menyamakan dengan makhluk.[21] Dan tamtsil, secara terminologi adalah mengvisualkan sifat Allah dengan menyamakan sifat Allah seperti sifat makhluk, seperti menyatakan bahwa tangan Allah sama seperti tangan manusia, turunnya Allah sama seperti turunnya manusia, penglihatan Allah seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.[22]

Aqidah inilah yang disepakati oleh para Imam Salaf umat ini. Ibnu Abdil-Bar rahimahullah (salah seorang ulama besar madzhab Maliki, wafat tahun 463 H) telah menukil Ijma’ (konsensus) Ahlus-Sunnah terkait aqidah ini. Beliau rahimahullah berkata dalam kitabnya yang sangat mashur, at-Tamhid Lima fi al-Muwattha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid: “Ahlus-Sunnah Ijma’ (berkonsensus) dalam menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat tersebut. Adapun ahlul-bid’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, demikian juga kaum Khawarij seluruhnya mengingkari sifat-sifat Allah pada makna hakikatnya, dan mereka menyangka bahwasanya barang siapa yang menetapkan sifat-sifat tersebut maka ia adalah musyabbih. Mereka ini di sisi para penetap sifat-sifat Allah adalah para penolak Allah yang disembah. Dan al-haq (kebenaran) pada apa yang dikatakan oleh mereka yang berbicara sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, dan mereka adalah para imam Jama’ah, al-hamdulillah”.[23]

Sebagaimana hal ini juga telah disebutkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan tentang sifat tangan kanan Allah, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanannya, lalu Allah mentarbiyahnya (mengembangkannya) untuk salah seorang dari kalian sebagaimana salah seorang dari kalian mengembangkan kuda kecilnya. Sampai-sampai sesuap makanan sungguh-sungguh menjadi seperti gunung Uhud’”.[24]

Setelah meriwayatkan hadits ini, kemudian at-Tirmidzi berkata:

Telah berkata lebih dari satu dari kalangan ahli ilmu tentang hadits ini dan riwayat-riwayat hadits yang lain tentang sifat-sifat Allah, dan turunnya Allah setiap malam ke langit dunia; mereka berkata, telah tetap riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah dan diimani, tidak dikhayalkan, serta tidak dikatakan bagaimananya sifat-sifat tersebut”.[25]

Demikianlah diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullah bin al-Mubarak, bahwasanya mereka berkata tentang hadits-hadits ini: “Tetapkan hadits-hadits tersebut tanpa menggambarkannya”. Dan demikianlah perkataan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka berkata bahwasanya hal ini adalah tasybih.

Terdapat lebih dari satu tempat dalam al-Qur’an bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang tangan, pendengaran, dan penglihatan. Kaum Jahmiyah mentakwil ayat-ayat ini dan menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsir para ahli ilmu. Jahmiyah berkata:

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya”, dan Jahmiyah berkata,”Makna tangan di sini adalah kekuatan”[26].

Menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana lahiriahnya tanpa mentasybih dengan sifat-sifat makhluk merupakan aqidah para imam empat madzhab.

Imam Abu Hanifah berkata:

Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam al-Qur’an. Apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an berupa penyebutan tentang wajah, tangan, dan jiwa maka itu adalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa menggambarkannya. Dan tidak dikatakan sesungguhnya tangannya adalah qudrah (kemampuan)-Nya atau nikmat-Nya, karena hal ini menolak sifat, dan ini adalah perkataan para penolak taqdir dan kaum Mu’tazilah; akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa membagaimanakannya. Kemarahan-Nya dan keridhaan-Nya adalah dua sifat yang termasuk sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menggambarkannya”.[27]

Imam Malik rahimahullah tatkala ditanya tentang bagaimanakah istiwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka beliau berkata:

Istawa diketahui (maknanya), dan bagaimananya tidak bisa dipikirkan, dan mengimaninya adalah wajib, serta bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”.[28]

Ibnu Qudamah rahimahullah meriwayatkan atsar dari Imam Syafii rahimahullah, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: Yunus bin ‘Abdil-A’la berkata, aku mendengar Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafii, tatkala ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang diimani oleh asy-Syafii, maka asy-Syafii berkata:

Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya; tidak boleh seorang pun dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah tegak hujjah kepadanya untuk menolaknya karena al-Qur’an telah menurunkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, dan telah sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nama-nama dan sifat-sifat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh para perawi yang adil (tsiqah/terpercaya).

Jika seseorang menyelisihinya setelah tetapnya hujjah kepadanya maka ia kafir; adapun sebelum tegaknya hujjah maka ia mendapat udzur karena kejahilan, karena ilmu tentang hal ini (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa diketahui dengan akal, atau dengan pemikiran, dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang jahil (tidak tahu), kecuali setelah sampai kabar tentang hal tersebut kepadnya. Kami menetapkan sifat-sifat ini dan kami menolak tasybih dari sifat-sifat tersebut sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolak tasybih dari diri-Nya.[29]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya, Dzam at-Takwil, halm.20:

Abu Bakr al-Marwazi berkata:

Dan telah mengabarkan kepadaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada mereka, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan ‘sesungguhnya Allah Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia’, dan ‘sesungguhnya Allah Ta’la dilihat’, dan ‘sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal ini”, maka Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasulullah adalah benar jika datang dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan Rasul-Nya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya batasan

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

(tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat).

Orang-orang yang mensifati (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya dari-Nya. Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak melampuinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya karena celaan”.

Demikianlah aqidah empat Imam madzhab Ahlus-Sunnah, bahwasanya mereka menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih, akan tetapi mereka menafikan tasybih dan penyamaan dengan sifat-sifat makhluk. Mereka menetapkan sifat tangan Allah Ta’ala akan tetapi tidak seperti tangan makhluk; demikian pula wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak seperti penglihatan dan pendengaran makhluk.

Meskipun Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka menyerahkan hakikat bagaimana sifat-sifat tersebut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Karena akal dan ilmu manusia tidak akan mampu menangkap bagaimananya hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

Ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya [Thaha/20:110].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

Madzhab Salaf –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka- menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperlakukan sifat-sifat tersebut sebagaimana zhahirnya (lahiriyahnya) dan menafikan bagaimananya hakikat sifat-sifat tersebut. Karena pembiaraan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah cabang dari pembicaraan tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan penetapan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menetapkan adanya wujudnya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan menetapkan bagaimananya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka demikian pula penetapan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah madzhab para Salaf seluruhnya”.[30]

Hal ini berbeda dengan musyabbihah yang menggambarkannya sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk.

Kaum Mu’atthilah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada di antara mereka yang menolak sebagian sifat, seperti kaum Asya’irah dan Maturidiah. Juga ada di antara mereka yang menolak seluruh sifat, seperti kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah.

Mereka menganggap penetapan setiap sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala berkonsekwensi telah mentasybih (menyerupakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluknya. Padahal menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk sama-sama memiliki pendengaran dan penglihatan bukanlah tasybih atau tajsim yang merupakan kekufuran. Hanya saja yang merupakan kekufuran, ialah jika kita menyatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan dan pendengaran manusia –sebagaimana telah lalu penjelasannya. Bahkan hingga Jahmiyah dan Mu’tazilah (yang menolak seluruh sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) menamakan Asya’irah sebagai musyabbihah karena telah menetapkan sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara tuduhan Mu’tazilah (para penolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah menuduh Ahlus-Sunnah sebagai mujassim dan musyabbih. Hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh para Ulama Salaf.

Abu Zur’ah ar-Razi (wafat 264 H) berkata:

“Mu’atthilah (para penolak sifat yang mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla), yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensifati diri-Nya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya, dan mereka (Mu’atthilah) mendustakan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah tentang sifat-sifat, lalu mereka mentakwilnya dengan pemikiran mereka yang terbalik agar sesuai dengan keyakinan mereka yang sesat, lalu mereka menisbahkan para perawi hadits-hadits tersebut kepada tasybih. Maka barang siapa yang menisbahkan orang-orang yang mensifati Rabb mereka –Tabaraka wa Ta’ala- dengan sifat-sifat –yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati dirinya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa tamtsil dan tasybih- kepada tasybih maka ia adalah seorang mu’atthil yang menafikan sifat. Dan mereka (para mu’atthil) diketahui dengan sikap mereka yang menisbahkan para penetap sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tasybih. Demikianlah yang para Ulama katakan, di antaranya Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H) dan Waki’ bin al-Jarah (wafat 197 H)”.[31]

Ishaq bin Rahuyah (wafat 238 H) berkata: “Tanda Jahm (bin Shafwan) dan para sahabatnya –yang gemar berdusta- adalah mereka menuduh Ahlu Sunnah wal-Jama’ah bahwsanya mereka adalah musyabbihah. Bahkan justru merekalah (Jahm dan pengikutnya) adalah mu’atthilah”.[32]

Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi asy-Syafii (wafat 219 H) berkata:

“Apa yang diucapkan oleh al-Qur’an dan hadits, seperti:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ

Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. [al-Ma-idah/5:64].

Dan seperti:

وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. [az-Zumar/39:67].

Dan yang semisal ayat-ayat ini dalam al-Qur’an dan hadits, maka kami tidak menambahkannya dan kami tidak menafsirkannya (dengan takwil-takwil), dan kami berhenti dimana berhenti al-Qur’an dan al-Hadits, dan kami berkata:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(yaitu)Tuhan yang Maha Pemurah, yang ada di atas ‘Arsy. ([Thaha/20:5].

Dan barang siapa yang menyangka selain dari ini maka ia adalah mu’atthil Jahmiah.[33]
Inilah kaum yang telah jauh-jauh diperingatkan oleh para imam kaum Muslimin akan bahaya mereka.

Keempat, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan untuk bershalawat. Salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi kaum Wahhabi, yaitu Imam Ibnul-Qayyim (murid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjudul

جَلاَءُ الأَفْهَامِ فِي فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلَى خَيْرِ الأَنَامِ

Adapun yang dilarang adalah shalawat-shalawat bid’ah yang berisi makna-makna menyimpang. Seperti halnya shalawat Fatih yang dipopulerkan Thariqah at-Tijaniyah –yang menurut anggapan mereka- keutamaan membaca shalawat ini sekali saja seperti mengkhatamkan al-Qur’an 6000 kali.

Kelima, Kaum Wahhabi Dituduh Membenci Ahlul-Bait (Keluarga Nabi)
Tuduhan ini merupakan kedustaan –karena- bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab telah memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama Ahlul-Bait. Diantara nama anak beliau adalah Hasan, Husain, Ali, Ibrahim, Abdullah, Abdulaziz, Fathimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci, akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.

Keenam, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Ziarah Kubur
Ini juga merupakan tuduhan dusta, malah justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan ziarah kubur yang merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur yang di dalamnya terdapat praktek (amaliyah) perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti meminta atau beristighatsah kepada mayat penghuni kubur, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketujuh, Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab Dituduh Mengaku Sebagai Nabi
Ini merupakan kedustaan yang amat kelewat batas dan pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau. Subhanallah, sedemikian keji Dahlan menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab mengaku sebagai seorang nabi. Padahal, sungguh terlalu banyak perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab yang tegas menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, penutup para Nabi.

Di antara perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ialah:

Manusia mengetahui bahwasanya tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan kita begitu saja, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul kepada kita. Rasul yang pertama adalah Nuh, dan yang terakhir adalah Muhammad ‘alihimus-sallam. Dari para rasul tersebut kita memperoleh Rasul yang terakhir dan yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita adalah umat yang terakhir”.[34]

Syaikh juga berkata:

Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihis-Sallam, dan yang terakhir adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia adalah penutup para Nabi, tidak ada lagi Nabi setelahnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Bukanlah Muhammad adalah ayah salah seorang dari kalian akan tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi.”[35]

Syaikh juga mengkafirkan orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula yang membenarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dihukumi kafir oleh Syaikh. Beliau berkata:

Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia telah kafir setelah Islamnya… atau mengaku sebagai nabi, atau membenarkan orang yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[36]

Beliau juga berkata:

Mereka, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah –padahal Banu Hanifah telah masuk Islam pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mereka bersaksi bahwsanya tidak sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala dan bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasulullah, mereka mengumandangkan adzan dan mereka shalat”.

Jika ada yang berkata:

Akan tetapi Bani Hanifah (dikafirkan dan diperangi, karena) mereka mengatakan bahwa Musailamah adalah nabi”, maka katakanlah: “Inilah yang dimaksud, jika seseorang yang mengangkat seseorang hingga derajat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(maka ia) menjadi kafir, halal darah dan hartanya, serta tidak bermanfaat dua kalimat syahadatnya dan juga shalatnya, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengangkat Samson, atau Yusuf, atau sahabat, atau nabi ke derajat Allah Ta’ala penguasa langit dan bumi?”[37]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR at-Tirmidzi, no. 1931. Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani.
[2]. Yaitu kepada dua hakim,Pen.
[3]. Salah satu firqah dari pecahan firqah-firqah Khawarij, yaitu merupakan pengikut seseorang yang bernama Najdah bin ‘Amir,Pen.
[4]. Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Cet. Al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut, 1/167-168.
[5]. Al-Farqu Baina al-Firaq, Cet. Maktabah Muhammad Ali Subaih, Mesir,hlm.73.
[6]. Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, tahqiq: Dr. Abdurrahim ‘Umairoh, Daar al-Jail, Beirut, 2/270.
[7]. Al-Milal wa an-Nihal, Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, Cet. Ke-3, 1/132.
[8]. Minhaj at-Ta’sis,hlm.98
[9]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/432-433.
[10]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/104.
[11]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/73.
[12]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/102, lihat juga 11/317.
[13]. Majmu’ al-Fatawa,12/466.
[14]. Majmu’ al-Fatawa,12/498.
[15]. Lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahiwiyah (hlm.53), Dar at-Ta’arud (4/145), dan Maqalat at-Tasybih wa Mauqif Ahlis-Sunnah minha (1/79).
[16]. Lihat Sunan at-Tirmidzi (3/42) kitab az-Zakat, Bab: Ma Ja a fi Fadhl ash-Shadaqah, dibawah hadits no.662.
[17]. Diriwayatkan oleh al-Khallal dengan sanadnya dalam kitabnya, as-Sunnah sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar at-Ta’arud (2/32), dan Ibnul-Qayyim dalam ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hlm. 162.
[18]. Lihat al-Aqidah al-Washithiyyah, syarah Khalil Harras, halm. 47-48.
[19]. Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah (2/42) dan Lisanul-‘Arab (10/387).
[20]. Lihat ash-Shawa’iq al-Mursalah,1/215-216.
[21]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala, halm.206.
[22]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala,hlm.202.
[23]. At-Tamhid, 7/145.
[24]. Lihat HR at-Tirmidzi, no.662.
[25]. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/41.
[26]. Demikian penjelasan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/42.
[27]. Lihat Syarh al-Fiqh al-Akbar, karya Syaikh Abu al-Muntah Ahmad bin Muhammad al-Hanafi (halm. 120-122), dan juga asy-Syarh al-Muyassar li al-Fiqh al-Akbar, karya al-Khamis (hlm.42).
[28]. Atsar perkataan Imam Malik ini shahih dari banyak jalan. Silahkan melihat takhrij atsar ini secara detail dalam buku al-Atsar al-Masyhur ‘an al-Imam Malik fi Sifat al-Istiwa, karya Syaikh Abdur-Razzaq al-‘Abbad, hlm.35-51.
[29]. Kitab Itsbat Sifat all-‘Uluw, karya Ibnu Qudamah (hlm. 181) dan juga dalam kitab beliau, Dzam at-Ta’wil, hlm.21.
[30]. Majmu’ al-Fatawa,4/6-7.
[31]. Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah,1/187 dan 1/196-197.
[32]. Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah,2/588.
[33]. Dzam at-Takwil,1/24.
[34]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/168.
[35]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/135.
[36]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/88.
[37]. Kasyf asy-Syubuhat,halm.32.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3936/slash/0/menjawab-tuduhan-tuduhan-dusta-terhadap-dakwah-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab/


Copied from the source article: Abunamira.wordpress.com

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manusia Dan Ujian

Labels : Tazkiyatun Nufus, cobaan hidup, ujian hidup

Posted: 17 Jun 2014 09:36 PM PDT

Sebenarnya kita manusia adalah makhluk yang selalu mencari ujian. Karena kita ingin mencapai derajat yang lebih tinggi sebagai manusia (biasa), yaitu menjadi manusia yang lebih baik.

Baru kelas 1 SD ingin naik ke kelas 2 kita ikut ujian. Dari SD ke SLTP, kita ikut ujian. Menuju SLTA ujian lagi
Mau masuk Universitas, kita dengan penuh semangat ikut ujian. Mau dapat kerja, rebut-rebut daftar ikut ujian. Dengan pilihan sendiri, penuh semangat, kurang tidur dan banyak pengorbaan kita menempuh ujian-ujian itu. Kita melakukannya, karena kita mengatahui dibaliknya ada kebaikan.

Ujian sekolah, ujian mendapat pekerjaan adalah bagian dari ujian hidup yang begitu banyak jenisnya. Tapi, kadang kita menghadapinya dengan cara yang berbeda. Harusnya, kita menghadapi ujian hidup yang lain sama seperti menghadapi ujian sekolah atau masuk kerja.

Jika Allah ta’ala memberi kita ujian dan cobaan, yang pertama kali kita ingat adalah hadist berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: «الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

Nabi Shalallahu alaihi wasallam ditanya: Siapakah yang paling besar cobaan/ujiannya. Beliau menjawab: Para Nabi, kemudian yang lebih menyerupai mereka, kemudian yang lebih menyerupai mereka” (HR. Tirmidzi)

Kalau demikian keadaannya, maka kita berbesar hati dengan cobaan yang menimpa kita, karena semakin banyak cobaan semakin tinggi derajat dan kedudukan kita. Para Nabi alaihimussalam paling banyak dan besar cobaannya, maka paling tinggi kedudukannya.

Hal lain yang perlu kita ingat, bahwa setiap cobaan atau ujian yang menimpa kita, tidak lepas dari dua hal:

  1. Jika kita orang yang baik, maka itu menjadi tambahan pahala kita

  2. Jika kita banyak lalai, itu menjadi peringatan atas kita dan menjadi sebab berkurangnya dosa kita.
    Dari kedua sisi di atas; semuanya baik.

Oleh karena itu, hadapilah ujian hidup anda sebagaimana sedang menghadapi ujian sekolah atau masuk kerja.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan yang terbaik bagi dunia dan akhirat kita, Amiin.


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Apa Arti Masya Allah?

Labels : Doa dan Zikir, bahasa arab, Dzikir, masya allah

Posted: 18 Juli 2014 05:05 AM PDT

Tentu tidak asing lagi ucapan “Masya Allah“[1] (ما شاء الله) di tengah kaum Muslimin. Bahkan pembaca sekalian mungkin sudah sering mengucapkannya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengakatakan, “disyariatkan bagi orang mukmin ketika melihat sesuatu yang membuatnya takjub hendaknya ia mengucapkan ‘Masya Allah‘ atau ‘Baarakallahu Fiik‘ atau juga ‘Allahumma Baarik Fiihi‘ sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

‘Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH”‘ (QS. Al Kahfi: 39)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.39905).

Namun tahukah anda apa makna dari ucapan “Masya Allah“? Simak penjelasan berikut:

Di dalam kitab Tafsir Al Quranul Karim Surat Al Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa kalimat “Masya Allah” (ما شاء الله) bisa diartikan dengan dua makna. Hal tersebut dikarenakan kalimat “maa syaa Allah” (ما شاء الله) bisa di-i’rab[2] dengan dua cara di dalam bahasa Arab:

  1. I’rab yang pertama dari “Masya Allah” (ما شاء الله) adalah dengan menjadikan kata “maa” (ما) sebagai isim maushul (kata sambung) dan kata tersebut berstatus sebagai khabar (predikat). Mubtada’ (subjek) dari kalimat tersebut adalah mubtada’ yang disembunyikan, yaitu “hadzaa” (هذا). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “maa syaa Allah” adalah :

    هذا ما شاء الله

    /hadzaa maa syaa Allah/

    Jika demikian, maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: “inilah yang dikehendaki oleh Allah”.

  2. Adapun i’rab yang kedua, kata “maa” (ما) pada “maa syaa Allah” merupakan maa syarthiyyah (kata benda yang mengindikasikan sebab) dan frase “syaa Allah” (شاء الله) berstatus sebagai fi’il syarath (kata kerja yang mengindikasikan sebab). Sedangkan jawab syarath (kata benda yang mengindikasikan akibat dari sebab) dari kalimat tersebut tersembunyi, yaitu “kaana” (كان) . Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “maa syaa Allah” adalah:

    ما شاء الله كان

    /maa syaa Allahu kaana/

    Jika demikian maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: “apa yang dikehendaki oleh Allah, maka itulah yang akan terjadi”.

Ringkasnya, “maa syaa Allah” bisa diterjemahkan dengan dua terjemahan, “inilah yang diinginkan oleh Allah” atau “apa yang dikehendaki oleh Allah, maka itulah yang akan terjadi”. Maka ketika melihat hal yang menakjubkan, lalu kita ucapkan “Masya Allah” (ما شاء الله), artinya kita menyadari dan menetapkan bahwa hal yang menakjubkan tersebut semata-mata terjadi karena kuasa Allah.

Semoga lisan-lisan kita dapat senantiasa dibasahi ucapan dzikir kepada Allah Ta’ala. Wabillahit taufiq.

***

Catatan Kaki

[1] Sebagian orang mempermasalahkan penulisan “Masya Allah” atau “Masha Allah” atau “Maasyaa Allah” atau “Masyallah”. Mungkin bagi mereka yang benar adalah “Maa Syaa-Allah” atau “Maa Syaa-a Allah”. Namun hal ini sebenarnya tidak patut dipermasalahkan, semuanya bisa digunakan. Karena memang tulisan huruf latin tidak bisa mengakomodasi bahasa arab dengan sempurna. Sehingga yang penting adalah pengucapan lisannya. Bahkan dalam tulisan formal, hendaknya mengikuti kaidah transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Lihat di: http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_alih_aksara_Arab_ke_Latin

Jika dengan pedoman ini, maka penulisan yang baku adalah: Māsyā-a Allāhu
Namun, sekali lagi, ini bukan masalah besar selama tidak terlalu jauh dari pengucapan arabnya.

[2] I’rab adalah penjabaran struktur kalimat di dalam bahasa Arab.

Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama: Niat Puasa, Sekali Untuk Sebulan Atau Setiap Hari?

Labels :Bahasan Utama, bulan puasa, Fatwa Ulama, fikih puasa, niat, Puasa, Ramadhan

Posted: 21 Juli 2014 M / 23 Ramadhan 1435 H

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:
Saya terkadang berpuasa tanpa meniatkannya ketika memulainya. Apakah niat itu harus setiap hari ataukah cukup sekali dalam sebulan?

Jawab:
Puasa dan amalan ibadah lainnya harus disertai dengan niat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

setiap amal itu disertai niat, dan setiap amal itu tergantung pada niatnya
dalam riwayat lain:

لا عمل إلا بنية

tidak ada amal kecuali dengan niat
maka puasa wajib disertai niat di malam hari. Wajib bagi orang yang berpuasa untuk berniat sebelum terbit fajar puasa di hari itu.

Soal:
Jika fajar sudah terbit, dan saya belum meniatkan diri untuk berpuasa kecuali setelah terbit fajar, bagaimana status puasa saya?

Jawab:
Wajib baginya meng-qadha puasa pada hari tersebut dimana ia berpuasa tanpa meniatkan diri untuk berpuasa. Dan niat puasa Ramadhan itu setiap hari. Karena puasa pada setiap harinya itu masing-masingnya adalah ibadah tersendiri yang membutuhkan niat sendiri. Maka hendaknya meniatkan diri untuk puasa setiap hari pada malamnya.

Jika fajar sudah terbit dan belum meniatkan diri untuk berpuasa sebagaimana yang dilakukan penanya, maka puasanya tidak dianggap sebagai puasa Ramadhan. Maka wajib baginya untuk meng-qadha 1 hari. Baik itu karena ia meninggalkan niat karena sengaja atau karena lupa. Namun jika ia sudah berniat di malam hari namun setelah itu dia lupa atau dia tersibukkan dengan sesuatu, lalu niatnya tadi hilang atau luntur, namun sebenarnya ia sudah berniat sebelumnya, maka hal-hal tadi tidak berpengaruh pada keabsahan niat, selama ia telah benar-benar meniatkan sebelumnya.

Jadi hal-hal ringan yang melunturkan niat tidak berpengaruh pada keabsahan niat, dan puasanya tetap sah. Kecuali jika orang tadi meniatkan diri dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya ia berniat untuk tidak berpuasa pada hari itu. Jika demikian maka ia butuh untuk memperbaharui niat pada malam tersebut (sebelum terbit fajar).

***

Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, 2/389-390, Asy Syamilah

Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger