BLOG AL ISLAM
Kontributor
Cari Blog Ini
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
▼
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
Live Traffic
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Written By sumatrars on Jumat, 29 Desember 2023 | Desember 29, 2023
Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala
Sebelum kami menyebutkan satu persatu kemungkaran-kemungkaran dalam perayaan maulid ini, di sini kami akan bawakan beberapa perkataan para ulama mengenai bentuk-bentuk perayaan maulid.
Para ulama telah membagi pelaksanaan perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- menjadi dua bentuk:
Pertama: Perayaan maulid yang kosong dari bentuk-bentuk kemungkaran dan maksiat. Hukum perayaan yang seperti ini adalah bid’ah dan baginya hukum-hukum bid’ah. Adapun perkataan para ulama tentang bentuk yang pertama ini akan kami paparkan pada bab setelah ini.
Muhammad bin Muhammad ibnul Hajj Al-Maliky -rahimahullah- berkata dalam Al-Madkhal (2/312), “Jika perayaan maulid kosong darinya -yakni dari mendengar nyanyi-nyanyian dan kemungkaran-kemungkaran yang mengikutinya- dan hanya sekedar acara makan-makan dengan meniatkannya (sebagai perayaan) maulid lalu mengundang saudara-saudaranya (kaum muslimin), serta perayaannya selamat dari semua perkara yang telah kami sebutkan berupa kerusakan-kerusakan, maka dia (tetap) merupakan bid’ah dengan semata-mata niatnya. Karena hal tersebut (perayaan maulid) adalah tambahan dalam agama dan bukan termasuk amalan para ulama salaf terdahulu”.
Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihany -rahimahullah- menyatakan dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid ketika beliau menyebutkan dua bentuk perayaan maulid,
“Yang pertama: Seseorang mengerjakannya (perayaan maulid) dari uang pribadinya untuk keluarga, teman-teman, dan kerabatnya, mereka tidak melampaui batas dari sekedar berkumpul untuk makan-makan dan mereka tidak mengerjakan sesuatu dosapun, maka bentuk yang kami paparkan ini adalah merupakan bid’ah yang dibenci dan tercela, karena tidak pernah dikerjakan oleh para pendahulu dari kalangan orang-orang yang taat, yang mereka ini adalah fuqoha` (ahli fiqhi) Islam, ulama seluruh makhluk, penerang di setiap zaman, dan perhiasan semua tempat”.
Juga Syaikh Sholeh Al-Fauzan -hafizhohullah- berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikro Al-Maulid An-Nabawy,
“Termasuk perkara-perkara yang dimunculkan oleh manusia berupa bid’ah-bid’ah yang mungkar adalah perayaan memperingati maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) di bulan Rabi’ul Awwal. Mereka dalam perayaan ini ada beberapa bentuk: Di antara mereka ada yang sekedar berkumpul, lalu dibacakan di dalamnya kisah maulid atau diadakan ceramah dan (pembacaan) sya’ir-syair dalam acara ini. Di antara mereka ada yang membuat makanan, kue-kue, dan selainnya lalu menyuguhkannya kepada orang-orang yang hadir, dan di antara mereka ada yang merayakannya di mesjid-mesjid dan di antara mereka ada yang merayakannya di rumah-rumah”.
Bentuk Kedua: Perayaan maulid yang dibumbui atau bahkan dipenuhi dengan kemungkaran-kemungkaran serta perkara-perkara yang diharamkan. Bentuk kedua ini ibarat kegelapan di atas kegelapan, karena asalnya perayaan maulid ini sudah merupakan bid’ah malah dihiasi dengan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, wal’iyadzu billah. Berikut perkataan sebagian ulama yang berkenaan dengan bentuk kedua ini:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam sebuah fatwa beliau -sebagaimana dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau-,
“Adapun berkumpul-kumpul untuk merayakan maulid disertai nyanyian, tarian dan yang semisalnya serta menjadikannya sebagai suatu ibadah, maka tidak ada seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan iman yang ragu bahwa hal ini termasuk di antara kemungkaran yang dilarang, serta tidak ada yang menganggap baik amalan seperti ini kecuali orang yang bodoh atau munafiq”.
Al-Fakihany -rahimahullah- berkata dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid,
“(Bentuk) Yang kedua, yaitu perayaan (maulid) yang dimasuki oleh berbagai pelanggaran-pelanggaran -lalu beliau menyebutkan beberapa kemungkaran-kemungkaran perayaan maulid, seraya berkata-, ”Bentuk yang seperti ini tidak ada dua orang yang berselisih tentang keharamannya dan tidak akan dianggap baik oleh orang yang memiliki kewibawaan. Tidak ada yang menghalalkan perbuatan ini kecuali jiwa-jiwa yang telah mati hatinya …”.
Syaikh Al-Fauzan -hafizhohullah- berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy,
“Di antara mereka (orang-orang yang merayakan maulid), ada yang (cara perayaannya) tidak terbatas pada sesuatu yang telah kita sebutkan (yakni tanpa ada kemungkaran), akan tetapi dia menjadikan pertemuan tersebut berisi perkara-perkara haram dan mungkar, seperti bercampur-baurnya lelaki dan wanita, tarian dan nyanyian, atau amalan-amalan kesyirikan, seperti beristigotsah (permintaan tolong dalam keadaan sangat genting) kepada Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, menyeru (berdo’a kepada) beliau, meminta pertolongan kepada beliau agar dimenangkan atas musuh-musuh, dan selainnya …”.
Beberapa Kemungkaran yang Terjadi dalam Perayaan Maulid
Semua kemungkaran yang akan kami sebutkan di sini adalah ada dan terjadi dalam perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Hanya saja mungkin sebahagian dari kemungkaran-kemungkaran ini tidak terdapat pada sebahagian negeri/daerah. Yang jelas kemungkaran-kemungkaran inilah yang disebutkan oleh para ulama -yang mereka ini telah meneliti tata cara maulid- dalam kitab-kitab mereka. Kemudian jumlah kemungkaran yang akan kami sebutkan bukanlah menunjukkan pembatasan bahwa kemungkarannya hanya itu. Akan tetapi masih banyak kemungkaran-kemungkaran lain yang mungkin lebih berbahaya dari apa yang akan kita sebutkan, terutama di negeri kita Indonesia ini. Oleh karena itulah, apa yang kami sebutkan di bawah hanyalah sekedar contoh yang mewakili semua kemungkaran-kemungkaran tersebut.
Berikut uraiannya:
-
Meyakini disyari’atkannya perayaan maulid.
-
Meyakini bahwa barangsiapa yang mendapati pada hari itu (hari maulid) satu saat ketika keluarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
-
Mereka meyakini bahwa malam maulid lebih afdhol daripada Lailatul Qadr.
-
Bahwa malam maulid adalah malam hadirnya (lahirnya) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sedangkan lailatul Qadr merupakan pemberian Allah kepada beliau.
-
Lailatul Qadr dimuliakan dengan turunnya para malaikat, sedangkan malam maulid dimuliakan dengan hadirnya (lahirnya) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.
-
Lailatul Qadr keutamaannya terkhusus buat ummat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sedangkan malam maulid adalah keutamaannya meliputi seluruh makhluk. Karena beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
-
Meyakini bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- keluar dari kuburnya bersama jasad atau hanya ruh beliau- dan menghadiri acara maulid.
-
Berdiri ketika Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- hadir -menurut sangkaan mereka- sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada beliau.
-
Berdo’a, beristianah (meminta pertolongan), beristighotsah (meminta pertolongan pada waktu genting), dan beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
-
Menyembelih untuk selain Allah.
-
Pembacaan sajak-sajak atau sholawat-sholawat bid’ah
-
Menyiapkan berbagai jenis makanan disertai keyakinan bahwa masing-masing makanan memiliki makna dan fungsi tersendiri.
Padahal amalan ini adalah penentangan yang besar terhadap syari’at karena dia adalah bid’ah yang mungkar. Serta meyakini kesyirikan yang terjadi di dalamnya -berupa penyembahan kepada Nabi Muhammad- sebagai ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Maka apakah ada keyakinan yang paling rusak dibandingkan meyakini bid’ah sebagai sunnah dan meyakini kesyirikan sebagai ibadah ?!
Lalu dia berdo’a kepada Allah saat itu, maka pasti akan terkabulkan. Ini mereka kiaskan dengan adanya satu waktu pada hari Jum’at yang padanya dikabulkan do’a, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda tentang hari Jum’at:
“Di dalamnya terdapat satu waktu, seorang hamba yang muslim tidaklah mendapatinya sedang dia dalam keadaan berdo’a, memohon sesuatu kepada Allah -‘Azza wa Jalla-, kecuali Allah akan kabulkan permintaannya”. (HR. Al-Bukhary no. 893 dan Muslim no. 852)
Mereka menyatakan, “Jika hari Jum’at yang Nabi Adam -‘alaihis salam- 1 diciptakan padanya, Allah jadikan padanya satu waktu, yang apabila seorang hamba berdo’a kepada Allah pada saat itu niscaya akan dikabulkan, maka bagaimana lagi dengan hari yang di dalamnya dilahirkan pimpinan para Nabi dan Rasul?!. Tentunya berdo’a pada saat itu lebih dikabulkan”. [Lihat Al-Mawahib karya Al-Qosthollany (1/132)]
Bantahan:
Orang yang mempunyai ilmu agama yang paling minim pun akan mengetahui rusaknya kias yang seperti ini. Karena terkabulnya do’a pada hari Jum’at diketahui dengan adanya nash dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Adapun perayaan maulid adalah acara kerusakan yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya berlepas darinya, sehingga tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a pada waktu itu.
Pernyataan ini telah disanggah oleh Syaikh Az-Zarqony di dalam syarh beliau terhadap kitab Al-Mawahib ini (1/132-133). Beliau berkata,
“Kalau yang dia (Al-Qistholany) inginkan (dengan pernyataannya ini) adalah bahwa pada hari itu (kelahirannya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-) dan yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) sampai Hari Kiamat, padanya ada satu waktu (yang dikabulkan padanya do’a) sama seperti satu waktu yang ada pada hari Jum’at (yang dikabulkan padanya do’a) atau lebih afdhol dari itu, maka pendalilannya (pengqiasannya/penganalogian) ini adalah pengqiasan yang rusak.
Kalau yang dia inginkan adalah waktu itu sendiri (yaitu waktu kelahiran Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- saja, bukan hari maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat), maka (ketentuan/ilmu) tentang adanya satu waktu pada hari Jumat (yang dikabulkan padanya do’a) belum ada pada saat itu (yakni pada saat Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- lahir). Akan tetapi ketentuannya datang dalam hadits-hadits yang shohih beberapa lama setelah itu (yaitu setelah diutusnya beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sebagai seorang Rasul).
Jadi kalau begitu, tidak mungkin keduanya bisa bertemu sehingga bisa dikatakan yang satunya lebih afdhol dari yang lainnya. Sementara yang satunya (hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-) telah habis (telah berlalu) dan yang lainnya (yaitu hari Jum’at dan satu waktu yang adanya padanya) terus menerus ada sampai saat ini dan syariat telah menegaskan tentang hal tersebut. Sementara dari sisi lain, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hari kelahiran Nabi dan hari-hari yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) di dalamnya terdapat satu waktu dikabulkannya do’a pada saat itu.
Oleh karena itu, yang wajb bagi kita hanyalah bersandar penuh dengan apa yang datang dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- kepada kita (berupa dalil yang shahih) dan tidak boleh bagi kita membuat suatu perkara baru (bid’ah) -dalam agama- dari diri kita yang sangat lemah ini, kecuali dengan mengambil dari beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-“.
Hal ini -menurut mereka- bisa ditinjau dari tiga sisi :
Bantahan:
Ini adalah pendalilan yang tidak menguntungkan orang yang berdalil dengannya. Karena, jika yang diinginkan dengan malam maulid adalah malam lahirnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan malam maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat lebih afdhol daripada Lailatul Qadr, maka ini adalah kesalahan yang sangat nyata dan jelas.
Dan jika yang diinginkan dengannya, hanya malam yang Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam- dilahirkan saja (bukan malam maulid tiap tahunnya), maka Lailatul Qadr belum ada ketika malam lahirnya beliau sehingga tidak mungkin keduanya bertemu. Karena Lailatul Qadr ada setelah berlalunya puluhan tahun dari malam kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sehingga tidak mungkin bisa diperbandingkan. Ini adalah jawaban dari Asy-Syihab Al-Haitamy -rahimahullah- sebagaimana dalam Syarh Al-Mawahib (1/136).
Kemudian, Lailatul Qadr telah dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur`an sedangkan malam maulid, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan tentang keutamaannya, baik dari Al-Qur`an maupun dari Sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan tidak pula dari perkataan seorangpun dari ulama ummat ini. (Lihat Al-Mauridur Rowy hal. 52 karya ‘Ali Qori`)
Dari sisi yang lain, beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan pada siang hari, bukannya malam hari sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Qotadah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- ditanya tentang hari Senin, maka beliau menjawab :
“Itu adalah hari yang saya dilahirkan padanya” (Telah berlalu takhrijnya ).
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa beliau dilahirkan di siang hari dan beliau tidak berkata, “Itu adalah malam yang saya dilahirkan padanya”. Ini disebutkan oleh Imam Abu Hafsh Al-Fakihany dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid hal. 74-75.
Syaikh bin Baz -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan rusaknya keyakinan ini dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, hal 13-14,
“Sebagian mereka (yakni yang merayakan maulid) menyangka (meyakini) bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (keluar dari kubur beliau) menghadiri acara maulid. Oleh karena itu, mereka berdiri untuknya sebagai ucapan selamat dan penyambutan.
Ini adalah termasuk kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang jelek, karena sesungguhnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat, tidak pernah berhubungan dengan seorangpun dari manusia dan tidak menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka. Akan tetapi beliau terus-menerus berada di kubur beliau sampai hari kiamat, sedangkan ruh beliau berada di tempat yang paling tinggi di sisi Rabbnya dalam negeri kemuliaan, sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam surah Al-Mu`minun:
“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kalian seluruhnya benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kalian seluruhnya akan dibangkitkan (dari kubur) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu`minun : 15-16)
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:
“Saya adalah pimpinannya anak Adam pada hari kiamat, orang yang paling pertama dibangkitkan dari kuburnya, yang pertama kali memberi syafa’at dan yang pertama kali diizinkan memberi syafa’at”. (HR. Muslim no. 2278 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-)
Atas beliau sholawat dan salam yang paling mulia dari Rabbnya. Jadi, ayat yang agung ini dan hadits yang mulia ini, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, semuanya menunjukkan bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan selain beliau dari kalangan orang-orang yang sudah meninggal, seluruhnya mereka hanya akan keluar dari kuburnya pada hari kiamat….”.
Telah dimaklumi bahwa menghormati Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- itu hanya dengan cara yang disyariatkan. Adapun cara yang seperti ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dalam Islam, bahkan merupakan perkara yang diharamkan.
Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hajjawy Ats-Tsa’alaby Al-Fasy di dalam kitab beliau Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islamy (1/93) sebagaimana yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihany di dalam Al Maurid fi Hukmil Maulid, beliau (Syaikh Muhammad bin Hasan) berkata,
“Dan di antara al-istihsan (anggapan-anggapan baik) yang diharamkan adalah berdiri ketika hadirnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- -menurut sangkaan mereka-, karena telah datang nash-nash yang shorih (jelas/tegas) yang melarang hal tersebut….”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata di dalam Ziyaratul Qubur wal Istinjadu bil Maqbur, hal. 55-57 ketika beliau ditanya, “Apa hukumnya meletakkan kepala (di bawah) dan mencium lantai/tanah untuk menghormati orang-orang besar?”. Maka beliau menjawab,
“Adapun meletakkan kepala untuk memuliakan orang-orang besar dari kalangan syaikh-syaikh dan yang selain mereka atau mencium lantai dan yang semisalnya, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan imam-imam/ulama (kaum muslimin) tentang terlarangnya (haramnya) hal tersebut. Bahkan menundukkan punggung sedikit saja untuk selain Allah -’Azza wa Jalla- merupakan perkara yang terlarang”.
Lalu beliau menyebutkan dalil tentang hal tersebut seraya berkata,
“Telah tsabit dalam hadits yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata, bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (pernah) shalat mengimami para sahabat dalam keadaan duduk karena sakit yang beliau alami, sedang mereka (para sahabat) shalat dalam keadaan berdiri. Maka beliau perintahkan para sahabat untuk duduk lalu beliau berkata, [“Janganlah kalian mengagungkan saya sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab) sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain”]. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda dalam hadits yang lain, [“Barang siapa yang senang manusia berdiri untuk (menghormati) nya maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di dalam neraka”]…”.
Kemudian beliau (syaikhul Islam) berkata,
“Maka sebagai kesimpulan bahwa berdiri (untuk menghormati), duduk, rukuk, dan sujud hanyalah hak Allah -’Azza wa Jalla- satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi. Jadi apa saja yang merupakan hak Allah, maka tidak boleh dipalingkan kepada siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya….”.
Kemudian dari sisi yang lain, berdiri yang seperti ini -yakni untuk membesarkan dan mengagungkan makhluk- adalah termasuk ibadah gerakan dalam shalat sehingga tidak boleh melakukannya kepada selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Oleh karena itulah, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sangat marah dan menegur para sahabat beliau tatkala mereka berdiri untuk menyambut beliau.
Beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:
“Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab), sebagian mereka (berdiri untuk) mengagungkan sebagian yang lain”. (HR. Abu Daud no. 5230 dari Abu Umamah Al-Bahily -radhiyallahu ‘anhu-)
[Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany -rahimahullah- dalam Adh-Dho’ifah no. 346, akan tetapi kandungan maknanya benar dan dikuatkan oleh hadits setelahnya. Wallahu A’lam. [ed.]]
Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- telah berkata mengisahkan keadaan para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- :
“Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa wasallam-, (Sekalipun demikian) mereka jika melihat beliau (Nabi-Shollallahu alaihi wasallam-), maka mereka tidak berdiri karena mereka tahu akan kebencian beliau terhadap hal tersebut”. (HR. At-Tirmidzy no. 2754)
Walaupun sekedar menjadikan beliau sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Padahal do’a adalah sebesar-besar ibadah, yang secara umum kapan suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah -baik itu malaikat yang paling dekat dengan Allah maupun Nabi yang paling mulia-, maka hal itu termasuk syirik akbar yang membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam api neraka, jika tidak bertaubat sebelum meninggalnya.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman memerintahkan berdo’a langsung kepadanya tanpa ada perantara:
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghofir : 60)
Bahkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah menegaskan:
“Do’a adalah ibadah”.
(HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmidzy no. 2969, 3247, An-Nasa`iy dalam Al-Kubro no. 11464, dan Ibnu Majah no. 3828 dari Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 3407)
Sedangkan isti’anah, istighotsah, dan isti’adzah adalah termasuk bentuk-bentuk doa sehingga harus diserahkan hanya kepada Allah.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 4)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- juga berfirman:
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (QS. Al-Anfal : 9)
Tentang isti’adzah, Allah -‘Azza wa Jalla- memerintahkan para hamba untuk meminta perlindungan hanya kepada-Nya:
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”. (QS. Al-Falaq : 1)
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia”. (QS. An-Nas : 1)
Syaikh Ahmad bin Nashir Al-Ma’mary An-Najdy -rahimahullah- berkata di dalam Al-Hadiyyah As-Saniyyah wat Tuhfatul Wahhabiyyah, hal. 45,
“Yang kami yakini dan kami beragama dengannya bahwa barangsiapa yang berdo’a kepada seorang nabi atau seorang wali atau yang lainnya, lalu ia meminta kepada mereka supaya memenuhi hajatnya dan menghilangkan kesusahannya, maka ini adalah kesyirikan yang sangat besar, karenanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- mengkafirkan orang-orang musyrikin. Sebab dahulu mereka telah menjadikan para wali (dan yang semisalnya) sebagai pemberi syafa’at yang bisa memberikan manfaat atau menolak bahaya menurut sangkaan mereka, sementara Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata; “Mereka itu adalah pemberi syafa`at kami di sisi Allah”. Katakanlah; “Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka mempersekutukan”. (QS. Yunus : 18)”.
-selesai ucapan beliau-
Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah- berkata di dalam Majmu’ Fatawa (2/388) ketika beliau ditanya, “Apakah termasuk kesyirikan apabila seseorang berkata di sudut bumi manapun, [“Wahai Muhammad…..!, wahai Rasulullah (berdo’a atau minta pertolongan kepadanya)?]”.
Beliau menjawab,
“Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menjelaskan di dalam kitab-Nya yang sangat mulia dan melalui lisan Rasul-Nya yang terpercaya, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bahwa ibadah seluruhnya hanyalah milik Allah dan tidak ada hak sedikitpun juga (dari ibadah tersebut) bagi selain-Nya dan sesungguhnya do’a termasuk bagian dari ibadah.
Jadi, barang siapa yang berkata di sudut bumi manapun juga, [“Wahai Rasulullah….!, wahai Nabi Allah….! atau Nabi Muhammad….!, tolonglah saya, selamatkanlah saya, berikan syafa’at kepada saya, tolonglah umatmu, sembuhkanlah yang sakit dari kaum muslimin, berilah petunjuk kepada mereka”], atau kalimat-kalimat yang semisal itu, maka sungguh dia telah menjadikan tandingan/sekutu bersama Allah di dalam (penyerahan) ibadah.
Demikian pula hukumnya orang yang melakukan perbuatan seperti ini kepada selain beliau (Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-) dari kalangan para nabi atau para malaikat, wali-wali, berhala-berhala atau yang selainnya dari kalangan makhluk ini. Karena Allah -Azza wa Jalla- berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Azzariyat : 56)
Allah berfirman:
“Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 21)”.
-Selesai ucapan beliau-
Ini juga termasuk pembatal keislaman seseorang, karena menyembelih untuk Allah adalah termasuk ibadah harta (maliyah) terbesar yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- perintahkan. Maka memalingkannya untuk selain Allah adalah termasuk kesyirikan yang paling besar.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. (QS. Al-An’am : 162)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah mengancam orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah dengan laknat dari-Nya, melalui sabda beliau:
“Allah melaknat orang yang menyembelih kepada selain Allah”. (HR. Muslim no. 1978 dari ‘Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu ‘anhu-)[ Hadits itu juga bisa bermakna do’a laknat untuk mereka. Maka hendaknya orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah takut terhadap do’a ini. [ed]]
Bahkan ada yang sampai pada tingkat kesyirikan, seperti sebuah kitab sholawat -menurut mereka- yang berjudul Maulidul Barzanjy karya Ja’far bin Hasan Al-Barzanjy, Qoshidatul Burdah karya Al-Bushiry [Telah berlalu penyebutan beberapa kesalahan yang terdapat dalam kedua kitab ini pada bab keutamaan sholawat], Syaraful Anam, dan selainnya.
Ini adalah termasuk di antara bentuk-bentuk tathoyyur (pamali) yang diharamkan dan merupakan syirik ashgar (kecil) 2. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-:
“Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”.
(HR. Abu Daud no. 3910, At-Tirmidzy no. 1614, dan Ibnu Majah no. 3538 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)
Bahkan thiyaroh ini merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya:
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkat, “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan thiyaroh (sebab kesialan itu) kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf : 131)
Juga firman Allah -Ta’ala-:
“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib sial karena kalian, sesungguhnya jika kalian tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kalian dan kalian pasti akan mendapat siksaan yang pedih dari kami”. Para rasul itu berkata, “Kesialan kalian itu adalah karena (kesalahan) kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kalian lantas mengancam kami)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin : 18-19)
Dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari golongan 70.000 orang 3 yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam hadits Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- telah mengabarkan tentang sifat mereka:
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay [Yakni pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan lalu ditempelkan ke tempat yang terasa sakit], tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhary no. 5378, 6107 dan Muslim no. 218).
Diambil dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007; dari kautsarku dari abdullah al-aussie
Catatan Kaki
Berdasarkan sabda beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- yang telah berlalu: “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at, padanya diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan, padanya dia dimasukkan ke Surga dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta tidak akan tegak Hari Kiamat kecuali pada hari Jum’at”
Yang dimaksud syirik ashghar disini adalah jika pelakunya menganggap benda tersebut MENJADI SEBAB datangnya manfa’at atau ditolaknya mudharat; tapi yang mendatangkan maslahat dan mudharat adalah Allah, bukan benda tersebut. Tapi jika dia meyakini bahwa benda-benda atau makanan itulah yang mendatangkan manfaat atau yang menolak mudhorot selain Allah -Ta’ala-, maka ini adalah SYIRIK AKBAR!
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap 1000 orang ditambahkan 70.000 orang lagi, sehingga totalnya adalah 4.900.000 orang. Haditsnya dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah- dalam syarh beliau terhadap hadits ini dari Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab -rahimahullah-
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Orang Baik Bukan Berarti Bebas Cobaan
Written By sumatrars on Minggu, 12 Februari 2023 | Februari 12, 2023
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, ‘kami telah beriman’ TANPA diuji?! Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar tahu orang-orang yang tulus dan orang-orang yang dusta“. (QS. Al-Ankabut: 2-3).
Ingat pula Sabda Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-:
أشدُّالناسِ بلاءً الأنبياءُ ، ثم الأمثلُ فالأمثلُ ، يُبتلى الناسُ على قدْرِ دينِهم ، فمن ثَخُنَ دينُه اشْتدَّ بلاؤُه ، و من ضعُف دينُه ضَعُف بلاؤه ، و إنَّ الرجلَ لَيُصيبُه البلاءُ حتى يمشيَ في الناسِ ما عليه خطيئةٌ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang paling baik (setelahnya), lalu orang yang paling baik (setelahnya). Maka siapa yang agamanya berbobot, cobaannya juga berat. Siapa yang agamanya lemah, cobaannya juga ringan. Dan sungguh seseorang akan terus ditimpa cobaan, hingga dia berjalan di tengah-tengah manusia tanpa dosa sedikitpun“. [(HR. Ibnu Hibban no. 2900, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 993).
Jangan lupa juga perkataan Syaikh Abdul Qodir Jaelani -rahimahullah-: “Wahai anak kecilku, sungguh musibah itu datang bukan untuk membinasakanmu, namun dia datang untuk menguji kesabaran dan imanmu. Wahai anak kecilku, cobaan itu (ibarat) hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, 4/178).
Oleh karena itu, semakin tinggi agama kita, semakin kita butuh berdoa untuk keteguhan iman kita, sebagaimana dicontohkan Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-. Ummu Salamah -isteri beliau- mengatakan: Dahulu doa Nabi -shallallahu’alaihi wasallam- yang paling banyak adalah:
يا مقلب القلوب, ثبت قلبي على دينك
“Wahai Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu“. (HR. Tirmidzi: 3522, disahihkan oleh Syeikh Albani).
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
MAKNA AKIDAH
Written By Rachmat.M.Flimban on Rabu, 10 Agustus 2022 | Agustus 10, 2022
MAKNA AKIDAH
Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin
Written By Rachmat.M.Flimban on Minggu, 20 Maret 2022 | Maret 20, 2022
AQIDAH
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam.
Beberapa Aliran Sesat
Written By Rachmat.M.Flimban on Kamis, 10 Maret 2022 | Maret 10, 2022
Manhaj
Beberapa Aliran Sesat
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Lihat pula Syarh Lum’atul I’tiqad Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 161
Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antaranya:
- Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
- Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
- Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)
Kedua
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Tafsir Surah An-Nuur Ayat 58 – 59
Islam mengajarkan adab yang luar biasa yaitu sedari kecil saja anak yang sudah tamyiz diajarkan meminta izin kepada orang tua ketika masuk kamar.
Tafsir Surah An-Nuur Ayat 58 – 59
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana..” (QS. An-Nuur: 58-59)
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar disebutkan:
“Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan beramal dengan syariat-Nya, hendaknya hamba sahaya lelaki dan wanita yang kalian miliki, serta anak-anak merdeka yang belum mencapai usia dewasa atau balig di antara kalian meminta izin kepada kalian dalam tiga waktu (dalam sehari) yaitu: sebelum salat subuh yang merupakan waktu pergantian pakaian tidur dengan pakaian biasa; ketika waktu tengah hari yang merupakan waktu menanggalkan pakaian luarmu untuk beristirahat siang; dan sesudah salat isya yang merupakan waktu tidur dan waktu mengganti pakaian biasa dengan pakaian tidur.
Tiga waktu ini merupakan tiga aurat bagi kalian, mereka tidak ada yang boleh masuk kamar kalian kecuali atas izin kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak pula atas mereka bila mereka memasuki ruangan kalian selain dari tiga waktu itu tanpa izin. Mereka banyak melayani kalian, sebagian kalian punya keperluan kepada sebagian yang lain sehingga sangat susah bila mereka dilarang untuk menemui kalian di setiap waktu dengan izin dahulu. Sebagaimana Allah menjelaskan kepada kalian hukum-hukum perizinan ini bagi kalian, maka Dia juga menjelaskan ayat-ayat yang menunjukkan hukum-hukum syariat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui maslahat hamba-hamba-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum syariat bagi mereka.
Dan apabila anak-anak kecil dari kalian telah mencapai usia baligh dan masa mukallaf untuk mengemban kewajiban hukum-hukum syariat, maka mereka harus meminta izin bila akan masuk di seluruh waktu, sebagaimana orang-orang dewasa meminta izin dahulu. Dan sebagaimana Alllah telah menjelaskan adab-adab meminta izin, Allah juga menjelaskan ayat-ayatNya kepada kalian. Dan Allah Maha mengetahui hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan hamba-hambaNya, lagi Mahabijaksana dalam penetapan syariatNya.
- Dalam ayat 58 disebutkan bahwa hendaklah dua golongan meminta izin yaitu anak kecil yang belum baligh dan budak dalam tiga waktu yang disebutkan: (1) sebelum shalat Shubuh, (2) ketika menanggalkan pakaian luar di tengah hari, (3) sesudah shalat Isyak. Untuk selain anak-anak dan budak, hendaklah meminta izin setiap kali masuk.
- Ayat ini menunjukan tidak boleh melihat aurat. Jika wajib meminta izin dalam tiga waktu karena khawatir aurat terlihat begitu saja secara tiba-tiba, maka tentu yang melihat aurat secara sengaja tidaklah dibolehkan. Hal ini dilarang baik yang melihat aurat adalah anak kecil maupun orang dewasa.
- Yang dimaksud anak kecil yang meminta izin di atas adalah anak keci yang sudah tamyiz, seadangkan anak kecil yang belum tamyiz belum mengetahui apa.
- Boleh melepas baju saat tidur.
- Biasanya tidur siang itu ringkas sehingga tidak melepas pakaian, beda dengan tidur malam.
- Anak yang sudah balogh dikenakan hukum. Tanda baligh adalah: (1) keluar mani (ihtilam), (2) datang haidh, (3) usia 15 tahun.
- Tiga waktu yang disebutkan adalah waktu yang umumnya aurat terbuka.
- Anak-anak dibagi menjadi tiga: (1) anak yang belum tamyiz. tidak mengetahui apa-apa, mereka tidak harus minta izin, (2) anak yang sudah tamyiz harus meminta izin pada tiga waktu, (3) anak yang sudah baligh harus meminta izin setiap waktu.
- Ada njuran tidur siang (qailulah).
- Saudara laki-laki hendaklah meminta izin ketika ingin memasuku kamar saudara perempuanya.
- At-Tashil li Ta'wil At-Tanzil Tafsir Sunah An-Nuur fii Sual wa Jawab. Cetakan kedua. Tahun 1423H. Syaikh abu 'Abdillah Musthafa Al-'Adawi. Penerbita Maktabah Makkah.
- Tafsir Al-Qur'an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan Pertama. Tahun 1436H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Al-Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Kelompok Sesat Murjiah, Pendangkal Keimanan Umat
Written By Rachmat.M.Flimban on Jumat, 22 Mei 2020 | Mei 22, 2020
(Lihat Majmu’ Fatawa, 7/118)
Kelompok ini disebut dengan Murjiah karena dua hal:
- Mereka mengakhirkan (tidak memasukkan, pen.) amalan ke dalam definisi keimanan. (Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 113)
- Keyakinan mereka bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengakhirkan (membebaskan, pen.) azab atas (pelaku, pen.) kemaksiatan. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Imam Ibnul Atsir, 2/206)
- Ghailan ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyah yang dibunuh pada 105 H. (Lihat al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani hlm. 139)
- Hammad bin Abu Sulaiman al-Kufi. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311)
- Salim al-Afthas. (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 179)
- Yunusiyah (pengikut Yunus bin ‘Aun an-Numairi),
- Ubaidiyah (pengikut Ubaid al-Muktaib),
- Ghassaniyah (pengikut Ghassan al-Kufi),
- Tsaubaniyah (pengikut Abu Tsauban al-Murji’),
- Tumaniyah (pengikut Abu Mu’adz at-Tumani),
- dan Shalihiyah (pengikut Shalih bin Umar ash-Shalihi).
- Murjiah Fuqaha (Murjiah dari kalangan [sebagian] ahli fikih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman),
- Murjiah Qadariyah (Murjiah dari kalangan kelompok pengingkar takdir, pengikut Ghailan ad-Dimasyqi),
- Murjiah Jabriyah (Murjiah yang juga berakidah Jabriyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyah),
- Murjiah Khawarij (sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikit pun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar),
- Murjiah Karramiyah (Murjiah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah[1]). (Untuk lebih rinci, lihat Majmu’ Fatawa 7/543—550; al-Milal wan Nihal, hlm. 140—145; dan Firaq Mu’ashirah, 2/761)
- Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
- Iman adalah keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murjiah Fuqaha)
- Iman adalah pengetahuan/pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murjiah)
- Iman adalah perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).[2]
- Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan keyakinan dalam hati dan perkataan lisan, tanpa beramal.
- Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/pengetahuan dalam hati saja
- Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan perkataan lisan.
- Prinsip[9] yang dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama, sebagaimana yang telah disebutkan pada poin pertama. Dengan demikian, segala prinsip yang dibangun di atasnya pun menjadi batil.
- Dalil-dalil tentang bisa bertambahnya iman sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa berkurangnya. Sebabm, sebelum iman itu bertambah, dia berkurang.[10]
- Para ulama bersepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dengan sebab kemaksiatan.
- Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala;
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...