Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Apa Hukum Merayakan Maulid Nabi?

Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015

Category : Manhaj, Maulid Nabi
Source article: Muslim.Or.Id

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.

Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?

Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).

***

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Akhlaq dan Nasehat, Surat Terbuka Untuk Sang “Senior”




Category : Akhlak, ikhwan, istiqamah, Nasehat, renungan

[Diolah dari ceramah Ustadzunal Fadhil Abdullah Taslim,Lc. MA. ]

Disusun oleh: Ustadz Sa’id

Source article: Muslim.Or.Id

الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله، أما بعد :

Untukmu yang sudah lama keluar masuk halaqoh & dauroh …

Untukmu yang telah malang melintang di dunia kepanitiaan & kepengurusan lembaga dakwah…

Adalah sebuah kenikmatan & anugerah dari , anda bisa menyelesaikan sekian banyak kitab Ulama & mengikuti sekian banyak kajian…

Allah telah memilih Antum menjadi orang yang telah lama mengenal aqidah shahihah & manhaj yang haq…

Allah telah memuliakan Antum menjadi orang yang telah banyak mencicipi lezatnya keimanan…

Keindahan demi keindahan telah anda rasakan sedjak tempo doeloe…

Keindahan tampilan berjenggot dan tidak isbal, kelezatan bisa baca kitab gundul,kenikmatan menghafal beberapa juz Al-Qur`an, kebahagiaan selamat dari sekian aliran sesat, bahkan sekedar kenal ucapan antum & anti, akh & ukhti pun sudah cukup memutar ulang nostalgia manis tersebut!

Itu mah cerita jadul, Mas!

Maksud kami, janganlah terbuai dengan kenangan manis masa lalu, tanpa melihat kenyataan “bagaimana keadaan saya sekarang?”

Sampai manakah perjalanan Anda sekarang?

Bukankah hidup ini hakekatnya adalah perjalanan?

Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda :

كلّ الناسِ يغدو؛ فبائعٌ نَفسَه فمُعتِقها أو موبِقها

Setiap hari semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya,keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya!” (Hadits Riwayat Imam Muslim).

Renungkanlah!

Seorang hamba sangatlah butuh untuk bisa istiqomah dalam melakukan perjalanannya menuju kepada Allah Ta`ala, dihadapannya banyak fitnah syubhat dan syahwat menghadang. Dan akan semakin menguat kebutuhan tersebut ketika dia berada di akhir zaman, yang diantara ciri khas akhir zaman adalah sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

(بادروا بالأعمال فتنا كقطع الليل المظلم يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا أو يمسي مؤمنا ويصبح كافرا يبيع دينه بعرض من الدنيا)

Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal shalih, sebelum datangnya gelombang fitnah yang ciri khasnya seperti tumpukan malam yang gelap gulita tanpa cahaya bulan,dahsyatnya gelombang fitnah tersebut mengakibatkan seseorang yang paginya masih dalam keadaan beriman ,sorenya sudah dalam keadaan kufur (baik kufur akbar maupun ashghar-pent) atau sorenya Mukmin ,pagi harinya kufur,dia menjual agamanya dengan secuil dari perhiasan dunia” ,

(Shahih Muslim, bab Dorongan bersegera beramal shalih,sebelum bermunculannya fitnah)

Faedah dari Hadits ini :

  1. Perintah untuk bersegera melakukan amal shalih,sebelum datangnya penghalang dan perkara yang menyibukkan seseorang dari beribadah,karena jika gelombang fitnah telah datang,seseorang akan sibuk dengannya,tidak bisa melakukan ibadah dan amal shalih dengan baik.

  2. Diantara sifat fitnah akhir zaman :

  1. Seperti tumpukan malam yang gelap gulita tidak bercahaya bulan,sehingga menyebabkan gelap pandangan,seseorang yang terkena fitnah tidak bisa membedakan yang Haq dengan yang batil, padahal jika diluar masa terjadi fitnah,hal itu jelas sekali.

  2. Sesuatu yang sudah jelas-jelas benarnya bisa ditukar dengan sesuatu yang jelas-jelas batilnya,itupun dalam rentang waktu yang singkat! Keimanan adalah sesuatu yang sudah jelas-jelas benarnya,namun ketika gelombang fitnah menghantam,bisa ditukar dengan kekufuran yang jelas-jelas batilnya,dalam waktu satu hari saja! Nah bagaimana lagi dengan perkara-perkara,urusan-urusan yang tingkat kejelasannya dibawah masalah keimanan?? Seseorang bisa lebih gelap pandangannya.

  1. Ciri orang yang terfitnah : “…menjual agamanya dengan secuil dari perhiasan dunia”, perhiasan dunia yang dimaksud disini bukan hanya harta, tapi juga wanita, pria, jabatan dan yang lainnya. Saat-saat fitnah menyerang seseorang bisa nekad menggadaikan agamanya dengan ditukar harta, atau wanita atau jabatan.

Antara Sahabat, Tabi’ut Tabi’in dan Kita

Fitnah memang sangat mengerikan, maka wajib bagi kita semua untuk merasa takut terkena fitnah. Jangankan kita, para Sahabat saja merasa takut menjumpai fitnah yang ada pada zaman setelahnya.

Sebagaimana hal ini disebutkan oleh salah satu Imam tabi`ut tabi`in, yaitu : Imam Sufyan Ats-tsauri رحمه الله تعالى ,dahulu Beliau pernah berkata tentang zamannya ,dalam sebuah surat yang ditulisnya :

بلغني أن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا يتعوذون أن يدركوا هذا الزمان وكان لهم من العلم ما ليس لنا ، فكيف بنا حين أدركنا على قلة علم وبصر وقلة صبر وقلة أعوان على الخير مع كدر من الزمان وفساد من الناس . وعليك بالأمر الأول والتمسك به وعليك بالخمول فإن هذا زمان خمول وعليك بالعزلة وقلة مخالطة الناس

…telah sampai khabar kepadaku bahwa para Sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dahulu berlindung dari menjumpai zaman kita ini, padahal mereka memiliki ilmu yang tidak kita miliki, maka bagaimana lagi dengan kita yang menjumpainya dengan bekal ilmu kita yang sedikit,kesabaran yang minim dan sedikitnya teman yang membantu kita berbuat baik,serta diiringi dengan sebagian rusaknya zaman dan manusia?….

Bagaimana dengan kita?

Para Sahabat yang demikian tinggi ilmunya, kuat kesabarannya dan banyak penolong kebaikan بعد الله, mereka takut menjumpai zaman Imam Sufyan Ats-Tsauri, yang merupakan zaman tabi`ut tabi`in, yang ketika itu masih banyak para Imam Ulama AhlusSunnah yang mentarbiyyah umat, kebenaran masih dominan serta jauh lebih sedikit fitnah dibandingkan zaman kita sekarang ini,

Bagaimana lagi dengan kita yang lemah ilmu, amal,ibadah,kesabaran dan ketakwaan dibandingkan dengan mereka ditengah zaman yang banyak rintangan fitnah syahwat dan syubhat ini ??

Oleh karena itu, siapapun kita (senior ataupun junior dalam dunia pengajian),bagaimanapun baiknya keimanan kita,bagaimanapun tingginya kedudukan kita di tengah masyarakat, selayaknya kita lebih takut terkena fitnah dibandingkan para Shahabat !

Seberapapun lamanya kita mengaji manhaj Salaf ini,sebanyak apapun kitab yang telah kita khatamkan,sesenior apapun kita dalam berdakwah,tetap hal itu tidak bisa menjadi alasan merasa aman terkena fitnah.

Harusnya keadaan kita yang banyak kelemahan tersebut, mendorong kita lebih berhati-hati terhadap sebab-sebab, ucapan, perbuatan, tempat, aktifitas, dan seluruh perkara yang bisa menimbulkan fitnah.

Terlebih-lebih jika seandainya kenangan manis sang Senior tempo doeloe tersebut tidak banyak lagi menghiasi kehidupannya.

نسأل الله السلامة و العافية

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Riba Biang Keladi Kemacetan


Category : Bahasan Utama, Riba,Kredit
Source article: Muslim.Or.Id

Tahu tidak, biang keladi kemacetan di kota-kota besar di tanah air adalah riba. Kenapa bisa?

Bisa saja. Karena sekarang kredit leasing semakin merajalela. Jika kredit semakin dipermudah, berarti kendaraan bermotor semakin banyak di jalan-jalan. Kita lihat sendiri bagaimana jumlah motor dan mobil yang semakin meningkat belakangan ini. Bisa terjadikan peningkatan yang sangat dahsyat dikarenakan kredit semakin dipermudah. Coba bayangkan dengan uang satu juta, seseorang sudah bisa bawa pulang motor. Dengan DP 25 juta-an, mobil Avanza sudah bisa di tangan.

Itu semua yang mengakibatkan kemacetan. Jadi biang keladi sebenarnya adalah pada kredit leasing. Leasing saat inilah yang tak lepas dari riba.

Leasing yang Tak Lepas dari Riba

Pembelian mobil atau motor melalui jasa leasing atau jasa bank, mungkin jika kita saksikan seperti terjadi jual beli. Padahal kenyataannya yang terjadi adalah utang piutang.

Buktinya apa?

Yang sebenarnya terjadi adalah customer memesan kendaraan pada dealer dengan cara pembayaran tertunda. Karena pembayaran demikian, maka pihak dealer yang tidak ingin uang berputar lama bekerja sama dengan pihak leasing. Pembayaran secara cash dilakukan oleh pihak leasing pada dealer. Selanjutnya pelunasan pembayaran dari customer diteruskan pada pihak leasing.

Hakekat transaksi yang terjadi antara leasing dan konsumen bukanlah jual beli. Namun pihak leasing mengutangkan lantas mengambil untung dari utang piutang tersebut. Padahal para ulama telah sepakati bahwa setiap utang piutang yang di dalamnya ditarik keuntungan atau manfaat, maka itu adalah riba.

Misalnya ingin mendapatkan motor vario 17 juta rupiah secara cash. Namun cicilan lewat leasing atau bank menjadi 22 juta rupiah. Hakekat yang terjadi adalah 17 juta rupiah dipinjamkan dari pihak leasing atau bank dan 22 juta rupiah itulah total cicilannya. Keuntungan tersebutlah yang disebut riba.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kenapa tidak bisa dikatakan jual beli?

Karena pihak leasing tidak memiliki kendaraan. Yang memiliki barang adalah pihak dealer yang langsung dijual pada pihak konsumen. Kalau dikatakan pihak leasing yang menjual tidaklah benar karena kendaraan tersebut tidak berpindah tangan pada pihak leasing. Pihak leasing pun bisa melanggar hadits berikut.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Riba Hanya Mengundang Murka Allah

Bukan hanya dampak dari menyebarnya kredit leasing yang dihukumi riba ini pada kemacetan jalan. Namun lebih daripada itu, tersebarnya riba semakin mengundang murka Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kita dengan yang halal dan menjauhkan kita dari yang haram.

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak
[Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu] (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan kata Syaikh Al Albani)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengusap Peci dan Kerudung Ketika Berwudhu, Bolehkah?



Category : Fiqh dan Muamalah, fikih, sorban, Wudhu

28 November 2014

Source article: Muslim.O.Id

Mengusap Kepala ketika Berwudhu’

Di antara rukun wudhu adalah mengusap kepala sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah [5]: 6).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tatacara mengusap kepala ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan tatacara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dengan kedua (telapak) tangannya. Beliau (mengurap) ke arah depan kemudian kembali lagi ke belakang. Beliau memulai dari bagian depan kepala, kemudian mengusap ke arah belakang dengan kedua telapak tangannya sampai tengkuk, kemudian kembali lagi ke depan sampai ke tempat di mana beliau memulai mengusap kepalanya (yaitu bagian depan kepala).” (HR. Bukhari no. 185, Muslim no. 235, dan Tirmidzi no. 28)

Hadits di atas menunjukkan bahwa mengusap kepala sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala di atas adalah “mengusap keseluruhan kepala”. Sebagaimana dalam hadits di atas, mengusap keseluruhan kepala dapat dilakukan degan dua cara, yaitu: (1) dari tengkuk, ke arah depan, kemudian kembali lagi ke belakang; atau (2) sebaliknya, yaitu dari bagian depan, ke arah tengkuk, kemudian kembali lagi ke depan.

Hadits di atas juga menunjukkan lemahnya pendapat Imam Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i –rahimahumallah- yang menyatakan bahwa mengusap kepala cukup dengan mengusap sebagian kepala, baik dengan mengusap tiga helai rambut, atau seperempat atau setengah bagian kepala saja. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/117).


Mengusap Sorban (Imamah)

Terdapat hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mengusap kain sorban (imamah) yang menutupi seluruh kepala beliau ketika berwudhu. ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan tatacara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ

Aku melihat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam mengusap sorban dan dua buah khuff (sepatu) beliau.” (HR. Bukhari no. 205)

Jika sebagian kepala beliau tidak tertutup sorban, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan bagian kepala yang tidak tertutup sorban tersebut. Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

Sesungguhnya Nabi shallalahu ‘alahi wa sallam berwudhu, maka beliau mengusap ‘an-nashiyah’, (mengusap) imamah dan dua buah khuff (sepatu) beliau.” (HR. Muslim no. 247)

Yang dimaksud dengan ‘an-nashiyah’ adalah rambut yang tumbuh di bagian depan dahi. (Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 28)

Hadits ini juga menunjukkan wajibnya mengusap seluruh bagian kepala karena ketika ada sebagian kepala yang tidak tertutup sorban, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan bagian kepala yang terbuka tersebut sekaligus, tidak mencukupkan diri hanya dengan mengusap sorban atau sebagian kepala yang terbuka saja.

Mengusap sorban ini diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu (1) suci (terbebas dari najis) dan (2) imamah tersebut sulit dan merepotkan jika dilepas, yaitu imamah yang ujungnya dililitkan ke leher, sebagaimana adat kebiasaan orang Arab. (Lihat Syarhul Mumti’, 1/236-237)

Oleh karena itu, tidak boleh mengusap peci (bagi laki-laki) sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad rahimahullah karena dua alasan berikut ini:

  • Peci pada umumnya tidak menutup semua bagian kepala, berbeda dengan sorban. Sehingga dua hal ini tidak bisa dianalogikan.

  • Tidak ada kesulitan untuk melepas peci ketika berwudhu, berbeda dengan sorban. (Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 28 dan Al-Mughni, 1/346)

Lalu bagaimana dengan jilbab (kerudung) perempuan?

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama membolehkan bagi perempuan untuk mengusap kerudung (jilbab). Mereka beralasan dengan meng-qiyaskan antara imamah (bagi laki-laki) dan kerudung (bagi perempuan).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin raimahullah berkata,”Jika terdapat kesulitan, misalnya karena cuaca yang sangat dingin, atau ada kesulitan jika harus mencopot dan memakai kerudung kembali, maka mengusap semacam ini (yaitu mengusap kerudung), tidaklah mengapa. Jika tidak (ada kesulitan semacam itu), maka yang lebih utama adalah tidak mengusap kerudung, sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih dalam masalah ini (yaitu kewajiban mengusap seluruh bagian kepala secara langsung).” (Lihat Syarhul Mumti’, 1/239)

Syaikh Abu Malik berkata,”Adapun wanita, maka aku tidak mengetahui adanya dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam masalah ini (yaitu kewajiban mengusap seluruh bagian kepala). Akan tetapi, boleh bagi para wanita untuk mengusap (bagian atas) kerudungnya. Seandainya dia mengusap bagian depan kepalanya beserta kerudungnya, maka ini lebih baik, dalam rangka keluar dari perselisihan para ulama.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/118).

Hal ini sebagaimana perbuatan Ummu Salamah yang mengusap kerudungnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir. (Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 1/346). Wallahu a’lam.

Selesai disusun menjelang subuh, Masjid Nasuha Rotterdam, 5 Shafar 1436

Referensi:

  • Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Daarul Fikr Beirut, cetakan 1 tahun 1405 (Maktabah Syamilah)

  • Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi (Maktabah Syamilah)

  • Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Maktabah Tauqifiyah.

  • Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, Maktabah Ibnu Taimiyah Kuwait, cetakan 5 tahun 1410.
     


Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perkara Duniawi Bukan Patokan Kebaikan




Category : Al-Quran, harta, kekayaan, pahala, Tafsir, tazkiyatun nafs
Source article: Muslim.Or.Id

(Disarikan dari Al Qawa’idul Hisan Al Muta’alliqah bit Tafsiril Qur’an, karya Syaikh As’Sa’di rahimahullah)

Penulis: Yulian Purnama

28 November 2014,

Sebagian kita mungkin masih tertipu dengan kaidah yang menyesatkan, yaitu jika seseorang merasa dalam keadaan hebat, kaya raya, harta melimpah, kedudukan tinggi, itu pertanda bahwa Allah memberinya kebaikan. Dunia itu menipu, dan ini adalah salah satu tipuannya. Dan ternyata Allah Ta’ala dalam Al Qur’an telah banyak mengingatkan kita akan hal ini.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaparkan sebuah kaidah berharga: “Al Qur’an membimbing manusia agar memahami bahwa ukuran kebaikan seorang insan adalah dari iman dan amal shalihnya. Adapun sekedar merasa dalam kebaikan atau dengan berpatokan dengan karunia duniawi yang Allah berikan padanya, atau dengan kedudukannya, semua ini merupakan sifatnya kaum yang menyimpang” (Qawa’idul Hisan, 126).

مَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Saba: 37)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’ara: 88-89).

dan banyak lagi ayat yang menjadikan iman dan amal shalih sebagai ukuran kebaikan di hadapan Allah, dan menafikan harta dan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan.

Di sisi lain, Al Qur’an juga memberikan hikmah yang berharga bahwasanya sikap gemar mengaku-ngaku bahwa ia sudah berada dalam kebaikan tanpa dibuktikan dengan praktek nyata dan juga sikap gemar menjadikan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan adalah sikapnya orang-orang yang menyimpang.

فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

maka ia (orang kafir) berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat“” (QS. Al Kahfi: 34).

Ia pun berkata:

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا

dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”” (QS. Al Kahfi: 36)

Allah Ta’ala berfirman, menceritakan kelakukan kaum Yahudi dan Nasrani:

وَقَالُوا لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“” (QS. Al Baqarah: 111).

Allah menjawab pengakuan mereka tersebut:

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS. An Nisa: 123).

Pengakuan tetapkan hanya pengakuan, Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada gunanya mengaku-ngaku dan merasa sudah baik, sudah shalih, sudah rajin beribadah, namun yang dilihat oleh Allah adalah amalan kita, bukan pengakuannya. Apakah amalan kita sudah sesuai dengan pengakuan? Apakah amalan kita sudah shalih? Ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya? Inilah yang semestinya menjadi perhatian.

Dan jelaskan bahwa perkara duniawi itu sama sekali bukanlah patokan kebaikan seseorang. Orang yang mendapat kelebihan dalam perkara duniawi, bukan berarti Allah merahmatinya. Dan orang yang diuji dengan kekurangan dalam perkara dunia, bukan berarti Allah memurkainya. Allah Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sama sekali bukanlah demikian!” (QS. Al Fajr: 15-17).

Demikian semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tazkiyatun Nufus, Azab Lewat Hujan

Category : Tazkiyatun Nufus

* Diambil dari buku penulis: Panduan Amal Shalih di Musim Hujan terbitan Pustakan Muslim.

Selesai disusun di pagi hari, 6 Safar 1436 H di Darush Sholihin

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Source article: Muslim.Or.Id

29 November 2014

Saat ini musim hujan. Satu hal yang mesti dipahami tentang hujan, hujan kadang diturunkan sebagai rahmat, kadang sebagai siksa atau hukuman.

Hujan Sebagai Rahmat

Hujan adalah rahmat Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil. (Lihat Zaadul Masiir, 5: 322)

Hujan itu adalah rezeki yang sifatnya umum bagi seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ

Dan di langit terdapat rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz Dzariyat: 22). Yang dimaksud dengan rezeki di sini adalah hujan sebagaimana pendapat Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas, Laits dari Mujahid dan mayoritas ulama pakar tafsir. (Lihat Zaadul Masiir, 5: 421)

Ath Thobari mengatakan, “Di langit itu diturunkannya hujan dan salju, di mana dengan sebab keduanya keluarlah berbagai rezeki, kebutuhan, makanan dan selainnya dari dalam bumi.” (Tafsir Ath Thobari, 21: 520)

Bukti sebagai rahmat, hujan adalah pertolongan untuk wali Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّن السَّمَاء مَاء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ

“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al Anfal: 11)

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan yang Allah turunkan dari langit ketika hari Badr dengan tujuan mensucikan orang-orang beriman untuk shalat mereka. Karena pada saati itu mereka dalam keadaan junub namun tidak ada air untuk mensucikan diri mereka. Ketika hujan turun, mereka pun bisa mandi dan bersuci dengannya. Setan ketika itu telah memberikan was-was pada mereka yang membuat mereka bersedih hati. Mereka dibuat sedih dengan mengatakan bahwa pagi itu mereka dalam keadaan junub dan tidak memiliki air. Maka Allah hilangkan was-was tadi dari hati mereka karena sebab diturunkannya hujan. Hati mereka pun semakin kuat. Turunnya hujan ini pun menguatkan langkah mereka. … Inilah pertolongan Allah kepada Nabi-Nya dan wali-wali Allah. Dengan sebab ini, mereka semakin kuat menghadapi musuh-musuhnya.” (Tafsir Ath Thobari, 11: 61-62)

Hujan Bisa Jadi Sebagai Siksa

Lihatlah azab pada kaum Nuh,

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan difirmankan:Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.“” (QS. Hud: 44)

Lihatlah pula azab pada kaum ‘Aad,

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢٤ ) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (٢٥)

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al Ahqaf: 24-25)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir dengan mendung hitam, beliau khawatirkan itu adalah azab. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ فِى وَجْهِهِ . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا ، رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ ، وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَ فِى وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ . فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَا يُؤْمِنِّى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ ، وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا ( هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا ) »

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mendung atau angin, maka raut wajahnya pun berbeda.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasululah, jika orang-orang melihat mendung, mereka akan begitu girang. Mereka mengharap-harap agar hujan segera turun. Namun berbeda halnya dengan engkau. Jika melihat mendung, terlihat wajahmu menunjukkan tanda tidak suka.” Beliau pun bersabda, “Wahai ‘Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman? Siapa tahu ini adaah azab. Dan pernah suatu kaum diberi azab dengan datangnya angin (setelah itu). Kaum tersebut (yaitu kaum ‘Aad) ketika melihat azab, mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (HR. Bukhari no. 4829 dan Muslim no. 899)

Semoga jadi renungan berharga bagi kita. Moga Allah turunkan pada kita hujan yang bermanfaat, bukan hujan yang membawa petaka dan azab.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger