Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Tunaikan Amalan Wajib, Berhak Atas Surga

Written By sumatrars on Sabtu, 14 Juni 2014 | Juni 14, 2014

Category : Hadits, Haji, halal, haram, Puasa, Shalat, surga, zakat
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 13 June 2014,

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ .

Dari Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau menjawab, Ya.” (HR. Muslim).

Syarh/penjelasan:

Disebutkan dalam sebagian syarah Al Arba’in, bahwa penanya dalam hadits tersebut bernama Nu’man bin Qauqal.
Maksud “mengharamkan yang haram” adalah menjauhinya dengan meyakini keharamannya. Syaikh Abu ‘Amr Ibnu Shalah berkata, “Zhahirnya maksud kata-katanya, “mengharamkan yang haram” ada dua perkara: Pertama, meyakini sebagai sesuatu yang haram. Kedua, ia tidak melakukannya. Berbeda dengan menghalalkan yang halal, maka cukup dengan meyakini kehalalannya.

Maksud “menghalalkan yang halal” adalah mengerjakannya dengan meyakini kehalalannya.

Sedangkan maksud perkataannya, “lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun”, yakni tidak menambah dengan amalan sunat. Hadits ini menunjukkan bolehnya meninggalkan amalan sunat secara jumlah (garis besar), tetapi orang yang meninggalkannya sesungguhnya telah menghilangkan keberuntungan dan pahala yang besar bagi dirinya, sedangkan Allah meninggikan derajat seseorang sesuai amalnya, dan orang yang rutin meninggalkan perkara sunat, maka hal itu merupakan kekurangan pada agamanya dan cacat pada keadilannya, dan jika meninggalkannya karena meremehkan serta tidak suka kepadanya, maka yang demikian merupakan kefasikan sehingga berhak dicela.

Hadits di atas seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:

أَتَى أَعْرَابِيٌّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ. قَالَ: تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ، وتُؤدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ. قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا أَزِيدُ عَلَى هَذا شَيْئًا وَلَا أنْقُصُ مِنْهُ. فَلَمَّا وَلَّى، قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: مَنْ سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا

“Seorang Arab badui pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku amalan yang jika aku kerjakan, maka aku akan masuk surga.” Beliau bersabda, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang wajib, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Ia (orang Arab badui) berkata, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, aku tidak menambah sedikit pun dan tidak mengurangi.” Ketika orang itu telah pergi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin melihat salah seorang penghuni surga, maka lihatlah orang ini” (Muttafaq ‘alaih)

Para imam dari kalangan ahli fiqh membedakan antara perkara wajib dengan perkara sunat adalah untuk mengetahui mana yang wajib dan mana yang tidak, dan karena khawatir akan disiksa jika meninggalkannya, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan yang sunat maksudnya adalah untuk mengingatkan sunatnya dan keadaannya yang lebih utama jika dikerjakan untuk memberikan kemudahan dan meringankan, atau untuk mengingatkan bahwa perkara sunat itu tidak wajib. Hikmah disyariatkan perkara sunat adalah untuk menyempurnakan yang wajib. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ: يَقُوْلُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: اُنْظُرُوا فِي صَلاَةِ عَبْدِيْ أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانْ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئاً قَالَ: انْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ: أَتِمُّوْا لِعَبْدِيْ فَرِيْضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ اْلأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكُمْ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Allah Azza wa Jalla akan berfirman kepada para malaikat-Nya sedangkan Dia lebih mengetahui, “Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah dia menyempurnakannya atau menguranginya?” Jika ternyata sempurna, maka dicatat sempurna. Namun jika kurang, Allah berfirman, “Lihatlah! Apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunat?” Jika ternyata ada, Allah berfirman, “Sempurnakanlah shalat fardhu hamba-Ku dengan shalat sunatnya,” lalu diambil amalannya seperti itu” (HR. Empat orang ahli hadits dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2020)

Faidah Hadits

Hadits di atas juga menunjukkan beberapa hal berikut:

  1. Bahwa orang yang mengerjakan kewajiban dan menjauhi larangan akan masuk ke dalam surga.

  2. Boleh meninggalkan amalan sunat secara garis besar, jika maksudnya bukan meremehkan.

  3. Tujuan hidup ini adalah agar kita masuk ke dalam surga.

  4. Pentingnya shalat yang lima waktu, dan bahwa shalat merupakan sebab seseorang masuk ke surga, demikian juga menunjukkan pentingnya puasa.

  5. Tidak disebutkan di dalam hadits tersebut zakat dan haji, karena zakat dan haji sudah masuk ke dalam keumuman kalimat “mengharamkan yang haram”.

  6. Bisa juga tidak disebutkan kata-kata zakat, karena orang tersebut fakir, tidak mampu berzakat, sehingga Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai dengan keadaannya. Sedangkan tidak disebutkan hajji, bisa saja karena waktu itu belum diwajibkan (sebagaimana dijelaskan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarah Al Arba’in beliau).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Maraji’:

Makbatah Syamilah versi 3.45

Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah)

Syarh Al Arba’in (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin)

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Jalan Golongan Yang Selamat

Written By sumatrars on Jumat, 13 Juni 2014 | Juni 13, 2014

Category : ahlus sunnah, al jama'ah, firqatun najiyah, Manhaj, Salafi, Wahabi
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 12 June 2014,

Firqatun Najiyah

Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah ( الفرقة الناجية ) muncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni:

افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و سبعين في النار ، و افترقت النصارى على اثنين و سبعين فرقة فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار ، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و ثنتين و سبعين في النار ، قيل يا رسول الله من هم ؟ قال : هم الجماعة

“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-Jama’ah.”” (HR Ahmad, shahih).

Kata “ فرقة ” bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ ناجية ” bermakna selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.

Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan yang selamat disebut “ الجماعة ” yang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar’i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-Jama’ah yang dimaksud?

Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama’ah dan al-Firqah dan perintah untuk berjama’ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al-Quran dan as-Sunnah:

{ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا} (آل عمران: من الآية: 103)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (QS Ali Imran: 103)

{ وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ} (آل عمران: من الآية: 105)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. …” (QS Ali Imran:105).

Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama’ah) dan melarang perpecahan (firqah).

Sedangkan dalam as-Sunnah:

((من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية))

Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-jama’ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

((من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد))

Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-jama’ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari ‘Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).

((الجماعة رحمة والفرقة عذاب))

Jama’ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu ‘adzab” (HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami’ dan yang lain)

Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban melazimi al-Jama’ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama’ah?

Al Jama’ah

Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna al-Jama’ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama’ah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama’ah yakni Nabi dan para shahabat.

Para ‘ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:

  1. as-Sawadu al-A’dzam ( السواد الأعظم ) yakni maksudnya adalah kelompok terbesar dari orang-orang muslim. Mereka itulah yang dimaskud al-Jama’ah yakni al-Firqatu an-Najiyah (golongan yang selamat). Maka pemahaman Islam yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi mereka mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi pemahaman agama mereka ataupun menyelisihi imam mereka. Sehingga yang dimaksud as-Sawadu al-A’dzam adalah orang-rang yang berpegang teguh dengan syari’ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu Mas’ud al-Anshari dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma. Ketika terbunuhnya khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu maka Abu Mas’ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab: “Tetaplah engkau dengan al-Jama’ah, sesungguhnya ALLAH tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kesesatan …”. Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian mendengar dan ta’at, karena itu adalah tali ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …” beliau juga berkata: “Sesungguhnya yang kalian benci di dalam jama’ah lebih baik dari pada yang kalian sukai di dalam perpecahan …”.

  2. Jama’ah imam-imam ‘ulama mujtahidin, maka barang siapa keluar dari apa yang telah disepakati ‘ulama ummat ini mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena ‘ulama ummat ini lah yang dimaksud dalam hadis shahih :

    ((إن الله لن يجمع أمتي على ضلالة))

    Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan” (hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).
    Pendapat ini mengkhususkan ‘ulama mujtahidin dari as-Sawadu al-A’dzam ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh: ‘Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya: “Siapakah al-Jama’ah yang sepatunya diikuti?” Beliau berkata:” Abu Bakar dan ‘Umar”. beliau terus menyebutkan sampai ke Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid. Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah mati, siapakah yang masih hidup dari Jama’atu al-Muslimin hari ini?” maka dijawab: “ Abu Hamzah as-Sukari adalah jama’ah.” Abu Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-Marwazi, mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa beramal menyelesihi para ulama mujtahid ini akan mati dalam keadaan jahiliyah.

  3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan. ‘Umar bin ‘Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali”.
    Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni lafadz pengganti al-Jama’ah yaitu:

    ((ما أنا عليه وأصحابي))

    Apa yang aku dan shahabatku di atasnya …
    hadis dengan lafadz ini diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunannya dan dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Lafadz ini menerangkan makna al-Jama’ah yang tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang dipegang dan difahami para shahabat radhiallahu ‘anhum.

  4. Jama’atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi’i berkata:

    الجماعة لا تكون فيها غفلة عن معنى كتاب ولا سنة ولا قياس، وإنما تكون الغفلة في الفرقة

    al-Jama’ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan)”.
    Beliau bermaksud bahwa jama’ah kaum muslimin adalah orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan, sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama’ah.

  5. Jama’ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama’ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama’ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadits :

    ((من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان))

    Barangsiapa datang ke ummatku untuk memecah-belah jama’ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang terjadi.

Kelima makna al-Jama’ah bisa dirangkum bahwa al-Jama’ah kembali kepada berkumpul dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama’ah dalam hadis tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama’ah disertai dengan ittiba‘ sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keselamatan di antara golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba‘ (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama’ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.

Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama’ah maka yang dimaksud adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama’ah pertama pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu ‘anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.

‘Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu’adz bin Jabal dan kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama’ah …”, sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas’ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama’ah bersama “al-jama’ah” sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka ‘Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas’ud ini. Maka Ibnu Mas’ud bertanya: ”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama’ah?”. ‘Amru menjawab: “Tidak.

Ibnu Mas’ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama’ah itulah yang telah meninggalkan al-Jama’ah yang sesungguhnya, sesungguhnya al-Jama’ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran walaupun engkau sendirian!”

Nu’aim bin Hammad berkata: ”Yaitu jika al-Jama’ah sudah rusak maka tetaplah Engkau dengan apa yang di atasnya al-Jama’ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau adalah al-Jama’ah pada saat itu”. Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama Allah Ta’ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.

Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?

Salaf

Istilah “سلف ” secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ سالف ” yang bermakna orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:

{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلآخِرِينَ} (الزخرف: 56).

dan Kami jadikan mereka sebagai ‘salaf’ dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” Kata ‘salaf’ di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil ‘ibrahnya.

Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:

  1. salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kitab ar-Risalah oleh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.

  2. salaf adalah para shahabat dan tabi’in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.

  3. salaf adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yakni tiga generasi yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis ‘Imran bin Hushain yakni:

    “خير أمتي قرني، ثم الذي يلونهم، ثم الذين يلونهم” .

    Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka” (HR al-Bukhari)

Pendapat ini dipegang banyak ‘ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Sebagian ‘ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan lainnya yakni aqran mereka (‘ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.

Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi kembali ke makna al-Jama’ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama’ah di mana salaf yang dimaksud adalah generasi shahabat, tab’in, tabi’ut tabi’in yang berpegang dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid’ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu’tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman al-Jama’ah yakni pemahaman golongan yang selamat.

Al-Imam as-Safarini berkata: ”Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat yang mulia di atasnya dan juga para tabi’in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut tabi’in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap dengan bid’ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan semacamnya”.

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para ‘ulama yang senada dengan beliau yang tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.

Ahlul Hadits dan Ath Tha’ifah Al Manshurah

Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama’ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu as-sunnah wa al-jama’ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha’ifah al-manshurah. Makna yang dimaksud “ أهل الحديث ” bukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid’ah apapun keadaannya.

Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-Jama’ah atau dengan kata lain istilah ahli hadits harus dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab ‘aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu ‘Utsman ash-Shabuni, juga “I’tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma’ili dan semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.

Apabila dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadits maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.

Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang perkataan sebagian ‘ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau menjawab: “As-sunnah adalah lawan dari al-bid’ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-bid’ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber’aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid’ah)”.

Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penukil sunnah-nya, ahlu al-bid’ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba‘ bukan ibtida‘ yakni berbuat bid’ah.

Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab ‘aqidah maka yang dimaksud adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba‘, tidak hanya sekedar mendengar, menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba’. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab ‘aqidah dari para salaf.

Sedangkan penamaan yang lain yakni “ الطائفة المنصورة ” yang bermakna “Golongan yang ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون))

Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran)“. (HR al-Bukhari)

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي منصورين، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حتى تقوم الساعة))

Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)

Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.

Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa lagi mereka itu.

‘Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits”.

al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.

al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-’ilmi (‘ulama).

dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-’ilmi (‘ulama).

Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-’ilmi dan ashabu al-atsar”. Ahlu al-atsar yang dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.

Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu ‘Abdillah al-Hakim: “Sungguh Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …

Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.

al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud (dari ashabu al-hadits) adalah ahlu as-sunnah wa al-jama’ah dan siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits”.

Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab ‘aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam, tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a’lam.

Metode penerimaan ilmu agama

Sumber ilmu mereka baik dalam ‘aqidah, ‘ibadah, mu’amalah, akhlak dan seluruh cabang-cabang syari’ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.

Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebaliknya.

Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana jama’ah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’ salaf.

Ahlu as-sunnah wa al-jama’ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama’ah mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu ‘anhum belajar tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi’in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.

ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:

{ وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} (التوبة: 100)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya. Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i’tidal (ummat pertengahan dan moderat)

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman ALLAH ta’ala:

}كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ) {آل عمران: من الآية: 110)

Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)

mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:

}وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا) {البقرة: من الآية: 142.(

demikianlah Kami jadi kalian umat yang pertengahan

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam.

Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:

  • Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta’ala di antara orang-orang yang menta’thilnya (menolak) seperti Jahmiyah dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat makhluk (tamtsil).

  • Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di antara Jabriyah (menganggap hamba-hamba-Nya dipaksa tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak adanya takdir).

  • Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAH Ta’ala di antara Murji’ah dengan Khawarij serta Mu’tazilah.

  • Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang berlebihan dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.

  • Pertengahan dalam bab ‘aql dan naql.

Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.

ALLAH a’lam

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Menuntut Ilmu, Pelajari Adab Dulu

Written By sumatrars on Rabu, 11 Juni 2014 | Juni 11, 2014

Category : Akhlaq dan Nasehat, adab, Akhlak, Ilmu, menuntut ilmu
Source article: Muslim.Or.Id , Ustadz Muhammad Sanusin, Lc.

Transcribed on : 10 Jun 2014, 11 Sya’ban 1435 H

Ilmu dan adab tidaklah dapat dipisahkan, seorang penuntut ilmu harus beradab ketika menerima ilmu dari gurunya, beradab terhadap gurunya, beradab dengan teman-temannya, bahkan beradab terhadap buku yang dia pelajari.

Ibunya Imam malik rahimahumallah, sangat memahami, ketika berkata kepada anaknya yang masih kecil, Imam Malik kecil ketika akan mendatangi gurunya, ulama Madinah saat itu, Rabiah Ar-ra’yi rahimahullah.

Sang Ibu tidak berkata kepada anaknya, belajarlah ilmu banyak-banyak sehingga engkau menjadi ulama. Dengarkan apa yang dikatakan sang ibunda kepada anaknya, “Ambillah adabnya, sebelum engkau mengambil ilmu darinya“.

Adab didahulukan dari ilmu, karena dengan beradab kita meraih ilmu. Hasilnya, tidak tanggung-tanggung…. Imam Malik, siapakah yang tidak tau tentangnya ? Ternyata apa yang dilakukan oleh Ibundanya Imam Malik adalah praktek dari firman Allah taala ketika ingin mengajari Nabi Musa alaihissalam.

Di dalam surat Thaha ayat 11 sampai 14 sangat jelas tentang hal itu, sebelum Allah taala mewahyukan kepada Nabi Musa alaihissalam bahwa Dia Allah yang Tiada Ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia.

Allah taala berfirman kepadanya,

فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

Lepaskan kedua alas kakimu, sesungguhnya engkau sedang berada di lembah suci Tuwa” (QS. Thaha 12).

Sebelum menerima wahyu, Allah taala mengingatkan Nabi Musa alaihissalam akan sebuah adab, melepas alas kaki di lembah suci Thuwa. Inilah adab sebelum menerima ilmu…

Setelah kita mengetahui cerita Nabi Musa alaihissalam, dan juga kisah Imam Malik dan ibunya, sedikit saya ceritakan kisah saya sendiri. Suatu hari saya memasuki masjid Nabawi, tiba-tiba ada yang menegur saya, “Tangan kanan!“. Ada apa dengan tangan kananku, atau ada yang salah dengan tangan kiriku ?

Akupun sadar kalau ditangan kananku ada sepasang sandal, ditangan kiri ada kitab dan mushaf Al-Quran…

Oh… aku sadar, kalau bapak itu sedang mengajari aku sebuah adab.

Dan itu terjadi berulang kali, mungkin karena lupa atau karena kebiasan yang perlu waktu untuk proses perubahan. Setiap kali saya melewati pintu itu, dan saya melihat kepadanya, saya langsung melihat tangan kanan dan kiri saya. Apakah sudah benar tangan saya beradab dengan Mushaf Al-Quran dan kitab ilmu?

Terima kasih guruku, engkau telah mengajari aku adab yang aku lupa darinya.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kajian Ramadhan 22: Ramadhan Mengajarkan untuk Menjauhi Maksiat

Category : Bahasan Utama, hikmah puasa, kajian ramadhan, maksiat
Source article: Muslim.Or.Id, Muhammad Abduh Tuasikal

Transcribed on : 10 Jun 2014, 11 Sya’ban 1435 H

Ramadhan mengajarkan untuk menjauhi maksiat. Maksiat memang dilarang setiap waktu, bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Namun kala Ramadhan, kita lebih diperintahkan dengan keras untuk menjauhinya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)

Ini bukan berarti diperintahkan untuk meninggalkan puasa. Namun maksudnya adalah peringatan keras agar tidak berkata dusta. Ini adalah penjelasan Ibnu Batthol, dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4: 117.

Yang dimaksud qoul az zuur adalah berkata dusta, melakukan ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan mencela muslim yang lain. Sedangkan mengamalkan az zuur adalah dengan malas mengerjakan shalat di waktunya, enggan shalat berjama’ah di masjid (bagi pria), melakukan jual beli yang haram, memakan riba, mendengarkan musik, juga berlebih-lebihan (boros) dalam membuat makanan untuk berbuka karena boros termasuk perbuatan terlarang. (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh karya Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, 1: 562)

Ibnul ‘Arobi sampai berkata bahwa hadits di atas berarti siapa yang berpuasa namun masih menjalankan maksiat seperti yang disebutkan, maka puasanya tidak bernilai pahala. (Dinukil dari Romadhon Durus wa ‘Ibar Tarbiyyah wa Isror karya Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamd, hal. 38).

Al Baidhowi sampai mengatakan, “Maksud puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga bahkan hendaklah diikuti dengan menekan syahwat yang jelek. Jika tidak ada maksud itu, maka tentu saja Allah tidak menerima amalan puasa tersebut.” (Idem).

Jadikanlah Ramadhan kita nanti sebagai ajang untuk memperbaiki diri dan moment meninggalkan masa silam yang penuh kegelapan. Moga Allah mudahkan.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sunnah Yang Terlupakan, Ucapan “Innal ‘Aisya, ‘Aisyul Akhirah”

Written By sumatrars on Selasa, 10 Juni 2014 | Juni 10, 2014

Category : do'a, Dzikir
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 9 June 2014,

Syaikh Ibnul Utsaimin -rahimahullah- mengatakan:

Rasul -shallallahu’alaihi wasallam- dahulu bila melihat suatu perkara dunia yg membuatnya takjub, beliau mengatakan:

لبيك إن العيش عيش الآخرة

/Labbaik, innal ‘aisya ‘aisyul akhirah/
Aku penuhi panggilanmu ya Allah, sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akherat” (HR. Bukhari 2834, Muslim 1805)

Karena bila seseorang melihat suatu perkara dunia yang membuatnya takjub, mungkin saja dia meliriknya, sehingga dia berpaling dari Allah. Oleh karena itu beliau mengatakan: “labbaik” sebagai jawaban panggilan Allah azza wajalla, kemudian beliau memantapkan hatinya dg mengatakan: “Sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akhirat“.

Karena kehidupan yang membuatmu takjub ini adalah kehidupan yang pasti sirna, sedang kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akherat. Oleh karena itu, termasuk diantara sunnah ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan di dunia ini adalah mengucapkan: “Labbaik, innal aisya aisyul akhirah” (Syarah Mumti‘, 3/124).

Imam Syafi’i -rahimahullah- mengatakan:

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengucapkannya (yakni ucapan: “Innal ‘Aisya ‘Aisyul Akhirah“) di momen yang paling membahagiakan dan di momen yang paling menyusahkan.

(Nihayatul Mathlab, karya Al Juwaini, 4/237-238).

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bolehkah Mendakwahkan Ilmu Sebelum Mengamalkannya?

Category : Akhlaq dan Nasehat, Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, dakwah, Ilmu, Manhaj
Source article: Muslim.Or.Id, Yulian Purnama

Transcribed on : 9 Jun 2014

Tidak ragu lagi bahwa ilmu yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah wajib diamalkan, bukan sekedar diilmui semata. Ilmu akan bermanfaat bagi seseorang ketika diamalkan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka amalkan” (QS. Al-Waqi’ah: 24).

Allah Ta’ala tidak berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ

Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka ketahui”.

Namun yang menjadi masalah, apakah seseorang yang ingin menyampaikan suatu ilmu atau mendakwahkannya, ketika itu ia wajib sudah mengamalkan apa yang ia sampaikan? Simak penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berikut ini, beliau berkata:

“syarat ke enam (dalam amar ma’ruf nahi mungkar), hendaknya orang yang ber-amar ma’ruf (memerintahkan perkara yang disyariatkan) dan ber-nahi munkar (melarang perkara yang dilarang agama) itu sudah mengamalkan apa yang ia sampaikan. Ini adalah pendapat sebagian ulama. Jika ia belum mengamalkannya, maka tidak boleh ber-amar ma’ruf nahi mungkar.

Karena Allah Ta’ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

Maka jika seseorang tidak shalat, maka ia tidak boleh menyuruh orang lain untuk shalat. Jika ia minum khamr, maka ia tidak boleh melarang orang lain meminumnya. Oleh karena itu, seorang penyair bersyair:

لا تنه عن خلق وتأتي مثله

عار عليك إذا فعلت عظيم

jangan engkau melarang sebuah sikap, namun engkau juga melakukan semisalnya
kehinaan besar bagimu jika kau melakukan yang demikian

Namun jumhur ulama berbeda dengan pendapat ini. Menurut jumhur, wajib ber-amar ma’ruf walaupun ia belum melakukannya, dan wajib melarang kemungkaran walaupun ia masih melakukannya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menegur Bani Israil yang gemar menyuruh berbuat kebaikan, namun mereka melakukannya sambil melupakan diri-diri mereka sendiri.

Pendapat jumhur inilah yang shahih. Saya katakan, sekarang anda diperintahkan oleh Allah 2 hal: (1) Melakukan kebaikan (2) Memerintahkan orang lain berbuat kebaikan. Dan anda juga dilarang dari 2 hal: (1) Melakukan kemungkaran (2) Meninggalkan nahi mungkar. Maka janganlah anda meninggalkan hal yang diperintahkan sekaligus juga melakukan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satunya, tidak melazimkan gugurnya kewajiban yang lain” (Syarh Al Aqidah Al Washithiyyah, 514-515).

Jadi, kalau tidak mengerjakan semua kewajiban, maka minimal jangan tinggalkan semuanya. Ini juga sebagaimana kaidah:

ما لا يدرك كله لا يترك جله

apa-apa yang tidak capai semuanya, jangan tinggalkan semua

Misalnya ketika seseorang yang tidak shalat namun ia tahu shalat itu wajib dan ia tahu temannya juga tidak shalat, maka ia di tuntut 2 hal: (1) Melakukan shalat (2) Memerintahkan temannya untuk shalat. Maka dalam kasus ini ia tetap wajib memerintahkan temannya shalat, walaupun ia tidak atau belum shalat. Dengan ini ia menunaikan 1 kewajibannya. Karena jika ia tidak shalat dan tidak memerintahkan temannya untuk shalat, ia melakukan 2 keburukan, sebagaimana kata Syaikh Ibnul Utsaimin, “anda meninggalkan hal yang diperintahkan sekaligus juga melakukan yang dilarang“. Yaitu meninggalkan shalat dan meninggalkan amar ma’ruf.

Namun sekali lagi, ini bukan berarti seseorang tidak perlu beramal ketika hendak ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Hendaknya orang yang ber-amar ma’ruf nahi mungkar senantiasa introspeksi diri, lebih bersemangat memperbaiki diri sendiri sebelum orang lain, selalu bersemangat mengamalkan ilmu yang ia miliki sebelum menerapkannya kepada orang lain. Cukuplah firman Allah Ta’ala sebagai pengingat dan ancaman baginya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)

Demikian, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, terutama kami sebagai penulis, untuk senantiasa bersemangat mengamalkan ilmu yang kita miliki. Dan semoga Allah menyelamatkan kita agar tidak termasuk orang-orang yang mengatakan sesuatu namun tidak diamalkan. Wallahul musta’an wa ‘alaihit tuklaan.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kemudahan Agama Islam

Written By sumatrars on Senin, 09 Juni 2014 | Juni 09, 2014

Category : Hadits, agama islam, Hadits, islam, islam itu mudah
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 8 Jun 2014

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الدِّينَ يُسْر، وَلَنْ يَشادَّ الدينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فسَدِّدوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بالغُدْوة وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلَجة” (رواه البخاريُّ وَفِي لَفْظٍ لِلْبُخَارِيِّ “وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوْا”)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba” (HR. Bukhari, dan pada sebuah lafaz Bukhari disebutkan, “Sederhanalah, sederhanalah niscaya kalian akan sampai“)

Syarh/Penjelasan:

Demikianlah agama Islam. Ia adalah agama yang mudah, baik dalam akidah maupun amalan. Akidah Islam mudah dicerna oleh akal pikiran, seperti tentang keesaan Allah, keberhakan-Nya untuk diibadahi karena Dia sebagai Pencipta alama semesta, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada seorang yang setara dengan-Nya (lihat surat Al Ikhlas), berbeda dengan keyakinan trinitas yang dianut orang-orang Nasrani dan penuhanan makhluk yang keadaannya lebih lemah daripada penyembahnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Demikian pula dalam amalan, syariat Islam seluruhnya mudah, bahkan kewajiban menjadi gugur ketika seseorang tidak mampu melaksanakannya. Bahkan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempraktekkannya dalam keseharian adalah hal yang mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Perhatikanlah hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»

Dari Anas ia berkata, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mereka diberitahu, maka sepertinya mereka menganggapnya sedikit, lalu mereka berkata, “Bagaimanakah keadaan kami dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.” Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa selama-lamanya dan tidak akan berbuka.” Sedangkan yang lain lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Maka datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dan bersabda, “Kalian yang berkata begini dan begitu. Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang tidak suka sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di antara prinsip Islam adalah ‘adamul haraj (meniadakan kesulitan). Oleh karena itu, Islam meringankan hukum-hukum untuk memudahkan manusia dengan beberapa cara, di antaranya:

  1. Pengguguran kewajiban dalam keadaan tertentu, misalnya tidak wajibnya melakukan ibadah hajji bagi yang tidak aman.

  2. Pengurangan kadar dari yang telah ditentukan, seperti mengqashar shalat bagi orang yang sedang melakukan perjalanan.

  3. Penukaran kewajiban yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, kewajiban wudhu’ dan mandi diganti dengan tayammum ketika tidak bisa menggunakan air.

  4. Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal), seperti jama’ taqdim, melaksanakan shalat ‘Ashar di waktu Zhuhur karena dibutuhkan.

  5. Menangguhkan, yaitu mengerjakan sesuatu setelah lewat waktu asalnya, seperti jama’ ta’khir, misalnya melaksanakan shalat Zhuhur di waktu ‘Ashar karena dibutuhkan.

  6. Perubahan, yaitu bentuk perbuatan berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi, seperti dalam shalat khauf (ketika perang). Allah Ta’ala berfirman,

    فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ

    Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)” (QS. Al Baqarah: 239)

    Demikian juga ketika sakit yang membuat seseorang tidak sanggup berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

    Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak sanggup, maka sambil duduk. Jika tidak sanggup, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushain)

Sabda Beliau, “tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam)”, yakni menjalankan ibadah dengan sikap tasyaddud (mempersempit kelapangan Islam) dan ghuluw (melewati aturan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti menjadikan perkara sunat sebagai wajib, mengharamkan beberapa hal yang dihalalkan, dan tidak mau mengambil rukhshah (keringanan/kelonggaran dari Allah).

Sabda Beliau, “kecuali dia akan kalah”, yakni akan bosan sendiri dan akhirnya ditinggalkan.
Namun tidak termasuk tasyaddud/ghuluw kalau seseorang berusaha ke arah kesempurnaan dalam mengerjakan ajaran Islam.

Sabda Beliau, “Maka bersikap luruslah” yakni tetaplah mengerjakan ajaran Islam tanpa tasaahul/bermalas-malasan dan tanpa tasyaddud/ghuluw (melewati aturan) seperti menambah-nambah atau berbuat bid’ah. Hal ini sebagaimana firman Allah:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Huud: 112)

Ayat “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar” yakni tetaplah kamu berada di atas ajaran Islam, jangan malas mengerjakannya atau meremehkannya. Sedangkan ayat “sebagaimana diperintahkan kepadamu” yakni sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak melewati aturan dan tidak menambah-nambah. Berdasarkan keterangan ini, seseorang akan merasakan kesulitan menjalankan agama ketika ia menambah-nambah ajaran Islam (berbuat bid’ah).

Sabda Beliau, “Mendekatlah” yakni jika kamu tidak dapat mengerjakan seluruh ajaran Islam, maka berusahalah mengerjakan sebagian besarnya.

Sabda Beliau, “Berbahagialah” yakni berbahagialah dengan pahala yang Allah janjikan, dan Dia tidak pernah mengingkari janji. Dengan anda mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan, akan membuat seserang semakin semangat dan ringan mengerjakan amal salehi.

Sabda Beliau, “Manfaatkanlah waktu pagi, sore, dan ketika sebagian malam tiba” yakni usahakanlah selalu mengerjakan ibadah pada saat-saat kuat dan semangat mengerjakannya yaitu di waktu pagi, petang, dan sebagian malam.

Ini termasuk jawami’ul kalim yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah sabda Beliau, kata-katanya sedikit namun kandungannya begitu dalam.

Dari hadits ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya:

Faidah Hadits:

  1. Seluruh ajaran Islam mudah, baik akidah maupun amalan.

  2. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

  3. Jika kita tidak dapat mengejar semua, maka jangan tinggalkan sebagian besarnya.

  4. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kita.

  5. Memberikan semangat orang-orang yang beramal serta memberikan kabar gembira kepada mereka dengan kebaikan dan pahala yang akan diperoleh dari mengerjakan suatu amalan.

  6. Jalan yang perlu dilalui dalam mengadakan perjalanan menuju Allah Subhaanhu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

***
Maraji’: Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Fathul Bari (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ’Asqalani), dll.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger