Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Haji Mengambil Miqot

Written By sumatrars on Kamis, 04 Oktober 2012 | Oktober 04, 2012

Kategori : Bahasan Utama

Sebagian jama’ah haji dari tanah air yang biasa dari gelombang (kloter) belakangan, biasanya langsung akan menuju Mekkah tanpa ke Madinah dahulu. Kasusnya juga bisa terjadi pada sebagian jama’ah umrah yang langsung menuju Mekkah. Masalahnya, ada yang ditemukan berihram dari Jeddah. Padahal jika kita datang dari Indonesia, maka bisa jadi kita akan melewati Miqot Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau Yalamlam. Maka seharusnya ketika ingin melewati miqot tersebut dalam keadaan ihram. Namun demikianlah karena tidak memahami masalah ini, sebagian keliru dan berihram baru dari Jeddah.

Mengenai masalah yang sama pernah ditanyakan oleh seseorang yang berasal dari Riyadh kepada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bazrahimahullah, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam. Riyadh secara geografis berada di sebelah timur kota Mekkah. Dan jika ingin memasuki Mekkah dari kota Riyadh, biasa akan melewati miqot Qornul Manazil. Soal yang ditanyakan kepada Syaikhrahimahullah adalah sebagai berikut:
Kami tinggal di Riyadh. Setiap Ramadhan kami pergi untuk berumrah. Selama tiga tahun, jika kami pergi Umrah ke Mekkah, kami melewati Jeddah. Kami tidak langsung pergi ke Mekkah, namun kami terlebih dahulu menginap di Jeddah. Baru pada hari kedua, kami pergi ke Mekkah dan kami berniat umrah dari Jeddah. Apa hukum umrah yang telah kami lakukan selama tiga tahun tersebut? Karena kami tidaklah langsung pergi ke Mekkah namun terlebih dahulu menginap di Jeddah dan berumrah dari sana. Apakah kami punya kewajiban yang harus ditunaikan? Tolonglah berilah nasehat pada kami. Jazakumullah khoiron.
Beliau rahimahullah menjawab,
Jika ihram untuk umrah kalian dimulai dari Jeddah sedangkan kalian datang dari Riyadh untuk umrah, maka kalian punya kewajibandamm. Setiap kalian yang berumrah terkena kewajiban damm untuk setiap tiga kali umrah yang kalian lakukan. Lakukan penyembelihan di Mekkah dan berikan kepada fakir-miskin. Karena kalian punya kewajiban berihram dari miqot. Dan ihram kalian adalah dari miqot di Thoif yaitu Wadi Qorn (Qornul Manazil). Tidak boleh kalian sampai ke Jeddah tanpa terlebih dahulu berihram. Kalian tetap wajib berihram dari miqot. Jika kalian telah berihram, lalu kalian menginap di Jeddah, maka tidaklah masalah. Kalian kala itu sudah muhrim (berihram) dan jika kalian menginap di Jeddah setelah itu ke Mekkah, maka tidaklah masalah. Sedangkan jika kalian melewati miqot lantas kalian berumrah dari Jeddah yaitu berihram dari Jeddah, hal itu tidak dibolehkan. Yang melakukan seperti ini, wajib menunaikan fidyah, yaitu wajib melakukan penyembelihan di Mekkah untuk dibagikan pada fakir miskin di Mekkah sebagai penutup dari kesalahan umrah yang kalian lakukan. Ketika itu umrah tersebut mengalami kekurangan. Jika kalian berihram dari Jeddah, umrah kalian berarti ada kekurangan.
Akan tetapi jika kembali ke miqot lalu berihram dari sana (bukan dari Jeddah), boleh seperti itu. Jika engkau ingat, maka segera kembali ke miqot dan berihram dari sana, seperti itu tidak masalah. Namun perlu diperhatikan bahwa wajib jika melewati miqot dalam keadaan berihram dari miqot. Karena niatan datang ketika itu adalah untuk umrah sehingga tidak boleh melewatinya kecuali telah berihram terlebih dahulu, ini wajib. Seandainya menetap di Jeddah dan bermalam di sana dalam keadaan telah berihram, seperti itu tidak mengundang masalah. Sedangkan jika seseorang melewati miqot tanpa ihram, baru kemudian berihram dari Jeddah, ini yang tidak dibolehkan. Sekali lagi yang melakukan seperti ini punya kewajiban fidyah. …
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqot,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.”[1] Dalam lafazh lain disebutkan, “Sedangkan yang berada dalam batasan miqot, maka dia mulai berihram dari tempat ia berada.”
Jika mereka adalah orang yang menetap di Jeddah atau bukan menetap dari awal namun mereka bermukim di sana untuk keperluan kerja, ketika mereka hendak haji atau umrah, maka mereka boleh berihram dari tempat mereka berada. Begitu pula jika ada orang yang berasal dari Riyadh, dari Jeddah, atau tempat lainnya, atau dari Madinah, lalu ia ke Jeddah bukan untuk maksud umrah atau haji, ia datang dari kota-kota di luar Jeddah semisal dari Riyadh, Madinah, Syam, Mesir atau selainnya untuk keperluan khusus di Jeddah, seperti bekerja, mengunjungi kerabat, berdagang atau semacam itu, maka ia boleh mulai ihram untuk haji atau umrah dari Jeddah dari tempat ia mukim. Orang ini berihram dari Jeddah sebagaimana orang yang bermukim di sana. Orang seperti ini ketika melewati miqot bukan dengan niatan umrah atau haji. Ia baru berkeinginan untuk umrah atau haji ketika berada di Jeddah. Inilah orang yang baru berniatan umrah atau haji lantas berihram dari Jeddah sebagaimana orang-orang yang mukim di sana.
Itu berarti ia tidak berihram dari miqot? Iya benar, itu bukan miqot menurut yang lain. Namun itu adalah miqot baginya yaitu bagi penduduk Jeddah dan yang mukim di sana.
(Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/13241)
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perpecahan Umat Sebab dan Selusinya Ke 2

Kategori : Manhaj

Sejarah perpecahan

Pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat sangat bermanfaat, namun dalam tulisan ini tidak dapat menjelaskan perincian secara detail. Diantara yng perlu diketahui adalah berikut:
Aqidah kelompok yang menyimpang yang muncul pada umat ini awalnya hanya sekedar konsep pemikiran dan keyakinan yang tersembunyi dan hanya tampak sangat samar, yaitu Aqidah Saba’iyah (Akidah Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij). Yang terkenal memunculkan bibit-bibit perpecahan adalah seorang yang tidak jelas jatidirinya bernama Abdullah bin Saba’ . ia menyebarkan keyakinan menyimpangnya diantara kaum muslimin sehingga banyak kaum munafikin dan orang-orang yang baru masuk islam meyakini kebenarannya hingga keluarlah sekte khawarij dan Syi’ah.

Kemudian muncullah iftiroq dalam bentuk kelompok tertentu yang dimulai dengan kelompok Khawarij yang sebenarnya juga muncul dari pemahaman Saba’iyah, sebagaimana Syi’ah juga demikian. Sabaiyah terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij. Demikian walaupun ada perbedaan besar antara syiah dan khawarij. Perbedaan antara Khawarij dan SYi’ah sebenarnya adalah upaya dan hasil kerja musuh-musuh islam dalam rangka memperparah perpecahan umat. Dalam pengertian Ibnu Saba’ dan kroni-kroninya menanamkan benih-benih sesuai dengan kelompok dari ahli hawa tertentu dan menanamkan benih lainnya pada kelompok lainnya dan menjadikan keduanya saling bermusuhan agar cepat membuat perpecahan pada umat ini.

Yang perlu diketahui bahwa sejarah perpecahan umat tidak terjadi pada zaman sahabat. Yang terjadi pada zaman mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kemudian berakhir dengan ijma’ atau tunduk dengan pendapat mayoritas atau bersatu pada keputusan imam.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Ketahuilah bahwa umumnya kebid’ahan yang berhubungan dengan akidah dan ibadah hanyalah terjadi pada umat ini pada akhir-akhir masa khulafa’ Rasyidin sebagaimana diberikan Rasulullah ketika bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِي”…

Siapa yang didup dari kalian setelahku maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin al-mahdiyin setelahku..

Lalu beliau melanjutkan:Ketika berlalu negara khulafa’ Rasyidin dan menjadi kerajaan, maka muncullah kekurangan (kelemahan) pada para penguasa (umara’), sehingga mesti juga muncul pada ahli ilmu dan agama. Akhirnya pada akhir kekhilafahan ‘Ali menyempal dua kebidahan yaitu Khawarij dan Rafidhoh yang berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan kekhilafahan serta yang berhubungan dengnnya berupa amalan dan hukum-hukum syari’at. Mu’awiyah dulu adalah raja dan rahmat, ketika beliau wafat dan datanglah pemerintahan Yazid terjadilah padanya fitnah pembunuhan al-Husein di Iraq dan fitnag ahlu al-Harah di Madinah serta mereka mengepung Makkah ketika dipimpin oleh Abdullah bin al_zubeir. Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat terpecah belah: Ibnu al-Zubeir di al-Hijaaz, Banu al-Hakam di Syam, al-Mukhtaar bin Abu ‘Ubaid dan selainnya menyerang Iraq dan itu terjadi di akhir masa sahabat dan masih tersisi sedikit dari mereka seperti Ibnu ABas, Abdullah bin ‘Umar, Jaabir bin ABdillah dan Abu Sa’id al-Khudri. Mereka dahulu membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari kebid’ahan al-Khawarij dan Rafidhoh. Umumnya al-qadariyah ketika itu belum berbicara tentang amalan hamba sebagaimana al-Murji’ah berbicara tentang hal tersebut, sehingga jadilah perkataan mereka dalam ketaatan, kemaksiatan, mukmin, fasiq dan sejenisnya dari masalah-masalah al-asma wa al-Ahkaam dan al-Wa’d wa al-Wa’id. Mereka semua belum bicara tentang Rabb mereka dan tidak pula pada sifat-sifat Allah kecuali di akhir-akhir masa Shighar al-Tabi’in ketika masa akhir kekuasaan daulat Umawiyah hingga awal abad ketiga –yaitu tabi’I Tabi’in- dimana mayoritas tabi’in telah wafat.

Karena yang dilihat pada tiga generasi adalah dengan mayoritas generasi (ahli al-Qurun) dan merekalah tengah-tengahnya. Mayoritas sahabat hilang dengan hilangnya khulafa’ rasyidin yang empat, hingga tidak tersisa ahli badr kecuali sedikit sekali. Mayoritas tabi’in bi ihsaan hilang pada akhir ashaghir al-shohabat pada pemerintahan Abdullah bin al-Zubeir dan Abdulmalik. Mayoritas tabi’it Tabi’in pada akhir-akhir daulat Umawiyah dan awal-awal daulat ‘Abasiyah, jadilah banyak orang-orang non Arab dalam wali amri dan keluar banyak urusan dari kepemimpinan Arab. Lalu kitab-kitab non Arab berupa kitab-kitab persia, India, dan Rumawi diterjemahkan dan muncullah apa yang disabdakan Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :

“ثم يفشوا الكذب حتى يشهد الرجل ولا يستشهد، ويحلف ولا يستحلف”

Lalu menyebarlah kedustaan sampai-sampai orang bersaksi walau tidak dimintai persaksiannya, dan bersumpah walau tidak dimintai sumpah

Muncullah kemudian tiga kebid’ahan: Ra’yu, Ilmu Kalam, Tasawwuf. Lalu muncullah Jahmiyah yaitu penafian sifat Allah dan lawannya yaitu al-Tamtsil”.

Hingga beliau berkata:Mengenal prinsip dan ideologi sesuatu dan mengenal agama dan prinsip-prinsipnya serta prinsip yang lahir darinya termasuk ilmu yang paling bermanfaat, karena seorang yang tidak mengetahui hakekat sesuatu yang dibutuhkannya dengan sempurna maka akan tersisa dihatinya satu keraguan”[ Lihat Majmu' Fatawa 10/354-368 dinukil dari Taqrib al-Tadmuriyah 10-12.]

Ibnu al-Qayyim menyatakan: Kebid’ahan al-Qadar mendapati akhir masa sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abas dan semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul kebidahan irja’ setalah hilang masa sahabat, lalu kibaar tabi’in yang mendapati kebidahan ini membantahnya. Kemudian kebidahan jahmiyah mendapati masa tabi’in dan membesar serta keburukannya merata pada zaman para iamam seperti imam Ahmad dan rekan-rekannya. Kemudian setelah itu muncul bid’ah al-Hulul dan tampak jelas pada zaman al-Husein al-Halaaj. Setiap kali syeithon menampakkan satu kebidahan dari kebidahan-kebidahan tersebut dan selainnya , Allah bangkitkan dari hizbu dan tentaraNya orang yang membantahnya dan memperingatkan kaum muslimin dari itu semua dalam rangka nasehat Lillah, kitab suci, RasulNya dan kaum muslimin” [ Lihat Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61 hadits no. 4527]

Sedangkan Ibnu Hajar dalam menjelaskan hal ini berkata:diantara yang terjadi adalah penulisan (kodefikasi) hadits kemudian tafsir al-Qur’an kemudian penulisan masalah-masalah fikih yang dihasilkan dari ra’yu murni kemudian penulisan yang berhubungan dengan amalan hati.

Adapun yang pertama diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya dan mayoritas membolehkannya. Yang kedua diingkari oleh sejumlah Tabi’in seperti al-Sya’bi. Sedangkan yang ketiga diingkari oleh imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama dan demikian juga pengingkaran imam Ahmad lebih keras pada yang berikutnya (keempat)
Diantara yang muncul adalah penulisan pemikiran dalam prinsip-prinsip agama, lalu muncullah kelompok al-Mutsbitah dan al-Nufaah. Yang pertama ektrim hingga menyerupakan Allah dengan makhlukNya dan yang kedua ektrim sehingga menafikannya (ta’thil). Maka semakin keras pengingkaran para salaf terhadap hal tersebut, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan al-Syaafi’i. pernyataan mereka dalam mencela ilmu kalam cukup masyhur. Sebabnya adalah mereka berbicara terhadap sesuatu yang Nabi dan para sahabatnya diam. Dan telah shohih penukilan dari Maalik bahwa yang tidak ada pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sedikitpun maka termasuk hawa yaitu kebidahan Khawarij, Rafidhoh dan al-Qadariyah. Orang-orang setelah tiga generasi terbaik memperlonggar pada umumnya permasalahn yang telah diingkari seluruh tabi’in dan tabi’it tabi’in dan tidak merasa cukup dengan hal itu hingga mereka mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan pemikiran Yunani dan menjadikan pemikiran filsafat sebagai dasar menolak semua yang menyelisihinya dari atsar dengan ta’wil walaupun dipaksakan. Kemudian mereka tidak cukup hanya demikian hingga meyakini bahwa yang mereka pegangi tersebut adlah ilmu yang paling mulia dan paling pantas dimiliki dan yang tidak menggunakan istilah mereka dianggap awam dan jahil.

Orang yang bahagia adalah orang yang berpegang kepada ajaran salaf dan menjauhi kebidahan kholaf . Kalau terpaksapun maka cukuplah mengambil sesuai kebutuhan saja dan menjadikan yang pertama sebagai tujuan asalnya” [ Lihat Fathul Bari 13/253]

Tokoh-tokoh besar pencetus kelompok sesat dalam Islam

Abdullah bin Saba yang dikenal dengan Ibnu Sauda’ al-yahudi dibunuh tahun 34 H

Ma’bad al-Juhani mati tahun 80 H membuat bid’ah Qadariyah tahun 63 H

Ghailaan al-Dimasqi dibunuh tahun 105 H

al-Ja’ad bin Dirham dibunuh tahun 124 H

al-Jahm bin Shofwaan

Washil bin ‘Atho’

Amru bin Ubaid dll.

Demikian sebagian tokoh-tokoh ini dan masih banyak yang lainnya lagi yang tidak dapat ditulis dalam makalah ini.

Cara berlindung dari perpecahan

Ada beberapa sebab yang dapat melindungi kita dari perpecahan, ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Yang bersifat umum adalah: takwa dan berpegang tegug kepada al-Qur`an dan Sunnah.

Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

firman Allah:

sedangkan Nabi menjelaskan dalam sabdanya:

عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Dari al-’Irbadh bin Saariyah beliau berkata, Rasululloh telah menasehati kami pada satu hari dengan satu sehat yang menyentuh membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seorang berkata, Sungguh ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami wahai Rasululloh! Maka beliau bersabda: aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan taat (kepada penguasa) walaupun budak habasyi, karena siapa dari kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang banyak dan hati-hatilah kalian dari hal-hal yang baru dalam agama” HR al-Tirmidzi.

namun dari sebab umum ini muncullah sebab-sebab khusus, diantaranya:

Mengenal ajaran Nabi dan berpegang teguh dengannya. Orang yang berbuat demikian –Insya Allah- akan mendapatkan petunjuk dan beragama diatas bashiroh. Dari sini ia akan menjauhi perpecahan atau perselisihan dan terjerumus padanya secara otomatis.

Berjalan diatas manhaj salaf as-Sholih yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam besar ahlu sunnah wa al-Jama’ah

Memahami agama dengan belajar kepada para ulama dengan metode yang benar sesusai manhaj para ulama dalam mengambil ilmu.

Berkumpul bersama para ulama umat yang umat islam telah mengakui kredibilitas mereka dalam agama, amalan dan amanah mereka. Allamdulillah mereka selalu ada sampai hari kiamat nanti.

Jangan sekali-kali merasa lebih pakar dan mulia dari para ulama

Segera mengobati fenomena perpecahan yang ada dan kelompok sesat yang muncul khususnya pada anak-anak muda, orang yang suka tergesa-gesa dan yang tidak suka tafaqquh fiddin.

Semangat untuk berpegang kepada jamaah dan persatuan serta perbaikan dalam makna yang luas dan prinsip-prinsipnya.

Mulazamah ulama dan orang sholih

Menjauhi sikap hizbiyah dan fabnatik buta terhadap golongan

Memberikan nasehat kepada para pemimpin baik yang sholeh ataupun yang fajir.

Melaksanakan amar amkruf nahi mungkar dengan dasar fikih dan bashiroh.

Penutup

Akhirnya kami berwasiat kepada para pemuda untuk senantiasa belajar dan mengambil ilmu dari para ulama yang telah diakui kredibilitasnya dalam memahami agama dan mengamalkannya, khususnya dalam permasalahan-permasalahan umat dan kontemporer yang butuh ijtihad dan kematangan ilmu. Juga hendaknya menjaga ukhuwah dengan menunaikan hak-hak dan etika ukhuwah yang telah dijabarkan para ulama berdasarkan al-Qur`an dan sunnah.

Mudah-mudahan Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua dan mengaruniai kita semua ilmu yang manfaat dan amal sholeh.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perpecahan Umat Sebab dan Solusinya 1

Kategori : Manhaj

Fenomena perpecahan umat dizaman kiwari ini sedemikian banyak. Bukan hanya karena tidak adanya ilmu dan orang yang menuntut ilmu atau sulitnya mendapatkan wasilah mendapatkan ilmu. Namun tampaknya karena ilmu tersebut hilang barokahnya. Bisa jadi disebabkan karena mengambilnya tidak dari sumber aslinya atau tidak dengan manhaj para ulama. Mungkin juga banyaknya dan mudahnya sarana mendapatkan ilmu dan informasi membuat kita semua tergesa-gesa dan mencukupkan hanya dengan sarana tersebut tanpa melihat para ulama pewaris Nabi

Syeikh Nashir al-'Aql menyatakan:

  إن البركة إنما تتحقق في العلم الذي يؤخذ عن العلماء ، وهو الأصل الذي هو سبيل المؤمنين ، أما أخذ العلم عن الوسائل فقط دون الرجال فإنه لا ينفع إلا قليلاً ، مما نتج عنه ظهور الأهواء والآراء الشاذة عن السنة ، وشيوع مظاهر الافتراق والتنازع في الدين.

  "Sungguh barokah hanyalah akan ada pada ilmu yang diambil dari para ulama dan ia adalah dasar yang menjadi jalannya kaum mukminin. Adapun mengambil ilmu dari sarana-sarana saja tanpa (melihat) kepada para ulama, maka tidak bermanfaat kecuali sedikit. Hal ini menghasilkan munculnya hawa dan pemikiran nyeleneh dari Sunnah dan berkembangnya fenomena perpecahan dan perselisihan dalam agama" (lihat kitab Al-Iftiraq)
Berapa banyak kaum muslimin yang belum mengerti kata perpecahan menurut pandangan islam, sehingga mereka memiliki pemahaman yang salah tentangnya. Karenanya perlu dijabarkan pengertiannya agar tidak terjadi salah kaprah.
Pengertian "Perpecahan Umat" (al-Iftiraq)
Menilik kata perpecahan yang dalam bahasa Arabnya adalah Al Iftiraaq (الافتراق), ternyata berasal dari kata المفارقة yang berarti المباينة (perpisahan), المفاصلة (pemisahan) dan الانقطاع (pemutusan). Kata iftiraaq juga diambil dari pengertian memisahkan diri dan nyeleneh, seperti ungkapan: الخروج عن الأصل (keluar dari kaedah), الخروج عن الجادة (keluar dari biasanya).
Sedangkan dalam pengertian para ulama, kata iftiraaq berarti keluar (menyimpang) dari As Sunnah dan Al Jama'ah pada satu pokok atau lebih dari pokok-pokok agama yang sudah baku dan pasti (qath'i), baik pada pokok-pokok ajaran aqidah atau pokok ajaran amaliyah yang berhubungan dengan hal-hal yang qath'I atau yang berhubungan dengan kemaslahatan besar umat ini atau yang berhubungan dengan keduanya sekaligus (lihat kitab al- Iftiraaq).
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah yang berbunyi:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ([() رواه مسلم .]) .
Dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam beliau bersabda: "siapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama'ah lalu ia mati, maka ia mati seperti kematian orang jahiliyah dan siapa yang berperang dibawah panji yang tidak jelas, marah karena kesukuan atau mengajak kepada kesukuan atau menolong karena kesukuan lalu terbunuh maka ia terbunuh seperti terbunuhnya orang jahiliyah. Siapa yang memberontak dari umatku, memukul (membunuh) yang baik dan yang fajirnya dan tidak memperdulikan dari kemukminannya serta tidak menunaikan janjinya kepada orang yang dijanjikan maka ia bukan dariku dan aku lepas diri darinya" (HR. Muslim)
Apakah setiap kekufuran adalah iftiraaq?
Memang setiap kekufuran adalah iftiraaq dan tidak setiap iftiraaq adalah kekufuran. Maksudnya semua amalan atau keyakinan yang membuat sesorang menjadi kafir adalah iftiraaq, namun terkadang iftiraaq muncul dari sekelompok orang atau jama'ah yang tidak dihukumi dengan kufur, seperti iftiraaq-nya Khawarij. Khawarij memisahkan diri dari jama'ah muslimin dan memberontak dengan pedang. Walaupun demikian para sahabat tidak sepakat mengkafirkannya. Kholifah Ali bin Abi Tholib ditanya tentang mereka dan beliau tidak memvonis kafir. Demikian juga Ibnu Umar dan sahabat lainnya masih sholat dibelakang Najdah al-Haruri dan dahulu Ibnu Abas menjawab dan berdebat dengan Naafi' bin al-Azraaq sebagaimana dua orang muslim berdebat (lihat Minhajus Sunnah, 5/247،248) .
Perbedaan perselisihan (al-Ikhtilaf) dan perpecahan (al-Iftiraq)
Terkadang orang salah kaprah dalam menyikapi perbedaan pendapat /perselisihan dengan perpecahan. Sehingga memberikan hukum-hukum iftiraaq pada ikhtilaf dan sebaliknya. Karena itulah sangat penting sekali mengetahui perbedaan antara khilaf dengan iftiraaq.
Diantara perbedaannya adalah:
  • Iftiraaq lebih buruk dari ikhtilaf, bahkan ia adalah hasil dari khilaf. Karena khilafterkadang sampai pada batasan iftiraaq dan kadang tidak sampai. Kalau demikianiftiraq adalah ikhtilaf plus.
  • Tidak semua ikhtilaf adalah iftiraaq, namun semua iftiraaq adalah ikhtilaf. Banyak masalah-masalah yang diperselisihkan kaum muslimin adalah termasuk masalahkhilafiyah dan tidak boleh menghukumi orang yang menyekisihnya dengan kekufuran, mufaaraqah dan keluar dari ahli sunnah.
  • Iftiraaq tidak terjadi kecuali pada masalah pokok yang inti seperti ushul agama yang tidak dibolehkan khilaf padanya dan yang sudah ditetapkan dengan nash qath'iatau ijma' atau ahlusunnah tidak pernah berselisih dalam mengamalkannya.
  • Ikhtilaf terkadang muncul dari ijtihad dan niat baik. Yang salah mendapatkan pahala selama mencari kebenaran dan yang benar mendapatkan lebih besar pahalanya. Bisa jadi seorang yang salah dipuji atas ijtihadnya. Namun bila hal ini sampai batasan iftiraaq maka semuanya tercela.
Perpecahan pasti terjadi!
Apakah perpecahan dalam umat ini satu keniscayaan? Jawabannya adalah benar, perpecahan dalam umat ini merupakan sunatullah yang pasti terjadi dan telah terjadi. Adapun dasar argumentasi pernyataan ini adalah:
1. Berita yang masyhur dari Nabi tentang terjadinya perpecahan dalam umat ini, diantaranya hadits iftiqatul ummat yang berbunyi:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
"Orang-orang Yahudi telah berpecah belah dalam tujuh puluh satu kelompok dan Nashora berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok serta umat ini akan pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok". (HR al-Tirmidzi).
2. Nabi telah mengkhabarkan bahwa umat ini akan mengikuti umat-umat terdahulu dalam sabda beliau:
لَتُتَّبَعَنَّ سُنَنُ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبَعْتُمُوْهُ )) . قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى ؟! قَالَ : (( فَمَنْ )) ([() أخرجه البخاري ، فتح الباري ، 13/300 . ومسلم ، رقم (2669) .]) ؟!
"Sungguh jalan orang-orang sebelum kalian akan diikuti sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi hasta hingga seandainya mereka masuk lubang Dhobb tentulah kalian akan mengikutinya. Kami bertanya: Wahai Rasululloh apakah yahudi dan nashrani?! Beliau menjawab: Siapa lagi?!" (HR. Bukhari - Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa Nabi -dalam rangka memperingatkan umat ini- menceritakan bahwa umat ini akan berpecah belah secara pasti. Namun tidaklah terjadinya perpecahan adalah celaan kecuali untuk orang yang memecah atau memisahkan diri dari jamaah muslimin.
Kalau demikian jelaslah kepastian terjadinya perpecahan pada umat ini, walaupun belum dibuktikan dengan realita. Sebab banyaknya peringatakan akan sesuatu menunjukkan kepastian ada dan akan terjadinya sesuatu itu.
Nash-nash yang ada dalam al-Qur`an dan sunnah yang berisi peringatan dari mengikuti jalan-jalan yang tidak lurus, diantaranya :

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا [ آل عمران : 103 ]

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai:, (QS. Al Imran: 103)

وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ [ الأنفال : 46 ]

"dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu" (QS. Al Anfal: 46)

وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ [ آل عمران: 105 ]

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka" (QS. Al Imran: 105)

وأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [ الأنعام : 153 ]

"dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya" (QS. Al An'am: 153)
Ayat-ayat ini dijelaskan Nabi dengan terperinci dalam hadits Ibnu Mas'ud yang berbunyi:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menggaris satu garis kepada kami, kemudian bersabda; inilah jalannya Allah. Kemudian menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan kirinya. Kemudian berkata: Inilah jalan-jalan yang berpecah-pecah, setiap jalan darinya ada syeitan yang menyeru. Kemudian membaca firman Allah. "dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. 6:153)"
Demikian juga Allah melarang kita berselisih, seperti dalam firmanNya:

وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ [ الأنفال : 46 ]

"dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu" (QS. Al Anfal: 46)
Allah juga mengancam orang yang keluar dari jalannya kaum mukminin dalam firmanNya:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا  [ النساء : 115 ]

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" (QS. An Nisaa: 115)
Nabi memberikan hukuman tertentu bagi orang yang melakukan iftiraaq yang menunjukkan hal itu akan terjadi. Seperi sabda beliau :

(( لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍِ : الثَّيْبُ الزَّانِيْ ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ )) ([() متفق عليه ، البخاري ، 4/317 . ومسلم ، 5/106 .]) .

"Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersyahadatain kecuali dengan sebab tiga perkara; orang yang telah menikah berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya lagi meninggalkan jama'ah" (Muttafaqun 'alaih)
Nabi pun telah menceritakan realitas perpecahan pada umat ini ketika menceritakan kemunculan Khawarij, seperti sabda beliau:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata: Aku telah mendengar Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "Akan datang diakhir zaman satu kaum yang berusia muda dan lemah akalnya, mereka berkata dari sebaik-baiknya perkataan manusia. Mereka meninggalkan islam sebagaimana anak panah keluar menemui sasarannya. Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Dimana kalian temui mereka maka bunuhlah, karena membunuh mereka adalah pahala bagi yang membunuhnya dihari kiamat" (HR. Bukhari)
Jelaslah dari dalil-dalil diatas bahwa realita perpecahan umat tidak dapat dipungkiri lagi. Ini semua sebagai ujian dan fitnah kepada umat islam dan ini semua sudah menjadi sunnatullah yang tidak mungkin dirubah. Walaupun tetap perpecahan tersebut tercela. Karenanya sudah menjadi kewajiban seorang muslim mengetahuinya dan mengetahui siapa yang benar dan menjauhi semua yang dapat menggelincirkannya dari jalan yang lurus.
Sebab-sebab Perpecahan (Diiringkas dari Majalah al-Buhuts al-Islamiyah Edisi 46 hal 343-351)
Bila kita ingin mensensus sebab-sebab perpecahan sejak zaman dahulu hingga zaman kiwari ini tentulah akan banyak sekali. Namun disini hanya disampaikan sebagian yang terpenting dan pokok saja, yaitu:
  1. Tipu daya dan konspirasi musuh-musuh Islam, baik yang menampakkan kekufurannya seperti yahudi dan salibis ataupun yang menampakkan keislaman dengan tujuan melemahkan kekuatan dan menumbuhkan perselisihan diantara kaum muslimin. Mereka melakukan gerakan rahasia dan bawah tanah untuk menyebarkankebatilan dan makar busuk mereka. Sebagian mereka mendapatkan kedudukan dan tempat yang memudahkan mereka berbuat demikian. Sebagai contoh Ibnu al-Muqaffa' al-Majusi, al-Baramikah (keluarga al-Barmaki) termasuk yang memiliki kisah dan peran besar ketika masa-masa hilangnya kesadaran islam. Yang lebih besar lagi adalah Perdana mentri Ibnu al-'Alqami dan al-Naashir al-Thusi yang keduanya memiliki peran besar masukkan bangsa Tartar menghancurkan peradaban islam diwilayah timur. Demikian juga yang berbentuk negara seperti dua negara syi'ah yaitu Daulah Fathimiyah dan Isma'iliyah , Daulah al-Thuluniyah dan al-Hamadaaniyah serta lainnya. Mereka ini memiliki pengaruh besar dalam menghancurkan kesatuan umat dan menjadikan kekhilafahan islamiyah menjadi negara-negara kecil seperti sekarang ini.
    Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam sabda beliau:

    "يُوْشَكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الأمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأكَلَةُإِلَى قَصْعَتِهَا" فَقَالَ قَائِلٌ: أَوَمِنْ قِلّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: "بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللّه مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيُقْذِفَنَّ اللّه فِي قُلُوْبِكُمُ الْوَهْنَ" فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللّه، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: "حُبُّ الدُّنيَا وَكَرَاهِيَّةُ الْمَوْتِ".‏


    “Dari Tsauban beliau berkata, telah bersabda RasulullahShallallahu'alaihi Wasallam:”nyaris sudah para umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya” lalu bertanya seseorang:’apakah kami pada saat itu sedikit?” beliau menjawab :”tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan kedalam hati-hati kalian wahn (kelemahan),”, lalu bertanya lagi :’wahai rasululloh apa wahn (kelemahan) itu?”, kata beliau :”cinta dunia dan takut mati””.[Shohih lighairihi (shohih lantaran ada yang lain yang menguatkannya (pen)) dikeluarkan oleh Abu Daud (4297) dari jalan periwayatan ibnu Jabir, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Abdussalam darinya (Tsauban) secara marfu’]
  2. Kebodohan terhadap agama, karena keselamatan ada pada ilmu dan kebinasaan ada pada kebodohan. Kebodohan disini bermakna ketidak tahuan terhadap aqidah dan syari'at, bodoh terhadap sunnah, ushul, kaedah dan manhajnya, bukan hanya sekedar tidak memiliki pengetahuan saja; sebab seorang terkadang cukup memiliki hal-hal yang menjaga dirinya dan menjaga agama dengannya lalu menjadi alim dengan agamanya walaupun belum menjadi pakar dalam ilmu. Sebaliknya terkadang ada orang yang mengetahui banyak pengetahuan dan dipenuhi dengan informasi dan maklumat, namun tidak mengetahui ushul dan kaedah dasar agama. Hingga ia tidak mengetahui ushul aqidah dan hukum-hukum iftiraaq serta hukum-hukum bergaul dengan orang lain, ini musibah besar. Memang kebodohan adalah satu musibah dan menjadi sebab pokok perpecahan. Allah berfirman: "Katakanlah:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" (QS. 39:9)
    Sufyan al-Tsauri menyatakan:

    لعالم واحد أشد على الشيطان من مائة عابد

    "Sungguh seorang alim lebih ditakuti syaitan dari seribu ahli ibadah".
    Sedangkan Abu al-'Aliyah menyatakan:

    ( تعلموا الإسلام فإذا تعلمتموه فلا ترغبوا عنه) رواه الآجري في كتاب الشريعة ص ( 31)

    "Belajarlah islam, apabila kalian telah mempelajarinya maka jangan membencinya" (Diriwayatkan Al Ajurri dalam kitab Asy Syari'ah, 1/31)
  3. Ketidak beresan dalam manhaj menerima ilmu agama (talaqqi). Kita dalam menerima ajaran agama harus mengikuti manhaj yang sudah ada sejak zaman Rasululloh dan para salaf umat ini hingga sekarang. Manhaj tersebut mencakup ilmu, amal, mengambil petunjuk dan teladan, suluk prilaku dan pergaulan. Hal ini dilakukan dengan lebih memperhatikan kaedah-kaedah syari'at dan ushul-ushul umum daripada sekedar perhatian pada masalah praktis dan kuantitas jumlah nash.
    Hal ini dapat diwujudkan dengan mengambil ajaran islam dari generasi teladan dan ulama-ulama besar yang kredibel. Ilmu tersebut diambil dengan bertahap baik jenis dan ukurannya sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang ada. Ilmu yang dapat menjadikan seseorang menjadi ahli dalam agamanya yaitu ilmu yang didasarkan kepada al-Qur`an, Sunnah dan atsar yang shohih dari para ulama umat.
    Diantara fenomena kesalahan dalam talaqqi adalah:
    a. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya. Seperti diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya:

    إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ([() البخاري في كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة ، الفتح 13/282 . وروي بألفاظ أخرى عند مسلم وأحمد والترمذي وابن ماجه وأبي دواد .]) .

    "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekali cabut yang ia cabut dari hambaNya, namun mencabut ilmu dengan memawafatkan para ulama hingga bila tidak sisa seorang alimpun maka manusia menganggkat para tokoh yangbodoh lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Lalu mereka sesat dan menyesatkan" (HR Al-Bukhori)
    b. Tidak merujuk kepada para ulama sama sekali (الاستقلالية عن العلماء والأئمة ).
    c. Meremehkan dan merendahkan para ulama (ازدراء العلماء واحتقارهم والتعالي عليهم ).
    d. Menganggap ittiba' kepada ulama besar umat ini sebagai taklid (اعتبار اتباع الأئمة على هدى وبصيرة تقليدًا).
  4. Kezhaliman dan kedengkian diantara mereka sehingga mereka saling bunuh dan berpecah belah. Sebagaimana difirmankan Allah: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". (QS. Al Imran: 19)
    Demikianlah ambisi ingin menjadi orang nomor satu dan saling aniaya menjadi salah satu sebab perpecahan. Oleh karena itu Nabi memperingatkan kita dalam sabda beliau:

    لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

    "Jangan kalian kembali setelahku menjadi kafir, sebagian kalian membunuh sebagian lainnya" (HR al-Bukhari)
    Itulah yang menjadikan musuh-musuh islam berhasil mengalahkan kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam:

    إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي أَنْ لَا يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ بَيْضَتَهُمْ وَإِنَّ رَبِّي قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَنْ لَا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ يَسْتَبِيحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا أَوْ قَالَ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا

    Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyatukan untukku dunia, lalu aku melihat timur dan baratnya dan sesungguhnya umatku akan sampai kekuasaannya seluas yang disatukan Allah untukku dan aku diberi dua harta simpanan yaitu emas dan perak lalu aku memohon kepada Robb-ku untuk umatku agar dia tidak menghancurkannya dengan kelaparan yang menyeluruh, dan menguasakan atas mereka musuh-musuhnya dari selain mereka sendiri lalu menghancurkan seluruh jama’ah mereka, dan Robb-ku berkata:” wahai Muhammad, sesungguhnya aku jika telah memutuskan satu qadho’ maka tidak dapat ditolak, dan aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu bahwa aku tidak akan menghancurkan mereka dengan kelaparan yang menyeluruh dan tidak akan menguasakan atas mereka musuh-musuh dari selain mereka yang menghancurkan seluruh jamaahnya walaupun mereka telah berkumpul dari segala penjuru - -atau mengatakan: orang yang ada diantara penjuru dunia-sampai sebagian mereka membunuh dan menjadikan rampasan perang sebagian yang lainnya”[ HSR Muslim (2889)].
  5. Kebid'ahan dalam agama.
  6. Sikap ekstrim dalam agama. Hal ini dilarang Allah dalam firmanNya:
    "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.." (QS. 4:171)
    Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pun melarangnya dalam sabda beliau:

    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

    "Wahai sekalian manusia, hati-hatilah dari sikaf berlebihan dalam agama, karena orang sebelum kalian binasa karena sikap berlebihan dalam agama" (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
    Hal itu karena agama ini dibangun diatas pengamalan hukum-hukum syari'at dengan memperhatikan kemudahan, meringankan kesulitan dan mengambil keringanan pada tempatnya serta prasangka baik kepada manusia dan kasih sayang kepada mereka. Tidak keluar dari hal-hal ini kecuali dengan mashlahat yang kuat dalam pandangan ulama. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

    (( إن الدين يسر ، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبـه ، فسددوا وقاربوا وأبشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة ))

    "Agama itu mudah, tidaklah seorang itu ekstrim dalam agama kecuali akan kalah, maka luruslah, dekatilah (kesempurnaan), berilah kabar gembira dan gunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit dari tengah malam".
  7. Meniru dan mengekor kepada umat-umat terdahulu, sebagaimana dijelaskan Rasululloh dalam sabda beliau:

    لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

    "Akan datang kepada umatku apa yang telah menimpa bani Isro'il sama persis hingga bila ada dari mereka orang yang menzinahi ibunya terang-terangan pasti akan ada pada umatku yang berbuat demikian. Sungguh bani Isro'il telah berpecah belah dalam tujuh puluh satu kelompok dan umat ini akan pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok seluruhnya di neraka kecuali satu. Mereka bertanya: Siapakah ia wahai Rasulullah!? Beliau menjawab: Yang mengikuti ajaranku dan sahabat-sahabatku" (HR al-Tirmidzi).
    Imam al-Aajuri menyatakan: "Seorang alim yang berakal yang membuka lembaran keadaan umat ini tentu mengetahui bahwa kebanyakan umat ini dan keumumannya berjalan urusan mereka sesuai jalan-jalannya ahli kitab (Yahudi dan Nashrani)" (Al-Syari'ah hal. 20).
    Diantaranya adalah terpengaruhnya kaum muslimin dengan pemikiran dan filsafat yang datangnya dari negeri kafir. Hal ini diawali dengan diterjemahkannya ilmu-ilmu umat lain seperti Yunani dan India yang didasarkan pada tsaqafah paganisme. Terjemahan ini dimulai diakhir masa kekhilafahan bani Umayyah pada tahun dua ratusan hijriyah ketika Kholid bin Yazid bin Mu'awiyah sangat menggemari ilmu-ilmu dan filsafat orang terdahulu, kemudian tambah menjadi-jadi pada masa kekhilafahan Ma'mun dengan mengutus delegasi kepada para raja di negara-negara lain untuk mengambil manuskrip ilmu-ilmu pengetahuan tersebut berikut kitab-kitab filsafat hingga merusak aqidah muslimin.
    Oleh karena itu didapatkan sekte-sekte menyimpang dalam islam telah mengambil sebagian pokok ajarannya atau kebanyakannya dari agama-agama terdahulu. Contohnya Rafidhoh Syi'ah mengambil dari Yahudi dan Majusi, Jahmiyah dan Mu'tazilah mengambil dari Shobi'iyah dan filsafat Yunani dst.


(bersambung)
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sujud Sahwi 5

Sujud Sahwi (5): Sujud Sahwi dalam Shalat Berjama’ah


Memperingatkan Imam
Di saat imam itu lupa, makmum disyari’atkan untuk mengingatkannya yaitu dengan ucapan tasbih “subhanallah” bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita. Hal ini berdasarkan hadits Sahl bin Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ

Barangsiapa mengingatkan sesuatu pada imam dalam shalatnya, maka ucapkanlah “subhanallah” (Maha Suci Allah).” (HR. Bukhari no. 1218)

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421)
Cara wanita tepuk tangan adalah bagian dalam telapak tangan menepuk bagian punggung telapak tangan lainnya. Demikian kata penulis Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik hafizhohullah.[1]
Imam Merespon Peringatan dari Makmum
Mayoritas ulama dari ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika imam menambah dalam shalatnya, namun imam yakin atau berprasangka kuat bahwa ia benar, sedangkan makmum berpendapat bahwa imam telah mengerjakan lima raka’at (misalnya), maka imam tidak perlu merespon makmum.
Hal di atas adalah jika imam berada dalam kondisi yakin atau sangkaan kuat bahwa ia benar. Jika imam berada dalam kondisi ragu-ragu, maka ia wajib merespon peringatan makmum.  Demikian pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits Dzul Yadain yang pernah disebutkan dalam tulisan yang lewat.
Jika Imam Lupa dan Melakukan Sujud Sahwi, Makmum Wajib Mengikuti Imam
Baik kondisinya adalah makmum dan imam sama-sama lupa atau imam saja yang lupa, maka jika imam lakukan sujud sahwi, makmum wajib ikuti. Ibnul Mundzir berkata, “Semua ulama sepakat bahwa makmum ketika imam lupa dalam shalatnya dan imam melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk sujud bersamanya. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti.”[2][3]
Jika Imam Lupa dan Tidak Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Makmum Harus Melakukan Sujud Sahwi?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah makmum tetap melakukan sujud sahwi walaupun imam tidak melakukannya.Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Sirin, Qotadah, Al Auza’i, Malik, Al Laits, Asy Syafi’i, Abu Tsaur, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Alasannya, karena sujud sahwi itu wajib bagi imam dan makmum. Oleh karena itu, tidak boleh makmum meninggalkan kewajiban sebagaimana yang diwajibkan pada imam. Demikian pula karena setiap orang yang melaksanakan shalat semua wajib melakukan hal yang fardhu, sebagaimana imam pun demikian. Maka tidak boleh sujud sahwi ini ditinggalkan kecuali dengan menunaikannya.
Apakah Makmum Masbuk Juga Ikut Melakukan Sujud Sahwi?
Yang tepat dalam masalah ini makmum masbuk (yang telat mengikuti imam sejak awal) melakukan sujud sahwi bersama imam jika sujud sahwinya sebelum salam. Namun jika sujud sahwi terletak sesudah salam, makmum tersebut tetap berdiri melanjutkan shalatnya dan ia sujud sahwi setelah ia salam (mengikuti sujud sahwi yang dilakukan oleh imam sebelum tadi). Inilah pendapat dari Imam Malik, Al Auza’i, dan Al Laits. Pendapat ini yang dikuatkan oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik.
Jika Makmum Lupa di Belakang Imam
Jika makmum yang lupa sedangkan imam tidak, maka kealpaan makmum dipikul oleh imam, dan makmum tersebut tidak perlu melakukan sujud sahwi. Inilah pendapat mayoritas ulama dari empat madzhab. Telah terdapat hadits yang membicarakan hal ini,

لَيْسَ عَلَى مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ سَهْوٌ فَإِنْ سَهَا الإِمَامُ فَعَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ خَلْفَهُ السَّهْوُ وَإِنْ سَهَا مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ سَهْوٌ وَالإِمَامُ كَافِيهِ

Tidak diharuskan bagi yang shalat di belakang imam ketika ia dalam keadaan lupa (untuk sujud sahwi). Jika imam lupa, maka itu jadi tanggungannya dan makmum di belakangnya mengikuti dalam sujud sahwi. Jika makmum yang lupa, maka tidak ada kewajiban sujud sahwi untuknya. Imam sudah mencukupinya.” Hadits ini dho’if.[4] Akan tetapi hadits tersebut diamalkan oleh kebanyakan ulama.
Untuk mendukung hal di atas, ada penjelasan yang apik dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah sebagai berikut,
“Kami tahu dengan yakin bahwa sahabat yang meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat di belakang beliau. Dan di antara mereka pasti pernah dalam keadaan lupa yang di mana mengharuskan mereka untuk sujud sahwi jika mereka shalat sendirian. Jika memang sahabat ketika shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka lupa, lalu mereka sujud sahwi setelah salam beda dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu ada keterangan (dalam riwayat) kalau para sahabat melakukan seperti itu. Namun jika tidak ada riwayat tentang hal itu, maka menunjukkan bahwa dalam kondisi makmum saja yang lupa tanpa imam, maka tidak disyariatkan makmum untuk sujud sahwi. Ini adalah penjelasan yang amat jelas—insya Allah Ta’ala--. Hal ini telah dikuatkan dengan hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami bahwasanya ia ngobrol di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak tahu. Namun  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan dia untuk sujud sahwi.”[5]
Demikian sajian sederhana kami tentang sujud sahwi. Yang benar datang dari Allah, yang keliru dalam tulisan kami adalah dari kesalahan diri kami sendiri yang lemah.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumbur Artikel: Muslim.Or.Id

[1] Shahih Fiqh Sunnah,1/468.
[2] HR. Bukhari no. 688 dan Muslim no. 411.
[3] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 3/322.
[4] Di antara yang menyatakan sanad hadits ini dho’if adalah An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/642) dan Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom.
[5] Irwa’ul Gholil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, 2/132.




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sujud Sahwi bab 4

Sujud Sahwi 4 Lupa Melakukan Sujud Sahwi

by Muhammad Abduh Tuasikal

Jika Lupa Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Shalatnya Mesti Diulangi?
Mengenai masalah ini kita dapat bagi menjadi dua keadaan:
Keadaan pertama: Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya, namun wudhunya belum batal.
Dalam keadaan seperti ini –menurut pendapat yang lebih kuat-selama wudhunya masih ada, maka shalatnya tadi masih tetap teranggap dan ia melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun waktunya sudah lama. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu dari Imam Asy Syafi’i, Yahya bin Sa’id Al Anshori, Al Laits, Al Auza’i, Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [1].[2]
Di antara alasan pendapat di atas adalah:
Pertama: Karena jika kita mengatakan bahwa kalau sudah lama ia meninggalkan sujud sahwi, maka ini sebenarnya sulit dijadikan standar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsendiri pernah dalam lupa sehingga hanya mengerjakan dua atau tiga raka’at, setelah itu malah beliau ngobrol-ngobrol, lalu keluar dari masjid, terus masuk ke dalam rumah. Lalu setelah itu ada yang mengingatkan. Lantas beliau pun mengerjakan raka’at yang kurang tadi. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa beliau melakukan sujud sahwi dalam waktu yang lama. Artinya waktu yang lama tidak bisa dijadikan.
Kedua: Orang yang lupa –selama wudhunya masih ada- diperintahkan untuk menyempurnakan shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Meskipun lama waktunya, sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka kafarohnya (penebusnya) adalah hendaklah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim no. 684)
Keadaan kedua: Jika sujud sahwinya ditinggalkan dan wudhunya batal.
Untuk keadaan kedua ini berarti shalatnya batal hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Orang seperti berarti harus mengulangi shalatnya. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan adalah sujud sahwi sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan raka’at, maka  ia boleh melaksanakan sujud sahwi setelah ia berwudhu kembali. [3]
Jika Lupa Berulang Kali dalam Shalat Jika seseorang lupa berulang kali dalam shalat, apakah ia harus berulang kali melakukan sujud sahwi? Jawabannya, hal ini tidak diperlukan.
Ulama Syafi’iyah, ‘Abdul Karim Ar Rofi’i rahimahullah mengatakan, “Jika lupa berulang kali dalam shalat, maka cukup dengan sujud sahwi (dua kali sujud) di akhir shalat.”[4]
Sujud Sahwi Ketika Shalat Sunnah
Sujud sahwi ketika shalat sunnah sama halnya dengan shalat wajib, yaitu sama-sama disyari’atkan. Karena dalam hadits yang membicarakan sujud sahwi menyebutkan umumnya shalat, tidak membatasi pada shalat wajib saja.
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Sebagaimana dikatakan dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf,

إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ

Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa sujud sahwi itu disyariatkan pula dalam shalat sunnah sebagaimana disyariatkan dalam shalat wajib (karena lafazh dalam hadits ini umum). Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama yang dulu dan sekarang. Karena untuk menambal kekurangan dalam shalat dan untuk menghinakan setan juga terdapat dalam shalat sunnah sebagaimana terdapat dalam shalat wajib.”[5]

Bersambung ke Bab 5 

Penulis:  Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Tulis Ulang : Rahmat Mahmud Flimban

[1] Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengkhususkan jika memang sujud sahwinya terletak sesudah salam, inilah yang beliau bolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 23/32.
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.
[4] Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz, Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad Ar Rofi’i, 4/172, Darul Fikr
[5]  Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 3/144, Idarotuth Thoba’ah Al Muniirah.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sujud Sahwi Bab 3 Tata Cara Sujud Sahwi

Sujud Sahwi (3): Tata Cara Sujud Sahwi

by Muhammad Abduh Tuasikal

Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?

Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam.
Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa
sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]

Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.

Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi  sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.

  1. Jika terdapat kekurangan pada shalat–seperti kekurangan tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
  2. Jika terdapat kelebihan dalam shalat–seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam.
    Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
  3. Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki kekurangan raka’at, maka hendaklah
    ia menyempurnakan kekurangan raka’at tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
  4. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka
    hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
  5. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia
    yakini.

Tata Cara Sujud Sahwi

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah salam-.
Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.

Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,

لَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ


Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan
sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.
” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir
kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit
.” (HR. Bukhari no.
1229 dan Muslim no. 573)

Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,

فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.


Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)

Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?

Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah lewat.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud?
Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]

Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?

Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.

Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy). Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali, kemudian duduk tawaruk. Setelah itu
salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada
satu pun hadits shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu saja hal ini
akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.”[3]

Do’a Ketika Sujud Sahwi

Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو


Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]

Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو - أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ - قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .


Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang ianjurkannya
bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.
[5]

Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى


Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi]
[6]

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى


Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy [8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali Jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.[10]

Bbersambung : Bab 4


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal | Sumber Artikel Muslim.Or.Id | Disalin : Flimban Groups


[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Ba ri, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawirahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.
[6] HR. Muslim no. 772
[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484
[8] Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal, yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.
[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.
[10] Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur
Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh,
fatwa no. 8540, 7/129.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger