BLOG AL ISLAM
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
▼
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ▼ Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
Live Traffic
Haji Mengambil Miqot
Written By sumatrars on Kamis, 04 Oktober 2012 | Oktober 04, 2012
هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
Perpecahan Umat Sebab dan Selusinya Ke 2
Kategori : Manhaj
Sejarah perpecahan
Pembicaraan seputar
sejarah perpecahan umat sangat bermanfaat, namun dalam tulisan ini tidak dapat
menjelaskan perincian secara detail. Diantara yng perlu diketahui adalah berikut:
Aqidah kelompok yang menyimpang yang muncul pada umat ini awalnya hanya sekedar
konsep pemikiran dan keyakinan yang tersembunyi dan hanya tampak sangat samar,
yaitu Aqidah Saba’iyah (Akidah Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij). Yang terkenal
memunculkan bibit-bibit perpecahan adalah seorang yang tidak jelas jatidirinya
bernama Abdullah bin Saba’ . ia menyebarkan keyakinan menyimpangnya diantara
kaum muslimin sehingga banyak kaum munafikin dan orang-orang yang baru masuk
islam meyakini kebenarannya hingga keluarlah sekte khawarij dan Syi’ah.
Kemudian muncullah iftiroq dalam bentuk kelompok tertentu yang dimulai dengan kelompok Khawarij yang sebenarnya juga muncul dari pemahaman Saba’iyah, sebagaimana Syi’ah juga demikian. Sabaiyah terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij. Demikian walaupun ada perbedaan besar antara syiah dan khawarij. Perbedaan antara Khawarij dan SYi’ah sebenarnya adalah upaya dan hasil kerja musuh-musuh islam dalam rangka memperparah perpecahan umat. Dalam pengertian Ibnu Saba’ dan kroni-kroninya menanamkan benih-benih sesuai dengan kelompok dari ahli hawa tertentu dan menanamkan benih lainnya pada kelompok lainnya dan menjadikan keduanya saling bermusuhan agar cepat membuat perpecahan pada umat ini.
Yang perlu diketahui bahwa sejarah perpecahan umat tidak terjadi pada zaman sahabat. Yang terjadi pada zaman mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kemudian berakhir dengan ijma’ atau tunduk dengan pendapat mayoritas atau bersatu pada keputusan imam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Ketahuilah bahwa umumnya kebid’ahan yang berhubungan dengan akidah dan ibadah hanyalah terjadi pada umat ini pada akhir-akhir masa khulafa’ Rasyidin sebagaimana diberikan Rasulullah ketika bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِي”…
“Siapa yang didup dari kalian setelahku maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin al-mahdiyin setelahku..”
Lalu beliau melanjutkan: “Ketika berlalu negara khulafa’ Rasyidin dan menjadi kerajaan, maka muncullah kekurangan (kelemahan) pada para penguasa (umara’), sehingga mesti juga muncul pada ahli ilmu dan agama. Akhirnya pada akhir kekhilafahan ‘Ali menyempal dua kebidahan yaitu Khawarij dan Rafidhoh yang berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan kekhilafahan serta yang berhubungan dengnnya berupa amalan dan hukum-hukum syari’at. Mu’awiyah dulu adalah raja dan rahmat, ketika beliau wafat dan datanglah pemerintahan Yazid terjadilah padanya fitnah pembunuhan al-Husein di Iraq dan fitnag ahlu al-Harah di Madinah serta mereka mengepung Makkah ketika dipimpin oleh Abdullah bin al_zubeir. Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat terpecah belah: Ibnu al-Zubeir di al-Hijaaz, Banu al-Hakam di Syam, al-Mukhtaar bin Abu ‘Ubaid dan selainnya menyerang Iraq dan itu terjadi di akhir masa sahabat dan masih tersisi sedikit dari mereka seperti Ibnu ABas, Abdullah bin ‘Umar, Jaabir bin ABdillah dan Abu Sa’id al-Khudri. Mereka dahulu membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari kebid’ahan al-Khawarij dan Rafidhoh. Umumnya al-qadariyah ketika itu belum berbicara tentang amalan hamba sebagaimana al-Murji’ah berbicara tentang hal tersebut, sehingga jadilah perkataan mereka dalam ketaatan, kemaksiatan, mukmin, fasiq dan sejenisnya dari masalah-masalah al-asma wa al-Ahkaam dan al-Wa’d wa al-Wa’id. Mereka semua belum bicara tentang Rabb mereka dan tidak pula pada sifat-sifat Allah kecuali di akhir-akhir masa Shighar al-Tabi’in ketika masa akhir kekuasaan daulat Umawiyah hingga awal abad ketiga –yaitu tabi’I Tabi’in- dimana mayoritas tabi’in telah wafat.
Karena yang dilihat pada tiga generasi adalah dengan mayoritas generasi (ahli al-Qurun) dan merekalah tengah-tengahnya. Mayoritas sahabat hilang dengan hilangnya khulafa’ rasyidin yang empat, hingga tidak tersisa ahli badr kecuali sedikit sekali. Mayoritas tabi’in bi ihsaan hilang pada akhir ashaghir al-shohabat pada pemerintahan Abdullah bin al-Zubeir dan Abdulmalik. Mayoritas tabi’it Tabi’in pada akhir-akhir daulat Umawiyah dan awal-awal daulat ‘Abasiyah, jadilah banyak orang-orang non Arab dalam wali amri dan keluar banyak urusan dari kepemimpinan Arab. Lalu kitab-kitab non Arab berupa kitab-kitab persia, India, dan Rumawi diterjemahkan dan muncullah apa yang disabdakan Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
“ثم يفشوا الكذب حتى يشهد الرجل ولا يستشهد، ويحلف ولا يستحلف”
“Lalu menyebarlah kedustaan sampai-sampai orang bersaksi walau tidak dimintai persaksiannya, dan bersumpah walau tidak dimintai sumpah”
Muncullah kemudian tiga kebid’ahan: Ra’yu, Ilmu Kalam, Tasawwuf. Lalu muncullah Jahmiyah yaitu penafian sifat Allah dan lawannya yaitu al-Tamtsil”.
Hingga beliau berkata: “Mengenal prinsip dan ideologi sesuatu dan mengenal agama dan prinsip-prinsipnya serta prinsip yang lahir darinya termasuk ilmu yang paling bermanfaat, karena seorang yang tidak mengetahui hakekat sesuatu yang dibutuhkannya dengan sempurna maka akan tersisa dihatinya satu keraguan”[ Lihat Majmu' Fatawa 10/354-368 dinukil dari Taqrib al-Tadmuriyah 10-12.]
Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Kebid’ahan al-Qadar mendapati akhir masa sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abas dan semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul kebidahan irja’ setalah hilang masa sahabat, lalu kibaar tabi’in yang mendapati kebidahan ini membantahnya. Kemudian kebidahan jahmiyah mendapati masa tabi’in dan membesar serta keburukannya merata pada zaman para iamam seperti imam Ahmad dan rekan-rekannya. Kemudian setelah itu muncul bid’ah al-Hulul dan tampak jelas pada zaman al-Husein al-Halaaj. Setiap kali syeithon menampakkan satu kebidahan dari kebidahan-kebidahan tersebut dan selainnya , Allah bangkitkan dari hizbu dan tentaraNya orang yang membantahnya dan memperingatkan kaum muslimin dari itu semua dalam rangka nasehat Lillah, kitab suci, RasulNya dan kaum muslimin” [ Lihat Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61 hadits no. 4527]
Sedangkan Ibnu Hajar dalam menjelaskan hal ini berkata: “diantara yang terjadi adalah penulisan (kodefikasi) hadits kemudian tafsir al-Qur’an kemudian penulisan masalah-masalah fikih yang dihasilkan dari ra’yu murni kemudian penulisan yang berhubungan dengan amalan hati.
Adapun yang pertama
diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya dan mayoritas
membolehkannya. Yang kedua diingkari oleh sejumlah Tabi’in seperti al-Sya’bi.
Sedangkan yang ketiga diingkari oleh imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama dan
demikian juga pengingkaran imam Ahmad lebih keras pada yang berikutnya (keempat)
Diantara yang muncul adalah penulisan pemikiran dalam prinsip-prinsip agama,
lalu muncullah kelompok al-Mutsbitah dan al-Nufaah. Yang pertama ektrim hingga
menyerupakan Allah dengan makhlukNya dan yang kedua ektrim sehingga menafikannya
(ta’thil). Maka semakin keras pengingkaran para salaf terhadap hal tersebut,
seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan al-Syaafi’i. pernyataan mereka dalam mencela
ilmu kalam cukup masyhur. Sebabnya adalah mereka berbicara terhadap sesuatu yang
Nabi dan para sahabatnya diam. Dan telah shohih penukilan dari Maalik bahwa yang
tidak ada pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sedikitpun maka termasuk hawa
yaitu kebidahan Khawarij, Rafidhoh dan al-Qadariyah. Orang-orang setelah tiga
generasi terbaik memperlonggar pada umumnya permasalahn yang telah diingkari
seluruh tabi’in dan tabi’it tabi’in dan tidak merasa cukup dengan hal itu hingga
mereka mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan pemikiran Yunani dan
menjadikan pemikiran filsafat sebagai dasar menolak semua yang menyelisihinya
dari atsar dengan ta’wil walaupun dipaksakan. Kemudian mereka tidak cukup hanya
demikian hingga meyakini bahwa yang mereka pegangi tersebut adlah ilmu yang
paling mulia dan paling pantas dimiliki dan yang tidak menggunakan istilah
mereka dianggap awam dan jahil.
Orang yang bahagia adalah orang yang berpegang kepada ajaran salaf dan menjauhi kebidahan kholaf . Kalau terpaksapun maka cukuplah mengambil sesuai kebutuhan saja dan menjadikan yang pertama sebagai tujuan asalnya” [ Lihat Fathul Bari 13/253]
Tokoh-tokoh besar pencetus kelompok sesat dalam Islam
Abdullah bin Saba yang dikenal dengan Ibnu Sauda’ al-yahudi dibunuh tahun 34 H
Ma’bad al-Juhani mati tahun 80 H membuat bid’ah Qadariyah tahun 63 H
Ghailaan al-Dimasqi dibunuh tahun 105 H
al-Ja’ad bin Dirham dibunuh tahun 124 H
al-Jahm bin Shofwaan
Washil bin ‘Atho’
Amru bin Ubaid dll.
Demikian sebagian tokoh-tokoh ini dan masih banyak yang lainnya lagi yang tidak dapat ditulis dalam makalah ini.
Cara berlindung dari perpecahan
Ada beberapa sebab yang dapat melindungi kita dari perpecahan, ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Yang bersifat umum adalah: takwa dan berpegang tegug kepada al-Qur`an dan Sunnah.
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
firman Allah:
sedangkan Nabi menjelaskan dalam sabdanya:
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Dari al-’Irbadh bin Saariyah beliau berkata, Rasululloh telah menasehati kami pada satu hari dengan satu sehat yang menyentuh membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seorang berkata, Sungguh ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami wahai Rasululloh! Maka beliau bersabda: aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan taat (kepada penguasa) walaupun budak habasyi, karena siapa dari kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang banyak dan hati-hatilah kalian dari hal-hal yang baru dalam agama” HR al-Tirmidzi.
namun dari sebab umum ini muncullah sebab-sebab khusus, diantaranya:
Mengenal ajaran Nabi dan berpegang teguh dengannya. Orang yang berbuat demikian –Insya Allah- akan mendapatkan petunjuk dan beragama diatas bashiroh. Dari sini ia akan menjauhi perpecahan atau perselisihan dan terjerumus padanya secara otomatis.
Berjalan diatas manhaj salaf as-Sholih yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam besar ahlu sunnah wa al-Jama’ah
Memahami agama dengan belajar kepada para ulama dengan metode yang benar sesusai manhaj para ulama dalam mengambil ilmu.
Berkumpul bersama para ulama umat yang umat islam telah mengakui kredibilitas mereka dalam agama, amalan dan amanah mereka. Allamdulillah mereka selalu ada sampai hari kiamat nanti.
Jangan sekali-kali merasa lebih pakar dan mulia dari para ulama
Segera mengobati fenomena perpecahan yang ada dan kelompok sesat yang muncul khususnya pada anak-anak muda, orang yang suka tergesa-gesa dan yang tidak suka tafaqquh fiddin.
Semangat untuk berpegang kepada jamaah dan persatuan serta perbaikan dalam makna yang luas dan prinsip-prinsipnya.
Mulazamah ulama dan orang sholih
Menjauhi sikap hizbiyah dan fabnatik buta terhadap golongan
Memberikan nasehat kepada para pemimpin baik yang sholeh ataupun yang fajir.
Melaksanakan amar amkruf nahi mungkar dengan dasar fikih dan bashiroh.
Penutup
Akhirnya kami berwasiat kepada para pemuda untuk senantiasa belajar dan mengambil ilmu dari para ulama yang telah diakui kredibilitasnya dalam memahami agama dan mengamalkannya, khususnya dalam permasalahan-permasalahan umat dan kontemporer yang butuh ijtihad dan kematangan ilmu. Juga hendaknya menjaga ukhuwah dengan menunaikan hak-hak dan etika ukhuwah yang telah dijabarkan para ulama berdasarkan al-Qur`an dan sunnah.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua dan mengaruniai kita semua ilmu yang manfaat dan amal sholeh.
Perpecahan Umat Sebab dan Solusinya 1
Syeikh Nashir al-'Aql menyatakan:
إن البركة إنما تتحقق في العلم الذي يؤخذ عن العلماء ، وهو الأصل الذي هو سبيل المؤمنين ، أما أخذ العلم عن الوسائل فقط دون الرجال فإنه لا ينفع إلا قليلاً ، مما نتج عنه ظهور الأهواء والآراء الشاذة عن السنة ، وشيوع مظاهر الافتراق والتنازع في الدين.
"Sungguh barokah hanyalah akan ada pada ilmu yang diambil dari para ulama dan ia adalah dasar yang menjadi jalannya kaum mukminin. Adapun mengambil ilmu dari sarana-sarana saja tanpa (melihat) kepada para ulama, maka tidak bermanfaat kecuali sedikit. Hal ini menghasilkan munculnya hawa dan pemikiran nyeleneh dari Sunnah dan berkembangnya fenomena perpecahan dan perselisihan dalam agama" (lihat kitab Al-Iftiraq)- Iftiraaq lebih buruk dari ikhtilaf, bahkan ia adalah hasil dari khilaf. Karena khilafterkadang sampai pada batasan iftiraaq dan kadang tidak sampai. Kalau demikianiftiraq adalah ikhtilaf plus.
- Tidak semua ikhtilaf adalah iftiraaq, namun semua iftiraaq adalah ikhtilaf. Banyak masalah-masalah yang diperselisihkan kaum muslimin adalah termasuk masalahkhilafiyah dan tidak boleh menghukumi orang yang menyekisihnya dengan kekufuran, mufaaraqah dan keluar dari ahli sunnah.
- Iftiraaq tidak terjadi kecuali pada masalah pokok yang inti seperti ushul agama yang tidak dibolehkan khilaf padanya dan yang sudah ditetapkan dengan nash qath'iatau ijma' atau ahlusunnah tidak pernah berselisih dalam mengamalkannya.
- Ikhtilaf terkadang muncul dari ijtihad dan niat baik. Yang salah mendapatkan pahala selama mencari kebenaran dan yang benar mendapatkan lebih besar pahalanya. Bisa jadi seorang yang salah dipuji atas ijtihadnya. Namun bila hal ini sampai batasan iftiraaq maka semuanya tercela.
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا [ آل عمران : 103 ]
وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ [ الأنفال : 46 ]
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ [ آل عمران: 105 ]
وأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [ الأنعام : 153 ]
وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ [ الأنفال : 46 ]
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا [ النساء : 115 ]
(( لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍِ : الثَّيْبُ الزَّانِيْ ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ )) ([() متفق عليه ، البخاري ، 4/317 . ومسلم ، 5/106 .]) .
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
-
Tipu daya dan konspirasi musuh-musuh Islam, baik yang
menampakkan kekufurannya seperti yahudi dan salibis ataupun yang
menampakkan keislaman dengan tujuan melemahkan kekuatan dan menumbuhkan
perselisihan diantara kaum muslimin. Mereka melakukan gerakan rahasia
dan bawah tanah untuk menyebarkankebatilan dan makar busuk mereka.
Sebagian mereka mendapatkan kedudukan dan tempat yang memudahkan mereka
berbuat demikian. Sebagai contoh Ibnu al-Muqaffa' al-Majusi,
al-Baramikah (keluarga al-Barmaki) termasuk yang memiliki kisah dan
peran besar ketika masa-masa hilangnya kesadaran islam. Yang lebih besar
lagi adalah Perdana mentri Ibnu al-'Alqami dan al-Naashir al-Thusi yang
keduanya memiliki peran besar masukkan bangsa Tartar menghancurkan
peradaban islam diwilayah timur. Demikian juga yang berbentuk negara
seperti dua negara syi'ah yaitu Daulah Fathimiyah dan Isma'iliyah ,
Daulah al-Thuluniyah dan al-Hamadaaniyah serta lainnya. Mereka ini
memiliki pengaruh besar dalam menghancurkan kesatuan umat dan menjadikan
kekhilafahan islamiyah menjadi negara-negara kecil seperti sekarang ini.
Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam sabda beliau:"يُوْشَكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الأمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأكَلَةُإِلَى قَصْعَتِهَا" فَقَالَ قَائِلٌ: أَوَمِنْ قِلّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: "بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللّه مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيُقْذِفَنَّ اللّه فِي قُلُوْبِكُمُ الْوَهْنَ" فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللّه، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: "حُبُّ الدُّنيَا وَكَرَاهِيَّةُ الْمَوْتِ".
“Dari Tsauban beliau berkata, telah bersabda RasulullahShallallahu'alaihi Wasallam:”nyaris sudah para umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya” lalu bertanya seseorang:’apakah kami pada saat itu sedikit?” beliau menjawab :”tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan kedalam hati-hati kalian wahn (kelemahan),”, lalu bertanya lagi :’wahai rasululloh apa wahn (kelemahan) itu?”, kata beliau :”cinta dunia dan takut mati””.[Shohih lighairihi (shohih lantaran ada yang lain yang menguatkannya (pen)) dikeluarkan oleh Abu Daud (4297) dari jalan periwayatan ibnu Jabir, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Abdussalam darinya (Tsauban) secara marfu’] -
Kebodohan terhadap agama, karena keselamatan ada pada
ilmu dan kebinasaan ada pada kebodohan. Kebodohan disini bermakna
ketidak tahuan terhadap aqidah dan syari'at, bodoh terhadap sunnah,
ushul, kaedah dan manhajnya, bukan hanya sekedar tidak memiliki
pengetahuan saja; sebab seorang terkadang cukup memiliki hal-hal yang
menjaga dirinya dan menjaga agama dengannya lalu menjadi alim dengan
agamanya walaupun belum menjadi pakar dalam ilmu. Sebaliknya terkadang
ada orang yang mengetahui banyak pengetahuan dan dipenuhi dengan
informasi dan maklumat, namun tidak mengetahui ushul dan kaedah dasar
agama. Hingga ia tidak mengetahui ushul aqidah dan hukum-hukum iftiraaq
serta hukum-hukum bergaul dengan orang lain, ini musibah besar. Memang
kebodohan adalah satu musibah dan menjadi sebab pokok perpecahan. Allah
berfirman: "Katakanlah:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui" (QS. 39:9)
Sufyan al-Tsauri menyatakan:لعالم واحد أشد على الشيطان من مائة عابد
"Sungguh seorang alim lebih ditakuti syaitan dari seribu ahli ibadah".Sedangkan Abu al-'Aliyah menyatakan:( تعلموا الإسلام فإذا تعلمتموه فلا ترغبوا عنه) رواه الآجري في كتاب الشريعة ص ( 31)
"Belajarlah islam, apabila kalian telah mempelajarinya maka jangan membencinya" (Diriwayatkan Al Ajurri dalam kitab Asy Syari'ah, 1/31) -
Ketidak beresan dalam manhaj menerima ilmu agama (talaqqi).
Kita dalam menerima ajaran agama harus mengikuti manhaj yang sudah ada
sejak zaman Rasululloh dan para salaf umat ini hingga sekarang. Manhaj
tersebut mencakup ilmu, amal, mengambil petunjuk dan teladan, suluk
prilaku dan pergaulan. Hal ini dilakukan dengan lebih memperhatikan
kaedah-kaedah syari'at dan ushul-ushul umum daripada sekedar perhatian
pada masalah praktis dan kuantitas jumlah nash.
Hal ini dapat diwujudkan dengan mengambil ajaran islam dari generasi teladan dan ulama-ulama besar yang kredibel. Ilmu tersebut diambil dengan bertahap baik jenis dan ukurannya sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang ada. Ilmu yang dapat menjadikan seseorang menjadi ahli dalam agamanya yaitu ilmu yang didasarkan kepada al-Qur`an, Sunnah dan atsar yang shohih dari para ulama umat.
Diantara fenomena kesalahan dalam talaqqi adalah:
a. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya. Seperti diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya:إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ([() البخاري في كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة ، الفتح 13/282 . وروي بألفاظ أخرى عند مسلم وأحمد والترمذي وابن ماجه وأبي دواد .]) .
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekali cabut yang ia cabut dari hambaNya, namun mencabut ilmu dengan memawafatkan para ulama hingga bila tidak sisa seorang alimpun maka manusia menganggkat para tokoh yangbodoh lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Lalu mereka sesat dan menyesatkan" (HR Al-Bukhori)b. Tidak merujuk kepada para ulama sama sekali (الاستقلالية عن العلماء والأئمة ).
c. Meremehkan dan merendahkan para ulama (ازدراء العلماء واحتقارهم والتعالي عليهم ).
d. Menganggap ittiba' kepada ulama besar umat ini sebagai taklid (اعتبار اتباع الأئمة على هدى وبصيرة تقليدًا). -
Kezhaliman dan kedengkian diantara
mereka sehingga mereka saling bunuh dan berpecah belah. Sebagaimana
difirmankan Allah: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian
(yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". (QS. Al Imran:
19)
Demikianlah ambisi ingin menjadi orang nomor satu dan saling aniaya menjadi salah satu sebab perpecahan. Oleh karena itu Nabi memperingatkan kita dalam sabda beliau:لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
"Jangan kalian kembali setelahku menjadi kafir, sebagian kalian membunuh sebagian lainnya" (HR al-Bukhari)
Itulah yang menjadikan musuh-musuh islam berhasil mengalahkan kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam:إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي أَنْ لَا يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ بَيْضَتَهُمْ وَإِنَّ رَبِّي قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَنْ لَا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ يَسْتَبِيحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا أَوْ قَالَ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyatukan untukku dunia, lalu aku melihat timur dan baratnya dan sesungguhnya umatku akan sampai kekuasaannya seluas yang disatukan Allah untukku dan aku diberi dua harta simpanan yaitu emas dan perak lalu aku memohon kepada Robb-ku untuk umatku agar dia tidak menghancurkannya dengan kelaparan yang menyeluruh, dan menguasakan atas mereka musuh-musuhnya dari selain mereka sendiri lalu menghancurkan seluruh jama’ah mereka, dan Robb-ku berkata:” wahai Muhammad, sesungguhnya aku jika telah memutuskan satu qadho’ maka tidak dapat ditolak, dan aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu bahwa aku tidak akan menghancurkan mereka dengan kelaparan yang menyeluruh dan tidak akan menguasakan atas mereka musuh-musuh dari selain mereka yang menghancurkan seluruh jamaahnya walaupun mereka telah berkumpul dari segala penjuru - -atau mengatakan: orang yang ada diantara penjuru dunia-sampai sebagian mereka membunuh dan menjadikan rampasan perang sebagian yang lainnya”[ HSR Muslim (2889)]. - Kebid'ahan dalam agama.
-
Sikap ekstrim dalam agama. Hal ini dilarang Allah dalam
firmanNya:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.." (QS. 4:171)
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pun melarangnya dalam sabda beliau:يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
"Wahai sekalian manusia, hati-hatilah dari sikaf berlebihan dalam agama, karena orang sebelum kalian binasa karena sikap berlebihan dalam agama" (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
Hal itu karena agama ini dibangun diatas pengamalan hukum-hukum syari'at dengan memperhatikan kemudahan, meringankan kesulitan dan mengambil keringanan pada tempatnya serta prasangka baik kepada manusia dan kasih sayang kepada mereka. Tidak keluar dari hal-hal ini kecuali dengan mashlahat yang kuat dalam pandangan ulama. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:(( إن الدين يسر ، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبـه ، فسددوا وقاربوا وأبشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة ))
"Agama itu mudah, tidaklah seorang itu ekstrim dalam agama kecuali akan kalah, maka luruslah, dekatilah (kesempurnaan), berilah kabar gembira dan gunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit dari tengah malam". -
Meniru dan mengekor kepada umat-umat terdahulu,
sebagaimana dijelaskan Rasululloh dalam sabda beliau:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
"Akan datang kepada umatku apa yang telah menimpa bani Isro'il sama persis hingga bila ada dari mereka orang yang menzinahi ibunya terang-terangan pasti akan ada pada umatku yang berbuat demikian. Sungguh bani Isro'il telah berpecah belah dalam tujuh puluh satu kelompok dan umat ini akan pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok seluruhnya di neraka kecuali satu. Mereka bertanya: Siapakah ia wahai Rasulullah!? Beliau menjawab: Yang mengikuti ajaranku dan sahabat-sahabatku" (HR al-Tirmidzi).Imam al-Aajuri menyatakan: "Seorang alim yang berakal yang membuka lembaran keadaan umat ini tentu mengetahui bahwa kebanyakan umat ini dan keumumannya berjalan urusan mereka sesuai jalan-jalannya ahli kitab (Yahudi dan Nashrani)" (Al-Syari'ah hal. 20).
Diantaranya adalah terpengaruhnya kaum muslimin dengan pemikiran dan filsafat yang datangnya dari negeri kafir. Hal ini diawali dengan diterjemahkannya ilmu-ilmu umat lain seperti Yunani dan India yang didasarkan pada tsaqafah paganisme. Terjemahan ini dimulai diakhir masa kekhilafahan bani Umayyah pada tahun dua ratusan hijriyah ketika Kholid bin Yazid bin Mu'awiyah sangat menggemari ilmu-ilmu dan filsafat orang terdahulu, kemudian tambah menjadi-jadi pada masa kekhilafahan Ma'mun dengan mengutus delegasi kepada para raja di negara-negara lain untuk mengambil manuskrip ilmu-ilmu pengetahuan tersebut berikut kitab-kitab filsafat hingga merusak aqidah muslimin.
Oleh karena itu didapatkan sekte-sekte menyimpang dalam islam telah mengambil sebagian pokok ajarannya atau kebanyakannya dari agama-agama terdahulu. Contohnya Rafidhoh Syi'ah mengambil dari Yahudi dan Majusi, Jahmiyah dan Mu'tazilah mengambil dari Shobi'iyah dan filsafat Yunani dst.
Sujud Sahwi 5
Sujud Sahwi (5): Sujud Sahwi dalam Shalat Berjama’ah
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
لَيْسَ عَلَى مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ سَهْوٌ فَإِنْ سَهَا الإِمَامُ فَعَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ خَلْفَهُ السَّهْوُ وَإِنْ سَهَا مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ سَهْوٌ وَالإِمَامُ كَافِيهِ
Sujud Sahwi bab 4
Sujud Sahwi 4 Lupa Melakukan Sujud Sahwi
by Muhammad Abduh TuasikalJika Lupa Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Shalatnya Mesti Diulangi?
Mengenai masalah ini kita dapat bagi menjadi dua keadaan:
Keadaan pertama: Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya, namun wudhunya belum batal.
Dalam keadaan seperti ini –menurut pendapat yang lebih kuat-selama wudhunya masih ada, maka shalatnya tadi masih tetap teranggap dan ia melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun waktunya sudah lama. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu dari Imam Asy Syafi’i, Yahya bin Sa’id Al Anshori, Al Laits, Al Auza’i, Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [1].[2]
Di antara alasan pendapat di atas adalah:
Pertama: Karena jika kita mengatakan bahwa kalau sudah lama ia meninggalkan sujud sahwi, maka ini sebenarnya sulit dijadikan standar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsendiri pernah dalam lupa sehingga hanya mengerjakan dua atau tiga raka’at, setelah itu malah beliau ngobrol-ngobrol, lalu keluar dari masjid, terus masuk ke dalam rumah. Lalu setelah itu ada yang mengingatkan. Lantas beliau pun mengerjakan raka’at yang kurang tadi. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa beliau melakukan sujud sahwi dalam waktu yang lama. Artinya waktu yang lama tidak bisa dijadikan.
Kedua: Orang yang lupa –selama wudhunya masih ada- diperintahkan untuk menyempurnakan shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Meskipun lama waktunya, sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka kafarohnya (penebusnya) adalah hendaklah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim no. 684)Keadaan kedua: Jika sujud sahwinya ditinggalkan dan wudhunya batal.
Untuk keadaan kedua ini berarti shalatnya batal hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Orang seperti berarti harus mengulangi shalatnya. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan adalah sujud sahwi sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan raka’at, maka ia boleh melaksanakan sujud sahwi setelah ia berwudhu kembali. [3]
Jika Lupa Berulang Kali dalam Shalat Jika seseorang lupa berulang kali dalam shalat, apakah ia harus berulang kali melakukan sujud sahwi? Jawabannya, hal ini tidak diperlukan.
Ulama Syafi’iyah, ‘Abdul Karim Ar Rofi’i rahimahullah mengatakan, “Jika lupa berulang kali dalam shalat, maka cukup dengan sujud sahwi (dua kali sujud) di akhir shalat.”[4]
Sujud Sahwi Ketika Shalat Sunnah
Sujud sahwi ketika shalat sunnah sama halnya dengan shalat wajib, yaitu sama-sama disyari’atkan. Karena dalam hadits yang membicarakan sujud sahwi menyebutkan umumnya shalat, tidak membatasi pada shalat wajib saja.
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Sebagaimana dikatakan dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ
“Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa sujud sahwi itu disyariatkan pula dalam shalat sunnah sebagaimana disyariatkan dalam shalat wajib (karena lafazh dalam hadits ini umum). Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama yang dulu dan sekarang. Karena untuk menambal kekurangan dalam shalat dan untuk menghinakan setan juga terdapat dalam shalat sunnah sebagaimana terdapat dalam shalat wajib.”[5]Bersambung ke Bab 5
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Tulis Ulang : Rahmat Mahmud Flimban
Sujud Sahwi Bab 3 Tata Cara Sujud Sahwi
Sujud Sahwi (3): Tata Cara Sujud Sahwi
by Muhammad Abduh TuasikalSujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam.Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa
sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.
- Jika terdapat kekurangan pada shalat–seperti kekurangan tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
- Jika terdapat kelebihan dalam shalat–seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam.
Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan. - Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki kekurangan raka’at, maka hendaklah
ia menyempurnakan kekurangan raka’at tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan. - Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka
hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan. - Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia
yakini.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah salam-.Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
لَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbirkembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no.
1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud?
Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy). Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali, kemudian duduk tawaruk. Setelah itu
salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada
satu pun hadits shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu saja hal ini
akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.”[3]
Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو - أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ - قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .
“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang ianjurkannya
bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”[5]
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi]
[6]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy [8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?”
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali Jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[10]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal | Sumber Artikel Muslim.Or.Id | Disalin : Flimban Groups
Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh,
fatwa no. 8540, 7/129.
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...