Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Tahukah Anda Apa Saja Yang Termasuk Ar Ribath?

Written By sumatrars on Sabtu, 26 April 2014 | April 26, 2014

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ » قالوا : بلى يا رسول الله،‍‍ قال: « إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المسجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط

Apakah kalian mau aku tunjukkan amalan yang dapat menghapus dosa dan mengangkat derajat? Mereka menjawab, “Mau , wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Menyempurnakan wudhu’ pada saat-saat yang tidak disukai, memperbanyak langkah kaki menuju ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Yang demikian itulah ar Ribath” (HR. Muslim)

Dari hadits ini dapat diambil beberapa faidah:

  1. Dianjurkan bagi para pendidik, ketika mengajarkan sesuatu, hendaknya menggunakan uslub/metode “menawarkan”. Yang demikian itu, pada gilirannya akan membuat anak didik lebih dan siap memperhatikan atau mendengar dengan seksama sesuatu yang akan disampaikan oleh pendidiknya.
  2. Pada saat-saat yang tidak disukai” maksudnya adalah ketika matahari bersinar terik di musim panas, atau malam hari di musim dingin dan menjelang shubuh. Karena pada saat-saat seperti itu, orang lebih cenderung untuk mencukupkan diri pada syarat sahnya wudhu’. Sehingga terkadang, banyak sunnah-sunnah wudhu’ ditinggalkan.
  3. Hadits ini merupakan bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa bersuci dengan air yang panas akibat sengatan matahari hukumnya makruh. Pendapat ini tertolak karena berlawanan dengan hadits yang shahih. Jika benar hukumnya makruh, tentu Nabi tidak mengajarkan umatnya agar berlomba-lomba dalam hal makruh.
  4. Berjalan menuju ke masjid lebih utama daripada berkendaraan. Namun jangan sampai dalam menerapkan sunnah menyebabkan sunnah yang lebih utama ditinggalkan. Misalnya: Jangan gara-gara ingin berjalan kaki ke masjid, menyebabkan ketinggalan shalat berjama’ah. Hendaknya yang rumahnya lebih jauh dari masjid, lebih awal berangkat agar dapat berjalan kaki menuju masjid dan tidak ketinggalan berjama’ah. Atau bagi yang rumahnya sangat jauh dari masjid, sehingga mengharuskan dirinya berkendaraan, maka hendaknya memarkir kendaraannya agak jauh dari masjid, supaya tetap dapat menerapkan sunnah berjalan kaki menuju masjid. Wallaahu a’lam.
  5. Berjalan dengan langkah pendek-pendek lebih utama daripada langkah panjang-panjang. Karena secara matematis saja, dengan jarak yang sama, langkah pendek-pendek lebih banyak daripada langkah panjang-panjang. Dengan demikian, kebaikan atau keutamaan yang didapat juga akan lebih banyak. Walhamdulillah.
  6. Bersuci di rumah lebih utama daripada di masjid. Karena berjalan ke masjid yang dapat menghapus dosa dan menaikkan derajat adalah dalam keadaan telah berwudhu’. Oleh karena itu di dalam hadits, berwudhu’ disebutkan terlebih dahulu daripada amalan yang lain.
  7. Menunggu shalat setelah shalat maksudnya adalah hatinya senantiasa merindukan akan datangnya waktu shalat yang berikutnya. Sama halnya dengan orang yang hatinya tergantung di masjid. Maksudnya, bukan orang yang senantiasa berada di masjid dan tidak pernah keluar setapak kaki pun dari masjid.
  8. Menyempurnakan wudhu’, berjalan kaki menuju masjid, merindukan datangnya waktu shalat merupakan jihad fi sabiilillah. Karena seorang muslim -ketika melakukan hal-hal tersebut- berjuang dengan gigih melawan nafsunya. Karena melawan hawa nafsu bukan perkara ringan, maka Rasulullah menyerupakannya dengan “ar ribath” yang pada asalnya merupakan istilah di dalam medan jihad.

Wallaahu a’lam.

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ramadhan: Masuk Islam Di Siang Hari Bulan Ramadhan, Bagaimana Puasanya?

Written By sumatrars on Rabu, 16 April 2014 | April 16, 2014

Category  : Fatwa Ulama

Beberapa waktu yang lalu ada berita seorang artis yang masuk Islam. Alhamdulillah ia masuk Islam di Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Semoga istiqamah dan Allah memberikan banyak berkah dan kebaikan. Berikut fatwa terkait hal ini.

Pertanyaan diajukan kepada syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “jika seorang kafir masuk Islam di siang hari Ramadhan. Apakah ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa harinya?”

Beliau menjawab:

Iya, dia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) di sisa hari saat ia masuk Islam. Karena ia telah menjadi orang yang wajib berpuasa. Hal ini jika tidak ada penghalang untuk puasa, jika ada maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari. Misalnya jika seorang wanita baru suci dari haid pada siang hari Ramadhan maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari.

Demikian juga jika orang yang sakit yang tidak berpuasa sembuh di siang hari Ramadhan, maka ia tidak wajib menahan diri karena hari tersebut ia dibolehkan tidak berpuasa padahal statusnya ia adalah orang yang wajib puasa atau seorang muslim (yang wajib berpuasa).

Berbeda halnya dengan mereka yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan, maka ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) dan tidak wajib meng-qadha. Adapaun mereka seperti orang sakit dan haid maka tidak wajib menahan diri akan tetapi wajib meng-qadha.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19/97, Asy Syamilah)

Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ramadhan: Lebih Utama Umrah Di Bulan Ramadhan Atau Dzulqa’dah?

Category  : Fatwa Ulama

Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih

Soal:

Mana yang lebih utama, umrah di bulan Ramadhan atau di bulan Dzulqa’dah?

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan seluruh sahabatnya, amma ba’du

Umrah di bulan Ramadhan ada dalam sebuah hadits dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang wanita,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah di bulan Ramadhan pahalanya seperti ibadah haji”

dalam riwayat lain disebutkan,

حَجَّةً مَعِي

“(pahalanya seperti) haji bersamaku”

Maka keutamaan Umrah di bulan Ramadhan terlihat jelas dari perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ketika beliau mengatakan, “pahalanya seperti haji”. Berdasarkan hadits tersebut para ulama berkesimpulan bahwa pahala umrah Ramadhan sama seperti haji, bagi semua yang berumrah di bulan Ramadhan.

Namun sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini khusus untuk wanita yang menjadi sebab datangnya hadits ini. Ketika Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tak berhaji bersamaku?” yang kemudian dijawab karena kurangnya fasilitas, sehingga suaminya bisa berhaji bersama Rasulullah, sedangkan wanita ini tetap tinggal di rumahnya untuk mengurusi urusan rumah tangganya.

Maka kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Apabila nanti datang bulan Ramadhan, maka berumrahlah, karena umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji”.

Sebagian ulama berpendapat bahwa keutamaan ini khusus untuk wanita ini saja. Di antaranya perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dapat dipahami dari perkataan beliau bahwa ini hanya khusus untuk wanita ini. Akan tetapi pendapat sebagian besar para ulama dan para ahli hadits bahwa keutamaan itu bukan hanya khusus untuk wanita tersebut akan tetapi untuk semua orang yang berumrah pada bulan Ramadhan.

Oleh karenanya Imam Bukhari menempatkan hadits ini pada ‘Bab: Umrah Di Bulan Ramadhan‘. Adapun Imam Muslim menempatkannya pada ‘Bab: Keutamaan Umrah Di Bulan Ramadhan’. Penempatan bab yang diberikan oleh Imam Bukhari menunjukkan penjelasan beliau mengenai hal itu, demikian juga penempatan bab oleh Imam Muslim. Sehingga, para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih secara umum menyebutkan bahwa keutamaan umrah di bulan Ramadhan ini berlaku untuk semua yang berumrah, bukan hanya khusus untuk wanita yang disebutkan dalam hadits.

Ini yang terkait dengan umrah di bulan Ramadhan dan keutamaannya. Pertama, apakah ada keutamannya? Ya, pahalanya seperti ibadah haji. Kedua apakah itu umum atau khusus untuk orang tertentu? Maka itu umum untuk semua yang berumrah, dalilnya adalah keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji.

Adapun perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah dalam rangka menjelaskan kesalahan sebagian orang yang umrah berulang-ulang, masuk Mekkah kemudian keluar lagi kemudian masuk lagi dan seterusnya, sehingga umrah-umrah berulang tidak termasuk dalam sabda Nabi “pahalanya sama seperti ibadah haji”.

Kemudian yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa perkara ini adalah masalah pahalanya. Kalau ada yang bertanya, “bagaimana mungkin sama seperti haji? Padahal amalan yang dilakukan saat haji lebih banyak?”. Maka ini sebagaimana sabda Rasul tentang surat Al Ikhlas yang sekali membacanya sebanding dengan 1/3 al Quran, padahal hanya 4 ayat saja. Maka yang disamakan adalah pahalanya, walaupun pada ibadah haji lebih banyak aktivitasnya dan kesulitannya.

Adapun yang terkait dengan mana yang lebih utama umrah di bulan ramadhan atau umrah di bulan Dzulqa’dah. Maka yang perlu diketahui adalah tidak ada satupun penjelasan dari Nabi yang menjelaskan keutamaan umrah di bulan Dzulqa’dah . Akan tetapi yang ada adalah sebuah fakta bahwa umrah yang Nabi lakukan selalu dilaksanakan di bulan Dzulqa’dah. Oleh karena itu, ketika Allah selalu memilihkan bulan Dzulqa’dah sebagai waktu umrah Nabi, terjadi perselisihan antara para ulama mana yang lebih utama, umrah di bulan Ramadhan atau di bulan Dzulqa’dah. Karena Nabi selalu melakukan umrah di bulan Dzulqa’dah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa keutamaan umrah di bulan Ramadhan itu lebih kuat. Adapun Umrah di bulan Dzulqa’dah, tidak ada dalil yang menjelaskan keutamaannya kecuali keutamaan menyesuaikan diri dengan perbuatan Nabi. Umrah di bulan Ramadhan ada dalil yang menyebutkan keutamaannya, tidak seperti umrah di bulan Dzulqa’dah walaupun umrah di bulan Dzulqa’dah pun adalah sebuah ibadah yang utama. Sehinga umrah dibulan Ramadhan sesuai dengan sunnah yang Rasulullah ucapkan.

Keutamaan umrah di bulan Ramadhan adalah setara pahalanya dengan pahala ibadah haji, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun Umrah di bulan Dzul Qo’dah keutamaannya adalah mencocoki apa yang dilakukan Nabi, karena Nabi setiap berumrah selalu dilakukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi pendapat sebagian besar ulama Fikih maupun Hadits adalah bahwa umrah di bulan Ramadhan itu lebih utama.

Satu hal yang perlu diperhatikan juga, yang mengherankan adalah apa yang dilakukan sebagian orang setelah dia mendengar pendapat salah seorang alim atau guru atau Syaikh, kemudian jika dikatakan kepadanya bahwa masalah ini ada beberapa pendapat, maka dia katakan, “Si Fulan yang berpendapat berbeda itu, begini dan begitu”. Wahai saudaraku, perkaranya luas dan bukan sebagai sarana untuk mentahdzir orang dalam masalah ini. Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menyebutkan masalah ini, beliau mengatakan bahwa ini adalah pilihan, siapa yang memiliki ilmu yang lebih dalam tentang masalah ini, maka hendaknya dia memberi faidah kepada kami. Lihat bagaimana ulama bersikap dalam masalah khilaf seperti ini. Jangan engkau jadikan pendapat seorang Syaikh atau seorang Alim dalam masalah yang diperselisihkan seperti ini, menjadi pemisah dan pemecah belah antara manusia. Ini adalah masalah pilihan, kalau pendapat yang engkau ambil itu adalah pendapat seorang Alim, maka di sana juga ada ulama lain yang berpendapat beda. Sehingga sepatutnya kita bersikap dalam masalah seperti ini dengan baik, lembut dan tenang. Jangan sampai seseorang ta’ashub dengan pendapat yang sudah jelas ada perselisihan yang kuat di antara ulama tentang hal itu.

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi? (17)

Kajian Ramadhan 17: Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi?
Category  : Bahasan Utama,Ramadhan

Lailatul qadar adalah malam yang ditetapkan Allah bagi umat Islam. Ada dua pengertian mengenai maksud malam tersebut. Pertama, lailatul qadar adalah malam kemuliaan. Kedua, lailatul qadar adalah waktu ditetapkannya takdir tahunan. Kedua makna ini adalah maksud dari lailatul qadar.

Lailatul qadar adalah waktu penetapan takdir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhon: 4). Qotadah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169).

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah semangat dan bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh hari tersebut. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 53.

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017).
Kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (lihat Fathul Bari, 4: 262-266 dan Syarh Shahih Muslim, 6: 40).

Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. 
Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)

Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan (lihat Fathul Bari, 4: 266).

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar

Ibnu Hajar Al Asqolani berkata,
وَقَدْ وَرَدَ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ عَلَامَاتٌ أَكْثَرُهَا لَا تَظْهَرُ إِلَّا بَعْدَ أَنْ تَمْضِي

“Ada beberapa dalil yang membicarakan tanda-tanda lailatul qadar, namun itu semua tidaklah nampak kecuali setelah malam tersebut berlalu.” (Fathul Bari, 4: 260).

Di antara yang menjadi dalil perkataan beliau di atas adalah hadits dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim no. 762).

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18: 361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.)

Jika demikian, maka tidak perlu mencari-cari tanda lailatul qadar karena kebanyakan tanda yang ada muncul setelah malam itu terjadi. Yang mesti dilakukan adalah memperbanyak ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, niscaya akan mendapati malam penuh kemuliaan tersebut.

Jangan Memilih Malam Ganjil, Malam Lailatul Qadar Bisa Jadi di Malam Genap

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sepantasnya bagi seorang muslim untuk mencari malam lailatul qadar di seluruh sepuluh hari terakhir. Karena keseluruhan malam sepuluh hari terakhir bisa teranggap ganjil jika yang dijadikan standar perhitungan adalah dari awal dan akhir bulan Ramadhan. Jika dihitung dari awal bulan Ramadhan, malam ke-21, 23 atau malam ganjil lainnya, maka sebagaimana yang kita hitung. Jika dihitung dari Ramadhan yang tersisa, maka bisa jadi malam genap itulah yang dikatakan ganjil. Dalam hadits datang dengan lafazh,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bisa jadi lailatul qadar ada pada sembilan hari yang tersisa, bisa jadi ada pada tujuh hari yang tersisa, bisa jadi pula pada lima hari yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021).

Jika bulan Ramadhan 30 hari, maka kalau menghitung sembilan malam yang tersisa, maka dimulai dari malam ke-22. Jika tujuh malam yang tersisa, maka malam lailatul qadar terjadi pada malam ke-24. Sedangkan lima malam yang tersisa, berarti lailatul qadar pada malam ke-26, dan seterusnya (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25: 285).

Semoga Allah memudahkan kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan dan moga kita termasuk di antara hamba yang mendapat malam yang penuh kemuliaan.

Referensi:
  • Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1433 H.
  • Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379.
  • Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Ibnil Jauzi.
  • Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1432 H.
  • Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.
Publisher of the article by :  Muslim.Or.It
Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction
Kembali Keatas
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Shalat, Ibadah Seluruh Nabi Dan Rasul (1)

Category  : Fiqih dan Muamalah

Di antara hal yang menunjukkan agungnya kedudukan shalat adalah Allah mewajibkan shalat kepada seluruh Nabi alaihumussalam dan Allah pun memberi tahu kepada mereka mengenai keagungannya. Ada banyak ayat dalam al Quran yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya
Nabi Yunus alaihissalam

Allah menceritakan tentang kisah Nabi Yunus alaihissalam ketika beliau ditelan oleh ikan yang sangat besar. Allah berfirman:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka seandainya dia tidak termasuk orang yang mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit” (QS. Ash Shaffat: 143, 144)

Ibnu Abbas mengatakan, “orang yang mengingat Allah maksudnya: orang yang menunaikan shalat”. Demikian pula pendapat Said bin Jubair, Qatadah dan selainnya. (Lihat Tafsir Ath Thabari 21/109)

Nabi Ibrahim alaihissalam

Allah juga menyebutkan tentang kekasihNya Ibrahim alaihissalam ketika dia pergi bersama Ismail alaihissalam, kemudian dia meninggalkannya di sebuah lembah yang tiada kehidupan di dalamnya. Ibrahim berdoa kepada Rabbnya

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat” (QS. Ibrahim: 37)

Ibrahim tidak menyebutkan amalan lain selain shalat. Hal ini menunjukkan bahwa tiada amalan yang lebih afdhal ketimbang shalat, dan tiada yang menyamainya.

Allah pun berfirman

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud “(QS. Al Hajj: 26)

Ibrahim pun berkata dalam doanya

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (Ibrahim: 40)

Nabi Ismail alaihissalam

Allah berfirman mengenai Ismail alaihissalam

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚإِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya” (Maryam: 54, 55)

Nabi Ishaq alaihissalam

Allah pun berfirman mengenai Nabi Ishaq alaihissalam dan keturunan-keturunannya

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً ۖ وَكُلًّا جَعَلْنَا صَالِحِينَ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

“Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah” (QS. Al Anbiya: 72, 73)

Diterjemahkan dari kitab Ta’zhiimus Shalah, Syaikh Prof Dr Abdurrazaq bin Abdul Mushin al Badr

Penerjemah: Amrullah Akadhinta

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Shalat, Ibadah Seluruh Nabi Dan Rasul (1)

Category  : Fiqih dan Muamalah

Di antara hal yang menunjukkan agungnya kedudukan shalat adalah Allah mewajibkan shalat kepada seluruh Nabi alaihumussalam dan Allah pun memberi tahu kepada mereka mengenai keagungannya. Ada banyak ayat dalam al Quran yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya
Nabi Yunus alaihissalam

Allah menceritakan tentang kisah Nabi Yunus alaihissalam ketika beliau ditelan oleh ikan yang sangat besar. Allah berfirman:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka seandainya dia tidak termasuk orang yang mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit” (QS. Ash Shaffat: 143, 144)

Ibnu Abbas mengatakan, “orang yang mengingat Allah maksudnya: orang yang menunaikan shalat”. Demikian pula pendapat Said bin Jubair, Qatadah dan selainnya. (Lihat Tafsir Ath Thabari 21/109)

Nabi Ibrahim alaihissalam

Allah juga menyebutkan tentang kekasihNya Ibrahim alaihissalam ketika dia pergi bersama Ismail alaihissalam, kemudian dia meninggalkannya di sebuah lembah yang tiada kehidupan di dalamnya. Ibrahim berdoa kepada Rabbnya

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat” (QS. Ibrahim: 37)

Ibrahim tidak menyebutkan amalan lain selain shalat. Hal ini menunjukkan bahwa tiada amalan yang lebih afdhal ketimbang shalat, dan tiada yang menyamainya.

Allah pun berfirman

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud “(QS. Al Hajj: 26)

Ibrahim pun berkata dalam doanya

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (Ibrahim: 40)

Nabi Ismail alaihissalam

Allah berfirman mengenai Ismail alaihissalam

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚإِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya” (Maryam: 54, 55)

Nabi Ishaq alaihissalam

Allah pun berfirman mengenai Nabi Ishaq alaihissalam dan keturunan-keturunannya

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً ۖ وَكُلًّا جَعَلْنَا صَالِحِينَ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

“Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah” (QS. Al Anbiya: 72, 73)

Diterjemahkan dari kitab Ta’zhiimus Shalah, Syaikh Prof Dr Abdurrazaq bin Abdul Mushin al Badr

Penerjemah: Amrullah Akadhinta

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan (16)


Kajian Ramadhan 16: Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Category  : Bahasan Utama,Ramadhan

Di sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah momen yang baik untuk banyak beramal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan hal ini, beliau lebih semangat beramal di akhir-akhir Ramadhan. Ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, karena setiap amalan dinilai dari akhirnya. Kedua, supaya mendapati lailatul qadar. 

Lailatul Qadar Di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

Lebih Serius dalam Ibadah di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).

Hadits di atas menunjukkan keutamaan beramal sholih di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan punya keistimewaan dalam ibadah dari hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Ibadah yang dimaksudkan di sini mencakup shalat, dzikir, dan tilawah Al Qur’an.

Hadits tersebut juga menunjukkan anjuran membangunkan keluarga yaitu para istri supaya mendorong mereka melakukan shalat malam. Lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Membangunkan keluarga di sini merupakan anjuran di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, namun anjuran juga untuk hari-hari lainnya. Karena keutamaannya disebutkan dalam hadits yang lain,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ

Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang di malam hari melakukan shalat malam, lalu ia membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, maka ia memerciki air pada wajahnya. Semoga Allah juga merahmati seorang wanita yang di malam hari melakukan shalat mala, lalu ia membangungkan suaminya. Jika suaminya enggan, maka istrinya pun memerciki air pada wajahnya.” (HR. Abu Daud no. 1308 dan An Nasai no. 1148. Sanad hadits ini hasan kata Al Hafizh Abu Thohir).

Sufyan Ats Tsauri berkata, “Aku sangat suka pada diriku jika memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malam hari dengan ibadah, lalu membangunkan keluarga untuk shalat jika mereka mampu.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 331).

Yang dimaksud dengan menghidupkan sepuluh hari terakhir atau menghidupkan malam lailatul qadar adalah dengan menghidupkan mayoritas malamnya, tidak mesti seluruhnya. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah. Bahkan sebagaimana dinukil dari Imam Syafi’i, keutamaan tersebut didapat bagi orang yang menghidupkan shalat ‘Isya’ secara berjama’ah dan shalat Shubuh secara berjama’ah. Lihat Lathoiful Ma’arif, hal. 329.

Semoga Allah memudahkan kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan.

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.

Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Disusun di siang hari, 18 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, 
Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id
Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction
Kembali Keatas
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

4 Tingkatan Ahli Qur’an

Written By sumatrars on Selasa, 15 April 2014 | April 15, 2014

Ada 4 tingkatan ahli qur’an menurut Ibnul Qayyim. Kita termasuk yang mana?

Category  : Al Qur'an

Ibnul Qayyim menyebutkan ada empat tingkatan manusia dilihat dari Al Qur’an dan iman.

Pertama: Ahli Al Qur’an dan ahli iman. Inilah sebaik-baik manusia.

Kedua: Orang yang bukan ahli Al Qur’an dan bukan ahli iman.

Ketiga: Orang yang dianugerahi Al Qur’an, namun tidak dianugerahi iman.

Keempat: Orang yang diberikan iman, namun tidak dianugerahi Al Qur’an.

Para ulama mengatakan bahwa orang yang diberikan iman walau tidak dianugerahi Al Qur’an tetap masih lebih utama dari orang yang dianugerahi Al Qur’an namun tidak memiliki iman yang benar.

Begitu pula siapa yang diberikan anugerah untuk mentadabburi (merenungkan) Al Qur’an tentu lebih utama daripada orang yang diberi anugerah banyak dan cepat dalam membaca Al Qur’an, padahal tidak disertai perenungan.

Demikianlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah orang yang membaca surat dengan tartil sehingga terlihat lama, bahkan dengan satu ayat saja bisa direnungkan hingga Shubuh hari (Zaadul Ma’ad, 1: 327-328).

Hal di atas menunjukkan bahwa perbaikan iman seharusnya lebih mendapat prioritas dibanding dari memperbanyak baca Al Qur’an. Juga kita dapat mengambil pelajaran bahwa merenungkan Al Qur’an walau hasilnya nanti sedikit lebih harus diistimewakan daripada cepat dan banyak membaca Al Qur’an.

Semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mencium Hajar Aswad Karena Mengikuti Tuntunan Nabi

Category  : Fiqih dan Muamalah

Mengapa seorang muslim disunnahkan mencium hajar Aswad? Jawabannya sebenarnya begitu simpel yaitu ingin mengikuti tuntunan Nabi. Karena Nabi menciumnya maka kita menciumnya. Itu saja alasan sederhananya.

Hajar Aswad, Bagaimana Dulunya?

Perlu diketahui bahwa hajar aswad adalah batu yang diturunkan dari surga. Asalnya itu putih seperti salju. Namun karena dosa manusia dan kelakukan orang-orang musyrik di muka bumi, batu tersebut akhirnya berubah jadi hitam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ »

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam”. ( HR. Tirmidzi no. 877. Shahih menurut Syaikh Al Albani)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَكَانَ أَشَدَّ بَيَاضاً مِنَ الثَّلْجِ حَتَّى سَوَّدَتْهُ خَطَايَا أَهْلِ الشِّرْكِ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajar aswad adalah batu dari surga. Batu tersebut lebih putih dari salju. Dosa orang-orang musyriklah yang membuatnya menjadi hitam.” (HR. Ahmad 1: 307. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa lafazh ‘hajar Aswad adalah batu dari surga’ shahih dengan syawahid-nya. Sedangkan bagian hadits setelah itu tidak memiliki syawahid yang bisa menguatkannya. Tambahan setelah itu dho’if karena kelirunya ‘Atho’).

Keadaan batu mulia ini di hari kiamat sebagaimana dikisahkan dalam hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْحَجَرِ « وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ »

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai hajar Aswad, “Demi Allah, Allah akan mengutus batu tersebut pada hari kiamat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya” (HR. Tirmidzi no. 961, Ibnu Majah no. 2944 dan Ahmad 1: 247. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Kenapa Kita Mencium Hajar Aswad?

Perhatikan hadits berikut,

عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ يُقَبِّلُ الْحَجَرَ وَيَقُولُ إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ

Dari ‘Abis bin Robi’ah, ia berkata, “Aku pernah melihat ‘Umar (bin Al Khottob) mencium hajar Aswad. Lantas ‘Umar berkata, “Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no. 1597, 1605 dan Muslim no. 1270).

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan mudhorot (bahaya), tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (HR. Muslim no. 1270).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

  1. Wajibnya mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah beliau tunjuki walau tidak nampak hikmah atau manfaat melakukan perintah tersebut. Intinya, yang penting dilaksanakan tanpa mesti menunggu atau mengetahui adanya hikmah.

  2. Ibadah itu tawqifiyah, yaitu berdasarkan dalil, tidak bisa dibuat-buat atau direka-reka.

  3. Mencium hajar aswad termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  4. Kenapa mencium hajar aswad? Alasannya mudah, karena ingin mengikuti ajaran Rasul. Karena seandainya Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melakukannya, maka tentu kaum muslimin tidak melakukannya.

  5. Para sahabat begitu semangat melaksanakan setiap ajaran Rasul.

  6. Yang mendatangkan manfaat dan mudhorot hanyalah Allah. Hajar aswad hanyalah batu biasa yang tidak bisa berbuat apa-apa.

  7. Segala sesuatu selain Allah tidak dapat memberikan manfaat atau bahaya walau ia adalah sesuatu yang diagung-agungkan.

Catatan:

Perlu sekali dijaga niat saat mencium batu Hajar Aswad. Karena ada yang mencium Hajar Aswad cuma karena ingin dipuji orang bahwa dia telah mencium batu yang mulia. Padahal seharusnya yang jadi niatan adalah ikhlas dan karena ikut tuntunan baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Disusun di Perjalanan Jeddah – Madinah, 2 Rabi’ul Awwal 1435 H

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Syubhat Seputar Larangan Isbal

Category  : Fiqih dan Muamalah

Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Isbal terlarang dalam Islam, hukumnya minimal makruh atau bahkan haram. Banyak sekali dalil dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini.

Dalil seputar masalah ini ada dua jenis:

Pertama, mengharamkan isbal jika karena sombong.

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

من جر ثوبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة . فقال أبو بكر : إن أحد شقي ثوبي يسترخي ، إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنك لن تصنع ذلك خيلاء . قال موسى : فقلت لسالم : أذكر عبد الله : من جر إزاره ؟ قال : لم أسمعه ذكر إلا ثوبه

Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’. ”. (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085)

بينما رجل يجر إزاره من الخيلاء خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة.

Ada seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi”. (HR. Bukhari, 3485)

لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً

Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong” (HR. Bukhari 5788)

Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara mutlak baik karena sombong ataupun tidak.

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار

Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari 5787)

ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب

Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak biacar oleh Allah pada hari Kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim, 106)

لا تسبن أحدا ، ولا تحقرن من المعروف شيئا ، ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك ، إن ذلك من المعروف ، وارفع إزارك إلى نصف الساق ، فإن أبيت فإلى الكعبين ، وإياك وإسبال الإزار ؛ فإنه من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة

Janganlah kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan” (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل إزارك فإن الله لا يحب المسبلين

Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

Dari dalil-dalil di atas, para ulama sepakat haramnya isbal karena sombong dan berbeda pendapat mengenai hukum isbal jika tanpa sombong. Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf berkata:

“Para ulama bersepakat tentang haramnya isbal karena sombong, namun mereka berbeda pendapat jika isbal dilakukan tanpa sombong dalam 2 pendapat:

Pertama, hukumnya boleh disertai ketidak-sukaan (baca: makruh), ini adalah pendapat kebanyakan ulama pengikut madzhab yang empat.

Kedua, hukumnya haram secara mutlak. Ini adalah satu pendapat Imam Ahmad, yang berbeda dengan pendapat lain yang masyhur dari beliau.

Ibnu Muflih berkata : ‘Imam Ahmad Radhiallahu’anhu Ta’ala berkata, yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka, tidak boleh menjulurkan sedikitpun bagian dari pakaian melebihi itu. Perkataan ini zhahirnya adalah pengharaman’ (Al Adab Asy Syari’ah, 3/492). Ini juga pendapat yang dipilih Al Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi ulama madzhab Maliki, dan dari madzhab Syafi’i ada Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar Al Asqalani cenderung menyetujui pendapat beliau. Juga merupakan salah satu pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat madzhab Zhahiriyyah, Ash Shan’ani, serta para ulama di masa ini yaitu Syaikh Ibnu Baaz, Al Albani, Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat kedua inilah yang sejalan dengan berbagai dalil yang ada.

Dan kewajiban kita bila ulama berselisih yaitu mengembalikan perkaranya kepada Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Dan dalil-dalil yang mengharamkan secara mutlak sangat jelas dan tegas

(Sumber : http://www.dorar.net/art/144 )

Jadi Islam melarang isbal, baik larangan sampai tingkatan haram atau tidak. Tapi sungguh disayangkan larangan ini agaknya sudah banyak tidak diindahkan lagi oleh umat Islam. Karena kurang ilmu dan perhatian mereka terhadap agamanya. Lebih lagi, adanya sebagian oknum yang menebarkan syubhat (kerancuan) seputar hukum isbal sehingga larangan isbal menjadi aneh dan tidak lazim di mata umat. Berikut ini beberapa syubhat tersebut:

Syubhat 1: Memakai pakaian atau celana ngatung agar tidak isbal adalah ajaran aneh dan nyeleneh

Bagaimana mungkin larangan isbal dalam Islam dianggap nyeleneh padahal dalil mengenai hal ini sangat banyak dan sangat mudah ditemukan dalam kitab-kitab hadits dan buku-buku fiqih. Lebih lagi, larangan isbal dibahas oleh ulama 4 madzhab besar dalam Islam dan sama sekali bukan hal aneh dan asing bagi orang-orang yang mempelajari agama. Berikut ini kami nukilkan beberapa perkataan para ulama madzhab mengenai hukum isbal sebagai bukti bahwa pembahasan larangan isbal itu dibahas oleh para ulama 4 madzhab dari dulu hingga sekarang.

Madzhab Maliki

Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (3/249) :

وقد ظن قوم أن جر الثوب إذا لم يكن خيلاء فلا بأس به واحتجوا لذلك بما حدثناه عبد الله بن محمد بن أسد …. قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : «من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة» فقال أبو بكر: إن أحد شقى ثوبي ليسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه،فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إنك لست تصنع ذلك خيلاء» قال موسى قلت لسالم أذَكر عبد الله من جر إزاره،قال لم أسمعه إلا ذكر ثوبه،وهذا إنما فيه أن أحد شقى ثوبه يسترخي، لا أنه تعمد ذلك خيلاء، فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم: «لست ممن يرضى ذلك» ولا يتعمده ولا يظن بك ذلك

Sebagian orang menyangka bahwa menjulurkan pakaian jika tidak karena sombong itu tidak mengapa. Mereka berdalih dengan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Asad (beliau menyebutkan sanadnya) bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat’. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu karena sombong’. Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘.

Dalam kasus ini yang melorot hanya satu sisi pakaiannya saja, bukan karena Abu Bakar sengaja memelorotkan pakaiannya. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau bukanlah termasuk orang yang dengan suka rela melakukan hal tersebut, bersengaja melakukan hal tersebut dan tidak mungkin ada orang yang punya praduga bahwa engkau wahai Abu Bakar melakukan hal tersebut dengan sengaja“.

Abul Walid Sulaiman Al Baaji dalam Al Muntaqa Syarh Al Muwatha (9/314-315) :

وقوله صلى الله عليه وسلم الذي يجر ثوبه خيلاء يقتضي تعلق هذا الحكم بمن جره خيلاء، أما من جره لطول ثوب لا يجد غيره، أو عذر من الأعذار فإنه لا يتناوله الوعيد… قوله صلى الله عليه وسلم: «إزارة المؤمن إلى أنصاف ساقيه»، يحتمل أن يريد به والله أعلم أن هذه صفة لباسه الإزار؛ لأنه يلبس لبس المتواضع المقتصد المقتصر على بعض المباح، ويحتمل أن يريد به أن هذا القدر المشروع له ويبين هذا التأويل قوله صلى الله عليه وسلم :لا جناح عليه فيما بينه وبين الكعبين يريد والله أعلم أن هذا لو لم يقتصر على المستحب مباح لا إثم عليه فيه ، وإن كان قد ترك الأفضل

Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong‘ ini menunjukkan hukumnya terkait bagi orang yang melakukannya karena sombong. Adapun orang yang pakaiannya panjang dan ia tidak punya yang lain (hanya punya satu), atau orang yang punya udzur lain, maka tidak termasuk ancaman hadits ini. Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Kainnya orang mu’min itu sepertengahan betis’, dimungkinkan -wallahu’alam- inilah deskripsi pakaian beliau. Karena beliau lebih menyukai memakai pakaian ketawadhu’an, yaitu yang seadanya, dibanding pakaian lain yang mubah. Dimungkinkan juga, perkataan beliau ini menunjukkan kadar yang masyru’ [baca: yang dianjurkan]. Tafsiran ini diperjelas oleh sabda beliau yang lain: ‘Tidak mengapa bagi mereka untuk mengenakan antara paha dan pertengahan betis’. Beliau ingin mengatakan -wallahu’alam- bahwa kalau tidak mencukupkan diri pada yang mustahab [setengah betis], maka boleh dan tidak berdosa. Namun telah meninggalkan yang utama”.

Catatan:

Perhatikan, Al Baji berpendapat bahwa larangan isbal tidak sampai haram jika tidak sombong. Namun beliau mengatakan bahwa yang ditoleransi untuk memakai pakaian lebih dari mata kaki adalah yang hanya memiliki 1 pakaian saja dan yang memiliki udzur!!

Mazhab Hambali

Abu Naja Al Maqdisi:

ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك

Makruh hukumnya pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau melebihi mata kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu [pertengahan betis sampai sebelum mata kaki] maka tidak makruh” (Al Iqna, 1/91)

Ibnu Qudamah Al Maqdisi :

ويكره إسبال القميص والإزار والسراويل ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بَرفْع الإزار . فإن فعل ذلك على وجه الخيلاء حَرُم

Makruh hukumnya isbal pada gamis, sarung atau sarowil (celana). Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk meninggalkan ketika memakai izar (sarung). Jika melakukan hal itu karena sombong, maka haram” (Al Mughni, 1/418)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

وإن كان الإسبال والجر منهياً عنه بالاتفاق والأحاديث فيه أكثر، وهو محرم على الصحيح، لكن ليس هو السدل

Walaupun memang isbal dan menjulurkan pakaian itu itu terlarang berdasarkan kesepakatan ulama serta hadits yang banyak, dan ia hukumnya haram menurut pendapat yang tepat, namun isbal itu berbeda dengan sadl” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 1/130)

Madzhab Hanafi

As Saharunfuri :

قال العلماء : المستحب في الإزار والثوب إلى نصف الساقين ، والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين ، فما نـزل عن الكعبين فهو ممنوع . فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع تنـزيه

Para ulama berkata, dianjurkan memakai sarung dan pakaian panjangnya sampai setengah betis. Hukumnya boleh (tanpa makruh) jika melebihi setengah betis hingga mata kaki. Sedangkan jika melebihi mata kaki maka terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Bazlul Majhud, 16/411)

Dalam kitab Fatawa Hindiyyah (5/333) :

تَقْصِيرُ الثِّيَابِ سُنَّةٌ وَإِسْبَالُ الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ بِدْعَةٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْإِزَارُ فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ إلَى نِصْفِ السَّاقِ وَهَذَا فِي حَقِّ الرِّجَالِ، وَأَمَّا النِّسَاءُ فَيُرْخِينَ إزَارَهُنَّ أَسْفَلَ مِنْ إزَارِ الرِّجَالِ لِيَسْتُرَ ظَهْرَ قَدَمِهِنَّ. إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ

Memendekkan pakaian (sampai setengah betis) hukumnya sunnah. Dan isbal pada sarung dan gamis itu bid’ah. Sebaiknya sarung itu di atas mata kaki sampai setengah betis. Ini untuk laki-laki. Sedangkan wanita hendaknya menurunkan kainnya melebihi kain lelaki untuk menutup punggung kakinya. Isbalnya seorang lelaki melebihi mata kaki jika tidak karena sombong maka hukumnya makruh

Madzhab Syafi’i

An Nawawi:

فما نـزل عن الكعبين فهو ممنوع ، ، فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع تنـزيه

Kain yang melebihi mata kaki itu terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Al Minhaj, 14/88)

Ibnu Hajar Al Asqalani :

وحاصله: أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس الخيلاء، ويؤيده: ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه: ( وإياك وجر الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة

Kesimpulannya, isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan riwayat dari Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)

Dengan demikian tidak benar bahwa larangan isbal itu adalah ajaran aneh dan nyeleneh. Lebih lagi jika sampai mencela orang yang menjauhi larangan isbal dengan sebutan ‘kebanjiran‘, ‘kurang bahan‘, dll. Allahul musta’an.

Syubhat 2: Masak gara-gara celana saja masuk neraka?

Pernyataan ini tidak keluar kecuali dari orang-orang yang enggan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Sungguh Allah Maha Berkehendak menentukan perbuatan apa yang menyebabkan masuk neraka, melalui firman-Nya atau pun melalui sabda Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Allah tidak ditanya oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah” (QS. Al Anbiya: 23)

Perbuatan yang dianggap sepele oleh manusia ternyata dapat menyebabkan masuk neraka bisa jadi merupakan ujian dari Allah untuk mengetahui mana hamba-Nya yang benar beriman. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama, Allah berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)

Bukan hanya masalah isbal, Islam mengatur hukum-hukum kehidupan sampai perkara terkecil. Ketika Salman Al Farisi ditanya:

قد علمكم نبيكم صلى الله عليه وسلم كل شيء . حتى الخراءة . قال ، فقال : أجل . لقد نهانا أن نستقبل القبلة لغائط أو بول . أو أن نستنجي باليمين . أو أن نستنجي بأقل من ثلاثة أحجار . أو أن نستنجي برجيع أو بعظم

Nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar? (Beliau menjawab: ) Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing atau buang hajat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga buah batu, dan bersuci dengan kotoran atau tulang” (HR. Muslim, 262)

Orang-orang yang meremehkan larangan isbal, bagaimana lagi sikap mereka terhadap aturan-aturan Islam dalam buang hajat, dalam makan, dalam tidur, dalam memakai sandal, dan perkara lain yang nampaknya sepele?

Syubhat 3: Larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung

Sebagian orang beranggapan larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung saja, karena di dalam hadits hanya disebutkan من جر إزاره ‘barangsiapa yang menjulurkan izaar (kain sarung) nya‘. Atau ada juga yang beranggapan bahwa larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung, gamis dan imamah sebagaimana hadits:

الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة

Isbal itu pada kain sarung, gamis dan imamah. Barangsiapa menjulurkannya sedikit saja karena sombong, tidak akan dipandang oleh Allah di hari kiamat

Sehingga mereka beranggapan bahwa isbal untuk pakaian lain, misalnya celana pantalon, itu bukan yang dimaksud oleh hadits-hadits larangan isbal.

Anggapan ini salah. Larangan isbal juga berlaku pada model pakaian zaman sekarang seperti celana panjang pantalon. Syaikh Ali Hasan Al Halabi membantah anggapan ini, beliau berkata, “Sebagian orang mengira bahwa hadits ini menunjukkan bahwa larangan isbal hanya pada tiga jenis pakaian: kain sarung (izaar), gamis dan imamah. Dan isbal pada celana pantalon tidak termasuk dalam larangan. Ini adalah klaim yang tertolak oleh hadist itu sendiri. Karena justru makna hadits ini adalah meniadakan anggapan bahwa larangan isbal itu hanya pada kain (izaar). Bahkan larangannya berlaku pada semua jenis pakaian, baik yang ada di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (seperti gamis, imamah dan sirwal), atau pakaian pada masa yang lain, seperti celana pantalon di zaman kita”. Beliau lalu memaparkan alasannya, secara ringkas sebagai berikut:

Alasan 1 Dalam Lisaanul Arab dijelaskan makna izaar:

الإزار : كل من واراكَ وسَتَرَكَ . وتعني أيضا : الملحفة

“Izaar adalah apa saja yang menutupimu, termasuk juga selimut”

Alasan 2 Dalam sebagian hadits digunakan lafadz tsaub (الثوب), sedangkan dalam Lisaanul Arab makna tsaub:

الثوب : من ثَوَبَ ويعني: اللباس .

“Tsaub, dari tsawaba, artinya pakaian”

Sehingga tsaub ini mencakup seluruh jenis pakaian

Alasan 3 Penjelasan para ulama:

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan:

وَقَالَ الطَّبَرِيُّ : إِنَّمَا وَرَدَ الْخَبَر بِلَفْظِ الْإِزَار لِأَنَّ أَكْثَر النَّاس فِي عَهْده كَانُوا يَلْبَسُونَ الْإِزَار وَالْأَرْدِيَة ، فَلَمَّا لَبِسَ النَّاس الْقَمِيص وَالدَّرَارِيع كَانَ حُكْمهَا حُكْم الْإِزَار فِي النَّهْي . قَالَ اِبْن بَطَّال : هَذَا قِيَاس صَحِيح لَوْ لَمْ يَأْتِ النَّصّ بِالثَّوْبِ ، فَإِنَّهُ يَشْمَل جَمِيع ذَلِكَ ، وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال

At Thabari berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain ihram] dan rida’ [seperti pakaian atasan untuk kain ihram]. Ketika orang-orang mulai memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada sarung. Ibnu Bathal berkata, ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub. Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian [sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat” (Fathul Baari, 16/331)

Penulis Syarh Sunan Abi Daud (9/126) berkata:

فِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ يَكُون فِي الْقَمِيص وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث .قَالَ اِبْن رَسْلَان : وَالطَّيْلَسَان وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة

“Hadits ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga pada gamis dan imamah sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]”

Al’Aini dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:

قوله من جر ثوبه يدخل فيه الإزار والرداء والقميص والسراويل والجبة والقباء وغير ذلك مما يسمى ثوبا بل ورد في الحديث دخول العمامة في ذلك …

“Perkataan Nabi ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’, gamis, sirwal, jubah, qubba’, dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan imamah dalam hal ini”

Sumber: http://almenhaj.net

Syubhat 4: Isbal khan cuma makruh! Jadi tidak mengapa setiap hari saya isbal

Terlepas dari perselisihan para ulama tentang hukum isbal antara haram dan makruh, perkataan ini sejatinya menggambarkan betapa dangkalnya sifat wara’ yang dimiliki. Karena seorang mu’min yang sejati adalah yang takut dan khawatir dirinya terjerumus dalam dosa sehingga ia meninggalkan hal-hal yang jelas haramnya, yang masih ragu halal-haramnya, atau yang mendekati tingkatan haram, inilah sikap wara’. Bukan sebaliknya, malah membiasakan diri dan terus-menerus melakukan hal yang mendekati keharaman atau yang makruh. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الحَلاَلُ بَيِّنٌ، وَالحَرَامُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى المُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ: كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ

“Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas. Diantaranya ada yang syubhat, yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi yang syubhat, ia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Barangsiapa mendekati yang syubhat, sebagaimana pengembala di perbatasan. Hampir-hampir saja ia melewatinya” (HR. Bukhari 52, Muslim 1599)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي من ابْن آدم مجرى الدم

“Sesungguhnya setan ikut mengalir dalam darah manusia” (HR. Bukhari 7171, Muslim 2174)

Al Khathabi menjelaskan hadits ini:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ أَنْ يَحْذَرَ الإِنْسَانُ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ مِنَ الْمَكْرُوهِ مِمَّا تَجْرِي بِهِ الظُّنُونُ وَيَخْطُرُ بِالْقُلُوبِ وَأَنْ يَطْلُبَ السَّلامَةَ مِنَ النَّاسِ بِإِظْهَارِ الْبَرَاءَةِ مِنَ الرِّيَبِ

“Dalam hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap hal yang makruh dan berbagai hal yang menyebabkan orang lain punya sangkaan dan praduga yang tidak tidak. Dan anjuran untuk mencari tindakan yang selamat dari prasangka yang tidak tidak dari orang lain dengan menampakkan perbuatan yang bebas dari hal hal yang mencurigakan” (Talbis Iblis, 1/33)

Lebih lagi, jika para da’i, aktifis dakwah, dan pengajar ilmu agama gemar membiasakan diri melakukan hal yang makruh. Padahal mereka panutan masyarakat dan orang yang dianggap baik agamanya. Sejatinya, semakin bagus keislaman seseorang, dia akan semakin wara’.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِينِكُمُ الْوَرَعُ

Keutamaan dalam ilmu lebih disukai daripada keutamaan dalam ibadah. Dan keislaman kalian yang paling baik adalah sifat wara’” (HR. Al Hakim 314, Al Bazzar 2969, Ath Thabrani dalam Al Ausath 3960. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1740)

Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

«إِنَّ الدِّينَ لَيْسَ بِالطَّنْطَنَةِ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ وَلَكِنَّ الدِّينَ الْوَرَعُ»

Agama Islam itu bukanlah sekedar dengungan di akhir malam, namun Islam itu adalah bersikap wara’” (HR Ahmad dalam Az Zuhd, 664)

Para penuntut ilmu agama, ustadz, kyai, atau ulama yang paham agama secara mendalam, semestinya lebih wara’ bukan malah asyik-masyuk mengamalkan yang makruh-makruh. Al Hasan Al Bashri berkata:

«أَفْضَلُ الْعِلْمِ الْوَرَعُ وَالتَّوَكُّلُ»

“Ilmu yang paling utama adalah wara’ dan tawakal” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, 1500)

Yahya bin Abi Katsir berkata:

«الْعَالِمُ مَنْ خَشِيَ اللَّهَ , وَخَشْيَةُ اللَّهِ الْوَرَعُ»

Orang alim adalah orang yang takut kepada Allah. Takut kepada Allah itulah wara’” (Akhlaqul ‘Ulama, 1/70)

Berangkat dari sikap wara’ inilah maka para fuqaha yang berpendapat isbal itu makruh hendaknya tidak isbal kecuali ada kebutuhan, semisal karena hanya memiliki 1 pakaian, karena sakit atau karena ada udzur lain.

Demikian sedikit yang bisa kami paparkan. Semoga bermanfaat.

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger