Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Written By sumatrars on Jumat, 29 Desember 2023 | Desember 29, 2023



Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj
Source article: Abunamirah.Wordpress.com

Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala

Sebelum kami menyebutkan satu persatu kemungkaran-kemungkaran dalam perayaan maulid ini, di sini kami akan bawakan beberapa perkataan para ulama mengenai bentuk-bentuk perayaan maulid.

Para ulama telah membagi pelaksanaan perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- menjadi dua bentuk:

Pertama: Perayaan maulid yang kosong dari bentuk-bentuk kemungkaran dan maksiat. Hukum perayaan yang seperti ini adalah bid’ah dan baginya hukum-hukum bid’ah. Adapun perkataan para ulama tentang bentuk yang pertama ini akan kami paparkan pada bab setelah ini.

Muhammad bin Muhammad ibnul Hajj Al-Maliky -rahimahullah- berkata dalam Al-Madkhal (2/312), “Jika perayaan maulid kosong darinya -yakni dari mendengar nyanyi-nyanyian dan kemungkaran-kemungkaran yang mengikutinya- dan hanya sekedar acara makan-makan dengan meniatkannya (sebagai perayaan) maulid lalu mengundang saudara-saudaranya (kaum muslimin), serta perayaannya selamat dari semua perkara yang telah kami sebutkan berupa kerusakan-kerusakan, maka dia (tetap) merupakan bid’ah dengan semata-mata niatnya. Karena hal tersebut (perayaan maulid) adalah tambahan dalam agama dan bukan termasuk amalan para ulama salaf terdahulu”.

Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihany -rahimahullah- menyatakan dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid ketika beliau menyebutkan dua bentuk perayaan maulid,

Yang pertama: Seseorang mengerjakannya (perayaan maulid) dari uang pribadinya untuk keluarga, teman-teman, dan kerabatnya, mereka tidak melampaui batas dari sekedar berkumpul untuk makan-makan dan mereka tidak mengerjakan sesuatu dosapun, maka bentuk yang kami paparkan ini adalah merupakan bid’ah yang dibenci dan tercela, karena tidak pernah dikerjakan oleh para pendahulu dari kalangan orang-orang yang taat, yang mereka ini adalah fuqoha` (ahli fiqhi) Islam, ulama seluruh makhluk, penerang di setiap zaman, dan perhiasan semua tempat”.

Juga Syaikh Sholeh Al-Fauzan -hafizhohullah- berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikro Al-Maulid An-Nabawy,

Termasuk perkara-perkara yang dimunculkan oleh manusia berupa bid’ah-bid’ah yang mungkar adalah perayaan memperingati maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) di bulan Rabi’ul Awwal. Mereka dalam perayaan ini ada beberapa bentuk: Di antara mereka ada yang sekedar berkumpul, lalu dibacakan di dalamnya kisah maulid atau diadakan ceramah dan (pembacaan) sya’ir-syair dalam acara ini. Di antara mereka ada yang membuat makanan, kue-kue, dan selainnya lalu menyuguhkannya kepada orang-orang yang hadir, dan di antara mereka ada yang merayakannya di mesjid-mesjid dan di antara mereka ada yang merayakannya di rumah-rumah”.

Bentuk Kedua: Perayaan maulid yang dibumbui atau bahkan dipenuhi dengan kemungkaran-kemungkaran serta perkara-perkara yang diharamkan. Bentuk kedua ini ibarat kegelapan di atas kegelapan, karena asalnya perayaan maulid ini sudah merupakan bid’ah malah dihiasi dengan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, wal’iyadzu billah. Berikut perkataan sebagian ulama yang berkenaan dengan bentuk kedua ini:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam sebuah fatwa beliau -sebagaimana dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau-,

Adapun berkumpul-kumpul untuk merayakan maulid disertai nyanyian, tarian dan yang semisalnya serta menjadikannya sebagai suatu ibadah, maka tidak ada seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan iman yang ragu bahwa hal ini termasuk di antara kemungkaran yang dilarang, serta tidak ada yang menganggap baik amalan seperti ini kecuali orang yang bodoh atau munafiq”.

Al-Fakihany -rahimahullah- berkata dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid,

“(Bentuk) Yang kedua, yaitu perayaan (maulid) yang dimasuki oleh berbagai pelanggaran-pelanggaran -lalu beliau menyebutkan beberapa kemungkaran-kemungkaran perayaan maulid, seraya berkata-, ”Bentuk yang seperti ini tidak ada dua orang yang berselisih tentang keharamannya dan tidak akan dianggap baik oleh orang yang memiliki kewibawaan. Tidak ada yang menghalalkan perbuatan ini kecuali jiwa-jiwa yang telah mati hatinya …”.

Syaikh Al-Fauzan -hafizhohullah- berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy,

Di antara mereka (orang-orang yang merayakan maulid), ada yang (cara perayaannya) tidak terbatas pada sesuatu yang telah kita sebutkan (yakni tanpa ada kemungkaran), akan tetapi dia menjadikan pertemuan tersebut berisi perkara-perkara haram dan mungkar, seperti bercampur-baurnya lelaki dan wanita, tarian dan nyanyian, atau amalan-amalan kesyirikan, seperti beristigotsah (permintaan tolong dalam keadaan sangat genting) kepada Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, menyeru (berdo’a kepada) beliau, meminta pertolongan kepada beliau agar dimenangkan atas musuh-musuh, dan selainnya …”.

Beberapa Kemungkaran yang Terjadi dalam Perayaan Maulid

Semua kemungkaran yang akan kami sebutkan di sini adalah ada dan terjadi dalam perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Hanya saja mungkin sebahagian dari kemungkaran-kemungkaran ini tidak terdapat pada sebahagian negeri/daerah. Yang jelas kemungkaran-kemungkaran inilah yang disebutkan oleh para ulama -yang mereka ini telah meneliti tata cara maulid- dalam kitab-kitab mereka. Kemudian jumlah kemungkaran yang akan kami sebutkan bukanlah menunjukkan pembatasan bahwa kemungkarannya hanya itu. Akan tetapi masih banyak kemungkaran-kemungkaran lain yang mungkin lebih berbahaya dari apa yang akan kita sebutkan, terutama di negeri kita Indonesia ini. Oleh karena itulah, apa yang kami sebutkan di bawah hanyalah sekedar contoh yang mewakili semua kemungkaran-kemungkaran tersebut.

Berikut uraiannya:

  1. Meyakini disyari’atkannya perayaan maulid.

  2. Padahal amalan ini adalah penentangan yang besar terhadap syari’at karena dia adalah bid’ah yang mungkar. Serta meyakini kesyirikan yang terjadi di dalamnya -berupa penyembahan kepada Nabi Muhammad- sebagai ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Maka apakah ada keyakinan yang paling rusak dibandingkan meyakini bid’ah sebagai sunnah dan meyakini kesyirikan sebagai ibadah ?!

  3. Meyakini bahwa barangsiapa yang mendapati pada hari itu (hari maulid) satu saat ketika keluarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-

  4. Lalu dia berdo’a kepada Allah saat itu, maka pasti akan terkabulkan. Ini mereka kiaskan dengan adanya satu waktu pada hari Jum’at yang padanya dikabulkan do’a, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda tentang hari Jum’at:

    Di dalamnya terdapat satu waktu, seorang hamba yang muslim tidaklah mendapatinya sedang dia dalam keadaan berdo’a, memohon sesuatu kepada Allah -‘Azza wa Jalla-, kecuali Allah akan kabulkan permintaannya”. (HR. Al-Bukhary no. 893 dan Muslim no. 852)

    Mereka menyatakan, “Jika hari Jum’at yang Nabi Adam -‘alaihis salam- 1 diciptakan padanya, Allah jadikan padanya satu waktu, yang apabila seorang hamba berdo’a kepada Allah pada saat itu niscaya akan dikabulkan, maka bagaimana lagi dengan hari yang di dalamnya dilahirkan pimpinan para Nabi dan Rasul?!. Tentunya berdo’a pada saat itu lebih dikabulkan”. [Lihat Al-Mawahib karya Al-Qosthollany (1/132)]

    Bantahan:

    Orang yang mempunyai ilmu agama yang paling minim pun akan mengetahui rusaknya kias yang seperti ini. Karena terkabulnya do’a pada hari Jum’at diketahui dengan adanya nash dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Adapun perayaan maulid adalah acara kerusakan yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya berlepas darinya, sehingga tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a pada waktu itu.

    Pernyataan ini telah disanggah oleh Syaikh Az-Zarqony di dalam syarh beliau terhadap kitab Al-Mawahib ini (1/132-133). Beliau berkata,

    Kalau yang dia (Al-Qistholany) inginkan (dengan pernyataannya ini) adalah bahwa pada hari itu (kelahirannya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-) dan yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) sampai Hari Kiamat, padanya ada satu waktu (yang dikabulkan padanya do’a) sama seperti satu waktu yang ada pada hari Jum’at (yang dikabulkan padanya do’a) atau lebih afdhol dari itu, maka pendalilannya (pengqiasannya/penganalogian) ini adalah pengqiasan yang rusak.

    Kalau yang dia inginkan adalah waktu itu sendiri (yaitu waktu kelahiran Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- saja, bukan hari maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat), maka (ketentuan/ilmu) tentang adanya satu waktu pada hari Jumat (yang dikabulkan padanya do’a) belum ada pada saat itu (yakni pada saat Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- lahir). Akan tetapi ketentuannya datang dalam hadits-hadits yang shohih beberapa lama setelah itu (yaitu setelah diutusnya beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sebagai seorang Rasul).

    Jadi kalau begitu, tidak mungkin keduanya bisa bertemu sehingga bisa dikatakan yang satunya lebih afdhol dari yang lainnya. Sementara yang satunya (hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-) telah habis (telah berlalu) dan yang lainnya (yaitu hari Jum’at dan satu waktu yang adanya padanya) terus menerus ada sampai saat ini dan syariat telah menegaskan tentang hal tersebut. Sementara dari sisi lain, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hari kelahiran Nabi dan hari-hari yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) di dalamnya terdapat satu waktu dikabulkannya do’a pada saat itu.

    Oleh karena itu, yang wajb bagi kita hanyalah bersandar penuh dengan apa yang datang dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- kepada kita (berupa dalil yang shahih) dan tidak boleh bagi kita membuat suatu perkara baru (bid’ah) -dalam agama- dari diri kita yang sangat lemah ini, kecuali dengan mengambil dari beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-“.

  5. Mereka meyakini bahwa malam maulid lebih afdhol daripada Lailatul Qadr.

  6. Hal ini -menurut mereka- bisa ditinjau dari tiga sisi :

    1. Bahwa malam maulid adalah malam hadirnya (lahirnya) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sedangkan lailatul Qadr merupakan pemberian Allah kepada beliau.

    2. Lailatul Qadr dimuliakan dengan turunnya para malaikat, sedangkan malam maulid dimuliakan dengan hadirnya (lahirnya) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.

    3. Lailatul Qadr keutamaannya terkhusus buat ummat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sedangkan malam maulid adalah keutamaannya meliputi seluruh makhluk. Karena beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.

    Bantahan:

    Ini adalah pendalilan yang tidak menguntungkan orang yang berdalil dengannya. Karena, jika yang diinginkan dengan malam maulid adalah malam lahirnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan malam maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat lebih afdhol daripada Lailatul Qadr, maka ini adalah kesalahan yang sangat nyata dan jelas.

    Dan jika yang diinginkan dengannya, hanya malam yang Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam- dilahirkan saja (bukan malam maulid tiap tahunnya), maka Lailatul Qadr belum ada ketika malam lahirnya beliau sehingga tidak mungkin keduanya bertemu. Karena Lailatul Qadr ada setelah berlalunya puluhan tahun dari malam kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sehingga tidak mungkin bisa diperbandingkan. Ini adalah jawaban dari Asy-Syihab Al-Haitamy -rahimahullah- sebagaimana dalam Syarh Al-Mawahib (1/136).

    Kemudian, Lailatul Qadr telah dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur`an sedangkan malam maulid, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan tentang keutamaannya, baik dari Al-Qur`an maupun dari Sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan tidak pula dari perkataan seorangpun dari ulama ummat ini. (Lihat Al-Mauridur Rowy hal. 52 karya ‘Ali Qori`)

    Dari sisi yang lain, beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan pada siang hari, bukannya malam hari sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Qotadah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- ditanya tentang hari Senin, maka beliau menjawab :

    Itu adalah hari yang saya dilahirkan padanya” (Telah berlalu takhrijnya ).

    Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa beliau dilahirkan di siang hari dan beliau tidak berkata, “Itu adalah malam yang saya dilahirkan padanya”. Ini disebutkan oleh Imam Abu Hafsh Al-Fakihany dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid hal. 74-75.

  7. Meyakini bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- keluar dari kuburnya bersama jasad atau hanya ruh beliau- dan menghadiri acara maulid.

  8. Syaikh bin Baz -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan rusaknya keyakinan ini dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, hal 13-14,

    “Sebagian mereka (yakni yang merayakan maulid) menyangka (meyakini) bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (keluar dari kubur beliau) menghadiri acara maulid. Oleh karena itu, mereka berdiri untuknya sebagai ucapan selamat dan penyambutan.

    Ini adalah termasuk kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang jelek, karena sesungguhnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat, tidak pernah berhubungan dengan seorangpun dari manusia dan tidak menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka. Akan tetapi beliau terus-menerus berada di kubur beliau sampai hari kiamat, sedangkan ruh beliau berada di tempat yang paling tinggi di sisi Rabbnya dalam negeri kemuliaan, sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam surah Al-Mu`minun:

    Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kalian seluruhnya benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kalian seluruhnya akan dibangkitkan (dari kubur) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu`minun : 15-16)

    Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:

    Saya adalah pimpinannya anak Adam pada hari kiamat, orang yang paling pertama dibangkitkan dari kuburnya, yang pertama kali memberi syafa’at dan yang pertama kali diizinkan memberi syafa’at”. (HR. Muslim no. 2278 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-)

    Atas beliau sholawat dan salam yang paling mulia dari Rabbnya. Jadi, ayat yang agung ini dan hadits yang mulia ini, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, semuanya menunjukkan bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan selain beliau dari kalangan orang-orang yang sudah meninggal, seluruhnya mereka hanya akan keluar dari kuburnya pada hari kiamat….”.

  9. Berdiri ketika Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- hadir -menurut sangkaan mereka- sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada beliau.

  10. Telah dimaklumi bahwa menghormati Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- itu hanya dengan cara yang disyariatkan. Adapun cara yang seperti ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dalam Islam, bahkan merupakan perkara yang diharamkan.

    Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hajjawy Ats-Tsa’alaby Al-Fasy di dalam kitab beliau Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islamy (1/93) sebagaimana yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihany di dalam Al Maurid fi Hukmil Maulid, beliau (Syaikh Muhammad bin Hasan) berkata,

    Dan di antara al-istihsan (anggapan-anggapan baik) yang diharamkan adalah berdiri ketika hadirnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- -menurut sangkaan mereka-, karena telah datang nash-nash yang shorih (jelas/tegas) yang melarang hal tersebut….”.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata di dalam Ziyaratul Qubur wal Istinjadu bil Maqbur, hal. 55-57 ketika beliau ditanya, “Apa hukumnya meletakkan kepala (di bawah) dan mencium lantai/tanah untuk menghormati orang-orang besar?”. Maka beliau menjawab,

    Adapun meletakkan kepala untuk memuliakan orang-orang besar dari kalangan syaikh-syaikh dan yang selain mereka atau mencium lantai dan yang semisalnya, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan imam-imam/ulama (kaum muslimin) tentang terlarangnya (haramnya) hal tersebut. Bahkan menundukkan punggung sedikit saja untuk selain Allah -’Azza wa Jalla- merupakan perkara yang terlarang”.

    Lalu beliau menyebutkan dalil tentang hal tersebut seraya berkata,

    “Telah tsabit dalam hadits yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata, bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (pernah) shalat mengimami para sahabat dalam keadaan duduk karena sakit yang beliau alami, sedang mereka (para sahabat) shalat dalam keadaan berdiri. Maka beliau perintahkan para sahabat untuk duduk lalu beliau berkata, [“Janganlah kalian mengagungkan saya sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab) sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain”]. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda dalam hadits yang lain, [“Barang siapa yang senang manusia berdiri untuk (menghormati) nya maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di dalam neraka”]…”.

    Kemudian beliau (syaikhul Islam) berkata,

    Maka sebagai kesimpulan bahwa berdiri (untuk menghormati), duduk, rukuk, dan sujud hanyalah hak Allah -’Azza wa Jalla- satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi. Jadi apa saja yang merupakan hak Allah, maka tidak boleh dipalingkan kepada siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya….”.

    Kemudian dari sisi yang lain, berdiri yang seperti ini -yakni untuk membesarkan dan mengagungkan makhluk- adalah termasuk ibadah gerakan dalam shalat sehingga tidak boleh melakukannya kepada selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Oleh karena itulah, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sangat marah dan menegur para sahabat beliau tatkala mereka berdiri untuk menyambut beliau.

    Beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:

    Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab), sebagian mereka (berdiri untuk) mengagungkan sebagian yang lain”. (HR. Abu Daud no. 5230 dari Abu Umamah Al-Bahily -radhiyallahu ‘anhu-)

    [Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany -rahimahullah- dalam Adh-Dho’ifah no. 346, akan tetapi kandungan maknanya benar dan dikuatkan oleh hadits setelahnya. Wallahu A’lam. [ed.]]

    Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- telah berkata mengisahkan keadaan para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- :

    Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa wasallam-, (Sekalipun demikian) mereka jika melihat beliau (Nabi-Shollallahu alaihi wasallam-), maka mereka tidak berdiri karena mereka tahu akan kebencian beliau terhadap hal tersebut”. (HR. At-Tirmidzy no. 2754)

  11. Berdo’a, beristianah (meminta pertolongan), beristighotsah (meminta pertolongan pada waktu genting), dan beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-

  12. Walaupun sekedar menjadikan beliau sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Padahal do’a adalah sebesar-besar ibadah, yang secara umum kapan suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah -baik itu malaikat yang paling dekat dengan Allah maupun Nabi yang paling mulia-, maka hal itu termasuk syirik akbar yang membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam api neraka, jika tidak bertaubat sebelum meninggalnya.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman memerintahkan berdo’a langsung kepadanya tanpa ada perantara:

    “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghofir : 60)

    Bahkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah menegaskan:

    Do’a adalah ibadah”.

    (HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmidzy no. 2969, 3247, An-Nasa`iy dalam Al-Kubro no. 11464, dan Ibnu Majah no. 3828 dari Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 3407)

    Sedangkan isti’anah, istighotsah, dan isti’adzah adalah termasuk bentuk-bentuk doa sehingga harus diserahkan hanya kepada Allah.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 4)

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- juga berfirman:

    (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (QS. Al-Anfal : 9)

    Tentang isti’adzah, Allah -‘Azza wa Jalla- memerintahkan para hamba untuk meminta perlindungan hanya kepada-Nya:

    “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”. (QS. Al-Falaq : 1)

    “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia”. (QS. An-Nas : 1)

    Syaikh Ahmad bin Nashir Al-Ma’mary An-Najdy -rahimahullah- berkata di dalam Al-Hadiyyah As-Saniyyah wat Tuhfatul Wahhabiyyah, hal. 45,

    “Yang kami yakini dan kami beragama dengannya bahwa barangsiapa yang berdo’a kepada seorang nabi atau seorang wali atau yang lainnya, lalu ia meminta kepada mereka supaya memenuhi hajatnya dan menghilangkan kesusahannya, maka ini adalah kesyirikan yang sangat besar, karenanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- mengkafirkan orang-orang musyrikin. Sebab dahulu mereka telah menjadikan para wali (dan yang semisalnya) sebagai pemberi syafa’at yang bisa memberikan manfaat atau menolak bahaya menurut sangkaan mereka, sementara Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata; “Mereka itu adalah pemberi syafa`at kami di sisi Allah”. Katakanlah; “Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka mempersekutukan”. (QS. Yunus : 18)”.

    -selesai ucapan beliau-

    Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah- berkata di dalam Majmu’ Fatawa (2/388) ketika beliau ditanya, “Apakah termasuk kesyirikan apabila seseorang berkata di sudut bumi manapun, [“Wahai Muhammad…..!, wahai Rasulullah (berdo’a atau minta pertolongan kepadanya)?]”.

    Beliau menjawab,

    Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menjelaskan di dalam kitab-Nya yang sangat mulia dan melalui lisan Rasul-Nya yang terpercaya, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bahwa ibadah seluruhnya hanyalah milik Allah dan tidak ada hak sedikitpun juga (dari ibadah tersebut) bagi selain-Nya dan sesungguhnya do’a termasuk bagian dari ibadah.

    Jadi, barang siapa yang berkata di sudut bumi manapun juga, [“Wahai Rasulullah….!, wahai Nabi Allah….! atau Nabi Muhammad….!, tolonglah saya, selamatkanlah saya, berikan syafa’at kepada saya, tolonglah umatmu, sembuhkanlah yang sakit dari kaum muslimin, berilah petunjuk kepada mereka”], atau kalimat-kalimat yang semisal itu, maka sungguh dia telah menjadikan tandingan/sekutu bersama Allah di dalam (penyerahan) ibadah.

    Demikian pula hukumnya orang yang melakukan perbuatan seperti ini kepada selain beliau (Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-) dari kalangan para nabi atau para malaikat, wali-wali, berhala-berhala atau yang selainnya dari kalangan makhluk ini. Karena Allah -Azza wa Jalla- berfirman:

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Azzariyat : 56)

    Allah berfirman:

    Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 21)”.

    -Selesai ucapan beliau-

  13. Menyembelih untuk selain Allah.

  14. Ini juga termasuk pembatal keislaman seseorang, karena menyembelih untuk Allah adalah termasuk ibadah harta (maliyah) terbesar yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- perintahkan. Maka memalingkannya untuk selain Allah adalah termasuk kesyirikan yang paling besar.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    “Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. (QS. Al-An’am : 162)

    Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah mengancam orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah dengan laknat dari-Nya, melalui sabda beliau:

    Allah melaknat orang yang menyembelih kepada selain Allah”. (HR. Muslim no. 1978 dari ‘Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu ‘anhu-)[ Hadits itu juga bisa bermakna do’a laknat untuk mereka. Maka hendaknya orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah takut terhadap do’a ini. [ed]]

  15. Pembacaan sajak-sajak atau sholawat-sholawat bid’ah

  16. Bahkan ada yang sampai pada tingkat kesyirikan, seperti sebuah kitab sholawat -menurut mereka- yang berjudul Maulidul Barzanjy karya Ja’far bin Hasan Al-Barzanjy, Qoshidatul Burdah karya Al-Bushiry [Telah berlalu penyebutan beberapa kesalahan yang terdapat dalam kedua kitab ini pada bab keutamaan sholawat], Syaraful Anam, dan selainnya.

  17. Menyiapkan berbagai jenis makanan disertai keyakinan bahwa masing-masing makanan memiliki makna dan fungsi tersendiri.

Ini adalah termasuk di antara bentuk-bentuk tathoyyur (pamali) yang diharamkan dan merupakan syirik ashgar (kecil) 2. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-:

Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”.

(HR. Abu Daud no. 3910, At-Tirmidzy no. 1614, dan Ibnu Majah no. 3538 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)

Bahkan thiyaroh ini merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya:

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkat, “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan thiyaroh (sebab kesialan itu) kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf : 131)

Juga firman Allah -Ta’ala-:

“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib sial karena kalian, sesungguhnya jika kalian tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kalian dan kalian pasti akan mendapat siksaan yang pedih dari kami”. Para rasul itu berkata, “Kesialan kalian itu adalah karena (kesalahan) kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kalian lantas mengancam kami)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin : 18-19)

Dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari golongan 70.000 orang 3 yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam hadits Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- telah mengabarkan tentang sifat mereka:

Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay [Yakni pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan lalu ditempelkan ke tempat yang terasa sakit], tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhary no. 5378, 6107 dan Muslim no. 218).

Diambil dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007; dari kautsarku dari abdullah al-aussie

Catatan Kaki

Berdasarkan sabda beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- yang telah berlalu: “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at, padanya diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan, padanya dia dimasukkan ke Surga dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta tidak akan tegak Hari Kiamat kecuali pada hari Jum’at

Yang dimaksud syirik ashghar disini adalah jika pelakunya menganggap benda tersebut MENJADI SEBAB datangnya manfa’at atau ditolaknya mudharat; tapi yang mendatangkan maslahat dan mudharat adalah Allah, bukan benda tersebut. Tapi jika dia meyakini bahwa benda-benda atau makanan itulah yang mendatangkan manfaat atau yang menolak mudhorot selain Allah -Ta’ala-, maka ini adalah SYIRIK AKBAR!

Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap 1000 orang ditambahkan 70.000 orang lagi, sehingga totalnya adalah 4.900.000 orang. Haditsnya dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah- dalam syarh beliau terhadap hadits ini dari Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab -rahimahullah-

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah Lahirnya Tahlilan di Pulau Jawa

Written By Rachmat.M.Flimban on Sabtu, 29 Juli 2017 | Juli 29, 2017

Sejarah Lahirnya Tahlilan di Pulau Jawa
By FADHIL ZA

” Kami mengemukakan tulisan ini hanya untuk bahan renungan fakta sejarah , bukan untuk bahan perdebatan salah dan benarnya amalan seseorang, silahkan kita beramal menurut keyakinan masing masing. Setiap diri akan bertanggung jawab dihadapan Allah atas apa yang dilakukannya”
Oleh Suhadi

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan. *1

Gambar Wali Songo
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga”.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni / aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan sudah tahunya sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah yg sudah jelas terang benderang saja yg kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ngada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Alloh dan RosulNya.
Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua.
Na’udzu billahi mindzalik
Penulis SUHADI
Daftar Literatur
  1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
  2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
  3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
  4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
  5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
  6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
  7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
Sumber : https://abuhafizh.wordpress.com
Dinukil dari Sumber Artikel; Fadhilza.com
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Saat Zakariya di Usia Tua, Akhirnya Dikarunia Yahya

Written By sumatrars on Selasa, 20 Januari 2015 | Januari 20, 2015



Category : Tafsir Al Qur'an
Source article: Desember 23, 2014 Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Rumaysho.Com,

Pelajaran dari Surat Maryam (seri 3): Saat Zakariya di usia tua, akhirnya dikaruniai Yahya. Itulah buah hati yang dinanti padahal istrinya sebenarnya mandul dan ia pun sudah berada dalam usia senja. Namun doa seorang hamba tak mungkin disia-siakan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا (٧) قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا (٨) قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا (٩)

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata: “Ya Rabbku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.” Allah berfirman: “Demikianlah.” Allah berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam: 7-9).

Akhirnya Dikaruniai Yahya

Allah memberikan kabar gembira pada Zakariya lewat malaikat bahwa ia akan dikaruniai seorang putra bernama Yahya. Nama tersebut sesuai dengan namanya yang berarti hidup yang nyata (hayat hissiyah). Itulah nikmat sempurna yang diberi pada Zakariya. Sedangkan nikmat hidup maknawiyah yaitu hidupnya hati dengan wahyu, ilmu dan diin (agama).

Hayat (kehidupan) intinya ada dua yaitu yang nampak (disebut hayat hissiyah) dan yang sifatnya maknawi yaitu kehidupan hati.

Perlu dipahami bahwa tidak ada sebelumnya yang bernama dengan nama Yahya.

Zakariya Kaget dengan Mendapatkan Anak di Usia Tua

Zakariya kaget dengan mendapatkan anak di usia tua. Ia mengatakan,

رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا

Ya Rabbku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua

Kekagetan Zakariya dikarenakan dua sebab: (1) istrinya mandul dan (2) Zakariya sudah mencapai usia tua.

Ibnu Katsir menyatakan, “Zakariya benar-benar kaget karena doa yang ia pinta pun terkabul yaitu diberi kabar kembira akan dikarunia anak. Ia gembira riang. Ia pun bertanya-tanya bagaimana bisa diberi keturunan sedangkan istrinya saja mandul sejak dulu hingga sepuh seperti saat ini tak juga diberikan keturunan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 210).

Semuanya Mudah Bagi Allah

Untuk mendapatkan anak di usia tua seperti itu mudah bagi Allah. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pastilah terjadi,

كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا

Allah berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.

Syaikh As Sa’di menyatakan, “Ini hal yang tidak normal terjadi dan jarang terjadi dalam ketetapan Allah. Akan tetapi jika Allah kehendaki untuk terjadi tanpa ada sebab apa-apa, maka itu mudah bagi Allah. Allah pun sebelumnya telah menciptakan dari sesuatu yang belum ada sama sekali.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 490).

Sesuatu yang lebih menakjubkan dari apa yang dialami Zakariya sama seperti disebutkan dalam surat lainnya tentang Nabi Adam ‘alaihis salam,

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al Insan: 1).

Itulah bukti bahwa doa tak mungkin disia-siakan.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Abu Ishaq Al Huwaini, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Zakariya Tak Mendapatkan Anak Hingga Usia Tua

Written By sumatrars on Senin, 19 Januari 2015 | Januari 19, 2015



Category : Tafsir Al Qur'an, Sejarah
Source article: Rumaysho.Com

Pelajaran dari Surat Maryam (seri 2): Mungkin sebagian orang mengalami masalah yang sama seperti Zakariya. Ada yang tidak dikaruniai keturunan. Itulah keluhan Zakariya dalam doa-doanya. Namun ia tak pernah putus asa seraya terus memohon pada Allah agar diberikan keturunan.

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (٤) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (٥) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (٦)

“Ia berkata “Ya Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (yang mewarisiku) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 4-6).

Tidak Memiliki Keturunan, Masalah Krusial

Tidak memiliki keturunan adalah masalah krusial yang sebagian orang tidak tahan dan tidak bisa bersabar akan hal itu. Inilah yang dirasakan oleh Zakariya hingga ia berada di usia tua. Ia terus memohon pada Allah untuk lepas dari kesulitan tersebut yaitu segera diberikan keturunan.

Bukti bahwa perkara keturunan benar-benar krusial: (1) seseorang yang berada di usia tua seperti Zakariya terus meminta keturunan pada Allah, (2) Zakariya tak henti-hentinya berdoa, (3) khawatir siapakah yang mewarisi Zakariya dan mewarisi keturunan Ya’qub.

Padahal disebutkan bahwa Zakariya dalam kondisi yang sulit mendapatkan keturunan: (1) fisik Zakariya sudah lemah, (2) keadaan Zakariya sudah tua nampak dari rambutnya yang beruban, (3) istri Zakariya mandul.

Terus Meminta Keturunan Lewat Tawassul

Tawassul artinya mengambil perantara dalam berdoa dengan sesuatu yang disyari’atkan. Dalam doa Zakariya, ia bertawassul dengan pengabulan doa-doa sebelumnya. Ia mengungkit bahwa dahulu doa-doanya selalu terkabul, maka ia bertawassul dengan doa tersebut untuk mendapatkan doa yang ia pinta saat ini yaitu untuk mendapatkan keturunan.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku

Maksud dari perkataan Zakariya adalah ia tidak pernah capek untuk berdoa pada Allah walau belum mendapatkan maksud yang ia minta. Demikian disebutkan oleh Asy Syaukani dalam Fathul Qadir, 3: 444.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan tentang maksud ayat tersebut bahwa Zakariya bertawassul pada Allah dengan pengabulan Allah dan kebaikan Allah pada doa-doanya sebelumnya. (Majmu’ Al Fatawa, 20: 464-465)

Syaikh As Sa’di rahimahullah menyatakan, Zakariya itu meminta pada Allah sebagaimana kebaikan yang telah diberikan sebelumnya supaya disempurnakan nikmat selanjutnya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 489).

Ini menunjukkan kita bisa bertawassul dengan menyebut doa-doa kita yang telah terkabul sebelumnya untuk mendapatkan pengabulan doa lainnya.

Berdoa dengan Mengumpulkan Dua Hal

Asy Syaukani menyebutkan bahwa para ulama menyarankan, hendaklah dalam doa kita dikumpulkan dua hal: (1) khudhu’ yaitu khusyu’ dan penuh ketundukan dalam berdoa, (2) bertawassul dengan menyebutkan apa yang telah Allah berikan dari nikmat pengabulan doa sebelumnya.

Yang menunjukkan bahwa doa mesti dengan penuh ketundukan dan merendahkan diri terdapat pada ayat,

وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا

Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban.

Sedangkan dalam doa, kita dibolehkan untuk bertawassul dengan menyebutkan nikmat pengabulan doa sebelumnya, itulah yang dimaksud pada ayat,

وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku” (Lihat Fathul Qadir, 3: 444).

Bukan Sekedar Meminta Anak (Keturunan)

Lihatlah contoh dari Zakariya, ia bukan sekedar meminta anak atau keturunan dan ingin berbangga dengan anaknya tersebut. Permintaan Zakariya berbeda dengan menusia lainnya, yang hanya ingin meraih maslahat dunia. Yang Zakariya pinta adalah maslahat diin atau kebaikan akhirat. Yang Zakariya inginkan adalah anak yang shalih yang dapat menegakkan agama dan melanjutkan ajaran sepeninggalnya.

Karenanya isi doa Zakariya adalah,

يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai.

Syaikh As Sa’di berkata bahwa anak yang diminta Zakariya adalah anak laki-laki, yang shalih, yang diharapkan menjadi penerus dan pemimpin sepeninggal Zakariya, dan menjadi Nabi setelahnya. Inilah anak yang terbaik yang diminta. Allah pun mengabulkan doa Zakariya tersebut dengan dikarunia anak yang shalih yang memiliki akhlak yang baik.

Nantikan kisah selanjutnya mengenai siapakah putera yang dikaruniakan pada Zakariya.

Semoga bahasan kali ini bermanfaat bagi yang belum dikaruniai keturunan. Semoga Allah segera memberikan buah hati yang dinanti.

Referensi:

Fathul Qadir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, terbitan Dar Ibnu Hazm dan Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
Majmu’atul Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Dar Ibnu Hazm dan Darul Wafa’, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Abu Ishaq Al Huwaini, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Bersambung... Saat Zakariya di Usia Tua, Akhirnya Dikarunia Yahya

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Upaya Keji Penculikan Jasad Rasulullah

Written By sumatrars on Minggu, 18 Januari 2015 | Januari 18, 2015

Category : Manhaj , Kuburan, Nabi, Pembongkaran, Penculikan, Rasulullah
Source article: IbnuMajjah.Com

Segala puji hanya bagi Allah عزّوجلّ, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Baru-baru ini tersebar berita yang sangat menarik perhatian kaum muslimin. Ketika calon jam’ah haji hendak berangkat ke Tanah Suci, mereka dikejutkan dengan berita bahwa kuburan Rasulullah صلى الله عليه وسلم akan dibongkar dan jasad beliau yang mulia akan dipindahkan ke pekuburan umum di Baqi’.

Demikianlah kabar yang dihembuskan oleh para musuh Islam yang berasal dari media Inggris The Independent dan Daily Mail lalu disebarkan keseluruh dunia dan media-media sosial hingga menimbulkan keresahan dan makian kepada negara Tauhid ‘Saudi Arabia’.

Demikianlah berita bohong diatas kebohongan tersebut dan amat sayang ini dimanfaatkan oleh orang yang benci kepada dahwah tauhid, padahal orang-orang zindiq dan kaum kuffarlah yang berusaha membokar kuburan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagaimana diceritakan para pakar sejarah Islam.

Simaklah eBook ini dan kita akan mengetahui faktanya, dan kami berharap kita kaum muslimin tidak mudah terprovokasi dan selalu tabayyun karena kita adalah bersaudara…

Download Format Word

Klik Untuk di Download

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

King Suleiman ANTV, Pemalsuan Sejarah

Written By sumatrars on Sabtu, 17 Januari 2015 | Januari 17, 2015



Category : Sejarah
Source article: https://abunamira.wordpress.com/

Mohon tanggapan untuk sinetron King Suleiman di ANTV yang bnyak meresahkan kaum muslimin. Trim’s

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber : https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2015/01/12/king-suleiman-antv-pemalsuan-sejarah/

Disalin dari Sumber : https://abunamira.wordpress.com/2015/01/13/king-suleiman-antv-pemalsuan-sejarah/

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Keberadaan berbagai macam sinetron yang ditayangkan di televisi, memberikan pelajaran bagi kita akan pentingnya pendidikan sejarah dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depan, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Qur’an sendiri banyak memuat berbagai cerita umat terdahulu, agar umat Islam dapat mengambil hikmah dan pelajarannya untuk menghadapi hari depan.

Tidak heran jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah berperan sangat penting yang mengarahkan kebangkitan suatu bangsa atau peradaban.

Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis,

No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with it’s own past…

Tidak ada peradaban yang berjaya, bahkan bisa eksis, setelah mereka kehilangan kebanggaan dan keterkaitan dengan masa lalunya.

Karenanya, telah menjadi salah satu konspirasi orang kafir, mereka berusaha mengaburkan sejarah kaum muslimin. Melalui pemalsuan sejarah, orang kafir berusaha melakukan upaya balas dendam terhadap para tokoh islam yang tidak mampu mereka lawan. Mereka juga mengarahkan umat untuk mengagungkan tokoh fiktif dari pada pahlawan umat yang sejatinya.

Siapa King Suleiman?

Beliau adalah Sulaiman bin Salim al-Qanuni. Orang barat mengenalnya dengan Sulaiman al-Adzim (The Great Sulaiman). Beliau menjabat khalifah selama 48 tahun, sejak 926 H. Tercatat beliau sebagai raja Daulah Utsmani yang paling lama menjadi khalifah.

King Sulaiman merupakan salah satu raja Daulah Utsmaniyah yang paling disegani dunia barat. Dikenal sangat mahir dalam bidang politik dan ketatanegaraan. Beliau mengembalikan keutuhan Daulah Utsmaniyah yang diambang perpecahan. Diantaranya, beliau menggagalkan pemberontakan yang dilakukan orang-orang syiah dibawah pimpinan Qilnadar Jalbi, yang memiliki kekuatan sekitar 30.000 pengikut.

Jihad King Suleiman

Beliau dikenal sebagai raja yang paling sering jihad selama masa kepemimpinan Daulah Utsmaniyah. Diantara keistimewaan beliau, setiap kali mengirim surat ke berbagai daerah, beliau meniru gaya Nabi Sulaiman ketika mengirim surat ke negeri Ratu Saba (Ratu Bilqis), yang Allah ceritakan di surat an-Naml,

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ini dari Sulaiman, Isinya: Bismillahirrahmanirrahiim.” (QS. an-Naml: 30).

Dengan intensitas ekspansi ke daerah kafir yang tinggi, hingga di tahun 927 H, kaum muslimin berhasil menaklukkan Beograd (ibu kota Serbia). Padahal ketika itu, Beograd dikenal sebagai pintu eropa tengah dan benteng masihiyin (kristiani). Beliau juga sempat mengepung Wina (Austria), dan memasukkan wilayah Budapest (Hongaria) ke kawasan Utsmani.

Beliau juga melakukan tekanan terhadap negeri Syiah, Daulah Shafawiyah (Iran). Beliau melakukan penyerangan 3 kali, dari tahun 941 hingga 962 H. Dari usaha ini, beliau banyak mengembalikan wilayah kaum muslimin dari penindasan orang Syiah. Sehingga di masa King Sulaiman, orang syiah dalam posisi sangat tertekan.

Semua upaya yang beliau lakukan merupakan proye besar untuk mengembalikan kejayaan kaum muslimin. Di samping itu, beliau berhasil mengusir Portugis dari wilayah perairan laut merah, dan menghentikan gerakan orang kafir yang sangat ambisius untuk menguasai timur tengah.

Peran Ulama dalam Menetapkan Hukum

Diantara faktor pendukung kejayaan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah di masa beliau, posisi rakyat yang sangat loyal terhadap negara. Karena di masa beliau, perumusan undang-undang negara diserahkan kepada para ulama. Undang-udang itu dikenal dengan nama: Qanun Sulaiman Namah (Undang-undang Sulthan Sulaiman).

Salah satu ulama yang memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang ketika itu adalah Imam Abu Su’ud Afandi. Seorang ulama ahli bahasa, ahli tafsir, peneliti, penulis kitab Tafsir Irsyad al-Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, atau yang sering dikenal dengan tafsir Abu Su’ud. Tafsir ini tebalnya 9 jilid, banyak menjelaskan sisi keistimewaan bahasa dan logika yang diajarkan al-Quran.

Prof. Jamaluddin Falih al-Kilani – peneliti sejarah asal Iraq – menegaskan, masa kekhalifahan Sultan Sulaiman al-Qanuni dinilai sebagai masa keemasan Daulah Utsmaniyah. Mengingat Daulah Utsmaniyah dianggap sebagai kejaraan terkuat di dunia, terutama sepanjang kawasan laut tengah.

Ketika beliau diangkat menjadi khalifah, ada salah satu penyair yang mengatkan,

قل للشياطين البغاة اخسأوا *** قد أوتى المُلك سليمانُ

Sampaikan kepada setan pemberontak, “Mampus kalian..”

Kerajaan telah diserahkan kepada Sulaiman.

(Disadur dari tulisan: as-Sulthan Sulaiman al-Qonuni, karya Dr. Raghib as-Sirjani).

Karena itu tidak heran ketika barat merasa belum tenang jika mereka belum melakukan balas dendam terhadap King Sulaiman. Jika jasadnya tidak bisa mereka sentuh, kehormatan beliau yang menjadi sasarannya. Stasiun TV swasta yang doyan harta-wanita, menjadi corong mereka untuk menyebarkan kedustaan sejarah itu.

Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari kejahatan mereka.

Allahu a’lam.


Article : Blog Al-Islam

Back to Top


?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah; Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (2/2)

Written By sumatrars on Jumat, 09 Januari 2015 | Januari 09, 2015



Category : aqidah, Manhaj, Sejarah,Maulid Nabi,
Source article: Abuzuhriy.Com/

Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala

  1. Dijadikannya hari maulid sebagai salah satu ‘ied (hari raya) kaum muslimin oleh pemerintah suatu negara.

    Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:

  2. Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (’Idul Adh-ha) dan hari Fithr (’Idul Fithri)”.

    (HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dari sahabat Anas bin Malik dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 4460)

    Maka ini tegas menunjukkan bahwa selain dari dua ‘ied (hari raya) di atas adalah hari ‘ied jahiliyah (yang tidak ada dasarnya dalam tuntunan Islam).

  3. Perayaan ini merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap ahli kitab.

  4. Padahal kita telah dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
    Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang musyrikin”. (QS. Ar-Rum : 31)

    Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga bersabda:

    Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka” (Telah berlalu takhrijnya).
    Telah berlalu pembahasan ini secara lengkap pada bab keenam.

  5. Adanya jalan dan kesempatan yang bisa mengantarkan kepada terjadinya bentuk-bentuk perzinahan
    Yakni perzinahan dalam artian yang lebih luas sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam sabda beliau:

  6. Telah dituliskan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan mendapatinya (melakukannya) tidak mungkin tidak: Maka kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar, lidah zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya dengan melangkah, hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal itu akan dibenarkan atau didustakan oleh kemaluan”.

    (HR. Al-Bukhary no. 5889, 6238 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dan ini adalah lafadz Muslim)

    Di antara bentuknya adalah:

    - Terfitnahnya para lelaki dengan amrod (Anak lelaki yang gagah dan belum balig yang belum tumbuh jenggotnya). Ini merupakan jalan yang bisa mengantarkan kepada perbuatan sodomi (homoseks), wal’iyadzu billah. 1

    - Terfitnahnya (tertariknya) lelaki -baik yang telah baligh maupun yang belum- kepada wanita -baik yang telah balig maupun yang belum- dan demikian pula sebaliknya.

    Padahal Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah memperingatkan hal ini dalam sabda beliau:

    Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) di tengah manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki dibandingkan para wanita”.

    (HR. Al-Bukhary no. 4808 dan Muslim no. 2740, 2741 dari Usamah bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu-)

    Dan beliau juga telah bersabda:

    Maka takutlah kalian dari (fitnah) dunia dan takutlah kalian dari (fitnah) wanita”. (HR. Muslim no. 2742 dari Abu Sa’id Al-Khudry -radhiyallahu ‘anhu-)

    - Percampurbauran antara lelaki dan wanita.

    Ini bertentangan dengan perintah Allah dalam Al-Qur`an yang mensyari’atkan adanya hijab antara lelaki dan wanita.
    Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman:

    Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para wanita), maka mintalah dari belakang tabir, cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (QS. Al-Ahzab : 53)

    Rasul-Nya juga telah bersabda:

    Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita”. Maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?”, beliau menjawab, ["Ipar adalah kematian”].

    (HR. Al-Bukhary no. 4934 dan Muslim no. 2172 dari ‘Uqbah bin ‘Amir -radhiyallahu ‘anhu-)

    - Kaum pria memandang kepada aurat wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.

    Padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah memerintahkan sebaliknya yaitu menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram. Perintah ini Allah arahkan kepada lelaki dalam firman-Nya:

    Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”.

    (QS. An-Nur : 30)

    Juga kepada wanita:

    Katakanlah kepada para wanita beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka”.

    (QS. An-Nur : 31)

    - Laki-laki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan sebaliknya.

    Telah nyata adanya ancaman bagi lelaki dan wanita yang melanggar hal ini. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:

    Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”.

    (HR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no. 1282, Ath-Thobarony (20/no. 486-487), dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dari Ma’qil bin Yasar -radhiyallahu ‘anhu- dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)
    Hadits ini menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram atau disentuh oleh wanita atau lelaki yang bukan mahram adalah termasuk dosa besar.

    - Keluarnya para wanita dari rumah mereka -tanpa ada hajat dan keperluan- dalam keadaan berhias, memakai wewangian, dan menampakkan perhiasannya.

    Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah berfirman, memerintahkan kepada para wanita:

    Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap (tinggal) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dengan model berhias orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33)

    Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:

    Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka akan dibuat anggun oleh syaithan”. (HR. At-Tirmidzy no. 1173 dari ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 273)

    Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga telah bersabda:

    Jika seorang wanita memakai wewangian lalu dia melewati suatu kaum agar mereka (kaum tersebut) mencium wangi dirinya maka dia adalah begini dan begitu, -beliau mengucapkan perkataan yang keras-

    (HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786, dan An-Nasa`i (2/283) dari Abu Musa Al-Asy’ary dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 323).

    Dan dalam riwayat At-Tirmidzy: “Yakni dia adalah pezina”.

  7. Adanya nyanyian-nyanyian, alat-alat musik, serta tarian-tarian.

  8. Semua hal ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dengan firman-Nya:

    Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna yang karenanya dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”.

    (QS. Luqman : 6)

    Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata menafsirkan makna ["perkataan yang tidak berguna"]:

    Dia -demi Allah- adalah nyanyian”.

    (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21130, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 3542 dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubro (10/223))

    Dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21137 dan Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (10/221, 223) meriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa beliau berkata mengomentari ayat di atas:

    Ayat (dalam surah Luqman) ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang semisalnya”.

    Maka ini adalah penafsiran dari dua pembesar sahabat dalam masalah tafsir Al-Qur`an yang keduanya menyatakan bahwa ayat tersebut turun untuk mengharamkan nyanyian, musik, dan yang semisalnya.

    Dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda Hari kiamat adalah dengan tersebarnya nyanyian dan alat musik. Beliau bersabda:

    Akan datang dari ummatku sekelompok kaum yang akan menghalalkan perzinahan, kain sutera (bagi lelaki), khamer, dan alat-alat musik”.

    (HR. Al-Bukhary no. 5268 dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ary -radhiyallahu ‘anhu-) 2

    Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh berkata,

    Hadits ini jelas menunjukkan keharamannya, karena penghalalan tidak mungkin dilakukan kecuali pada perkara yang diharamkan. Dan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah benar, sungguh sekelompok manusia dari kalangan umat Muhammad sudah ada yang menggunakan alat-alat musik dan lagu-lagu dengan meremehkan dan tidak memperdulikan (larangan syari’at)

    (Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho`i Asy-Sya`i’ah hal. 53)

    Dan Imam Ibnul Qoyyim berkata menerangkan makna hadits di atas dalam Ighotsatul Luhfan (1/291),

    Dan sisi pendalilan dari hadits ini adalah bahwa sesungguhnya alat-alat musik, semuanya adalah alat-alat yang melalaikan, tidak ada perbedaan pendapat di antara pakar bahasa dalam perkara ini. Dan seandainya hal itu (alat-alat musik, pen.) halal, maka pasti Nabi tidak akan mencerca mereka (kaum yang tersebut dalam hadits, pen.) karena penghalalan mereka atasnya (alat-alat musik, pen.) dan pasti tidak akan digandengkan penghalalannya dengan penghalalan minuman keras“.

  9. Kurangnya penghormatan dan tadabbur kepada Al-Qur`an karena mereka menggabungkan -dalam acara maulid ini- antara Al-Qur`an dan nyanyian-nyanyian.

  10. Ini menunjukkan kurangnya ketaqwaan di dalam hati. Memadukan antara Al-Qur’an dan nyanyian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at dan merupakan perbuatan tidak mengagungkan syi’ar Allah, karena Al-Qur`an adalah syi’ar Allah yang terbesar di muka bumi ini.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al-Hajj : 32)

    Bahkan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan:

    Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. (QS. Muhammad : 24)

  11. Hadir/berperan serta dan berinfak/mengeluarkan harta dalam perayaan maulid.

  12. Ini adalah bentuk dukungan terhadap kerusakan dan kesesatan sebagaimana yang akan datang berupa fatwa para ulama tentang hal ini.

  13. Boros dan mubazzir dalam hal makanan3.

  14. Ini menyerupai sifat setan yang memerintahkan mereka untuk melakukan bid’ah maulid ini:

    Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”. (QS. Al-Isra` : 26-27)

    Perbuatan ini juga termasuk perkara yang dibenci oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bila ada pada seorang hamba. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- mengabarkan:

    Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian 3 (perkara): Qila wa qol (katanya dan katanya), membuang-buang harta dan terlalu banyak bertanya [Yakni pada perkara-perkara yang sudah sangat jelas]”. (HR. Al-Bukhary no. 1407, 2277, 5630, 6108, 6862 dan Muslim no. 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiyallahu ‘anhu-)

  15. Dzikir berjama’ah. Telah berlalu -pada bab keempat- kisah Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- yang mengingkari orang-orang yang berdzikir berjama’ah di zaman beliau. Ini menunjukkan bahwa dzikir secara berjama’ah sama sekali tidak pernah mereka lakukan bersama Nabi mereka -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-4

  16. Mengkhususkan adanya taushiah (ceramah agama) dalam setiap perayaan.

Ini juga merupakan suatu bid’ah. Karena taushiah adalah perkara yang dituntut kapan dan dimana saja. Syari’at memerintahkannya dalam bentuk umum tanpa mengikatnya atau membatasinya dengan waktu dan tempat tertentu. Maka mengkhususkan atau mengikat adanya taushiah khusus dalam perayaan maulid, tanpa ada dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bid’ah (Lihat Ahkamul Jana`iz hal. 306 karya Syaikh Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah-).

{Lihat : Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid bab keenam dan ketujuh, Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy, Hukmul Ihtifal bil Maulid warroddu ‘ala Man Ajazahu dan Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid bab ketiga}
Diambil dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007; dari kautsarku dari abdullah al-aussie

Catatan Kaki

Bagaimana seorang tidak tertarik dengan anak-anak kecil atau ABG yang sengaja dihias untuk tampil bernyanyi dan bersya`ir di depan khalayak ramai?!. Ini merupakan sebab terbesar timbulnya perbuatan sodomi oleh orang yang memiliki penyakit hati. Cukuplah peristiwa yang terjadi di zaman Nabi Luth -‘alaihis salam- sebagai ibrah dan pelajaran. Belum lagi, tampilnya wanita pilihan yang muda lagi cantik bersolek dengan busana yang indah untuk menghibur para hadirin, nas’alullahal ‘afiyah was salamah minal fitan.(ed) [1]

Sebagian orang ada yang berusaha melemahkan hadits ini dengan beberapa alasan yang sangat lemah. Lihat alasan-alasan tersebut beserta bantahannya dalam Fathul Bary (1/52), Ighotsatul Luhfan (1/290-291), dan Tahrim Alatut Thorb hal. 81-82 [2]

Bentuk pemborosan ini sangat jelas terjadi ketika hari peringatan maulid. Orang-orang yang hadir, baik tua maupun muda, semuanya berebutan makanan sehingga terkadang rebutan yang berbentuk “tawuran” tersebut membuat sebagian makanan terhambur dan jatuh di tanah, sedang mereka tidak memungutnya. Di lain tempat, sebagian orang seusai acara inti berupa ceramah, bukannya berebutan makanan, akan tetapi saling melempar makanan antara satu hadirin dengan yang lainnya. Di sudut kota lain, ada yang melemparkan semacam tumpeng atau nasi tujuh warna ke lautan atau ke sungai, ibaratnya seperti orang-orang musyrikin dan penganut animisme. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang berbuat boros dan memerintahkan kita agar tidak membuang makanan yang jatuh, akan tetapi makanan yang jatuh hendaknya dibersihkan lalu dimakan. Inilah sebagian di antara bentuk pemborosan mereka. (ed) [3]

Untuk lebih puasnya, silakan anda baca kitab Adz- Dzikr Al-Jama’iy karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis -hafizhohullah-. Kesimpulannya, dzikir jama’ah adalah bid’ah dholalah (sesat), bagaimanapun mereka berusaha keras untuk ‘mencari-cari’ dalil, sebab pengingkaran sahabat Abdullah bin Mas’ud yang diisyaratkan oleh penulis (Syaikh Muhammad) sudah cukup menjadi “kata pemutus” dalam permasalahan ini. Beliau adalah sahabat yang telah menyaksikan kehidupan di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan telah menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini adalah bid’ah. Maka alangkah mengherankannya jika ada orang yang hidup di zaman belakangan yang menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini ada di zaman kenabian, padahal Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- telah mengingkarinya !!? (ed) [4]

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger