Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Karena Cinta, Aku Harus Memilih (1)

Written By sumatrars on Selasa, 31 Maret 2015 | Maret 31, 2015

Category : Tazkiyatun Nufus
Source article: Muslim.Or.Id

13 January 2015,

Tidak sedikit di antara ikhwan dan akhwat, sebelum mereka menyandang status ‘ikhwan‘ dan ‘akhwat‘, sebelum akrab dengan panggilan ‘akhi‘ dan ‘ukhti‘, mereka memiliki masa lalu yang kelam.

Sebatas ilustrasi

Barangkali diantara mereka, ada yang dulunya suka pacaran dan gonta-ganti cowok ataupun cewek. Ada yang dulunya pegawai bank ribawi. Ada yang mantan preman, ada juga mantan gitaris, tentu akrab sekali dengan si gitar kesayangannya. Banyak yang dulunya suka pamer aurat atau karyawati dengan dandanan yang seronok. Belum lagi yang dulunya maniak nonton sinetron seronok dan tayangan pornoaksi. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka yang berasal dari keluarga yang berada, yang seolah-olah identik dengan serba ada, mau apa aku bisa, sehingga dulunya ada yang sudah terbiasa dengan kemaksiatannya orang kaya.

Walaupun di antara mereka banyak juga yang berstatus hidup pas-pasan, seolah-olah hidupnya bermoto pas butuh, pas ada, Padahal ada diantara mereka yang sesunguhnya keadaannya pas butuh pas ada (utangan riba), kredit riba ini dan utang bank riba itu, karono kahanan (karena keadaan), begitu alasannya. Padahal sesungguhnya, pola hidup konsumtiflah yang menjadi biang keladinya. Barangkali seputar itulah gambaran kelamnya, namanya juga belum ngaji.

Lalu Allah pun memberi hidayah!

Dengan berbagai jalan hidayah yang unik, akhirnya mereka memasuki pintu-pintu hidayah masing-masing. Mulailah mereka kenal dengan aktivitas baru, berupa ngaji salaf. Seiring dengan bertambahnya ilmu dan amal, mulailah banyak muncul dalam hati mereka pergolakan antara haq dan batil antara taat dan maksiat.

Perlahan tapi pasti hidayah itu menghujam dalam hati

Ketika cinta kepada Allah telah merasuk dalam hati, lalu membuahkan halawatul iman (kemanisan iman), maka Allahlah segalanya bagi hati tersebut.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman (Ketika) Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke Neraka” (Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Iman, Bab Manisnya Iman).

Itulah pokok keimanan, yaitu ketika Allah adalah segalanya baginya dengan menomorsatukan cinta Allah dan mengalahkan seluruh bentuk kecintaan lainnya yang bertentangan dengannya.Karena cinta Allahlah, kita harus memilih kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Hanya demi Allahlah seorang mukmin rela meninggalkan seluruh catatan kelamnya, walaupun berat dirasa.

Cinta kepada Allah adalah sebuah kewajiban, yang wajib kita dahulukan di atas semua jenis cinta.

Ulama telah menjelaskan bahwa Hubbullah (cinta Allah) adalah pokok dari seluruh kecintaan yang baik, Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,

وكل ما سواه مما يحب فإنما محبته تبع لمحبة الرب تبارك وتعالى كمحبة ملائكته أنبيائه وأوليائه، فإنها تبع لمحبته سبحانه، وهي من لوازم محبته، فإن محبة المحبوب توجب محبة ما يحبه

Segala sesuatu yang dicintai selain-Nya, sesungguhnya kecintaan kepadanya mengikuti kecintaan kepada Ar-Rabb Tabaraka wa Ta’ala, seperti kecintaan kepada Malaikat, Nabi-Nabi, dan para wali-Nya, maka sebenarnya kecintaan-kecintaan itu mengikuti kecintaan kepada-Nya Subhanahu.

Kecintaan-kecintaan itu sekaligus sebagai konsekuensi kecintaan kepada-Nya karena mencintai sesuatu (Dzat) itu mengharuskan mencintai perkara yang dicintai oleh sesuatu (Dzat) tersebut”(Ad-Daa`wad Dawaa`: 276).

Maksudnya, bahwa dalam kehidupan seorang muslim, dasar aktivitasnya adalah Hubbullah (mencintai Allah), sedangkan mencintai Allah berkonsekuensi mencintai segala yang dicintai oleh-Nya dan membenci segala yang dibenci oleh-Nya.

Sebagaimana perkataan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

فحقيقة المحبة لا يتم إلا بموالاة المحبوب، و هو موافقته في حبه ما يحب و يبغض ما يبغض. و الله يحب الإيمان و التقوى و يبغض الفسوق و العصيان

Hakikat cinta tidaklah sempurna kecuali dengan loyal kepada yang dicintainya, yaitu menyesuaikan diri, dengan mencintai setiap perkara yang dicintai olehnya dan membenci setiap perkara yang dibenci olehnya” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah :28).

Itulah hakikat cinta Allah. Kecintaan kepada Allah yang seperti inilah yang sesuai dengan fitrah manusia yang lurus dan sesuai dengan tujuan diciptakannya hati manusia,

و القلب خلق يحب الحق و يريده و يطلبه

Hati diciptakan untuk mencintai Allah,menginginkan (berjumpa dengan)-Nya dan berusaha mendapatkan (keridhaan)-Nya” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah:26).

Kiat mudah meninggalkan masa lalu yang hitam

Berikut trik mudah untuk bisa meninggalkan catatan kelam dan kemaksiatan yang sudah terbiasa dilakukan

  1. Mencintai sesuatu yang paling menyenangkan hati, dengan demikian akan bisa terkalahkan seluruh kecintaan yang lain yang bertentangan dengannya. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan hati daripada mencintai Allah.

  2. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

    والإنسان لا يَترُك محبوبًا إلا بمحبوبٍ آخَرَ يكون أحبَّ إليه منه، أو خوفًا مِن مكروه

    Seseorang tidaklah meninggalkan sesuatu yang dicintai kecuali beralih kepada sesuatu lain yang lebih ia cintai darinya atau karena takut tertimpa sesuatu yang dibencinya” (Al-‘Ubudiyyah, 26).

    Dengan demikian, harusnya seorang hamba lebih mencintai hidup dalam ketaatan kepada Allah daripada kesukaan buruk dan hobi maksiatnya karena sudah ada penggantinya berupa sesuatu yang lebih menyenangkan hatinya bahkan paling menyenangkan, sehingga sukarela ia tinggalkan hobi dan kesukaan buruknya tersebut.

  3. Dengan menyadari bahwa setiap cinta itu butuh pengorbanan.

  4. Jangankan cinta yang benar, cinta yang batil, maksiat ataupun cinta yang sia-sia pun butuh pengorbanan untuk mendapatkannya.Tidakkah Anda lihat para penggemar musik seronok, untuk mendatangi konser musik besar rela berkorban uang biaya transport dan penginapan jika mereka datang dari luar kota. Mereka mengorbankan waktu berjam-jam antri tiket dengan antrian yang mengular itu. Mengorbankan badan dan bahkan nyawa ketika harus terjadi tawuran antar penonton. Bahkan ia rela meninggalkan shalat ‘ashar, maghrib dan isya’ demi mengikuti acara tersebut.Tidakkah Anda lihat para pecinta demonstrasi produk demokrasi kuffar tersebut, ketika demo, mereka rela berkorban puluhan juta dan merasakan nyerinya pentungan polisi serta dinginnya sel penjara. Mereka rela pula tidak makan berhari-hari di bawah bendera aksi mogok makan? Benarlah apa yang dijelaskan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

    و معلوم أن المحبوبات لا تنال غالبا إلا باحتمال المكروهات، سواء كانت محبة صالحة أو فاسدة

    Adalah perkara yang dimaklumi bahwa biasanya tidaklah diperoleh perkara yang dicintai itu kecuali dengan pengorbanan yang tidak disukai (oleh hawa nafsunya), hal ini berlaku, baik dalam kecintaan yang baik maupun dalam kecintaan yang buruk” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah :29).

    Lha yen podo-podo korbane, kalau sama-sama berkorbannya, mengapa mereka tidak berkorban untuk mencintai Allah dan beribadah kepada-Nya? Mengapa tidak memilih berkorban untuk masuk Surga?

  5. Merenungkan kaidah Qur’ani : Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.

  6. Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah dalam Al-Qowa’idul Hisan-nya berkata,

    من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه

    Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya”. Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut, “Kaidah ini terdapat dalam banyak Ayat Al-Quran.

  • Kaum Muhajirin yang pertama-tama hijrah meninggalkan negri, harta, dan orang-orang yang dicintainya,lalu Allah menggantinya dengan rezeki yang luas, kemuliaan dan kekuasaan.

  • Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memisahkan diri dari kaum dan bapaknya, serta menjauh dari sesembahan yang mereka sembah, Allah pun menganugerahkan kepadanya Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub serta keturunan-keturunan yang shalih.

  • Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika mampu menahan diri dari berbuat jelek terhadap Istri raja, padahal godaannya sangat kuat, beliau pun rela tinggal di penjara, demi menjauhkan diri dari kerusakan dan fitnah, maka Allah pun menggantinya dengan kekuasaan yang besar di muka bumi, dengan fasilitas harta, kekuasaan dan wanita untuk beliau.

  • Ashhabul Kahfi, ketika meninggalkan kaum mereka dan sesembahan kaum mereka, Allah berkenan menggantinya dengan limpahan rahmatnya dan kelapangan serta Allah jadikan mereka sebagai sebab hidayah bagi orang-orang yang sesat.

  • Maryam putri ‘Imran, tatkala mampu menjaga kehormatannya, maka Allah jadikan beliau dan putranya sebagai tanda kebesaran Allah Ta’ala.

  • Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ketika mengorbankan kuda karena sempat melalaikan beliau dari dzikrullah, Allah ganti dengan angin yang patuh terhadap perintahnya dan nikmat yang lainnya. (Syarh Al-Qowa’idul Hisan : 206, dengan sedikit perubahan).

Sekarang giliran Anda bergumam dalam hati

Tidaklah aku tinggalkan catatan kelamku, tidaklah aku keluar dari dunia hitamku dengan Lillah Ta’ala melainkan Allah akan menganugerahkan kepadaku limpahan rahmat-Nya yang mengalahkannya. Demikianlah Allah, Rabb kita, wahai Ikhwan dan Akhwat! Tidaklah seorang hamba meninggalkan dengan ikhlas sesuatu yang dimurkai oleh Allah, kecuali ia akan mendapatkan sesuatu yang dicintai-Nya.

Dan tidaklah Dia Subhanahu wa Ta’ala mencegah hamba-Nya yang beriman dari mendapatkan dunia kecuali akan memberinya sesuatu yang lebih utama dan lebih bermanfaat, di dunia maupun di akhirat. Jika Antum dan Antunna ingin lebih mengenal betapa bijaksananya Allah ‘Azza wa Jalla dalam mentaqdirkan keadaan kita semua maka ikuti kelanjutan artikel ini berikut Karena cinta, aku harus memilih (bag.2), insyaAllah di sana Anda akan dapatkan hikmah Allah dalam penakdiran keadaan setiap mukmin dan bagaimana balasan di surga bagi orang yang rela meninggalkan sesuatu yang terlarang semasa di dunia.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perbedaan Antara Menyebutkan Nikmat Allah Dengan Ujub



Category : Akhlaq dan Nasehat
Source article: Muslim.Or.Id

Dalam artikel yang berjudul Sudahkah Anda Melakukan Tahadduts Bin Ni’mah? telah disebutkan bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan sudah dijelaskan pula bahwa nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan dunia.

Berarti jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ (memamerkan amal shaleh) atau ‘ujub (membanggakan amal shalih)? Berikut keterangan para ulama rahimahumullah:

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan ujub (merasa bangga dengan nikmat) adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya (atas limpahan nikmat tersebut), mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk (baca merendahkan) dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” (Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312).

Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menyebutkan keta’atan (amal shaleh) dirinya,tidak terlepas dari dua keadaan :

  1. Pendorongnya adalah ingin menyatakan dirinya suci dan menghitung-hitung amalnya di hadapan Rabbnya. Hal ini adalah perkara yang berbahaya, terkadang bisa merusak amalnya dan menggugurkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari menyatakan diri bersih (suci), Dia berfirman

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm:32).

  • Kedua, pendorongnya adalah ingin menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (tahadduts bin ni’mah), dan ia maksudkan hal itu sebagai wasilah agar dicontoh oleh orang-orang yang semisalnya. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

  • وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

    Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” (QS. Adh-Dhuha: 11).

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

    Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh  amal shalih (maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya), maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” (Nur ‘alad Darb: 30/12).

    Kesimpulan

    Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah (termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh) sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`(memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia) dan sum’ah (memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia),maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.

    Dan yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah (ikhlas) lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian itu.

    Dari Abi Dzar -radhiallahu ‘anhu- berkata,

    ‏ ‏‏قيل‏:‏ يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه‏؟‏ قال‏:‏ تلك عاجل بشرى المؤمن‏)‏ رواه مسلم‏.‏

    Ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda (Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin)” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

    Catatan :

    Perlu diketahui, bahwa orang yang menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan tanpa ada niat riya` dan sum’ah, maka bukanlah termasuk kedalam kategori “sikap sengaja menampakkan jenis yang tercela”, bahkan hal itu termasuk “sikap menampakkan jenis yang terpuji”, asal sesuai dengan yang disyariatkan.

    Wallahu A’lam.

    (Diolah dari: islamqa.info/ar/137984 dan islamqa.info/ar/148158 )

    Article : Blog Al-Islam


    Back to Top

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Hukum Minum Dengan Sekali Nafas

    Category : Fiqih dan Muamalah
    Source article: Muslim.Or.Id

    Terdapat hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau minum dengan 3 kali nafas. Yaitu beliau menghabiskan minuman tidak sekaligus, namun perlahan dengan 3 kali mengeluarkan nafas. Maka timbul pertanyaan dan ini pun dibahas para ulama dalam kitab-kitab fiqih, yaitu apakah boleh minum dengan sekali nafas, atau sekali teguk? Simak bahasan singkat berikut.

    Anjuran minum perlahan dengan 3 kali nafas

    Anas bin Malik radhiallahu’anhu menceritakan,

    كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يتنفَّسُ في الشرابِ ثلاثًا ، ويقول : ( إنه أَروى وأبرأُ وأَمرأُ )

    biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bernafas tiga kali ketika minum. Dan beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dengan begini haus lebih hilang, lebih lepas dan lebih enak‘” (HR. Al Bukhari 5631, Muslim 2028, dan ini adalah lafadz Muslim).

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ini adalah dalil dianjurkannya bernafas 3 kali ketika minum” (Majmu’ Al Fatawa, 32/208). Maka jelaslah bahwa hal ini hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Karena hukum asal dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sunnah.

    Namun perlu dicatat, bahwa bernafas yang dimaksud di sini bukanlah bernafas atau mengeluarkan nafas di dalam gelas atau tempat minum. Namun yang dimaksud adalah di luar gelas. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    إذا شَرِبَ أحدُكم فلا يَتَنَفَّسُ في الإناءِ

    jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum)” (HR. Al Bukhari 153, Muslim 267).

    Jadi caranya: meneguk air, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, selesai.

    Hukum minum dengan satu nafas

    Lalu bagaimana dengan minum satu kali nafas atau sekali teguk? Terdapat hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu’anhu, ia berkata:

    ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن النفخ في الشراب، فقال رجل ‏:‏ القذاة أراها في الإناء‏؟‏ فقاله‏:‏ ‏”‏أهرقها‏”‏ قال‏:‏ إني لا أروى من نفس واحد‏؟‏ قال‏:‏ ‏”‏فأبن القدح إذاً عن فيك‏”‏

    Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam tempat minum. Maka ada seorang yang bertanya: “(Wahai Rasulullah,) terkadang (kalau saya minum) ada gelembung udara yang keluar di bejana (tempat minum)”. Rasulullah bersabda: “keluarkan itu!”. Lalu lelaki tadi berkata: “(Wahai Rasulullah,) haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu minumlah beberapa teguk lalu ambil nafas!” (HR. At Tirmidzi 764, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 385).

    Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dengan cara menenggak beberapa teguk lalu baru bernafas, atau beberapa tenggak sampai habis, baru bernafas. Syaikh Al Albani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan: “ini menunjukkan bolehnya minum dengan sekali nafas. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengingkari seorang lelaki yang mengatakan: ‘haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja’. Andai minum dengan sekali nafas itu terlarang, maka ketika itu Rasulullah akan menjelaskan larangannya. Beliau akan berkata semisal: ‘Memangnya boleh minum dengan sekali nafas?'”.

    Di tempat lain, Syaikh Al Albani juga menukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Imam Malik membolehkannya minum dengan sekali nafas berdalil dengan hadits ini. Bolehnya hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Musayyab dan sekelompok tabi’in lainnya. Lalu Umar bin Abdul Aziz juga mengatakan: yang dilarang adalah bernafas di dalam bejana, adapun orang yang tidak bernafas di dalam bejana boleh saja minum dengan sekali nafas jika ia mau” (Silsilah Ash Shahihah, 1/670-671, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani 478).

    ِAdapun hadits yang menganjurkan minum dengan sekali nafas, haditsnya tidak shahih.

    إِذا شَرِبَ أَحَدُكُم فَليَشرَب فِي نَفَسٍ واحِدٍ

    jika salah seorang dari kalian minum maka minumlah dengan sekali nafas

    Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan: “hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Yahya bin Said tidak meriwayatkan dari Aban bin Yazid dan aku khawatir lafadznya maqlub, seharusnya ‘janganlah minum‘ namun disebutkan ‘minumlah‘” (Al ‘Ilal Al Mutanahiah, 2/669).

    Minum dengan bernafas lebih dari tiga kali

    Minum dengan lebih dari tiga kali nafas tentu saja kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. Terlebih lagi dalam hadits larangan bernafas di dalam bejana disebutkan:

    إذا شربَ أحدُكم، فلا يتنفَّسْ في الإناءِ، فإذا أرادَ أن يعودَ، فلينحِّ الإناءَ، ثمَّ ليَعُد إن كانَ يريدُ

    jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum). Jika ia ingin mengulang (tegukan) maka singkirkan dahulu bejana (dari mulut untuk bernafas), kemudian teguk lagi jika ingin” (HR. Ibnu Majah 2784, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

    Menunjukkan tidak ada batasan jumlah tegukan atau nafas ketika minum. Tentu saja selama tidak sampai israf (berlebih-lebihan) dalam minum. Wallahu a’lam.

    Demikian, semoga bahasan ringkas ini bermanfaat.

    Article : Blog Al-Islam


    Back to Top

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

    Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

    Translate

     
    Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
    Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger