BLOG AL ISLAM
Diberdayakan oleh Blogger.
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
▼
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ▼ Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
twitter
Live Traffic
Latest Post
Oktober 06, 2012
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga
menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan
ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat
mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan
kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Dari Sumber Artike : Muslim.or.Id - Penulis : Ustadz Kolid Syamhudi, Lc.
Di salin / tulis ulang pada Blog ini : Rachmat Flimban.
Iman dan Taqwa Landasan Mencapai Kesuksesan
Written By sumatrars on Sabtu, 06 Oktober 2012 | Oktober 06, 2012
Kategori: Akhlaq
dan Nasehat
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat
syirik.; Sehingga
Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu
tujuan tertentu dalam firmanNya :أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya
untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) suurga atau neraka.Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:- I’tisham bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
- I’tisham billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan:
“Poros kebahagian duniawi dan ukhrawi ada pada i’tisham billahi dan i’tisham
bihablillah. Tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan
dua hal ini. Sedangkan i’tisham
bihablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan i’tisham billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan
mencapai (keridhaan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam
perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan
menunjukinya ke jalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. i’tisham
bihablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang i’tisham billahi memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab
keselamatannya di perjalanan” (Bada’i Al Tafasir Al Jaami’ Litafsir Imam Ibni Qayyim Al Jauziyah, karya Yasri Al Sayyid Muhammad, terbitan Dar Ibnul Jauzi 1/506-507).
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Dari Sumber Artike : Muslim.or.Id - Penulis : Ustadz Kolid Syamhudi, Lc.
Di salin / tulis ulang pada Blog ini : Rachmat Flimban.
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Oktober 06, 2012
Fiqih Yakin Tidak Hilang Dengan Keraguan
Kaidah Fiqih
YAKIN TIDAK HILANG
DENGAN KERAGUAN
Sesuatu yang Yakin
Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan
Oleh:
Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf
خفظه الله
Publication: 1433 H_2012 M
Sumber: Web Penulis di AhmadSabiq.com
Sumber: Web Penulis di AhmadSabiq.com
Download ± 500 eBook Islam di
www.ibnumajjah.wordpress.com
KAIDAH FIQIH
اليَقِيْنُ
لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan.
MAKNA KAEDAH
اليَقِيْنُ
secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa
Arab
يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ
: yang artinya air itu tenang dikolam
Adapun
الشَكُّ
secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi
sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan
menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka
hal itu tidak dinamakan dengan
الشَكُّ.
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu
bertingkat tingkat, yaitu:
- اليَقِيْنُ : Keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
- الظَنُّ : persangkaan kuat Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
- الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
- الوَهْمُ : Persangkaan lemah Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
- الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
- الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui. (Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi
makna kaedah diatas adalah:
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa
dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang
diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.”
(Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al
Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)
DALIL KAEDAH
Kaedah
ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh
صلى الله عليه وسلم,
diantaranya:
Firman Alloh Ta’ala:
وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ
الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS.
Yunus : 36)
Hadits Rosululloh
صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh
رضي الله عنه
berkata : Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam
perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut)
ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara
atau mencium bau.” (HR.
Muslim : 362)
Imam Nawawi
رحمه الله
berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam
masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada
hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak
membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.”
(Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ
أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: “Bahwasannya ada seseorang yang
mengadu kepada Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh
bersabda: “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau
mencium bau.”
(HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
Imam
Al Khothobi
رحمه الله
berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang
yakin.”
(Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا
اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ
صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا
لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri
رضي الله عنه
berkata : Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya,
sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat,
maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian
dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat
maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata
sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim : 571)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ
يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ
لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ
فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ
وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari Abdur Rohman bin Auf
رضي الله عنه
berkata : “Saya mendengar Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia
tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka
anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin
apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru
sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah
sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga
rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdulloh bin Umar
رضي الله عنهما
berkata: “Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon,
juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika
hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.”
(HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar
رحمه الله
dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan,
namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh
memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang
keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan
yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan
bulan tiga puluh hari.”
KEDUDUKAN KAEDAH
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam islam, baik yang
berhubungan dengan fiqh maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan
bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat masalah fiqh atau mungkin malah
lebih.
(Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal : 51)
Imam Nawawi
رحمه الله
berkata :
“Kaedah ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua
permasalahan, dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.”
(Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar
رحمه الله
berkata :
“Para ulama telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia
ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya
keraguannya ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu
kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para
ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah
sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqh.”
(Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27)
Imam Al Qorrofi
رحمه الله
berkata:
“Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya
sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.”
(Al Furuq 1/111)
Imam Ibnu Najjar
رحمه الله
berkata :
“Kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa
dijadikan dalil bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya
dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan
bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang
dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu
dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukan
pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukan pada keharaman
serta masalah lainnya.”
(Lihat Syarah al Kaukab al Munir 4/443)
PENERAPAN KAEDAH
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua
permasalahan syar’i, maka cukup disini disebutkan sebagainnya saja sebagai
sebuah contoh :
- Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
- Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
- Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
- Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
- Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
- Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
- Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
-
Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia
sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau
pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti
kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa
hutangnya telah lunas.
Wallohu a’lam[]
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index,
qaidah
Oktober 06, 2012
Aqidah - Pertemanan Dengan Non Muslim
Kategori : Aqidah
Pertanyaan:
Saya tinggal bersama seorang teman yang beragama Nasrani. Kadang ia berkata
kepada saya: “Ya
akhi (wahai saudaraku)“, atau berkata “Kita
khan saudara“, kami juga makan dan minum bersama, apakah dibolehkan
melakukannya?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baaz -rahimahullah-
menjawab:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sungguh
orang mu’min itu bersaudara” (QS. Al Hujurat: 10)
Dan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
المسلم أخو المسلم
“Seorang
muslim itu saudara bagi muslim yang lain“
Maka yang saudara itu adalah sesama muslim, bukan orang kafir, baik dia Nasrani,
Yahudi, penyembah berhala, Majusi atau pun Syi’ah. Dan seorang muslim tidak
boleh menjadikan mereka sebagai sahabat karib. Namun bila sekedar makan bersama
sesekali, atau secara kebetulan kalian bertemu ketika makan, atau kalian makan
bersama dalam sebuah acara jamuan yang sifatnya umum, ini semua dibolehkan.
Adapun jika anda menjadikannya teman karib, teman yang sering jalan bersama,
sering makan bersama, ini tidak dibolehkan. Karena Allah telah memutuskan tali
cinta dan loyalitas antara kita dan mereka. Allah Ta’ala berfirman
dalam Al Qur’an:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ
قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al
Mumtahanah: 4)
Allah Ta’ala juga
berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يعني يحبون وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka”
(QS. Al Mujaadalah: 22)
Kesimpulannya, seorang muslim wajib untuk berlepas diri dari orang-orang musyrik
dan membenci mereka karena Allah. Namun,
tidak boleh mengganggu mereka, meneror mereka, atau berbuat yang melebihi batas
padahal anda tidak memiliki hak. Walau demikian, tetap tidak boleh
menjadikan mereka teman karib atau orang yang sangat disayangi. Adapun jika
secara kebetulan anda makan bersama dalam sebuah jamuan, atau secara kebetulan
menonton sesuatu bersama, tanpa menganggap dia sebagai teman karib dan tanpa ada
rasa loyal terhadapnya, hukumnya boleh.
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4872
Penerjemah: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 06, 2012
Aqidah - Dakwah Tauhid Kepada Keluarga
Kategori: Aqidah
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma
ba’du.
Dakwah tauhid merupakan tugas mulia. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Katakanlah
(Muhammad): Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Aku mengajak
kepada Allah (tauhid) di atas landasan bashirah/ilmu.” (QS.
Yusuf: 108)
Segenap rasul pun telah menunaikan tugas agung ini dengan penuh tanggung jawab.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh,
Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS.
An-Nahl: 36)
Ibrahim ‘alaihis
salam -dengan segenap perjuangan
dan pengorbanannya dalam mendakwahkan tauhid- pun pada akhirnya meraih predikat
yang sangat mulia sebagai Khalil/kekasih Allah. Itu berangkat dari ketulusan
beliau dalam mendakwahkan ajaran yang hanif ini kepada kaumnya.
Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh
telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Kami berlepas
diri dari kalian dan dari segala sesembahan kalian selain Allah. Kami
mengingkari kalian dan telah tampak jelas antara kami dengan kalian permusuhan
dan kebencian untuk selamanya, sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS.
Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam pun
melanjutkan ajaran tauhid yang diserukan oleh para pendahulunya setelah Allah
turunkan wahyu kepadanya. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Wahai
orang yang berselimut. Bangkit dan berikanlah peringatan. Tuhanmu, maka
agungkanlah. Pakaianmu, maka sucikanlah. Dan berhala-berhala itu, maka jauhilah.” (QS.
Al-Muddatstsir: 1-5)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Allah
telah mengutus beliau dengan misi memberi peringatan dari syirik dan untuk
mengajak kepada tauhid.” (risalah Tsalatsat
al-Ushul)
Dakwah yang mereka serukan adalah ajakan untuk menjadikan Allah -Sang Penguasa
langit dan bumi- sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya tempat bergantung,
satu-satunya tumpuan rasa cinta, takut dan harapan. Mereka menolak segala bentuk
persekutuan hak-hak Allah dengan pujaan-pujaan selain-Nya, apakah ia berwujud
malaikat, nabi, matahari, bulan, bintang, batu, atau pepohonan. Tidak ada yang
berhak diibadahi kecuali Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha
Pemberi Rizki dan Pemilik Kekuatan yang maha dahsyat.
Allah ta’ala menceritakan
tentang dakwah Ibrahim ‘alaihis
salam kepada ayahnya (yang
artinya), “Wahai
ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat,
bahkan tidak bisa memberikan manfaat kepadamu barang sedikit pun? Wahai ayahku,
sesungguhnya telah datang kepadaku suatu ilmu yang belum datang kepadamu, maka
ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus itu. Wahai
ayahku, janganlah engkau memuja setan. Karena sesungguhnya setan itu durhaka
kepada ar-Rahman.” (QS. Maryam:
42-44)
Sebuah dialog yang indah. Sebuah dakwah yang tumbuh dan berkembang karena
perasaan kasih sayang kepada sesama. Mencintai kebaikan bagi saudaranya
sebagaimana seorang mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Oleh sebab
itulah para rasul berusaha untuk mengajak sanak keluarganya untuk bersama-sama
menjadi hamba Allah semata, bukan hamba selain-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh
Ibrahim ‘alaihis
salam dan juga Nabi kita
Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bahkan segenap para rasul pun memberikan keteladanan
yang serupa kepada kita. Adakah seorang anak yang suka ayahnya sendiri menjadi
penghuni neraka? Adakah seorang keponakan yang suka apabila pamannya sendiri
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala? Adakah seorang ayah suka apabila
anak cucunya menjadi para pelestari tradisi pemujaan terhadap berhala?!
Inilah dakwah yang penuh dengan kasih sayang kepada umat manusia. Dakwah yang
mengajak mereka untuk mengentaskan diri dari berlapis-lapis kegelapan menuju
cahaya. Dari kegelapan dosa dan maksiat menuju
cahaya ketaatan. Dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan. Dari kegelapan syirik menuju
cahaya tauhid. Dari kegelapan bid’ah menuju cahaya sunnah.
Inilah dakwah yang akan mempertemukan nenek moyang dan keturunan mereka di atas
jembatan keimanan dan tauhid yang tertanam kuat dalam hati sanubari dan merasuk
dalam sendi-sendi kehidupan.
Inilah dakwah kepada persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan yang terjalin di
atas simpul keimanan dan semakin menguat dengan ikatan-ikatan ketakwaan. Inilah
dakwah kepada persatuan dan peringatan dari segala bentuk percerai-beraian.
Bersatu dalam memegang teguh tali Allah, bersatu dalam naungan hizb Allah, dan
bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Allah, hizb asy-Syaitan dan menundukkan
berbagai keinginan nafsu yang terlarang. Inilah dakwah tauhid.
Inilah dakwah Ibrahim ‘alaihis
salam kepada ayahnya, inilah
dakwah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada paman
dan sanak familinya, inilah dakwah Luqman -seorang ayah yang salih- kepada
putranya…
Inilah dakwah yang akan menyelamatkan diri seorang dan sanak kerabatnya dari
jilatan api neraka. Inilah dakwah yang mencetak generasi yang berbakti kepada
ayah bunda. Inilah dakwah yang mencetak para pemuda yang tumbuh dewasa di atas
ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Inilah dakwah yang mendidik para wanita
beriman yang patuh kepada perintah Allah ta’ala,
agar mereka menjulurkan jilbab-jilbab mereka dan tidak bersolek sebagaimana
tingkah laku wanita jahiliyah.
Inilah dakwah yang akan menundukkan hati-hati manusia kepada hukum Rabb alam
semesta.
Oleh sebab itu, sudah semestinya bagi setiap penuntut ilmu untuk memiliki
semangat dalam menebarkan cahaya hidayah ini kepada umat manusia, terlebih lagi
kepada saudara dan keluarganya. Sungguh, apabila seorang saja yang mendapatkan
hidayah dari Allah dengan perantara dirinya maka itu jauh lebih berharga
daripada unta-unta yang berwarna merah. Maka bagaimana lagi jika sepuluh orang,
seratus orang, atau bahkan jutaan orang mendapatkan hidayah melalui tangannya.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran, dan
saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS.
Al-’Ashr: 1-3)
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan
siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak kepada Allah
dan dia juga beramal salih. Dia pun berkata: Sesungguhnya aku ini termasuk
orang-orang yang berserah diri/muslim.” (QS.
Fushshilat: 33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang menuntut ilmu untuk menghidupkan kembali ajaran Islam maka dia termasuk
golongan shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Dengan ilmu dan
amal, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki dirinya.
Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 06, 2012
Aqidah - Benarkah Rasulullah Ada Dimana-Mana
Benarkah Rasulullah Ada Dimana-Mana?
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”” (QS. Al A’raf: 188)
Ayat-ayat lain yang maknanya senada sangatlah banyak.
Pertanyaan:
Benarkah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam saat ini ada dimana-mana? Lalu apakah beliau mengetahui perkara
gaib?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baz -rahimahullah-
menjawab:
Tentunya kita semua tahu baik secara logika maupun berdasarkan dalil-dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berada dimana-mana. Yang benar jasad beliau saat ini berada di makamnya yaitu di kota Madinah Al Munawwarah. Sedangkan ruh beliau ada di Rafiqul A’laa, yaitu di surga. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits shahih, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika menjelang wafatnya:
Tentunya kita semua tahu baik secara logika maupun berdasarkan dalil-dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berada dimana-mana. Yang benar jasad beliau saat ini berada di makamnya yaitu di kota Madinah Al Munawwarah. Sedangkan ruh beliau ada di Rafiqul A’laa, yaitu di surga. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits shahih, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika menjelang wafatnya:
اللهم في الرفيق الأعلى
“Ya
Allah, di Rafiqul A’la” (Al Bukhari di bab Al
Jumu’ah (850), juga di Sunan At Tirmidzi bab Ad
Da’awat (3496), di Sunan An Nasa’i bab Al
Jana’iz (1830), Sunan Ibnu Majah bab Maa
Ja’a Fil Jana’iz (1619), di Musnad Ahmad bin Hambal (6/200), di Muwatha Malik
bab Jana’iz (562))
sebanyak 3 kali lalu beliau wafat.
Para ulama Islam di kalangan para sahabat dan yang setelah mereka telah
bersepakat bahwa RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam dimakamkan di rumah ‘Aisyah Radhiallahu’anha,
bersebelahan dengan masjid beliau yang mulia. Dan jasad beliau tetap berada di
sana sampai masa sekarang. Sedangkan ruh beliau, juga ruh para Nabi dan Rasul
yang lain, serta ruh orang-orang mu’min semuanya di surga, namun keadaan mereka
bertingkat-tingkat sesuai dengan kekhususan yang Allah berikan dalam hal ilmu dan
iman juga dalam hal kesabaran dalam menghadapi rintangan di jalan dakwah.
Sedangkan mengenai perkata gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah
semata. Adapun RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam serta orang-orang setelah beliau hanya mengetahui hal gaib sebatas
yang telah diberitahu oleh Allah saja. Yaitu yang telah dikabarkan melalui Al
Qur’anul Karim dan hadits, semisal pengetahuan tentang surga, neraka, gambaran
keadaan hari kiamat, atau perkara lain yang terdapat penjelasan dari Al Qur’anul
Karim dan hadits yang shahih. Semisal itu juga, pengetahuan tentang turunnya
Dajjal, akan terbitnya matahari dari barat, keluarnya dabbah, turunnya Nabi Isa
Al Masih bin Maryam di akhir zaman, atau perkara-perkara lainnya.
Berdasarkan firman Allah Azza
Wa Jalla di surat An Naml :
“Katakanlah:
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”
(QS. An Naml: 65)
Juga firman Allah di surat Al An’am:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib” (QS. Al An’am: 50)
Juga firman Allah di surat Al A’raf:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ
كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”” (QS. Al A’raf: 188)
Ayat-ayat lain yang maknanya senada sangatlah banyak.
Terdapat banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak mengetahui perkara gaib. Salah satunya sabda beliau ketika
ditanya oleh Jibril tentang kapan terjadinya kiamat:
ما المسئول عنها بأعلم من السائل
“Yang
bertanya (Malaikat Jibril) pun tidak lebih mengetahui dari yang ditanya (Rasulullah)”
(HR. Al Bukhari bab Al
Iman, no.50; Muslim bab Al
Iman, no.10; An Nasa’i bab Al
Iman Wa Syara’i-’u-hu , no. 4991; Ibnu Majah bab Muqaddimah, no. 64; Ahmad,
2/426)
Kemudian beliau ditanya tentang 5 tanda kiamat yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah, beliau membacakan ayat Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah
Yang menurunkan hujan” (QS. Luqman: 34)
Dalil lain, ketika ahlul
ifki menuduh ‘Aisyah Radhiallahu’anha berbuat
zina, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tidaklah mengetahui tuduhan tersebut benar ataukah bohong, sampai
akhirnya turun wahyu dari Allah dalam surat An Nur.
Dalil lain, ketika ‘Aisyah ikut pada sebagian peperangan, kalungnya hilang.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pun tidak mengetahui dimana kalung tersebut berada sehingga beliau
mengutus beberapa orang untuk mencarinya namun hasilnya nihil. Setelah unta
milik ‘Aisyah berdiri barulah diketahui ternyata kalung tersebut selama ini ada
di bawah unta. Ini beberapa hadits dari sekian banyak hadits yang
menunjukkan bahwa RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam tidak mengetahui hal gaib.
Sedangkan apa yang disangkakan oleh sebagian orang sufi bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam mengetahui hal gaib dan beliau hadir di perayaan-perayaan mereka
semisal mereka menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam hadir di tengah mereka ketika perayaan Maulid Nabi, atau perayaan
yang lain, ini semua adalah sangkaan yang salah dan tidak memiliki dasar.
Keburukan ini disebabkan oleh ketidak-pahaman mereka terhadap Al Qur’an dan hadits sebagaimana
yang dipahami oleh salafus
shalih.
Kita memohon kepada Allah semoga kita dan kaum muslimin semua diberi keselamatan
dari musibah yang
menimpa mereka, kita juga memohon kepada Allah agar memberikan petunjuk bagi
kita dan seluruh kaum muslimin kepada jalan yang lurus. Sungguh Allah maha
mendengar dan mengabulkan doa.
Sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/2496
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...