?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Kaidah Fiqih
YAKIN TIDAK HILANG
DENGAN KERAGUAN
Sesuatu yang Yakin
Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan
Oleh:
Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf
خفظه الله
Publication: 1433 H_2012 M
Sumber: Web Penulis di AhmadSabiq.com
Sumber: Web Penulis di AhmadSabiq.com
Download ± 500 eBook Islam di
www.ibnumajjah.wordpress.com
KAIDAH FIQIH
اليَقِيْنُ
لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan.
MAKNA KAEDAH
اليَقِيْنُ
secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa
Arab
يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ
: yang artinya air itu tenang dikolam
Adapun
الشَكُّ
secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi
sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan
menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka
hal itu tidak dinamakan dengan
الشَكُّ.
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu
bertingkat tingkat, yaitu:
- اليَقِيْنُ : Keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
- الظَنُّ : persangkaan kuat Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
- الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
- الوَهْمُ : Persangkaan lemah Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
- الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
- الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui. (Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi
makna kaedah diatas adalah:
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa
dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang
diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.”
(Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al
Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)
DALIL KAEDAH
Kaedah
ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh
صلى الله عليه وسلم,
diantaranya:
Firman Alloh Ta’ala:
وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ
الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS.
Yunus : 36)
Hadits Rosululloh
صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh
رضي الله عنه
berkata : Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam
perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut)
ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara
atau mencium bau.” (HR.
Muslim : 362)
Imam Nawawi
رحمه الله
berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam
masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada
hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak
membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.”
(Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ
أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: “Bahwasannya ada seseorang yang
mengadu kepada Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh
bersabda: “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau
mencium bau.”
(HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
Imam
Al Khothobi
رحمه الله
berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang
yakin.”
(Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا
اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ
صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا
لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri
رضي الله عنه
berkata : Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya,
sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat,
maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian
dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat
maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata
sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim : 571)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ
يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ
لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ
فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ
وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari Abdur Rohman bin Auf
رضي الله عنه
berkata : “Saya mendengar Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia
tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka
anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin
apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru
sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah
sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga
rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdulloh bin Umar
رضي الله عنهما
berkata: “Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon,
juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika
hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.”
(HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar
رحمه الله
dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan,
namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh
memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang
keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan
yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan
bulan tiga puluh hari.”
KEDUDUKAN KAEDAH
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam islam, baik yang
berhubungan dengan fiqh maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan
bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat masalah fiqh atau mungkin malah
lebih.
(Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal : 51)
Imam Nawawi
رحمه الله
berkata :
“Kaedah ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua
permasalahan, dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.”
(Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar
رحمه الله
berkata :
“Para ulama telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia
ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya
keraguannya ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu
kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para
ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah
sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqh.”
(Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27)
Imam Al Qorrofi
رحمه الله
berkata:
“Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya
sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.”
(Al Furuq 1/111)
Imam Ibnu Najjar
رحمه الله
berkata :
“Kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa
dijadikan dalil bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya
dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan
bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang
dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu
dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukan
pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukan pada keharaman
serta masalah lainnya.”
(Lihat Syarah al Kaukab al Munir 4/443)
PENERAPAN KAEDAH
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua
permasalahan syar’i, maka cukup disini disebutkan sebagainnya saja sebagai
sebuah contoh :
- Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
- Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
- Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
- Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
- Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
- Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
- Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
-
Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia
sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau
pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti
kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa
hutangnya telah lunas.
Wallohu a’lam[]
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar