Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Written By sumatrars on Jumat, 29 Desember 2023 | Desember 29, 2023



Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj
Source article: Abunamirah.Wordpress.com

Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala

Sebelum kami menyebutkan satu persatu kemungkaran-kemungkaran dalam perayaan maulid ini, di sini kami akan bawakan beberapa perkataan para ulama mengenai bentuk-bentuk perayaan maulid.

Para ulama telah membagi pelaksanaan perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- menjadi dua bentuk:

Pertama: Perayaan maulid yang kosong dari bentuk-bentuk kemungkaran dan maksiat. Hukum perayaan yang seperti ini adalah bid’ah dan baginya hukum-hukum bid’ah. Adapun perkataan para ulama tentang bentuk yang pertama ini akan kami paparkan pada bab setelah ini.

Muhammad bin Muhammad ibnul Hajj Al-Maliky -rahimahullah- berkata dalam Al-Madkhal (2/312), “Jika perayaan maulid kosong darinya -yakni dari mendengar nyanyi-nyanyian dan kemungkaran-kemungkaran yang mengikutinya- dan hanya sekedar acara makan-makan dengan meniatkannya (sebagai perayaan) maulid lalu mengundang saudara-saudaranya (kaum muslimin), serta perayaannya selamat dari semua perkara yang telah kami sebutkan berupa kerusakan-kerusakan, maka dia (tetap) merupakan bid’ah dengan semata-mata niatnya. Karena hal tersebut (perayaan maulid) adalah tambahan dalam agama dan bukan termasuk amalan para ulama salaf terdahulu”.

Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihany -rahimahullah- menyatakan dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid ketika beliau menyebutkan dua bentuk perayaan maulid,

Yang pertama: Seseorang mengerjakannya (perayaan maulid) dari uang pribadinya untuk keluarga, teman-teman, dan kerabatnya, mereka tidak melampaui batas dari sekedar berkumpul untuk makan-makan dan mereka tidak mengerjakan sesuatu dosapun, maka bentuk yang kami paparkan ini adalah merupakan bid’ah yang dibenci dan tercela, karena tidak pernah dikerjakan oleh para pendahulu dari kalangan orang-orang yang taat, yang mereka ini adalah fuqoha` (ahli fiqhi) Islam, ulama seluruh makhluk, penerang di setiap zaman, dan perhiasan semua tempat”.

Juga Syaikh Sholeh Al-Fauzan -hafizhohullah- berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikro Al-Maulid An-Nabawy,

Termasuk perkara-perkara yang dimunculkan oleh manusia berupa bid’ah-bid’ah yang mungkar adalah perayaan memperingati maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) di bulan Rabi’ul Awwal. Mereka dalam perayaan ini ada beberapa bentuk: Di antara mereka ada yang sekedar berkumpul, lalu dibacakan di dalamnya kisah maulid atau diadakan ceramah dan (pembacaan) sya’ir-syair dalam acara ini. Di antara mereka ada yang membuat makanan, kue-kue, dan selainnya lalu menyuguhkannya kepada orang-orang yang hadir, dan di antara mereka ada yang merayakannya di mesjid-mesjid dan di antara mereka ada yang merayakannya di rumah-rumah”.

Bentuk Kedua: Perayaan maulid yang dibumbui atau bahkan dipenuhi dengan kemungkaran-kemungkaran serta perkara-perkara yang diharamkan. Bentuk kedua ini ibarat kegelapan di atas kegelapan, karena asalnya perayaan maulid ini sudah merupakan bid’ah malah dihiasi dengan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, wal’iyadzu billah. Berikut perkataan sebagian ulama yang berkenaan dengan bentuk kedua ini:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam sebuah fatwa beliau -sebagaimana dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau-,

Adapun berkumpul-kumpul untuk merayakan maulid disertai nyanyian, tarian dan yang semisalnya serta menjadikannya sebagai suatu ibadah, maka tidak ada seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan iman yang ragu bahwa hal ini termasuk di antara kemungkaran yang dilarang, serta tidak ada yang menganggap baik amalan seperti ini kecuali orang yang bodoh atau munafiq”.

Al-Fakihany -rahimahullah- berkata dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid,

“(Bentuk) Yang kedua, yaitu perayaan (maulid) yang dimasuki oleh berbagai pelanggaran-pelanggaran -lalu beliau menyebutkan beberapa kemungkaran-kemungkaran perayaan maulid, seraya berkata-, ”Bentuk yang seperti ini tidak ada dua orang yang berselisih tentang keharamannya dan tidak akan dianggap baik oleh orang yang memiliki kewibawaan. Tidak ada yang menghalalkan perbuatan ini kecuali jiwa-jiwa yang telah mati hatinya …”.

Syaikh Al-Fauzan -hafizhohullah- berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy,

Di antara mereka (orang-orang yang merayakan maulid), ada yang (cara perayaannya) tidak terbatas pada sesuatu yang telah kita sebutkan (yakni tanpa ada kemungkaran), akan tetapi dia menjadikan pertemuan tersebut berisi perkara-perkara haram dan mungkar, seperti bercampur-baurnya lelaki dan wanita, tarian dan nyanyian, atau amalan-amalan kesyirikan, seperti beristigotsah (permintaan tolong dalam keadaan sangat genting) kepada Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, menyeru (berdo’a kepada) beliau, meminta pertolongan kepada beliau agar dimenangkan atas musuh-musuh, dan selainnya …”.

Beberapa Kemungkaran yang Terjadi dalam Perayaan Maulid

Semua kemungkaran yang akan kami sebutkan di sini adalah ada dan terjadi dalam perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Hanya saja mungkin sebahagian dari kemungkaran-kemungkaran ini tidak terdapat pada sebahagian negeri/daerah. Yang jelas kemungkaran-kemungkaran inilah yang disebutkan oleh para ulama -yang mereka ini telah meneliti tata cara maulid- dalam kitab-kitab mereka. Kemudian jumlah kemungkaran yang akan kami sebutkan bukanlah menunjukkan pembatasan bahwa kemungkarannya hanya itu. Akan tetapi masih banyak kemungkaran-kemungkaran lain yang mungkin lebih berbahaya dari apa yang akan kita sebutkan, terutama di negeri kita Indonesia ini. Oleh karena itulah, apa yang kami sebutkan di bawah hanyalah sekedar contoh yang mewakili semua kemungkaran-kemungkaran tersebut.

Berikut uraiannya:

  1. Meyakini disyari’atkannya perayaan maulid.

  2. Padahal amalan ini adalah penentangan yang besar terhadap syari’at karena dia adalah bid’ah yang mungkar. Serta meyakini kesyirikan yang terjadi di dalamnya -berupa penyembahan kepada Nabi Muhammad- sebagai ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Maka apakah ada keyakinan yang paling rusak dibandingkan meyakini bid’ah sebagai sunnah dan meyakini kesyirikan sebagai ibadah ?!

  3. Meyakini bahwa barangsiapa yang mendapati pada hari itu (hari maulid) satu saat ketika keluarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-

  4. Lalu dia berdo’a kepada Allah saat itu, maka pasti akan terkabulkan. Ini mereka kiaskan dengan adanya satu waktu pada hari Jum’at yang padanya dikabulkan do’a, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda tentang hari Jum’at:

    Di dalamnya terdapat satu waktu, seorang hamba yang muslim tidaklah mendapatinya sedang dia dalam keadaan berdo’a, memohon sesuatu kepada Allah -‘Azza wa Jalla-, kecuali Allah akan kabulkan permintaannya”. (HR. Al-Bukhary no. 893 dan Muslim no. 852)

    Mereka menyatakan, “Jika hari Jum’at yang Nabi Adam -‘alaihis salam- 1 diciptakan padanya, Allah jadikan padanya satu waktu, yang apabila seorang hamba berdo’a kepada Allah pada saat itu niscaya akan dikabulkan, maka bagaimana lagi dengan hari yang di dalamnya dilahirkan pimpinan para Nabi dan Rasul?!. Tentunya berdo’a pada saat itu lebih dikabulkan”. [Lihat Al-Mawahib karya Al-Qosthollany (1/132)]

    Bantahan:

    Orang yang mempunyai ilmu agama yang paling minim pun akan mengetahui rusaknya kias yang seperti ini. Karena terkabulnya do’a pada hari Jum’at diketahui dengan adanya nash dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Adapun perayaan maulid adalah acara kerusakan yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya berlepas darinya, sehingga tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a pada waktu itu.

    Pernyataan ini telah disanggah oleh Syaikh Az-Zarqony di dalam syarh beliau terhadap kitab Al-Mawahib ini (1/132-133). Beliau berkata,

    Kalau yang dia (Al-Qistholany) inginkan (dengan pernyataannya ini) adalah bahwa pada hari itu (kelahirannya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-) dan yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) sampai Hari Kiamat, padanya ada satu waktu (yang dikabulkan padanya do’a) sama seperti satu waktu yang ada pada hari Jum’at (yang dikabulkan padanya do’a) atau lebih afdhol dari itu, maka pendalilannya (pengqiasannya/penganalogian) ini adalah pengqiasan yang rusak.

    Kalau yang dia inginkan adalah waktu itu sendiri (yaitu waktu kelahiran Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- saja, bukan hari maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat), maka (ketentuan/ilmu) tentang adanya satu waktu pada hari Jumat (yang dikabulkan padanya do’a) belum ada pada saat itu (yakni pada saat Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- lahir). Akan tetapi ketentuannya datang dalam hadits-hadits yang shohih beberapa lama setelah itu (yaitu setelah diutusnya beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sebagai seorang Rasul).

    Jadi kalau begitu, tidak mungkin keduanya bisa bertemu sehingga bisa dikatakan yang satunya lebih afdhol dari yang lainnya. Sementara yang satunya (hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam-) telah habis (telah berlalu) dan yang lainnya (yaitu hari Jum’at dan satu waktu yang adanya padanya) terus menerus ada sampai saat ini dan syariat telah menegaskan tentang hal tersebut. Sementara dari sisi lain, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hari kelahiran Nabi dan hari-hari yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) di dalamnya terdapat satu waktu dikabulkannya do’a pada saat itu.

    Oleh karena itu, yang wajb bagi kita hanyalah bersandar penuh dengan apa yang datang dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- kepada kita (berupa dalil yang shahih) dan tidak boleh bagi kita membuat suatu perkara baru (bid’ah) -dalam agama- dari diri kita yang sangat lemah ini, kecuali dengan mengambil dari beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-“.

  5. Mereka meyakini bahwa malam maulid lebih afdhol daripada Lailatul Qadr.

  6. Hal ini -menurut mereka- bisa ditinjau dari tiga sisi :

    1. Bahwa malam maulid adalah malam hadirnya (lahirnya) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sedangkan lailatul Qadr merupakan pemberian Allah kepada beliau.

    2. Lailatul Qadr dimuliakan dengan turunnya para malaikat, sedangkan malam maulid dimuliakan dengan hadirnya (lahirnya) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.

    3. Lailatul Qadr keutamaannya terkhusus buat ummat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sedangkan malam maulid adalah keutamaannya meliputi seluruh makhluk. Karena beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.

    Bantahan:

    Ini adalah pendalilan yang tidak menguntungkan orang yang berdalil dengannya. Karena, jika yang diinginkan dengan malam maulid adalah malam lahirnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan malam maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat lebih afdhol daripada Lailatul Qadr, maka ini adalah kesalahan yang sangat nyata dan jelas.

    Dan jika yang diinginkan dengannya, hanya malam yang Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam- dilahirkan saja (bukan malam maulid tiap tahunnya), maka Lailatul Qadr belum ada ketika malam lahirnya beliau sehingga tidak mungkin keduanya bertemu. Karena Lailatul Qadr ada setelah berlalunya puluhan tahun dari malam kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, sehingga tidak mungkin bisa diperbandingkan. Ini adalah jawaban dari Asy-Syihab Al-Haitamy -rahimahullah- sebagaimana dalam Syarh Al-Mawahib (1/136).

    Kemudian, Lailatul Qadr telah dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur`an sedangkan malam maulid, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan tentang keutamaannya, baik dari Al-Qur`an maupun dari Sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan tidak pula dari perkataan seorangpun dari ulama ummat ini. (Lihat Al-Mauridur Rowy hal. 52 karya ‘Ali Qori`)

    Dari sisi yang lain, beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan pada siang hari, bukannya malam hari sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Qotadah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- ditanya tentang hari Senin, maka beliau menjawab :

    Itu adalah hari yang saya dilahirkan padanya” (Telah berlalu takhrijnya ).

    Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa beliau dilahirkan di siang hari dan beliau tidak berkata, “Itu adalah malam yang saya dilahirkan padanya”. Ini disebutkan oleh Imam Abu Hafsh Al-Fakihany dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid hal. 74-75.

  7. Meyakini bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- keluar dari kuburnya bersama jasad atau hanya ruh beliau- dan menghadiri acara maulid.

  8. Syaikh bin Baz -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan rusaknya keyakinan ini dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, hal 13-14,

    “Sebagian mereka (yakni yang merayakan maulid) menyangka (meyakini) bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (keluar dari kubur beliau) menghadiri acara maulid. Oleh karena itu, mereka berdiri untuknya sebagai ucapan selamat dan penyambutan.

    Ini adalah termasuk kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang jelek, karena sesungguhnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat, tidak pernah berhubungan dengan seorangpun dari manusia dan tidak menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka. Akan tetapi beliau terus-menerus berada di kubur beliau sampai hari kiamat, sedangkan ruh beliau berada di tempat yang paling tinggi di sisi Rabbnya dalam negeri kemuliaan, sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam surah Al-Mu`minun:

    Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kalian seluruhnya benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kalian seluruhnya akan dibangkitkan (dari kubur) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu`minun : 15-16)

    Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:

    Saya adalah pimpinannya anak Adam pada hari kiamat, orang yang paling pertama dibangkitkan dari kuburnya, yang pertama kali memberi syafa’at dan yang pertama kali diizinkan memberi syafa’at”. (HR. Muslim no. 2278 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-)

    Atas beliau sholawat dan salam yang paling mulia dari Rabbnya. Jadi, ayat yang agung ini dan hadits yang mulia ini, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, semuanya menunjukkan bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan selain beliau dari kalangan orang-orang yang sudah meninggal, seluruhnya mereka hanya akan keluar dari kuburnya pada hari kiamat….”.

  9. Berdiri ketika Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- hadir -menurut sangkaan mereka- sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada beliau.

  10. Telah dimaklumi bahwa menghormati Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- itu hanya dengan cara yang disyariatkan. Adapun cara yang seperti ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dalam Islam, bahkan merupakan perkara yang diharamkan.

    Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hajjawy Ats-Tsa’alaby Al-Fasy di dalam kitab beliau Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islamy (1/93) sebagaimana yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihany di dalam Al Maurid fi Hukmil Maulid, beliau (Syaikh Muhammad bin Hasan) berkata,

    Dan di antara al-istihsan (anggapan-anggapan baik) yang diharamkan adalah berdiri ketika hadirnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- -menurut sangkaan mereka-, karena telah datang nash-nash yang shorih (jelas/tegas) yang melarang hal tersebut….”.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata di dalam Ziyaratul Qubur wal Istinjadu bil Maqbur, hal. 55-57 ketika beliau ditanya, “Apa hukumnya meletakkan kepala (di bawah) dan mencium lantai/tanah untuk menghormati orang-orang besar?”. Maka beliau menjawab,

    Adapun meletakkan kepala untuk memuliakan orang-orang besar dari kalangan syaikh-syaikh dan yang selain mereka atau mencium lantai dan yang semisalnya, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan imam-imam/ulama (kaum muslimin) tentang terlarangnya (haramnya) hal tersebut. Bahkan menundukkan punggung sedikit saja untuk selain Allah -’Azza wa Jalla- merupakan perkara yang terlarang”.

    Lalu beliau menyebutkan dalil tentang hal tersebut seraya berkata,

    “Telah tsabit dalam hadits yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata, bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (pernah) shalat mengimami para sahabat dalam keadaan duduk karena sakit yang beliau alami, sedang mereka (para sahabat) shalat dalam keadaan berdiri. Maka beliau perintahkan para sahabat untuk duduk lalu beliau berkata, [“Janganlah kalian mengagungkan saya sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab) sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain”]. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda dalam hadits yang lain, [“Barang siapa yang senang manusia berdiri untuk (menghormati) nya maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di dalam neraka”]…”.

    Kemudian beliau (syaikhul Islam) berkata,

    Maka sebagai kesimpulan bahwa berdiri (untuk menghormati), duduk, rukuk, dan sujud hanyalah hak Allah -’Azza wa Jalla- satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi. Jadi apa saja yang merupakan hak Allah, maka tidak boleh dipalingkan kepada siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya….”.

    Kemudian dari sisi yang lain, berdiri yang seperti ini -yakni untuk membesarkan dan mengagungkan makhluk- adalah termasuk ibadah gerakan dalam shalat sehingga tidak boleh melakukannya kepada selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Oleh karena itulah, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sangat marah dan menegur para sahabat beliau tatkala mereka berdiri untuk menyambut beliau.

    Beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:

    Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab), sebagian mereka (berdiri untuk) mengagungkan sebagian yang lain”. (HR. Abu Daud no. 5230 dari Abu Umamah Al-Bahily -radhiyallahu ‘anhu-)

    [Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany -rahimahullah- dalam Adh-Dho’ifah no. 346, akan tetapi kandungan maknanya benar dan dikuatkan oleh hadits setelahnya. Wallahu A’lam. [ed.]]

    Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- telah berkata mengisahkan keadaan para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- :

    Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa wasallam-, (Sekalipun demikian) mereka jika melihat beliau (Nabi-Shollallahu alaihi wasallam-), maka mereka tidak berdiri karena mereka tahu akan kebencian beliau terhadap hal tersebut”. (HR. At-Tirmidzy no. 2754)

  11. Berdo’a, beristianah (meminta pertolongan), beristighotsah (meminta pertolongan pada waktu genting), dan beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-

  12. Walaupun sekedar menjadikan beliau sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Padahal do’a adalah sebesar-besar ibadah, yang secara umum kapan suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah -baik itu malaikat yang paling dekat dengan Allah maupun Nabi yang paling mulia-, maka hal itu termasuk syirik akbar yang membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam api neraka, jika tidak bertaubat sebelum meninggalnya.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman memerintahkan berdo’a langsung kepadanya tanpa ada perantara:

    “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghofir : 60)

    Bahkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah menegaskan:

    Do’a adalah ibadah”.

    (HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmidzy no. 2969, 3247, An-Nasa`iy dalam Al-Kubro no. 11464, dan Ibnu Majah no. 3828 dari Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 3407)

    Sedangkan isti’anah, istighotsah, dan isti’adzah adalah termasuk bentuk-bentuk doa sehingga harus diserahkan hanya kepada Allah.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 4)

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- juga berfirman:

    (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (QS. Al-Anfal : 9)

    Tentang isti’adzah, Allah -‘Azza wa Jalla- memerintahkan para hamba untuk meminta perlindungan hanya kepada-Nya:

    “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”. (QS. Al-Falaq : 1)

    “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia”. (QS. An-Nas : 1)

    Syaikh Ahmad bin Nashir Al-Ma’mary An-Najdy -rahimahullah- berkata di dalam Al-Hadiyyah As-Saniyyah wat Tuhfatul Wahhabiyyah, hal. 45,

    “Yang kami yakini dan kami beragama dengannya bahwa barangsiapa yang berdo’a kepada seorang nabi atau seorang wali atau yang lainnya, lalu ia meminta kepada mereka supaya memenuhi hajatnya dan menghilangkan kesusahannya, maka ini adalah kesyirikan yang sangat besar, karenanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- mengkafirkan orang-orang musyrikin. Sebab dahulu mereka telah menjadikan para wali (dan yang semisalnya) sebagai pemberi syafa’at yang bisa memberikan manfaat atau menolak bahaya menurut sangkaan mereka, sementara Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata; “Mereka itu adalah pemberi syafa`at kami di sisi Allah”. Katakanlah; “Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka mempersekutukan”. (QS. Yunus : 18)”.

    -selesai ucapan beliau-

    Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah- berkata di dalam Majmu’ Fatawa (2/388) ketika beliau ditanya, “Apakah termasuk kesyirikan apabila seseorang berkata di sudut bumi manapun, [“Wahai Muhammad…..!, wahai Rasulullah (berdo’a atau minta pertolongan kepadanya)?]”.

    Beliau menjawab,

    Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menjelaskan di dalam kitab-Nya yang sangat mulia dan melalui lisan Rasul-Nya yang terpercaya, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bahwa ibadah seluruhnya hanyalah milik Allah dan tidak ada hak sedikitpun juga (dari ibadah tersebut) bagi selain-Nya dan sesungguhnya do’a termasuk bagian dari ibadah.

    Jadi, barang siapa yang berkata di sudut bumi manapun juga, [“Wahai Rasulullah….!, wahai Nabi Allah….! atau Nabi Muhammad….!, tolonglah saya, selamatkanlah saya, berikan syafa’at kepada saya, tolonglah umatmu, sembuhkanlah yang sakit dari kaum muslimin, berilah petunjuk kepada mereka”], atau kalimat-kalimat yang semisal itu, maka sungguh dia telah menjadikan tandingan/sekutu bersama Allah di dalam (penyerahan) ibadah.

    Demikian pula hukumnya orang yang melakukan perbuatan seperti ini kepada selain beliau (Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-) dari kalangan para nabi atau para malaikat, wali-wali, berhala-berhala atau yang selainnya dari kalangan makhluk ini. Karena Allah -Azza wa Jalla- berfirman:

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Azzariyat : 56)

    Allah berfirman:

    Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 21)”.

    -Selesai ucapan beliau-

  13. Menyembelih untuk selain Allah.

  14. Ini juga termasuk pembatal keislaman seseorang, karena menyembelih untuk Allah adalah termasuk ibadah harta (maliyah) terbesar yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- perintahkan. Maka memalingkannya untuk selain Allah adalah termasuk kesyirikan yang paling besar.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

    “Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. (QS. Al-An’am : 162)

    Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah mengancam orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah dengan laknat dari-Nya, melalui sabda beliau:

    Allah melaknat orang yang menyembelih kepada selain Allah”. (HR. Muslim no. 1978 dari ‘Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu ‘anhu-)[ Hadits itu juga bisa bermakna do’a laknat untuk mereka. Maka hendaknya orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah takut terhadap do’a ini. [ed]]

  15. Pembacaan sajak-sajak atau sholawat-sholawat bid’ah

  16. Bahkan ada yang sampai pada tingkat kesyirikan, seperti sebuah kitab sholawat -menurut mereka- yang berjudul Maulidul Barzanjy karya Ja’far bin Hasan Al-Barzanjy, Qoshidatul Burdah karya Al-Bushiry [Telah berlalu penyebutan beberapa kesalahan yang terdapat dalam kedua kitab ini pada bab keutamaan sholawat], Syaraful Anam, dan selainnya.

  17. Menyiapkan berbagai jenis makanan disertai keyakinan bahwa masing-masing makanan memiliki makna dan fungsi tersendiri.

Ini adalah termasuk di antara bentuk-bentuk tathoyyur (pamali) yang diharamkan dan merupakan syirik ashgar (kecil) 2. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-:

Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”.

(HR. Abu Daud no. 3910, At-Tirmidzy no. 1614, dan Ibnu Majah no. 3538 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)

Bahkan thiyaroh ini merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya:

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkat, “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan thiyaroh (sebab kesialan itu) kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf : 131)

Juga firman Allah -Ta’ala-:

“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib sial karena kalian, sesungguhnya jika kalian tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kalian dan kalian pasti akan mendapat siksaan yang pedih dari kami”. Para rasul itu berkata, “Kesialan kalian itu adalah karena (kesalahan) kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kalian lantas mengancam kami)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin : 18-19)

Dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari golongan 70.000 orang 3 yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam hadits Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- telah mengabarkan tentang sifat mereka:

Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay [Yakni pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan lalu ditempelkan ke tempat yang terasa sakit], tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhary no. 5378, 6107 dan Muslim no. 218).

Diambil dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007; dari kautsarku dari abdullah al-aussie

Catatan Kaki

Berdasarkan sabda beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- yang telah berlalu: “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at, padanya diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan, padanya dia dimasukkan ke Surga dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta tidak akan tegak Hari Kiamat kecuali pada hari Jum’at

Yang dimaksud syirik ashghar disini adalah jika pelakunya menganggap benda tersebut MENJADI SEBAB datangnya manfa’at atau ditolaknya mudharat; tapi yang mendatangkan maslahat dan mudharat adalah Allah, bukan benda tersebut. Tapi jika dia meyakini bahwa benda-benda atau makanan itulah yang mendatangkan manfaat atau yang menolak mudhorot selain Allah -Ta’ala-, maka ini adalah SYIRIK AKBAR!

Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap 1000 orang ditambahkan 70.000 orang lagi, sehingga totalnya adalah 4.900.000 orang. Haditsnya dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah- dalam syarh beliau terhadap hadits ini dari Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab -rahimahullah-

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Orang Baik Bukan Berarti Bebas Cobaan

Written By sumatrars on Minggu, 12 Februari 2023 | Februari 12, 2023


: Tazkiyatun Nufus, cobaan, Manajemen Qalbu, penyejuk hati, sunnah nabi, ujian
Source article: Muslim.Or.IdJika Anda telah berusaha mendekat kepada Allah dan sesuai Sunnah Nabi -shallallahu’alaihi wasallam- bukan berarti ujian, cobaan, dan musibah tidak akan menimpa. Jika sudah demikian, lalu ujian musibah menimpa, maka tetaplah teguh, dan berbaik-sangkalah kepada Allah. Ingat selalu firman-Nya:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, ‘kami telah beriman’ TANPA diuji?! Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar tahu orang-orang yang tulus dan orang-orang yang dusta“. (QS. Al-Ankabut: 2-3).

Ingat pula Sabda Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-:

أشدُّالناسِ بلاءً الأنبياءُ ، ثم الأمثلُ فالأمثلُ ، يُبتلى الناسُ على قدْرِ دينِهم ، فمن ثَخُنَ دينُه اشْتدَّ بلاؤُه ، و من ضعُف دينُه ضَعُف بلاؤه ، و إنَّ الرجلَ لَيُصيبُه البلاءُ حتى يمشيَ في الناسِ ما عليه خطيئةٌ

Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang paling baik (setelahnya), lalu orang yang paling baik (setelahnya). Maka siapa yang agamanya berbobot, cobaannya juga berat. Siapa yang agamanya lemah, cobaannya juga ringan. Dan sungguh seseorang akan terus ditimpa cobaan, hingga dia berjalan di tengah-tengah manusia tanpa dosa sedikitpun“. [(HR. Ibnu Hibban no. 2900, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 993).

Jangan lupa juga perkataan Syaikh Abdul Qodir Jaelani -rahimahullah-: “Wahai anak kecilku, sungguh musibah itu datang bukan untuk membinasakanmu, namun dia datang untuk menguji kesabaran dan imanmu. Wahai anak kecilku, cobaan itu (ibarat) hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, 4/178).

Oleh karena itu, semakin tinggi agama kita, semakin kita butuh berdoa untuk keteguhan iman kita, sebagaimana dicontohkan Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-. Ummu Salamah -isteri beliau- mengatakan: Dahulu doa Nabi -shallallahu’alaihi wasallam- yang paling banyak adalah:

يا مقلب القلوب, ثبت قلبي على دينك

Wahai Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu“. (HR. Tirmidzi: 3522, disahihkan oleh Syeikh Albani).

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

MAKNA AKIDAH

Written By Rachmat.M.Flimban on Rabu, 10 Agustus 2022 | Agustus 10, 2022

MAKNA AKIDAH

Kata akidah atau i’tiqod secara bahasa berasal dari kata al ‘aqdu yang artinya berputar sekitar makna kokoh, kuat, dan erat. [1]
Adapun secara istilah umum, kata akidah bermakna keyakinan yang kokoh akan sesuatu, tanpa ada keraguan. [2]
Jika keyakinan tersebut sesuai dengan realitas yang ada maka akidah tersebut benar, namun jika tidak sesuai maka akidah tersebut bathil. [3]
Setiap pemeluk suatu agama memiliki suatu akidah tertentu. Namun kebenaran akidah hanya ada dalam islam. Karena dia bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah ta’ala. Sehingga karenanya tidak ada perbedaan antara akidah yang dibawa oleh para Nabi dari masa ke masa.Sumber: https://muslim.or.id/24808-makna-akidah.html
Adapun akidah yang bathil, mencakup semua akidah yang bertentangan dengan wahyu. Yaitu akidah yang hanya bersumber dari akal manusia, atau berasal dari wahyu namun dirubah dan diselewengkan. Seperti akidahnya orang yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, atau akidahnya orang Nashroni bahwa al masih adalah anak Allah, atau akidah syiah yang berkeyakinan bahwa Allah menyesal setelah berkehendak, yang dinamakan akidah bada’.
Dalam definisi syar’i, akidah dalam agama islam bermakna masalah masalah ilmiyah yang berasal dari Allah dan Rosulnya, yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya sebagai pembenaran terhadap Allah dan Rosul Nya. [4]
Meskipun kata akidah dalam hal ini merupakan istilah baru[5] yang tidak dikenal dalam Al Qur’an maupun Sunnah[6], namun para ulama menggunakan istilah ini. Yang menunjukan kebolehan penggunaan istilah ini. Toh, tidak ada masalah dalam penggunaan istilah jika maknanya dipahami.
Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Al Laalakaai (418 H) dalam kitabnya Syarhul ushul I’tiqod ahlu sunnah wal jama’ah, kemudian Imam As Shobuni (449 H) dalam kitabnya Aqidas Salaf Ashaabul Hadits.
Baca juga: Pentingnya Aqidah Dalam Kehidupan Seorang Insan
Kemudian ada beberapa istilah yang semakna dengan akidah yang juga digunakan oleh para ulama, diantaranya:
Al Fiqhul Akbar
Pada awal kemunculannya kata fiqih dimaksudkan kepada ilmu tentang agama islam secara umum, dan terkhusus ilmu berkenaan dengan akherat, masalah masalah hati, penghancur amal dan sebagainya.[7] Namun kemudian makna ini berubah menjadi ilmu tentang hukum hukum dhohir praktis syar’I yang sekarang dikenal dengan ilmu fiqih.[8]
Sehingga karenanya ilmu fiqih di masa dahulu mencakup seluruh ilmu agama baik ilmu akidah yang bersifat bathin maupun ilmu hukum-hukum yang bersifat zahir. Dari sinilah kemudian muncul istilah Fiqhul Akbar yang dimaksudkan ilmu akidah. Karena ilmu akidah lebih agung dibandingkan ilmu cabang hukum-hukum zahir yang merupakan Fiqhul Ashghor.
Ulama yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Abu Hanifah (150 H) dalam kitabnya Al Fiqhul Akbar. Beliau berkata, “Al Fiqhul Akbar dalam agama lebih baik dari fiqih dalam ilmu, seseorang faqih tentang bagaimana cara beribadah kepada Rabb nya lebih baik dari mengumpulkan seluruh ilmu”[9]
Al Iman
Iman secara bahasa[10] bermakna At Tashdiq (pembenaran)[11] dan Al Iqroor (penetapan)[12]. Adapun secara istilah syar’i iman adalah pembenaran dan penetapan serta ketundukan terhadap kebenaran yang berasal dari wahyu.[13] Dan para ulama sepakat bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan.[14]
Istilah iman merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam Al Qur’an maupun sunnah. Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Ibnu Mandah (395 H) dalam kitabnya Kitabul Iman, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H) juga dalam dua kitabnya yaitu Al Iman Ausath dan Al Imanul Kabir, kemudian juga Imam Bukhori dalam S- nya membuat bab di awal sohihnya dengan nama kitabul iman.[15]
As Sunnah
Kata sunnah memiliki makna yang bermacam macam tergantung disiplin ilmu masing masing[16]. Dalam ilmu fiqih sunnah adalah hal hal yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa apa. Dalam ilmu ushul fiqih assunnah bermakna sumber wahyu kedua setelah Al Qur’an. Dalam ilmu hadits assunnah merupakan persamaan kata dari akidah, dan seterusnya. Terkadang juga sunnah digunakan sebagai antitesa dari kata bid’ah. Namun kemudian banyak ulama yang menggunakan istilah sunnah ditunjukan kepada makna akidah dikarenakan urgensi ilmu akidah yang merupakan pokok agama islam. Diantara para ulama yang menggunakan istilah sunnah adalah Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal (327 H) dalam kitabus Sunnah dan Imam Al Barbahaari (329 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.
As Sunnah
Kata sunnah memiliki makna yang bermacam macam tergantung disiplin ilmu masing masing[16]. Dalam ilmu fiqih sunnah adalah hal hal yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa apa. Dalam ilmu ushul fiqih assunnah bermakna sumber wahyu kedua setelah Al Qur’an. Dalam ilmu hadits assunnah merupakan persamaan kata dari akidah, dan seterusnya. Terkadang juga sunnah digunakan sebagai antitesa dari kata bid’ah. Namun kemudian banyak ulama yang menggunakan istilah sunnah ditunjukan kepada makna akidah dikarenakan urgensi ilmu akidah yang merupakan pokok agama islam. Diantara para ulama yang menggunakan istilah sunnah adalah Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal (327 H) dalam kitabus Sunnah dan Imam Al Barbahaari (329 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.
At Tauhid
Kata tauhid terdapat dalam hadits Mu’adz ketika diutus ke yaman diatas. Diantara para ulama yang menggunakan kata ini adalah Ibnu Khuzaimah (311 H) dalam Kitabut Tauhid Wa Itsbaatu Shifaatir Rabb ‘Azza Wa Jalla , juga Imam Al Maqriizi (845 H) dalam kitabnya Tajridut Tauhid Al Mufid, serta Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam Kitabut Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Abid. Kitab kitab yang ditulis dengan istilah tauhid hanya membahas hal hal yang berkaitan dengan tauhid dengan ketiga macamnya, yang merupakan bagian dari ilmu akidah. Sehingga kitab kitab akidah lebih bersifat komprehensif (syumul). Selain membahas masalah tauhid, kitab kitab Akidah juga membahas hal hal lain seperti iman dan rukun rukunnya, islam dan rukun rukunnya, hal hal yang bersifat ghoib, kaidah kaidah dalam akidah yang pasti yang disepakati para ulama, wala dan baro, bantahan terhadap aliran sesat dll.[17]
As syari’ah
Secara umum akidah seperti sunnah, terkadang dimaksudkan seluruh yang disyariatkan oleh Allah kepada hambanya berupa hukum hukum yang disampaikan oleh para nabi. Terkadang dimaksudkan hanya masalah akidah, dan terkadang dimaksudkan masalah amaliyah fiqhiyah saja. Dalam Al Qur’an pun makna Syariah berbeda beda, terkadang syariat bermakna seluruh ajaran yang dibawa para nabi[18], terkadang dikhususkan ajaran setiap nabi yang berbeda antara satu nabi dengan yang lainnya[19], dan terkadang dikhususkan kepada kesamaan da’wah seluruh nabi yaitu tauhid.[20]
Adapun secara khusus makna Syari’ah adalah akidah yang diyakini oleh ahlu sunnah wal Jama’ah. Dan ini lah yang dimaksud oleh para ulama ketika menulis kitab kitab akidah dengan nama As Syari’ah. Diantara ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Al Ajurri (360 H) dalam kitab beliau As Syarii’ah dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitab beliau Al Ibaanah ‘Alaa Syarii’ati Firqotun Naajiyah.
Ushulud Din
Ashlu atau pokok adalah apa yang dibangun diatasnya sesuatu. Maka ushulud din adalah sesuatu yang agama dibangun diatasnya. Dan agama islam dibangun diatas akidah yang benar. Sehingga para ulama menggunakan istilah ini dengan makna ilmu akidah. Dan ini yang kita kenal dalam perguruan perguruan tinggi di timur tengah, saudi arabia khususnya fakultas yang berkonsentrasi membahas akidah adalah fakultas ushuluddin. Diantara ulama yang menggunakan istilah ini adalah Abu Hasan Al Asy’ari (324 H)dalam kitab beliau Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitabnya Asy Syarhu wal Ibanag ‘An Ushulis sunnah Wad Diyanah. Wallahu ‘Alam.
Bacaan Selanjutnya: Perbedaan antara Aqidah, Tauhid dan Manhaj
Catatan kaki/Bookmark
[1] Lihat kata “عقد” dalam Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibn Faris (4/86-87), Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, Dr. Utsman Jum’ah Ad Dhomairiyah 9 (Maktabah As Sawaadi At Tauzi’, Cet 1; 1425 H, Jeddah) Hal. 87
[2] Al Mu’jam Al Washith 2/614
[3] Lihat : Ibnu Utsaimin Syarhul Akidah Wasathiyah, Hal.37 (Dar Tsuroyya Linnasyr, cet. 2 1426 H) dan Muhammad Kholil Harros, Syarhul Akidah Al Wasathiyah. Hal. 15 (Dar Imam Ahmad, cet 1, 1429 H)
[4] Lihat Dr. Sulaiman Umar Al Asyqor, Akidah Fillah (Dar Nufasaa, cet 15 1423 H, Urdun) hal. 12
[5] Meskipun asal katanya ada dalam Al Qur’an, seperti dalam Surat Al Ma’idah ayat 1 dan 89
[6] Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 63
[7] Lihat : Mukhtashor Minhajil Qosidin, hal. 22
[8] Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 65
[9] Ibid hal. 67-68
[10] Hal ini akan dibahas lebih rinci dalam makalah yang lain dengan judul Hakekat Iman antara Ahlu Sunnah dan Ahlu Bid’ah dalam waktu dekat Insya Allah.
[11] Lihat Fathul bari (1/46) Dr. Muhammad bin Ibrohim Al Hamd, Al Iman Haqiiqotuhu Wa Maa Yata’allaqu Bihi Minal Masaail (Dar Ibnu Khuzaimah, Hal. 14)
[12] Lihat Majmu Fatawa (7/638) Syarhul Aqidah Al Washatiyah Hal. 41
[13] Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 70
[14] Majmu Fatawa (7/308)
[15] Imam bukhori membuka Shohih Bukhori nya dengan kitabul Iman dan menutupnya dengan kitabut Tauhid. Ini menunjukan fiqih beliau dalam setiap bab yang beliau tulis. Beliau ingin menunjukan bahwa tauhid atau iman merupakan kewajiban yang pertama dan yang terakhir. Namun ada perbedaan antara keduanya. Kitabul iman berisi penjelasan tentang iman, hakekat, cabang cabang cabangnya dan kelompok yang menyimpang dalam masalah ini yaitu murji’ah. Adapun tauhid berkenaan dengan tauhid terutama asma wa sifat serta bantahan terhadap kelompok yang menyimpang dalam hal ini yaitu jahmiyah al mu’athilah.
[16] Tentang makna sunnah lihat Al Kuliyyat (3/9-12) Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 74-75
[17] Lihat Dr. Muhamad bin Ibrohim Al Hamd, Rosaail Fil Akidah (Dar Ibnu Khuzaimah, Riyadh, cet 1 1432 H) Hal. 11
[18] Seperti dalam Qs. Al Jatsiyah : 18
[19] Seperti dalam Qs. Al Maidah : 48
[20] Seperti dalam Qs. As Syuro : 13
Penulis: Abdullah Hazim
Disalin dari ;Sumber Artikel; Muslim.or.id muslim.or.
Penulis Ravhmat.M.Flimban

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin

Written By Rachmat.M.Flimban on Minggu, 20 Maret 2022 | Maret 20, 2022

AQIDAH

Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin
dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D

Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar, apalagi mengkafirkan sesama muslimin. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)

Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam.

Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadits di atas.

Penjelasan pertama, hadits di atas dimaknai bagi orang-orang yang meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat, namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat.

Penjelasan ke dua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya. Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.

Penjelasan ke tiga, sebagian ulama memaknai hadits ini khusus untuk orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi mengkafirkan sesama muslimin.

Penjelasan ke empat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak bertaubat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.

Penjelasan ke lima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis (tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan).

Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadits bahwa siapa saja yang menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada si penuduh.

Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari perbuatan mengkafirkan sesama muslimin. [Selesai]


Sumber: Muslim.or.id

Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 86-90.

Penulis; Rachmat.M.Ma,Flimban
Artikel: Muslim.or.id ; Penulis: M
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Beberapa Aliran Sesat

Written By Rachmat.M.Flimban on Kamis, 10 Maret 2022 | Maret 10, 2022

 Manhaj

Beberapa Aliran Sesat

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Lihat pula Syarh Lum’atul I’tiqad Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 161

Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antaranya:

  • Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
  • Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
  • Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)
Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah :

Pertama
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53, pent)

Kedua

Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.

Ketiga
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36, pent)

Keempat
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.

Kelima
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.

Keenam
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.

Ketujuh
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.

Kedelapan
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163)

Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok al-Jaz’arah, begitu juga (gerakan) al-Ikhwan al-Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat al-Is’ad fii Syarhi Lum’atul I’tiqad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku ‘Jama’ah-Jama’ah Islam’ karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Di Salin dari Sumber Artikel; Artikel www.muslim.or.id
Penulis: Rachmat.M.Flimban
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tafsir Surah An-Nuur Ayat 58 – 59

Tafsir,Al Qur'an
Tafsir,Al Qur'an
Faedah Surat An-Nuur #45: Anak Meminta Izin ketika Masuk Kamar Orang Tua
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Islam mengajarkan adab yang luar biasa yaitu sedari kecil saja anak yang sudah tamyiz diajarkan meminta izin kepada orang tua ketika masuk kamar.

  1. afsir Surah An-Nur Ayat 58-59
  2. Penjelasan ayat
  3. Faedah ayat
  4. Refrensi

Tafsir Surah An-Nuur Ayat 58 – 59

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana..” (QS. An-Nuur: 58-59)

Penjelasan ayat

Dalam Tafsir Al-Mukhtashar disebutkan:

“Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan beramal dengan syariat-Nya, hendaknya hamba sahaya lelaki dan wanita yang kalian miliki, serta anak-anak merdeka yang belum mencapai usia dewasa atau balig di antara kalian meminta izin kepada kalian dalam tiga waktu (dalam sehari) yaitu: sebelum salat subuh yang merupakan waktu pergantian pakaian tidur dengan pakaian biasa; ketika waktu tengah hari yang merupakan waktu menanggalkan pakaian luarmu untuk beristirahat siang; dan sesudah salat isya yang merupakan waktu tidur dan waktu mengganti pakaian biasa dengan pakaian tidur.

Tiga waktu ini merupakan tiga aurat bagi kalian, mereka tidak ada yang boleh masuk kamar kalian kecuali atas izin kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak pula atas mereka bila mereka memasuki ruangan kalian selain dari tiga waktu itu tanpa izin. Mereka banyak melayani kalian, sebagian kalian punya keperluan kepada sebagian yang lain sehingga sangat susah bila mereka dilarang untuk menemui kalian di setiap waktu dengan izin dahulu. Sebagaimana Allah menjelaskan kepada kalian hukum-hukum perizinan ini bagi kalian, maka Dia juga menjelaskan ayat-ayat yang menunjukkan hukum-hukum syariat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui maslahat hamba-hamba-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum syariat bagi mereka.

Dan apabila anak-anak kecil dari kalian telah mencapai usia baligh dan masa mukallaf untuk mengemban kewajiban hukum-hukum syariat, maka mereka harus meminta izin bila akan masuk di seluruh waktu, sebagaimana orang-orang dewasa meminta izin dahulu. Dan sebagaimana Alllah telah menjelaskan adab-adab meminta izin, Allah juga menjelaskan ayat-ayatNya kepada kalian. Dan Allah Maha mengetahui hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan hamba-hambaNya, lagi Mahabijaksana dalam penetapan syariatNya.

Faedah ayat

  1. Dalam ayat 58 disebutkan bahwa hendaklah dua golongan meminta izin yaitu anak kecil yang belum baligh dan budak dalam tiga waktu yang disebutkan: (1) sebelum shalat Shubuh, (2) ketika menanggalkan pakaian luar di tengah hari, (3) sesudah shalat Isyak. Untuk selain anak-anak dan budak, hendaklah meminta izin setiap kali masuk.
  2. Ayat ini menunjukan tidak boleh melihat aurat. Jika wajib meminta izin dalam tiga waktu karena khawatir aurat terlihat begitu saja secara tiba-tiba, maka tentu yang melihat aurat secara sengaja tidaklah dibolehkan. Hal ini dilarang baik yang melihat aurat adalah anak kecil maupun orang dewasa.
  3. Yang dimaksud anak kecil yang meminta izin di atas adalah anak keci yang sudah tamyiz, seadangkan anak kecil yang belum tamyiz belum mengetahui apa.
  4. Boleh melepas baju saat tidur. 
  5. Biasanya tidur siang itu ringkas sehingga tidak melepas pakaian, beda dengan tidur malam.
  6. Anak yang sudah balogh dikenakan hukum. Tanda baligh adalah: (1) keluar mani (ihtilam), (2) datang haidh, (3) usia 15 tahun.
  7. Tiga waktu yang disebutkan adalah waktu yang umumnya aurat terbuka.
  8. Anak-anak dibagi menjadi tiga: (1) anak yang belum tamyiz. tidak mengetahui apa-apa, mereka tidak harus minta izin, (2) anak yang sudah tamyiz harus meminta izin pada tiga waktu, (3) anak yang sudah baligh harus meminta izin setiap waktu.
  9. Ada njuran tidur siang (qailulah).
  10. Saudara laki-laki hendaklah meminta izin ketika ingin memasuku kamar saudara perempuanya.

  • At-Tashil li Ta'wil At-Tanzil Tafsir Sunah An-Nuur fii Sual wa Jawab. Cetakan kedua. Tahun 1423H. Syaikh abu 'Abdillah Musthafa Al-'Adawi. Penerbita Maktabah Makkah.
  • Tafsir Al-Qur'an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan Pertama. Tahun 1436H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Al-Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Disalin dari Artikel Rumaysho.com
Penulis salinan; Rachmat.M.M.a
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kelompok Sesat Murjiah, Pendangkal Keimanan Umat

Written By Rachmat.M.Flimban on Jumat, 22 Mei 2020 | Mei 22, 2020



KELOPOK SESAT MURJIAH, PENDANGKAL KEIMANAN UMAT

Munculnya kelompok-kelompok sesat dan para pengusungnya, merupakan petaka bagi kehidupan beragama umat manusia. Keberadaannya di tengah-tengah umat, ibarat duri dalam daging yang semakin lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yang digulirkan pun, kian hari kian mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari mereka. Tak pelak, dengan kemunculannya terburailah ikatan persatuan umat yang telah dirajut sebaik-baiknya oleh baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam.

Murjiah (مُرْجِئَة) Tergolong Kelompok Sesat

Di antara kelompok sesat yang telah menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya ialah kelompok Murjiah. Ia merupakan kelompok sempalan yang berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhatnya amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari umat. Dasar pijakannya adalah akal dan pengetahuan bahasa Arab yang dipahami sesuai dengan hawa nafsu mereka, layaknya kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta perkataan para sahabat dan tabiin. 

(Lihat Majmu’ Fatawa, 7/118)

Mengapa Disebut Murjiah?

Murjiah adalah nisbah pada irja` (إِرْجَاء), yang artinya mengakhirkan. 
Kelompok ini disebut dengan Murjiah karena dua hal:
  1. Mereka mengakhirkan (tidak memasukkan, pen.) amalan ke dalam definisi keimanan. (Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 113)
  2. Keyakinan mereka bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengakhirkan (membebaskan, pen.) azab atas (pelaku, pen.) kemaksiatan. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Imam Ibnul Atsir, 2/206)
Siapakah Pelopor Utama Murjiah?

Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:
  1. Ghailan ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyah yang dibunuh pada 105 H. (Lihat al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani hlm. 139)
  2. Hammad bin Abu Sulaiman al-Kufi. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311)
  3. Salim al-Afthas. (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 179)
Kapan Munculnya Murjiah?
Murjiah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul pada akhir-akhir abad pertama Hijriah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi, dari Syu’bah, dari Zubaid, ia berkata, ‘Ketika muncul kelompok Murjiah, aku mendatangi Abu Wail dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan akidah mereka (Murjiah), dan disampaikan (kepada Abu Wail) pada masa kemunculannya. Sementara itu, Abu Wail sendiri wafat pada 99 H, ada pula yang mengatakan pada 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.” (Fathul Bari 1/137)

Kelompok sesat Murjiah ini kemudian tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak, pen.). Mereka pun menjadi rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan. (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38)

Baca juga: Artilek Selanjutnya

Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal Khawarij, Kelompok Sesat Pertama dalam Islam

Sekte-Sekte Murjiah
Murjiah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte. Masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murjiah dan ada pula yang tidak.

Yang murni Murjiah antara lain:
  • Yunusiyah (pengikut Yunus bin ‘Aun an-Numairi),
  • Ubaidiyah (pengikut Ubaid al-Muktaib),
  • Ghassaniyah (pengikut Ghassan al-Kufi),
  • Tsaubaniyah (pengikut Abu Tsauban al-Murji’),
  • Tumaniyah (pengikut Abu Mu’adz at-Tumani),
  • dan Shalihiyah (pengikut Shalih bin Umar ash-Shalihi).
Adapun yang tidak murni Murjiah, antara lain:
  • Murjiah Fuqaha (Murjiah dari kalangan [sebagian] ahli fikih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman),
  • Murjiah Qadariyah (Murjiah dari kalangan kelompok pengingkar takdir, pengikut Ghailan ad-Dimasyqi),
  • Murjiah Jabriyah (Murjiah yang juga berakidah Jabriyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyah),
  • Murjiah Khawarij (sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikit pun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar),
  • Murjiah Karramiyah (Murjiah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah[1]). (Untuk lebih rinci, lihat Majmu’ Fatawa 7/543—550; al-Milal wan Nihal, hlm. 140—145; dan Firaq Mu’ashirah, 2/761)
Kesesatan Kelompok Murjiah
Secara garis besar, kesesatan Murjiah dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
  • Iman adalah keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murjiah Fuqaha)
  • Iman adalah pengetahuan/pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murjiah)
  • Iman adalah perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).[2]
Bantahan:
Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan, sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama salaf serta yang mengikuti jejak mereka.

Dalam Al-Qur’an, seringkali Allah subhanahu wa ta’ala menyebut amalan saleh sebagai ‘iman’. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah (semoga Allah menjaganya) berkata, “Seringkali Allah subhanahu wa ta’ala menyebut amalan salih dengan sebutan ‘iman’. Allah berfirman-Nya,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan kalian.” (al-Baqarah: 143)
Yang dimaksud dengan ‘keimanan kalian’ di sini adalah shalat kalian dengan menghadap Baitul Maqdis. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya dengan iman.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 19—20)

Adakalanya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan beberapa amalan saleh dalam Al-Qur’an sebagai ciri/tanda bagi orang-orang beriman. Ini sekaligus menjadi isyarat bahwa predikat mukmin tak bisa diraih hanya dengan keyakinan di hati dan ucapan di lisan, tetapi harus dibuktikan dengan amalan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ ٤ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ ٨ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمۡ يُحَافِظُونَ ٩

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (al-Mu`minun: 1—9)[3]
Dalam As-Sunnah, Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa amalan adalah bagian dari iman. Di antaranya ialah sabda beliau,

الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

“Iman itu mempunyai enam puluh sekian cabang. Cabangnya yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu (juga) cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 58, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa iman mempunyai cabang yang banyak jumlahnya. Ada yang berupa ucapan (amalan) lisan, seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yang berupa amalan tubuh, seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yang berupa amalan hati, seperti sifat malu.

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Buah Keimanan (bagian 2)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah mengganggu tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau lebih baik diam (kalau tidak bisa berkata yang baik, -pen.).” (HR. al-Bukhari no. 5672, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan tidak mengganggu tetangga, memuliakan tamu, dan bertutur kata dengan baik merupakan bagian dari keimanan.

Baca juga: Artikel Selanjutnya

Meraih Ridha Allah dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan lisannya, dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 78, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari iman.

Baca juga: Artikel Selanjutnya

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat

Adapun ijmak adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Merupakan ijmak (kesepakatan) para sahabat, tabiin, dan yang kami jumpai dari para ulama (dunia), bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan niat (keyakinan hati). Tidaklah mencukupi salah satu darinya tanpa sebagian yang lain.”[4] (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Adapun tiga versi hakikat keimanan yang ada pada kaum Murjiah, semuanya bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak. Bahkan, bertentangan dengan fitrah yang suci.
Hal ini bisa dibuktikan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
  • Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan keyakinan dalam hati dan perkataan lisan, tanpa beramal.
Apakah surga itu diraih dengan santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu, untuk apa kita diperintah melakukan shalat, zakat, puasa Ramadhan, haji, dan amalan saleh lainnya?!
  • Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/pengetahuan dalam hati saja 
Lantas apa bedanya iman kita dengan ‘iman’ sebagian orang-orang kafir?![5]
  • Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan perkataan lisan.
Kalau begitu, apa bedanya dengan iman kaum munafik yang dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala?!

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Mewaspadai Kaum Munafik

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, 
“Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Iman bukan sekadar perkataan dan amalan tanpa adanya keyakinan di hati. Sebab, yang demikian merupakan keimanan kaum munafik.
Iman bukan pula sebatas makrifat (wacana) tanpa ada perkataan dan amalan. Sebab, yang demikian merupakan ‘iman’ orang-orang kafir durjana…
Iman juga bukan hanya keyakinan hati belaka, atau perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Sebab, yang demikian merupakan iman Murjiah.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 19)

2. Iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang. Ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Jadi, suatu dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana suatu ketaatan juga tidak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala.[6]

Bantahan:
Pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama.

Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa iman dapat bertambah disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنًا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

 (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya manusia (orang-orang kafir Quraisy, -pen.) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Maka perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan menjawab, “Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 173)

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقًّاۚ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)

Baca juga: Artikel terkait
Jagalah Keimananmu

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ

"Adapun orang-orang yang beriman, maka (surah Al-Qur'an yang diturunkan Allah
tersebut menambahkan iman mereka, dalam keadaan mereka merasa gembira. ; (at-Tabah: 124)
لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ
“Agar keimanan mereka bertambah, di samping keimanan yang sudah ada pada mereka.” (al-Fath: 4)
وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنًا
“Dan supaya orang-orang yang beriman itu semakin bertambah keimanannya.” (al-Muddatstsir: 31)

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Dampak Keimanan dalam Kehidupan Seorang Muslim

Di dalam As-Sunnah, banyak juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antaranya adalah sabda beliau,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan lisannya, dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 78, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)

Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang, kecuali karena dia bisa kuat/bertambah.

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Adanya mukmin yang kuat dan mukmin yang lemah menunjukkan bahwa iman setiap orang berbeda-beda, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas (bertambah atau berkurang).

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Makna Hadits “Mukmin yang Kuat”

Adapun ijmak ulama, sebagaimana yang dikatakan Musa bin Harun al-Hammal,

“Telah mendiktekan (imla) kepada kami Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, ‘Tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa iman meliputi perkataan dan amalan,[7] bisa bertambah dan bisa berkurang. 

Hal itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yang sahih lagi pasti, serta pernyataan-pernyataan individu dari para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para tabiin, dan para ulama generasi setelah tabiin. Mereka semua bersepakat dan tak berselisih dalam hal ini.

Demikian pula pada masa al-Auza’i di Syam, Sufyan ats-Tsauri di Irak, Malik bin Anas di Hijaz, dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. (Pernyataan) mereka semua sama dengan kami, yaitu iman meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang’.”[8] (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Perkataan mereka (Murjiah) bahwa ‘dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala’,

merupakan perkataan batil dan sesat dari beberapa sisi. Di antaranya adalah:
  • Prinsip[9] yang dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama, sebagaimana yang telah disebutkan pada poin pertama. Dengan demikian, segala prinsip yang dibangun di atasnya pun menjadi batil.
  • Dalil-dalil tentang bisa bertambahnya iman sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa berkurangnya. Sebabm, sebelum iman itu bertambah, dia berkurang.[10] 
  • Para ulama bersepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dengan sebab kemaksiatan.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan,
“Ahli fikih dan hadits telah bersepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali berdasarkan niat. 
Demikian pula, iman bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan.” (at-Tamhid, 9/238)

Bahkan, Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Iman itu meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang. 
Barang siapa menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah, tetapi tidak bisa berkurang. Maka dari itu, berhati-hatilah darinya karena dia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’).” (asy-Syari’ah, hlm. 113)
  • Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala;
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan, dan memeranginya merupakan kekufuran.” (HR. al-Bukhari no. 48, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu)

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Baththah dengan sanadnya yang sampai kepada Mubarak bin Hassan, ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Salim al-Afthas (salah seorang pelopor Murjiah, -pen.),

‘Ada seseorang yang taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Ada pula seseorang yang bermaksiat kepada Allah dan tidak menaati-Nya. Kemudian keduanya meninggal dunia. Allah memasukkan seorang yang taat tersebut ke dalam jannah (surga) dan memasukkan si pelaku maksiat ke dalam neraka. Apakah antara keduanya ada perbedaan dalam hal keimanan?’

Dia (Salim al-Afthas) menjawab, ‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’

Akhirnya, kejadian ini kusampaikan kepada Atha’ (salah seorang imam tabiin, -pen.). Beliau berkata, ‘Tanyakan kepadanya, apakah iman itu sesuatu yang baik ataukah sesuatu yang buruk? Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِيَمِيزَ ٱللَّهُ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ وَيَجۡعَلَ ٱلۡخَبِيثَ بَعۡضَهُۥ عَلَىٰ بَعۡضٍ فَيَرۡكُمَهُۥ جَمِيعًا فَيَجۡعَلَهُۥ فِي جَهَنَّمَۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ

‘Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas yang lain, lalu semuanya Dia tumpuk dan Dia masukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.’ (al-Anfal: 37)

Lalu kutanyakan kepada mereka (Murjiah, pen.) apa yang disarankan oleh Atha’. Tak seorang pun dari mereka (kaum Murjiah) yang mampu menjawabnya.”[11] (Majmu’ Fatawa 7/180)

Penutup
Para pembaca yang mulia, dari pembahasan yang telah lewat, amatlah jelas bahaya kelompok sesat Murjiah ini. Prinsip-prinsipnya benar-benar mendangkalkan keimanan umat, membuat mereka malas beramal saleh dan bermudah-mudah melakukan kemaksiatan, dengan penuh keyakinan bahwa imannya sempurna dan dia aman dari azab Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Bahaya Laten Penyimpangan Akidah 

Tak mengherankan apabila Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Sungguh, fitnah (keburukan) Murjiah ini lebih aku khawatirkan terhadap umat daripada fitnah Azariqah (Khawarij).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, 3/1061)

Akhir kata, demikianlah yang dapat kami sajikan seputar kelompok Murjiah dan kesesesatannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Selanjutnya, para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kesesatan Murjiah berikut jawabannya, silakan merujuk

Sumber Redaksi 17/05/2020di Asy Syariah Edisi 031, Manhaji

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger