Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Sujud Sahwi 2

Written By sumatrars on Rabu, 03 Oktober 2012 | Oktober 03, 2012

Sujud Sahwi 2 : Sebab Adanya Sujud Sahwi

 by Muhammad Abduh Tuasikal

Sebab Adanya Sujud Sahwi.
Pertama : Karena adanya kekurangan.
Rincian 1: Meninggalkan rukun shalat [1] seperti lupa ruku’ dan sujud.
  1. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya sebelum memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  2. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya setelah memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka raka’at sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi jadi batal. Ketika itu, ia membatalkan raka’at yang terdapat kekurangan rukunnya tadi dan ia kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  3. Jika lupa melakukan melakukan satu raka’at atau lebih (misalnya baru melakukan dua raka’at shalat Zhuhur, namun sudah salam ketika itu), maka hendaklah ia tambah kekurangan raka’at ketika ia ingat. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.[2]
Rincian 2 : Meninggalkan wajib shalat [3] seperti tasyahud awwal.
  1. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mampu untuk kembali melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia melakukan wajib shalat tersebut. Pada saat ini tidak ada kewajiban sujud sahwi.
  2. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Pada saat ini juga tidak ada sujud sahwi.
  3. Jika ia meninggalkan wajib shalat, ia mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.
Keadaan tentang wajib shalat ini diterangkan dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ

Jika salah seorang dari kalian berdiri dari raka’at kedua (lupa tasyahud awwal) dan belum tegak berdirinya, maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika telah tegak, maka janganlah ia duduk (kembali). Namun hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud.” (HR. Ibnu Majah no. 1208 dan Ahmad 4/253)

Rincian 3: Meninggalkan sunnah shalat [4].

Dalam keadaan semacam ini tidak perlu sujud sahwi, karena perkara sunnah tidak mengapa ditinggalkan.

Kedua: Karena adanya penambahan.
  1. Jika seseorang lupa sehingga menambah satu raka’at atau lebih, lalu ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan raka’at tadi, hendaklah ia langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Kemudian setelah itu, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ingat adanya tambahan raka’at setelah selesai salam (setelah shalat selesai),  maka ia sujud ketika ia ingat, kemudian ia salam.
Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau menambah dalam shalat?” Beliau pun menjawab, “Memangnya apa yang terjadi?” Orang tadi berkata, “Engkau shalat lima raka’at.” Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dua kali setelah ia salam tadi.” (HR. Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)

Ketiga:  Karena adanya keraguan.
  1. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, kemudian ia mengingat dan bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia anggap yakin. Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, dan saat itu ia tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sebelum salam.
Mengenai permasalahan ini sudah dibahas pada hadits Abu Sa’id Al Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf, ia mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلاَثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلاَثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu dua atau tiga rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan jika tidak tahu tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi no. 398 dan Ibnu Majah no. 1209. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahihsebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1356)

Yang perlu diperhatikan: Seseorang tidak perlu memperhatikan keragu-raguan dalam ibadah pada tiga keadaan:
  1. Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
  2. Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi keragu-raguan, maka pada saat ini keragu-raguannya tidak perlu ia perhatikan.
  3. Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu diperhatikan selama itu bukan sesuatu yang yakin.
Demikian serial pertama mengenai sujud sahwi dari rumaysho.com. Adapun mengenai tatacara sujud sahwi, bacaan di dalamnya dan permasalahan-permasalahn seputar sujud sahwi, akan kami bahas pada kesempatan selanjutnya insya Allah. Semoga Allah mudahkan.
 Bersambung ke Bab 3
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

[1] Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
-          Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
-          Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
-          Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/313-314)
[2] Keadaan semacam ini sudah dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah tentang Dzul Yadain yang telah lewat.
[3] Yang dimaksud wajib shalat adalah perkataan atau perbuatan yang diwajibkan dalam shalat. Jika wajib shalat ini lupa dikerjakan, bisa ditutup dengan sujud sahwi. Namun jika wajib shalat ini ditinggalkan dengan sengaja, shalatnya batal jika memang diketahui wajibnya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/328)
[4] Yang dimaksud sunnah shalat adalah perkataan atau perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan dalam shalat dan yang melakukannya akan mendapatkan pahala. Jika sunnah shalat ini ditinggalkan tidak membatalkan shalat walaupun dengan sengaja ditinggalkan dan ketika itu pun tidak diharuskan sujud sahwi. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/336)
Akhir Dari Sujud Sahwi 2

Bersambung Sujud Sahwi 3
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sujud Sahwi Bab 1

Sujud Sahwi Bab 1 - Hukum Sujud Sahwi

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Saat ini kita akan membahas pembahasan menarik mengenai sujud sahwi, sujud karena lupa. Kami akan sajikan dengan sederhana supaya lebih memahamkan pembaca sekalian.
Semoga bermanfaat.

Definisi Sujud Sahwi
Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai.

[1]Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat
karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja.

[2] Pensyariatan Sujud Sahwi
Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud
sahwi. Di antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya
adalah hadits-hadits berikut ini. Hadits-hadits ini pun
nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud
sahwi selanjutnya.
Pertama: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ
حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ
أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ
التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ
يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ
يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى
فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ
سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling
sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut.
Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali.
Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi.
Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia
akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata,
“Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang
sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut
senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat.
Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa
rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam
keadaan duduk
.” (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no.
389)
Kedua:  Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ
وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ
قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ
لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ
كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah
empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia
shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat,
maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)
Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ
وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى
جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا
مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا
أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ قُصِرَتْ
الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا
وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالُوا
صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ
كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ
وَرَفَعَ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin
shalat Zhuhur atau Ashar. Namun pada raka’at kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi ke sebatang
pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara jamaah
terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara. Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil
berujar, “Shalat telah diqoshor (dipendekkan).” Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  menengok
ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi? ” Jawab mereka, “Betul,
wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat.” Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah
itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu
beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Keempat : Hadits ‘Imron bin Hushain.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ
فَسَلَّمَ فِى ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ
فِى يَدَيْهِ طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَكَرَ
لَهُ صَنِيعَهُ. وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى
انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ « أَصَدَقَ هَذَا ». قَالُوا
نَعَمْ. فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ
سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
‘Ashar lalu beliau salam pada raka’at ketiga. Setelah itu
beliau memasuki rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang
bernama al-Khirbaq (yang tangannya panjang) menghadap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya, “Wahai Rasulullah!”
Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau
tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil
menyeret rida’nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada
orang-orang seraya bertanya, “Apakah benar yang dikatakan
orang ini?“ Mereka menjawab, “Ya benar”. Kemudian beliau pun
shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu
beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi
dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.”
(HR. Muslim no. 574)
Kelima : Hadits ‘Abdullah bin Buhainah.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ فَلَمَّا
أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ
سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا
النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
melaksanakan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk
(tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya,
beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan
sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan seperti ini sebelum
salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau
sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).”
(HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Keenam: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud.

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَمْسًا
فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ «
وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا. قَالَ « إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى
كَمَا تَنْسَوْنَ ». ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu
beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik
sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.
” (HR. Muslim no. 572)
Lalu apa hukum sujud sahwi?
Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua
pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang
mengatakan sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah
ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang
menyatakan wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:
  1. Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau
    pernah meninggalkannya.
Pendapat yang menyatakan wajib semacam ini dipilih oleh ulama Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi sandaran dalam madzhab Hambali, ulama
Zhohiriyah dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[3]
Bersambung Bab 2
Sumber Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal| Sumber Artikel Muslim.Or.Id | Penulis Ulang Flimban Groups


[1]Lisanul ‘Arob, Muhammad bin Makrom binn Manzhur Al Afriqi Al Mishri, 14/406, Dar Shodir.
[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/459, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 463.

Back to Top
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel


?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji Mabrur Bab 2

Haji Mabrur Bab 2 - Sekali Ucapan Talbiyah, Janjinya Surga

 

Tulisan ini menyebutkan tentang beberapa kedudukan dan keutamaan Ibadah haji yang sangat luar biasa, sebelumnya mari kita pahami dulu pengertian haji dan umrah, sehingga benar-benar jelas maksud dari kedua ibadah tersebut. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Pengertian Haji
Arti haji secara bahasa adalah menuju kepada sesuatu yang diagungkan.Lihat kitab An Nihayah fi Gharib Al Atsar, karya Ibnu Al Atsir, 1/340.
Sedang secara istilah syari’at pengertian haji adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan rangkaian ibadah haji berdasarkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihat kitab Asy Syarah Al Mumti’, karya Ibnu Utsaimin, 7/7.
Ada pula yang mengartikan, haji adalah menuju ke Baitullah dalam keadaan yang khusus, pada waktu yang khusus dengan syarat-syarat yang khusus. Lihat kitab At Ta’rifat, karya Al Jurjani, hal. 115.
Pengertian Umrah
Arti umrah secara bahasa adalah kunjungan.Lihat kitab Mufradhat Al Fazh Al Quran, karya Al Ashfahany, hal. 596.
Sedang secara istilah syari'at arti umrah adalah beribadah kepada Allah Ta'ala dengan mengunjungi/ menziarahi Ka'bah dalam keadaan berihram lalu mengerjakan thawaf, sa'i antara Shafa dan Marwah, mencukur atau menggundul rambut kepala kemudian bertahallul. Lihat kitab Manasik Al Hajj Wa Al Umrah, karya Syaikh Said Al Qahthany, hal. 11.
Para pembaca budiman …
Saya yakin Anda sangat menginginkan kualitas ibadah tinggi..
Saya juga sangat yakin, Anda sangat menginginkan ibadah hajinya benar-benar bernilai tinggi di sisi Allah Ta’ala.
Salah satu tipsnya adalah dengan memperhatikan kedudukan dan keutamaan amal ibadah tersebut, sehingga tergugah dan merasa mengagungkan amal ibadah tersebut
Dan akhirnya tumbuh di dalam diri keinginan melaksanakan amal ibadah tersebut dengan baik dan benar, yang menghasilkan kualitas ibadah yang sangat tinggi, bukan hanya sekedar melaksanakan amal ibadah tersebut.
Mari perhatikan kedudukan dan keutamaan ibadah ini yang sangat luar biasa, Subhanallah…
Kedudukan Haji dalam Agama Islam
[1] Haji adalah rukun Islam yang kelima, hal ini berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

"Islam dibangun atas lima dasar: bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunuaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Siapa yang meninggalkan haji dengan sengaja karena tidak mengakui kewajibannya maka sungguh ia telah kafir kepada Allah Ta'ala,

يَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

 "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". (QS. Ali Imran: 97).
[3]  Kerugian bagi siapa yang diluaskan rizqinya dan tidak mengunjungi Bait Allah al-Haram, hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu bahwaRasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 قال الله : إن عبدا صححت له جسمه ووسعت عليه في المعيشة يمضي عليه خمسة أعوام لا يفد إلي لمحروم

 "Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya seorang hamba telah Aku sehatkan baginya badannya, aku luaskan rizkinya, berlalu atasnya lima tahun dan dia tidak mendatangiku sungguh dia adalah orang yang sangat merugi". (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib.
Beberapa Keutamaan Ibadah Haji
[1] Tiada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.
Abu Hurairah  radhiyallahu 'anhu  meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali surga”. (HR. Bukhari dan Muslim
[2]  Ibadah haji berfungsi sebagai penghapus dosa,sehingga seakan seperti keluar dari rahim ibu, bersih tanpa dosa.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

 “ Barangsiapa yang berhaji tanpa berbuat rafats (segala syahwat lelaki kepada perempuan) dan kefasikan (maksiat), maka akan kembali dalam keadaan sebagaimana dia dilahirkan ibunya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
[3]  Ibadah haji adalah jalan bagi seseorang agar dibebaskan dari neraka.
Aisyah   radhiyallahu 'anha   meriwayatkan bahwa Nabi   shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّار مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

 "Tiada suatu hari pun yang di situ Allah membebaskan hamba-Nya dari neraka lebih banyak dari hari Arafah”. (HR. Muslim).
[4] Ibadah haji termasuk amalan yang paling mulia.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amalan apa yang mulia, beliau menjawab:

إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ,  قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ, قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ

 “kepada Allah dan Rasul-Nya”. “Kemudian apa?", “Berjihad di jalan Allah”.”Kemudian apa?”.”Haji mabrur”. (HR. Bukhari).
[5]  Ibadah haji menghilangkan kefakiran dan dosa.
Abdullah bin Mas'ud   radhiyallahu 'anhu   meriwayatkan bahwa Rasulullah   shallallahu 'alaihi wasallam   bersabda:

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجِّ الْمَبْرُورِ ثَوَابٌ دُونَ الْجَنَّةِ

  "Ikutilah haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana ubupan menghilangkan karat-karat besi, emas dan perak, tidak ada pahal bagi haji mabrur kecuali surga".  HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Tirmidzi.
[6]   Orang yang menunaikan ibadah haji adalah tamu undangan Allah dan akandiberikan apa yang mereka minta.
Abdullah bin Umar   radhiyallahu 'anhuma   meriwayatkan bahwa Rasulullah   shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْغَازِيفِيسَبِيلِاللهِ،وَالْحَاجُّ،وَالْمُعْتَمِرُوَفْدُاللهِدَعَاهُمْفَأَجَابُوهُ،وَسَأَلُوهُفَأَعْطَاهُمْ ".

"Orang berperang di jalan Allah, orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah adalah tamu undangan Allah, Allah memanggil mereka lalu mereka memenuhinya dan mereka memohon kepada Allah maka Allah memberikan permintaan mereka".  (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah).
[7]  Haji adalah jihad bagi wanita muslimah.
Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam  ditanya oleh Aisyah  radhiyallahu ‘anha: “Wahai Rasulullah, aku melihat jihad adalah amalan yang paling utama, bagaimana kalau kita berjihad?”, beliau menjawab:

لَا, لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

  “Jangan, tetapi jihad yang paling utama (bagi kalian para wanita) adalah haji mabrur”. (HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih An Nasai).
[8] Setiap langkah kaki jamaah haji dan hewan tunggangannya bernilai 1 pahala, 1 penghapusan dosa dan 1 tingkat pengangkatan derajat.
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu   meriwayatkan bahwa Rasulullah   shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:

إنَّ لكَ مِن الأَجرِ إِذَا أَمَّمْتَ البيتَ العتيقَ أَنْ لاَ تَرفعَ قدماً وَلاَ تضعَهَا أنتَ ودابتُكَ إِلاَّ كُتِبَت لكَ حسنةٌ ورُفِعَتْ لكَ درجةٌ

“Sesungguhnya pahala yang kamu miliki, jika berjalan menuju Rumah Suci (Ka’bah) adalah tidaklah kamu dan hewan tungganganmu mengangkat telapak kaki atau meletakkannya, melainkan dituliskan bagimu 1 kebaikan dan diangkatkan bagimu 1 derajat”. (HR. Ath Thabarani dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib).
Dan di dalam riwayat lain dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam   bersabda:

 فَإنكَ إذَا خَرجْتَ مِنْ بيتِكَ تَؤمُّ البيتَ الحرامَ لاَ تضعُ ناقتَك خَفاً، ولاَ ترفعُهُ إلاَّ كَتبَ اللهُ لكَ بهِ حسنةً، ومَحاَ عَنْكَ خطيئةً

 “Sesungguhnya jika kamu keluar dari rumahmu menuju Rumah suci (Ka’bah), tidaklah hewan tunggaganmu meletakkan telapak kaki dan mengangkatnya melainkan Allah telah menuliskan bagimu dengan satu kebaikan dan menghapuskan darimu satu kesalahan”.  (HR. Ibnu Hibban dan menurut Al Haitsamy para perawinyaadalah perawi-perawi yang terpercaya, hadits ini juga dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhi wa At Tarhib).
[9] Wukuf di Arafah bagi jamaah haji menghapuskan dosa meskipun sebanyak butiran pasir atau rintikan hujan atau buih di lautan.

وأَماَّ وقوفُكَ عَشِيَّةَ عرفةَ فإنََّ اللهَ يَهبِطُ إلىَ سماءِ الدنيا فَيُبَاهِي بِكُمُ الملائكةَ يَقولُ عِبادِي جَاؤُوْنِي شَعِثاً مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَميقٍ يَرجُونَ جَنَّتيِ فَلَو كانتْ ذنوبُكُمْ كَعَددِ الرَّملِ أوْ كَقَطرِ المطرِ أوْ كَزَبَدِ البَحرِ لَغَفَرْتُهاَ أَفِيضُوا عِبادي مغفوراً لَكُمْ ولِمَنْ شَفَعْتُمْ لَهُ

 “Adapun wukufmu di Arafah, maka sesungguhnya Allah akan turun ke langit dunia, lalu membanggakan kalian di depan para malaikatnya, seray berfirman: “Hamba-hamba-Ku telah mendatangi-Ku dalam keadaan lusuh, dari setiap penjuru, mereka berharap surga-Ku, meskipun dosa-dosa kalian sebanyak butiran pasir atau rintikan hujan atau buih di lautan, sungguh Aku telah mengampuninya, kembalilah kalian wahai para hamba-Ku dalam keadaan sudah diampuni dosa-dosa kalian dan bagi siapa saja yang telah kalian mintakan syafaat untuknya”. (HR. Ibnu Hibban dan Ath Thabrany di dalam kitab Al Mu’jam Al Awsath dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib Wa At Tarhib).
[10] Sekali lemparan Jumrah menghapuskan dosa.
Abdullah bin Umar   radhiyallahu ‘anhuma   meriwayatkan bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

وأمَّا رميُكَ الجِمارَ؛ فَلَكَ بِكُلِّ حَصَاةٍ رَمَيْتَهاَ تَكْفِيْرُ كَبِيْرَةٍ مِنَ المُوبِقاتِ

“Adapun lemparan jumrahmu, maka setiap batu yang kamu lemparkan merupakan penebus sebuah dosa besar yang membinasakan”. (HR. Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib Wa At Tarhib).
[11] Sekali Ucapan Talbiyah dijanjikan surga.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا أَهَلَّ مهلٌّ  ، ولا كَبَّرَ مُكبِّرٌ إِلاََّ بُشِّر، قيل: يا رسول الله بالجنة؟ قال: نعم .

Artinya: “Tidaklah seorang mengucapkan talbiyah atau mengucapkan takbir melainkan akan dijanjikan dengan kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: “Wahai Rasulullah, apakah dijanjikan dengan surga?” Beliau menjawab: “Iya”. (HR. riwayat Ath Thabrany di dalam kitab Al Mu’jam Al Awsath dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib).
Subhanallah…Allahu Akbar…
Semoga Allah memudahkan seluruh jamaah haji dalam melaksanakan ibadah yang mulia ini. Allahumma amin.
Kamis, 24 Syawwal 1432H Dammam KSA.
Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc  | Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Penulis Ulang : Flimban Groups


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji Mabrur Bab 1


Haji Mabrur Harus Ikhlas dan Sesuai Tuntunan

 

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Seperti diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya amal ibadah ada dua yaitu; ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
{قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا }
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya".(QS. Al Kahfi: 110).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ketika mengomentari ayat di atas,
وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.
“Ini adalah dua rukun diterimanya amalan yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Sedangkan Ibnul Qayyim mengatakan suatu perkataan yang sangat indah dan penuh makna,
أي كَما أنهُ إلهٌ واحدٌ لاَ إلهَ سواهُ فَكذلكَ ينبغِي أَنْ تكُونَ العبادةُ لهُ وحدَهُ فَكمَا تَفَرَّدَ بِالالهيةِ يُحِبُّ أنْ يُفردَ بِالعبوديةِ فالعملُ الصالحُ هوَ الْخالِى مِن الرياءِ المُقَيَّدُ بِالسُّنةِ وَكان مِنْ دُعَاء عمرِ بنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِى كلَّهُ صَالحِاً وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصاً وَلاَ تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئاً
 “Sebagaimana Allah adalah sembahan satu-satu-Nya, tidak ada sesembahan selain-Nya, maka demikian pula seharusnya ibadah hanya milik-Nya semata, sebagaimana Allah satu-satu-Nya di dalam perkara kekuasaan, maka Dia menyukai disendirikan dalam hal peribadatan. Jadi, amal shalih adalah amal perbuatan yang terlepas dari riya’ dan yang terikat dengan sunnah. Termasuk doa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah “Allahummaj’al ‘amali kullaha shoolihan waj’al liwajhika kholishon wa la taj’al li ahadin fihi syai-an” (Wahai Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal shalih/baik dan jadikanlah amalanku hanya murni untuk wajah-Mu dan janganlah jadikan dalam amalku sedikitpun untuk seorang makhluk). Lihat Kitab Al Jawab Al Kafi.
Dan demikian pula dalam ibadah haji, harus:
Pertama: Ikhlas yaitu mengerjakan amal ibadah murni hanya kepada Allah Ta’ala saja bukan kepada yang lain.
Dan ikhlas adalah,
الإِخْلاَصُ أَلاَّ تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شاَهداً غَيْرَ اللهِ ، وَلاَ مُجَازِياً سِوَاهُ
 “Tidak mencari yang melihat atas amalmu adalah selain Allah dan tidak mencari yang memberi ganjaran atas amalmu selain-Nya”. Lihat Madarij As Salikin.
Orang yang ikhlas tidak akan pernah suka dipuji oleh manusia dan tidak akan pernah berharap apa yang ada ditangan manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
لاَ يَجْتَمعُ الإِخلاصُ فيِ الْقلْبِ وَمحبةُ الْمَدحِ وَالثَّنَاءِ وَالطَّمَعِ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ إِلاَّ كَمَا يَجْتَمِعُ المْاءُ والنارُ والضَّبُ والحُوتُ
“Tidak akan berkumpul di dalam hati, keikhlasan dengan kecintaan terhadap pujian dan ketamakan terhadap yang ada di tangan manusia kecuali seperti berkumpulnya air dengan api atau biawak dengan ikan”. Lihat kitab Al Fawaid, karya Ibnul Qayyim.
Amalan yang tidak ikhlas tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
"Allah Tabaraka wa Ta’ala  berfirman: “Aku Maha tidak butuh kepada sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan amalan itu bersama apa yang dia sekutukan”.(HR. Muslim)
Khusus mengenai ikhlas dalam ibadah haji, Allah Ta'ala berfirman,
{وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
"Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud ". (QS. Al Hajj: 26).
Kedua: Mutaba’ah, yaitu amalan ibadah tersebut hendaklah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim).
Khusus di dalam pelaksanaan ibadah haji Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا
"Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini". (HR. Muslim dan lafazh ini dari riwayat An Nasai).
 خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
 "Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini". (HR. Muslim).
Tidak akan lurus perkataan, perbuatan dan niat kecuali mengikuti sunnah. Sufyan bin Sa’id Ats Tsaury rahimahullah berkata,
" كان الفقهاءُ يَقُولُونَ : لاَ يَسْتَقِيْمُ قَولٌ إِلاَّ بِعَملٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ ونيةٌ إِلاَّ بِمُوَافقةِ السُّنَّةِ".
 “Para Ahli Fikih berkata: “Tidak akan lurus perkataan kecuali dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti ajaran (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”. Lihat kitab Al Ibanah, karya Ibnu Baththah.
Siapa yang beribadah menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ibadahnya akan melenceng dari kebenaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
من فارق الدليل ضل السبيل، ولا دليل إلا بما جاء به الرسول - صلى الله عليه وسلم –
 “Barangsiapa yang menjauhi dalil maka ia telah tersesat jalan, dan tidak ada dalil kecuali dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Miftah Dar As Sa’adah
Jadi hajipun harus ikhlas dan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah memberi kita semua kaum muslim haji mabrur.

Rabu, 23 Syawwal 1432 H, Dammam KSA | Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc  | Sumber Artikel Muslim.Or.Id | Penulis Ulang Flimban Groups

Bersambung Haji Mabrur Bab 2


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik Haji - Fikih Haji 8 Kesalahan Seputar Haji


Fikih Haji (8): Kesalahan-Kesalahan Seputar Haji



KESALAHAN-KESALAHAN SEPUTAR HAJI

Kesalahan ketika ihram
  1. Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
  2. Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
  3. Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau nifas  boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan’im atau miqot untuk memulai ihram karena tadi sejak awal ia sudah berihram.
Kesalahan dalam thawaf
  1. Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma’il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka’bah, sedangkan Hijr Isma’il itu berada dalam Ka’bah.
  3. Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
  4. Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk syarat thawaf.
  5. Mencium setiap pojok atau rukun Ka’bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
  6. Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil Haram.
  7. Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad. Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.
Kesalahan ketika sa’i
  1. Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa’i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
  2. Ada yang melakukan sa’i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa’i akan berakhir di Marwah.
  3. Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap kiblat.
  4. Shalat dua raka’at setelah sa’i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
  5. Tetap melanjutkan sa’i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah melaksanakan shalat jama’ah terlebih dahulu.
Kesalahan di Arafah
  1. Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf di luar Arafah.
  2. Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib. Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan karena tidak melakukan yang wajib.
  3. Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
  4. Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo’a. Padahal yang sesuai sunnah adalah menghadap kiblat.
  5. Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini adalah amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan.
  6. Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.
Kesalahan di Muzdalifah
  1. Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Dan diyakini hal ini adalah suatu anjuran.  Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina, bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
  2. Sebagian jama’ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia telah meninggalkan yang wajib.
Kesalahan ketika melempar jumroh
  1. Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
  2. Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir “Allahu akbar”.
  3. Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama’ah meyakini bahwa ia melempar setan. Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa’i.
  4. Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
  5. Sebagian jama’ah haji dan biasa ditemukan adalah jama’ah haji Indonesia, ada yang melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
  6. Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
  7. Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti diulang.
Kesalahan di Mina
  1. Melakukan thawaf wada’ dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
  2. Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu keliru.  Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.
Kesalahan ketika Thawaf Wada’
  1. Setelah melakukan thawaf wada’, ada yang masih berlama-lama di Makkah bahkan satu atau dua hari. Padahal thawaf wada’ adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari meninggalkan Makkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
  2. Berjalan mundur dari Ka’bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada’ dan diyakini hal ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid’ah.
Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.
Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai disusun di Ummul Hamam, Riyadh KSA
5 Dzulhijjah 1432 H (1 hari sebelum safar ke Mina)
Sumber Artikel www.muslim.or.id

Referensi Kitab
  1. Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
  2. Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, sumber dari Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan).
  3. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam Kuwait.
  4. Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Muassasah Al Amiyah Al ‘Anud.
  5. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi-Beirut, cetakan kedua, 1392 H.
  6. Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr-Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
  7. An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1431 H.
  8. Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, Majalah Al Bayan, terbitan 1429 H.
  9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
  10. Mursyid Al Mu’tamir wal Haaj waz Zaair fii Dhouil Kitab was Sunnah, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan ketiga, 1418 H.
  11. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
  12. Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blansia, cetakan pertama, 1424 H.
  13. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Maktabah At Taufiqiyah.
  14. Shifatul Hajj wal ‘Umrah, terbitan bagi pengurusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cetakan keduabelas, 1432 H.
  15. Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.

Referensi Buku Indonesia
  1. Meneladani Manasik Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, terbitan Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan ketiga, 1429 H.
Referensi Mawqi’
  1. Mawqi’ Islam Web:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=58685
  1. Mawqi’ resmi Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz :http://www.binbaz.org.sa/mat/3737
  2. Mawqi’ Dorar.net:
http://www.dorar.net/art/379



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik Haji - Fikih Haji 7 Amalan Haji

     Fikih Haji (7): Amalan-Amalan Haji

AMALAN-AMALAN HAJI


Setelah berihram, lalu melakukan thawaf qudum bagi yang berhaji ifrod dan qiron. Sedangkan bagi yang berhaji tamattu’, setelah berihram, ia melakukan thawaf umrah dan sa’i umrah, kemudian tahallul dan boleh melakukan larangan-larangan ihram. Sampai datang tanggal 8 Dzulhijjah (hari tarwiyah) barulah melakukan amalan-amalan  berikut.

Tanggal 8 Dzulhijjah ( Hari Tarwiyah )

  1. Pada waktu Dhuha, jamaah haji berihram dari tempat tinggalnya/kediaman dengan niat akan melaksanakan ibadah haji, ini bagi yang berniat haji tamattu'. sedangkan bagi yang berniat haji ifrad dan qiron, ia tetap berihram dari awal.
  2. Setelah berihram, wajib menjauhi segala larangan ihram.
  3. Memperbanyak talbiyah.
  4. Bertolak menuju Mina sambil bertalbiyah.
  5. Melaksakan shalat Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, 'Isya' dan Shubuh di Mina. Shalat-shalat dikerjakan di waktunya masing-masing ( tanpa di jamak ) dan shalat empat raka'at (Zhuhur, Ashar, dan Maghrib) di qoshor.
  6. Mabit (Bermalam) di Mina dan hukumnya sunnah.
  7. Memperbanyak dzikir kala itu seperti dzikir pagi dan petang, juga dzikir lainnya.
Tanggal 9 Dzulhijjah ( hari Arafah )
  1. Sesudah shalat Shubuh di Mina dan setelah matahari terbit, bertolak menuju Arafah sambila bertalbiyah dan bertakbir.
  2. Pada hari arafah, yang disunnahkan bagi jama'ah haji adalah tidak berpuasa sebagaimana contoh dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
  3. Jika memungkinkan, sebelum wukuf di Arafah, turun sebentar di masjid Namirah hingga masuk waktu Zhuhur.
  4. Jika memungkinkan, mendengarkan khutbah di masjid Namirah, lalu mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim dan di qashar dengan satu adzan dan dua iqamah.
  5. Setelah shalat Zhuhur, memasuki padang Arafah untuk melaksanakan wukuf.
  6. Ketika wukuf, berupaya semaksimal mungkin untuk berkonsentrasi dalam do'a, dzikir dan merendahkan diri kepada Allah.
  7. Menghadap ke arah kiblat ketika berdo'a sambil mengangkat kedua tangan dengan penuh kekhusyu'an.
  8. Saat wukuf, memperbanyak bacaan "Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa 'ala kulli syaa-in qodiir" dan bacaan shalawat.
  9. Tidak keluar meninggalkan Arafah kecuali setelah matahari tenggelam.
  10. Setelah matahari terbenam, bertolak menuju Muzdalifah dengan penuh ketenangan.
  11. Sampai di Muzdalifah, lakukan terlebih dahulu shalat Maghrib dan Isya' dengan dijamak dan diqashar (shalat Maghrib 3 rakaat, sedangkan shalat Iysa' 2 raka'at) dengan satu adzan dan dua iqamah.
  12. Mabit di Muzdalifah dilakukan hingga terbit fajar. Adapun bagi kaum lemah dan para wanita dibolehkan untuk berangkat ke Mina setelah pertengahan malam.
Tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Nahr atau Idul Adha)
  1. Para jamaah haji harus shalat Shubuh di Muzdalifah, kecuali kaum lemah dan para wanita yang telah bertolak dari Muzdalifah setelah pertengahan malam.
  2. Setelah shalat Shubuh, menghadap ke arah kiblat, memuji Allah, bertakbir, bertahlil, serta  berdo’a kepada Allah hingga langit kelihatan terang benderang.
  3. Berangkat menuju Mina sebelum matahari terbit dengan penuh ketenangan sambil bertalbiyah/ bertakbir.
  4. Ketika tiba di lembah Muhasir, langkah dipercepat bila memungkinkan.
  5. Menyiapkan batu untuk melempar jumroh yang diambil dari Muzdalifah atau dari Mina.
  6. Melempar jumroh ‘aqobah dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada setiap lemparan.
  7. Setelah melempar jumroh 'Aqobah berhenti bertalbiyah.
  8. Bagi yang berhaji tamattu’ dan qiran, menyembelih hadyu setelah itu. Yang tidak mampu menyembelih hadyu, maka diwajibkan berpuasa selama 10 hari: 3 hari pada masa haji dan 7 hari setelah kembali ke kampung halaman. Puasa pada tiga hari saat masa haji boleh dilakukan pada hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
  9. Mencukur rambut atau memendekkannya. Namun mencukur (gundul) itu lebih utama. Bagi wanita, cukup menggunting rambutnya sepanjang satu ruas jari.
  10. Jika telah melempar jumroh dan mencukur rambut, maka berarti telah tahallul awwal. Ketika itu, halal segala larangan ihram kecuali yang berkaitan dengan wanita. Setelah tahallul awwal boleh memakai pakaian bebas.
  11. Menuju Makkah dan melaksakan thawaf ifadhoh.
  12. Melaksanakan sa’i haji antara Shafa dan Marwah bagi haji tamattu’ dan bagi haji qiron dan ifrod yang belum melaksanakan sa’i haji. Namun jika sa’i haji telah dilaksanakan setelah thawaf qudum, maka tidak perlu lagi melakukan sa’i setelah thawaf ifadhoh.
  13. Dengan selesai thawaf ifadhoh berarti telah bertahallul secara sempurna (tahalluts tsani) dan dibolehkan melaksanakan segala larangan ihram termasuk jima’ (hubungan intim dengan istri).
Tanggal 11 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)
  1. Mabit di Mina pada sebagian besar malam.
  2. Menjaga shalat lima waktu dengan diqashar (bagi shalat yang empat raka’at) dan dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak).
  3. Memperbanyak takbir pada setiap kondisi dan waktu.
  4. Melempar jumroh yang tiga setelah matahari tergelincir, mulai dari jumroh ula (shugro), jumroh wustho, dan jumroh kubro (aqobah).
  5. Melempar setiap jumroh dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada setiap lemparan.
  6. Termasuk yang disunnahkan ketika melempar adalah menjadikan posisi Makkah berada di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan.
  7. Setelah melempar jumroh ula dan wustho disunnahkan untuk berdoa dengan menghadap ke arah kiblat. Namun, setelah melempar jumroh aqobah tidak disunnahkan untuk berdo’a.
  8. Mabit di Mina.
Tanggal 12 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)
  1. Melakukan amalan seperti hari ke-11.
  2. Jika selesai melempar ketiga jumroh lalu ingin pulang ke negerinya, maka dibolehkan, namun harus keluar Mina sebelum matahari tenggelam. Kemudian setelah itu melakukan thawaf wada’. Keluar dari Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah disebut nafar awwal.
  3. Bagi yang ingin menetap sampai tanggal 13 Dzulhijjah, berarti di malamnya ia melakukan mabit seperti hari sebelumnya.
Tanggal 13 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)
  1. Melakukan amalan seperti hari ke-11 dan ke-12.
  2. Setelah melempar jumroh sesudah matahari tergelincir, kemudian bertolak meninggalkan Mina. Ini dinamakan nafar tsani.
  3. Jika hendak kembali ke negeri asal, maka lakukanlah thawaf wada’ untuk meninggalkan Baitullah. Bagi wanita haidh dan nifas, mereka diberi keringanan tidak melakukan thawaf wada’. Thawaf wada’ adalah manasik terakhir setelah manasik lainnya selesai. (Sebagian besar diambil dari Meneladani Manasik Haji dan Umrah, 131-144)
Bersambung Fikih Haji 8

Sumber Artikel www.muslim.co.id




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger