Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Fatwa Ulama: Membuang Sampah Sembarangan

Written By sumatrars on Jumat, 21 Februari 2014 | Februari 21, 2014

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih (IslamWeb.Net)

Soal:

Apakah diharamkan membuang sampah-sampah ringan di jalan? Maksud saya, jika salah seorang dari kita minum jus di jalan, apakah boleh membuang botol kosongnya di jalan? Atau selain minuman, misalnya biskuit atau es krim.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد

Seorang muslim dituntut oleh syariat untuk bersungguh-sungguh menjaga kebersihan jalan. Hendaknya tidak membuang sampah-sampah kecuali pada tempat untuk membuang sampah. Karena syariat Islam itu mengajak umat untuk berlaku bersih. Dalam hadits dikatakan:

الإيمان بضع وسبعون شعبة، فأعلاها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق

Iman itu 70 dan sekian cabang, yang paling tinggi adalah kalimat Laa Ilaaha Illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan” (Muttafaqun ‘alaih)

Namun saya tidak mengetahui faktor yang menghasilkan hukum haram dari perbuatan yang anda sebutkan, yaitu membuang sampah di jalan, selama itu tidak menimbulkan bahaya. Semisal membuang sampah gelas atau semisalnya. Yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya untuk orang lain. Jika kasusnya demikian, maka terdapat sisi larangannya yaitu membuat gangguan bagi orang lain. Dalil atas hal ini adalah keumuman sabda NabiShallallahu’alaihi Wasallam:

لا ضرر ولا ضرار

Janganlah memulai memberikan bahaya pada orang lain, jangan pula membalas memberi bahaya” (HR. Malik secara mursal).

Wallahu a’am

Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=158583

Soal:

Saya dengar dari teman saya bahwa tidak boleh membuang sampah pada malam hari, namun ia tidak punya dalil atas pernyataan tersebut. Apakah ini sekedar ikut-ikut adat kebiasaan saja (di Qatar)? Perlu diketahui teman saya tadi bermadzhab Hanafi.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:

Islam mengajak untuk berperilaku bersih dan mengajak untuk menyingkirkan kotoran dan sampah. Syariat tidak membatasi waktu untuk hal itu, sebatas yang saya tahu. At Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan  dari Sa’id bin Musayyab, Nabi bersabda:

إن الله طيب يحب الطيب، نظيف يحب النظافة، كريم يحب الكرم، جواد يحب الجود، فنظفوا أفنيتكم وساحاتكم ولا تشبهوا باليهود

Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai yang baik, Allah itu bersih dan mencintai kebersihan, Allah itu Maha Pemberi dan mencintai sifat suka memberi, Allah itu Maha Pemurah dan menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan terasmu, janganlah meniru orang Yahudi

Juga diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

طهروا أفنيتكم، فإن اليهود لا تطهر أفنيتها

Bersihkanlah halaman rumahmu karena sesungguhnya orang Yahudi itu biasanya tidak membersihkan halaman rumahnya

Simak kembali fatwa nomor 32475.

Dan kami tidak setuju atas apa yang telah kami telaah, yaitu pembatasan waktu tertentu untuk membuang sampah. Dalam hal ini tidak ada larangan secara syar’i untuk membuang sampah di tempat khusus pembuangan sampah kapan saja. Wallahu’alam.

Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=115683

Memang benar bahwa dalam syariat tidak ada larangan khusus membuang sampah sembarangan, namun hukumnya akan menjadi haram jika menimbulkan bahaya sebagaimana diterangkan oleh Syaikh di atas. Kalau di negara kita, membuang sampah bisa menimbulkan bahaya apalagi jika dibuang di tempat-tempat umum yang mengganggu orang banyak atau di tempat yang menyebabkan tergenangnya air. Dalam keadaan seperti itu dapat dihukumi bahwa membuang sampah itu terlarang karena dapat menimbulkan banjir, penyakit, dll. Simak paparan ketua MUI, KH Amidhan, pada video berikut ini.

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Angkatan Laut Pertama Ummat Islam

Suatu hari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beristirahat siang di rumah Ummu Haram binti Malhan. Tiba-tiba beliau terjaga sambil tertawa. Tak ayal lagi, sikap beliau ini mengejutkan Ummu Haram, sehingga beliau bertanya: “Wahai Rasulullah,apa yang menyebabkan engkau tertawa?”.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab:

نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ، يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا البَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الأَسِرَّةِ

Aku diperlihatkan sekelompok ummatku yang sedang berjuang di jalan Allah dengan menaiki ombak laut ( dengan perahu). Mereka begitu gagah perkasa bak para raja yang sedang duduk-duduk di atas singgasananya“.

Mendengar penjelasan ini Ummu Haram tertarik dan segera berkata: “Ya Rasulullah, doakan aku agar Allah menjadikanku bagian dari pasukan tersebut”. Rasulullah mengabulkan permohonan Ummu Haram tersebut, dan selanjutnya beliau meneruskan istirahat siangnya.

Tidak selang berapa lama, kembali lagi beliau terjaga sambil tertawa. Sikap beliau ini kembali menarik perhatian Ummu Haram, sehingga beliau bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang menyebabkan engkau tertawa?

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab:

نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ، يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا البَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الأَسِرَّةِ

Aku diperlihatkan sekelompok ummatku yang sedang berjuang di jalan Allah dengan menaiki ombak laut ( dengan perahu). Mereka begitu gagah perkasa bak para raja yang sedang duduk-duduk di atas singgasananya

Kembali lagi Ummu Haram memohon agar beliau berdoa agar ia dijadikan bagian dari pasukan tersebut. Kembali lagi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengabulkan permohonannya, dan beliau bersabda:

أَنْتِ مِنَ الأَوَّلِينَ

Engkau termasuk orang pertama yang ikut serta pada pasukan tersebut

Apa yang dikabarkan oleh Rasulullah shallahu alaihi wa sallam ini benar-benar terwujud. Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, sahabat Mu’awiyyahradhiallahu’anhu membentuk satu kesatuan pasukan laut dan misi pertama mereka adalah menyerang negeri Qubrus (Siprus). Dan setiba di pantai Siprus, Ummu Haram terjatuh dari tunggangannya dan menjadi pejuang pertama yang gugur syahid di sana.

Kisah ini diriwayatkan oleh Al Bukhari (2894) dan Muslim (1912) dalam Shahihain.

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama: Bolehlah Shalat Di Gereja Ketika Tidak Ada Masjid?

Di sebagian negara kafir, tempat untuk shalat agak susah ditemukan. Yang sering ditemukan adalah gereja. Apakah boleh seorang muslim shalat di gereja?

Fatwa Syaikh Prof. DR. Khalid Al-Muslih hafizhahullah

Soal:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, apa hukum shalat di gereja jika tidak dijumpai masjid atau tempat (yang layak) untuk shalat? Apakah berdosa shalat di situ? Apakah shalat diterima?

Jawab:

Telah dinukil ijma ulama bahwa orang yang shalat di gereja pada tempat yang suci (tidak terdapat najis) maka hukumnya boleh dan shalatnya sah. Ijma ini dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab At Tamhid (5/229). Namun yang benar, pada masalah ini terdapat khilaf (tidak ada ijma’) dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: makruh shalat di gereja karena di dalamnya ada patung

Pendapat ini dinukil dari Umar dan Ibnu Abbas dan pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah, Imam Malik, mazhab Syafi’iyyah, Hambali . Alasannya, karena di gereja terdapat patung (atau gambar makhluk hidup).

Pendapat kedua: boleh shalat di gereja.

Ini adalah pendapat Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Ast-Sya’bi. Merupakan mazhab Hanabilah. Dengan syarat tidak ada patung (atau gambar makhluk hidup) di dalamnya.

Pendapat ketiga: haram shalat di gereja karena merupakan tempatnya setan-setan.

Shalat di gereja merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka. Ini adalah pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah.

Dan pendapat yang lebih kuat yaitu di makruhkan shalat di gereja jika ada patung-patung. Jika tidak ada patung maka hukumnya mubah. Akan tetapi tidak boleh bagi seseorang meninggalkan shalat di Masjid dengan maksud ingin shalat di gereja, karena ini tidak boleh. Maka yang wajib, jika menemukan masjid hendaknya shalat di sana dan janganlah berpaling ke yang lain. Allah Ta’ala berfirman,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (QS. Annur: 36)

Sumber: Almosleh.com

Penerjemaah: : dr. Raehanul Bahraen

SumberArtikel : Muslim.or.id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

[VIDEO] Waktu Pagi Penuh Berkah

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa “Ya Allah berkahilah ummatku di pagi harinya“.

 

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc (pimred Muslim.Or.Id)

Subscribe untuk mendapatkan update video-video bermanfaat dari muslim.or.id pada channel Muslim.Or.Id di Youtube

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Umat Islam Yang Diusir Oleh Nabi Kelak Di Hari Kiamat

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kuburan, lalu beliau mengucapkan salam:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ

Semoga keselamatan senantiasa menyertai kalian wahai penghuni kuburan dari kaum mukminin, dan kami insya Allah pasti akan menyusul kalian“.

Selanjutnya beliau bersabda: “aku sangat berharap untuk dapat melihat saudara-saudaraku“.

Mendengar ucapan ini, para sahabat keheranan, sehingga mereka bertanya: “bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab :

أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ

Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah ummatku yang akan datang kelak“.

Kembali para sahabat bertanya: “wahai rasulullah, bagaimana engkau dapat mengenali ummatmu yang sampai saat ini belum terlahir?“. Beliau menjawab:

أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ

Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?

Para sahabat menjawab : “tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya“. Maka Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabda:

فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنَ الْوُضُوءِ، وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ

Sejatinya ummatku pada hari qiyamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia“.

Aku akan menanti ummatku di pinggir telagaku di alam mahsyar. Dan ketahuilah bahwa akan ada dari ummatku yang diusir oleh Malaikat, sebagaimana seekor onta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir. Melihat sebagian orang yang memiliki tanda-tanda pernah berwudlu, maka aku memanggil mereka: “kemarilah“. Namun para Malaikat yang mengusir mereka berkata:

فَيُقَالُ: إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ

sejatinya mereka sepeninggalmu telah merubah-rubah ajaranmu“.

Mendapat penjelasan semacam ini, maka aku (Rasulullah) berkata :

سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي

menjauhlah, menjauhlah wahai orang-orang yang sepeninggalku merubah-rubah ajaranku” (diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim).

Anda tidak ingin bernasib seperti mereka? Tentu jawabannya: tidak.

Karena itu, mari kita menjaga kemurnian ajaran beliau dan mengamalkannya dengan seutuhnya tanpa ditambah atau dikurangi. Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang mendapat syafaat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pada hari kiyamat kelak. Amiin.

Artikel Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Detik-Detik Menjelang Nabi Muhammad SAW Wafat


Detik-Detik Menjelang Nabi Muhammad SAW Wafat

Disalin / Tulis Ulang : Rachmat Machmud


Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada’ (haji perpisahan), Nabi Muhammad SAW terkena sakit demam panas dibarengi pusing. Para istri beliau sudah berkumpul. Tidak seorang pun dari mereka yang berani meninggalkan beliau dalam keadaan sakit parah. Tidak lama kemudian, datanglah putri kesayangan beliau, yaitu Fatimah. Beliau menyambut kedatangan Fatimah dengan wajah ceria. Fatimah kemudian diminta duduk di sebelah kanan beliau.

Nabi Muhammad SAW membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah hingga membuat Fatimah menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian, beliau membisikkan sesuatu dan Fatimah pun seketika tersenyum gembira. Tak ada seseorang yang mengetahui apa isi bisikan beliau, termasuk istri-istrinya. Siti Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW yang paling muda usianya, terdorong rasa ingin tahu. Siti Aisyah memberanikan diri menanyakannya kepada Fatimah. Fatimah menjawab bahwa itu rahasia antara dirinya dengan sang Ayah.

Beberapa hari setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Fatimah baru membocorkannya kepada Siti Aisyah. Bisikan beliau yang membuat Fatimah menangis adalah kabar dari Malaikat Jibril mengenai segera dicabutnya nyawa Nabi Muhammad SAW. Ketika itu beliau berpesan kepada Fatimah agar tetap bertakwa kepada Allah SWT dan bersikap sabar menerima kenyataan pahit tersebut. Bisikan Nabi Muhammad SAW yang kedua berisi bahwa Fatimah telah menjadi wanita beriman yang terkemuka di dunia. Selain itu, Fatimah akan menjadi orang pertama dari keluarga Nabi Muhammad SAW yang akan menyusul beliau ke alam barzakh. Fatimah pun tersenyum.

Senyum Terakhir Nabi Muhammad SAW

Demam panas yang menyerang tubuh Nabi Muhammad SAW semakin hari semakin tinggi. Beliau tidak dapat lagi meninggalkan tempat tidurnya. Beliau meminta persetujuan seluruh istrinya untuk pindah dan dirawat di rumah Siti Aisyah. Para istri menyetujui. Sahabat Abbas bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib, menantunya, lalu memapah beliau yang berjalan tertatih-tatih menuju kediaman Siti Aisyah. Rupanya demam panas beliau bertambah tinggi hingga beliau minta disiram dengan air. Permintaan beliau dituruti.

Semula Nabi Muhammad SAW masih mampu memimpin shalat fardhu berjamaah di Masjid Nabawi. Shalat Dzuhur berjamaah bersama para sahabat adalah shalat yang terakhir kali diimami oleh beliau. Namun, sejak itu terhitung sudah tiga hari beliau tidak sanggup mengimami shalat. Hal ini dikarenakan kondisi kesehatan beliau yang kian memburuk. Bila beliau mendengar suara sahabat Bilal bin Raba’ mengumandangkan adzan shalat, beliau segera menunjuk sahabat Abu Bakar Siddiq sebagai imam shalat. Tempat kediaman Siti Aisyah memang sangat berdekatan dengan Masjid Nabawi.

Pada saat kaum muslimin sudah siap berdiri untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid, secara mendadak Nabi Muhammad SAW menyingkapkan kain penyekat kamarnya. Beliau melihat para jamaah sambil tersenyum senang sembari melambaikan tangan. Melihat keadaan beliau yang demikian, para sahabat sangat gembira. Mereka menyangka beliau telah sembuh dari sakitnya. Sementara Abu Bakar Siddiq yang akan mengimami shalat menyangka beliau hendak keluar kamar dan memimpin shalat. Tetapi beliau segera memberi isyarat supaya para jamaah memulai shalatnya. Kain penyekat ditutup kembali. Para sahabat melanjutkan shalatnya.

Pidato Abu Bakar Siddiq

Tanda-tanda kedatangan Malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa, semakin dekat. Nabi Muhammad SAW berada di atas pangkuan Siti Aisyah. Beliau memiringkan kepalanya ke arah kepala Siti Aisyah. Siti Aisyah mengira beliau menghendaki sesuatu dari kepalanya. Tetapi, secara tiba-tiba dari mulut beliau keluar setetes cairan dingin. Siti Aisyah merasa sangat gemetar, menduga beliau pingsan. Siti Aisyah kemudian menyelimuti Nabi Muhammad SAW dengan pakaian beliau.

Pada saat itu Umar bin Khattab dan Mughirah bin Syu’bah datang berniat menjenguk Nabi Muhammad SAW. Keduanya meminta izin kepada Siti Aisyah untuk mendekatinya. Setelah dicek, Umar bin Khattab menyangka beliau pingsan. Sementara Mughirah bin Syu’bah mengatakan beliau telah wafat. Ternyata dengan suara yang keras dan penuh emosi, Umar bin Khattab membantahnya. Umar bin Khattab tidak percaya beliau telah tiada. Umar bin Khattab bahkan menuduh Mughirah bin Syu’bah telah berbohong kepada dirinya.

Tidak lama kemudian Abu Bakar Siddiq datang. Abu Bakar langsung melihat keadaan beliau. Setelah memeriksa beliau, Abu Bakar lalu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Artinya, sesungguhnya segala sesuatu milik Allah SWT dan sesungguhnya kepada-Nya semua akan kembali. Abu Bakar mencium kepala, dahi dan kedua pipi beliau. Menurut Abu Bakar, alangkah harumnya sekujur tubuh beliau, baik sewaktu hidup maupun setelah mangkat. Orang-orang yang hadir spontan menangis. Semuanya benar-benar bersedih. Tulang dan persendiannya seakan copot. Lidah mereka kelu. Mulut mereka seperti terkunci rapat, tak dapat berkata apapun.

Dalam tempo cepat, para sahabat dan kaum muslimin telah berkumpul di dekat rumah Nabi Muhammad SAW. Mereka beramai-ramai menitikkan air mata. Tak ada yang bisa mempercayai bahwa manusia agung sekaligus pemimpin kesayangan mereka telah dipanggil oleh Allah SWT. Seluruh penghuni alam pun turut berduka. Awan hitam menutupi Kota Madinah. Untuk menenangkan hati dan menjaga keimanan mereka, Abu Bakar Siddiq segera berbicara dihadapan mereka: “Barang siapa yang menyembah Allah SWT, maka Allah SWT Maha Hidup dan tidak akan mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Muhammad Rasulullah, maka Muhammad Rasulullah sekarang telah meninggal dunia.”

Doa Ma Halaka


Nabi Muhammad SAW menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal 11 Hijriyyah dalam usia 63 tahun. Jenazah beliau dimandikan dalam keadaan berpakaian. Ali bin Abi Thalib yang memimpin pelaksanaan prosesi pemandiannya. Di antara sahabat yang membantu membolak-balikkan tubuh jenazah adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhl bin Abbas dan Qatsam bin Abbas. Usamah bin Zaid dan Shalih yang menuangkan air ke tubuh jenazah. Ali bin Abi Thalib sendiri yang membersihkan tubuh jenazah dari bekas keringat. Ali tidak menemukan satu kotoran pun pada tubuh beliau. Malah, menurut Ali, jenazahnya mengeluarkan bau harum.

Seusai dimandikan, jenazah suci Nabi Muhammad SAW dikafani dengan tiga pakaian beliau sendiri; yang dua berwarna putih dan yang satu berwarna kekuning-kuningan. Tidak ada baju lengan panjang dan surban di dalamnya. Jenazah beliau selanjutnya diletakkan di atas ranjang di pinggir bakal kuburan. Kemudian masuklah orang-orang secara berkelompok. Mereka menshalatinya berkelompok dan bergantian. Orang yang pertama shalat adalah Abbas bin Abdul Muthalib, kemudian Bani Hasyim, Muhajirin, Anshar, dan seluruh manusia yang hadir. Berikutnya giliran anak-anak dan para wanita yang diberi kesempatan masuk untuk melihatnya.

Sahabat Abu Thalhah lantas mencangkul tanah untuk lubang kuburan Nabi Muhammad SAW di tempat tidur bekas beliau. Jenazah beliau dimakamkan di dalam rumah Siti Aisyah, istri beliau. Beliau pernah mengatakan bahwa dahulu para nabi dikubur di tempat mereka wafat. Selama menggali, Abu Thalhah mengucapkan doa ma halaka. Artinya Nabi Muhammad SAW sebenarnya tidak rusak dan tidak meninggal sama sekali, kecuali dikubur dan dicabut ruhnya.

Abu Thalhah sudah rampung membuat tempat peletakan jenazah. Nabi Muhammad SAW secara perlahan diturunkan ke liang lahat. Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhl bin Abbas, Qatsam bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Syaqran yang turun ke liang lahat. Mereka mengurus dan mengatur posisi jenazah. Sesudah wajah dan tubuh jenazah dihadapkan ke arah kiblat, jenazah dipendam dan lubang kubur ditutup. Di atas kuburnya dibangun sebuah bata. Para sahabat kemudian menaburkan debu dan meratakan kuburan Nabi Muhammad SAW, lalu menyiramkan air di atasnya.***

Semoga Artikel ini Bermanfaat.

Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Soal Jawab - MELURUSKAN KATA "SAYYIDINA"



MELURUSKAN KATA "SAYYIDINA"

Soal:

Apakah bersholawat dengan tambahan kata sayyidina di-syari'atkan, atau termasuk perkara baru?

Jawab:

Bersholawat dengan tambahan kata sayyidina (artinya: penghulu kami) tidak pernah disyari'atkan, bahkan ini termasuk perkara baru dalam agama, lebih-lebih ketika diucapkan dalam sholat, hal ini karena beberapa hal:
Semua lafadz sholawat yang diajarkan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم tidak ada satu pun tambahan kalimat sayyidina.#
Para sahabat رضي الله عنهم adalah manusia yang paling cinta dan menghormati Rosululloh صلي الله عليه وسلم, akan tetapi mereka tidak mengucapkan sayyidina dalam ucapan sholawat mereka. Ini berarti apabila kita mengaku cinta dan menghormati Nabi صلي الله عليه وسلم maka kita harus mengikuti jejak para sahabat رضي الله عنهم yang sangat cinta kepada Rosululloh صلي الله عليه وسلم.
Apabila maksud perkataan sayyidina adalah penghormatan kepada Rosululloh صلي الله عليه وسلم, berarti harus ditambah kalimat lain sebagai penghormatan, seperti uswatuna (teladan kami), musthofana (pilihan kami), habibina (kekasih kami), mukhtarina (pilihan kami), dan semisalnya, yang semuanya tidak pernah dicontohkan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan para sahabat yang mengikuti beliau صلي الله عليه وسلم, sehingga akhirnya agama Islam ini menjadi rusak, sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi  kita صلي الله عليه وسلم.
Tidak satu pun dari para imam madzhab mengajarkan tambahan sayyidina dalam sholawat, bahkan Imam Syafi'i رحمه الله dalam kitab-kitabnya (seperti dalam muqoddimah kitab al-Um) menulis sholawat dengan kalimat "Allohumma sholli 'ala Muhammad" tanpa ditambah sayyidina, maka barangsiapa mengaku pengikut Imam Syafi'i hendaknya mengikuti petunjuk beliau yang sesuai dengan petunjuk Nabi صلي الله عليه وسلم ini, sebagaimana yang dilakukan oleh penerus madzhab Syafi'i yaitu Imam Ibnu Hajar al-Asqolani رحمه الله. Allohu alam.[]
Disalin dari:
Majalah Al-Furqon No.75 Ed.5 Th.7 1428 H/ 2007 M, Rubrik Soal-Jawab asuhan Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM خفظه الله, hal.4-5



[1]   Lihat Fadho'il ash-Sholat wa as-Salam 'ala Muhammad Khoiril Anam oleh Muhammad bin Jamil Zainu رحمه الله hal. 10-11, dan perkataan semisal oleh Ibnu Utsaimin رحمه الله dalam Syarh Bulugh al-Marom dalam penjelasan hadits Ibnu Mas'ud رضي الله عنه 249

Semoga artikel ini Bermanfaat



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Dzikir Berjamaah Setelah Shalat Wajib

Pengantar

الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ


Amma ba’du….

Sungguh kita di masjid-masjid yang ada di Negeri kita ini banyak yang melakukan dzikir bersama-sama setelah selesai shalat wajib yang dipimpin oleh Imam Shalat atau yang ditunjuknya, sungguh dzikir ini sangat bersemangat dan sampai pada lafazh لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ  , kita mendengar seakan-akan kalimat yang terucap hanya لَا إِلَهَ nya saja., Semoga Allah memperbaiki keadaan kita, amin….
Dalam risalah ini penulis menjelaskan akan pandangan Al-Qur’an, Hadits, Sahabat dan mengkhususkan pandangan para ulama Mazhab Syafi’i [dimana mayoritas muslim Indonesia mengaku bermadzhab dengan Madzhab Syafi'i] tentang Dzikir berjama’ah setelah shalat fardhu yang dilakukan pula dengan suara keras.
Untuk menambah manfaat Artikel ini, kami sertakan lafazh dzikir setelah shalat fardhu yang sesuai dengan as-Sunnah serta peringatan penting seputar kesalahan  dalam [setelah] shalat dari buku Dzikir Pagi Petang dan Sesudah Shalat Fardhu Menurut al-Qur’an dan as Sunnah yang Shahih buah karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas

berkaitan dengan topik ini yang pantas pula kita pelajari diantaranya:
  1. Dzikir Pagi Petang dan Setelah Shalat Fardhu oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas
  2. Sifat Shalat Nabi صلي الله عليه وسلم oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
  3. Sifat Shalat Nabi صلي الله عليه وسلم Bergambar oleh Syaikh Ibn Jibrin
Semoga eboook-ebook lainnya bermanfaat bagi kaum muslimin dan akhirnya kita berdo’a semoga amal-amal kita diterima disisi-Nya.
Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

Untuk Mendapatkan Ebook Insya Allah akan kami Posting dalam waktu sesingkatnya. 

Pengantar Penerbit

 Segala puji hanya bagi Allah dengan pu­jian yang melimpah, semoga shalawat serta salam kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم tercurah, tiada daya dan upaya kecuali kepada-Nya kita pasrah dan berserah.
Wa ba’du;

Dengan izin Allah-lah, akhirnya, kami dapat menerbitkan risalah "Apa Kata Imam Syafi'i Tentang Dzikir Berjama'ah Setelah Shalat Wajib Dengan Suara Keras?" buah pena Ustadz Ibnu Saini. Dalam kesempatan ini, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada penulis yang telah mempercayakan kepada pustaka al ‘Ilmu. Dan semua pihak yang telah mendukung secara moril atau­pun materil, sehingga berdirinya pustaka al 'Ilmu, khususnya guru kami Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah.
Kami telah berusaha untuk mengeluar­kan buku ini dengan sebaik mungkin. Oleh karenanya kami membuka pintu untuk sa­ran dan kritik dari para sidang pembaca yang sangat kami hormati. Semoga semua usaha ini memudahkan kami untuk meraih Sorga-Nya yang seluas langit dan bumi... Allahumma amiin.
Pustaka al 'Ilmu

Daftar Terkait :

  1. Ayat-Ayat Al Qur'an yang Menerangkan Bahwa Berdzikir dan Berdo'a Tidaklah Dengan Suara Keras
  2. Beberapa Hadits Nabi yang Melarang Dari Berdzikir dan Berdo'a Dengan Suara Keras
  3. Sikap Para Shahabat  Terhadap Mereka yang Berdzikir Dengan Suara Keras dan Berjama'ah & Sekilas Tentang Sejarahnya
  4. Pernyataan Dari Para Ulama Madzhab Imam Syafi'i Tentang Berdzikir Setelah Selesai Shalat Dengan Suara Keras & Berjama'ah
  5. Pengganti yang Disunnahkan
  6. Kesimpulan
  7. Penutup
  8. Maraji'
Dzikir Setelah Shalat Fardhu
Peringatan Penting Seputar Kesalahan Dalam [Setelah] Shalat


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Berdzikir Berjama'ah Dengan Suara keras BAB III

Bab: III

Apa kata Imam Syafi'i Tentang Dzikir Berjama'ah Setelah Shalat Wajib Dengan Suara Keras.

Sikap Para Shahabat  Terhadap Mereka yang Berdzikir Dengan Suara Keras dan Berjama'ah & Sekilas Tentang Sejarahnya

Dalam bab ini akan saya turunkan beberapa contoh dari pernyataan dan sikap para ulama dari generasi Shahabat yang mereka adalah panutan kita semua terhadap mereka yang melakukan dzikir dengan suara keras dan berjama'ah dan dikomandoi oleh seorang, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada zaman kita hidup ini!

PERTAMA: Sikap Umar bin Khththab رضي الله عنه :

Abu 'Utsman an Nahdiy mengatakan:

Seorang pegawai Umar bin Khaththab رضي الله عنه melaporkan kepadanya: Bahwa di wilayahnya ada sekelompok orang yang (sering) berkumpul untuk mengadakan do'a (bersama) untuk kaum muslimin dan penguasa. Maka Umar mengirimkan surat balasan kepadanya (yang isinya): Hadapkan mereka itu kepadaku bersamamu! Kemudian Umar meminta disiapkan untuknya sebuah cambuk, ketika mereka itu masuk menghadap Umar, langsung beliau menyambuk dengan sebuah cambukan kepada pemimpin mereka. Maka aku berkata: Wahai Umar! Kami bukanlah orang-orang yang di maksud, mereka itu adalah orang-orang yang akan datang dari arah Timur.1

KEDUA: Sikap Ibnu Mas'ud & Abu Musa al Asy'ariy رضي الله عنهما

Dahulu di kota Kufah (wilayah Iraq saat ini) ada sekelompok orang yang mengadakan dzikir secara berjama'ah di masjid setelah shalat Maghrib, yang salah seorang dari mereka memimpin dengan mengatakan: bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali, dan seterusnya, maka hal itu dilaporkan oleh Abu Musa al Asy'ariy رضي الله عنه kepada Ibnu Mas'ud رضي الله عنه (sebagai walikota Kufah saat itu), maka mereka berdua langsung mendatangi sekolompok orang yang sedang mengadakan dzikir berjama'ah itu untuk melarang mereka dari perbuatan itu, seraya Ibnu Mas'ud berkata kepada mereka:

"Demi Dzat Yang tidak berhak untuk disembah dengan benar kecuali Dia, kalian semua telah berbuat sebuah bid'ah dengan zhalim, dan kalian juga telah merasa lebih berilmu daripada para Shahabat Muhammad صلي الله عليه وسلم "?!'.

Maka 'Amr bin 'Utbah menyangkal: 

Kami hanya beristigfar kepada Allah. Ibnu Mas'ud berkata lagi: "Hendaklah kalian cukup mengikuti Sunnah, dan pegang teguhlah Sunnah itu, karena bila kalian mengambil dari sana dan sini (selain apa yang telah ditetapkan Sunnah), maka kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh". 2
Bahkan Ibnu Mas'ud صلي الله عليه وسلم juga pernah menghancurkan sebuah masjid yang dibangun kota Kufah yang biasa digunakan untuk berdzikir berjama'ah oleh 'Amr bin 'Ut-bah bersama para pengikutnya. 3

KETIGA: Sikap Khabbab bin Art :

Setelah sempat hilang, maka bid'ah ini muncul kembali setelah wafatnya Shahabat Ibnu Mas'ud, sekitar tahun 32 atau 33 H.

Abdullah bin Khabbab bin Art, pernah duduk bersama beberapa orang yang memimpin dzikir mereka, maka ketika ayahnya Khabbab bin Art رضي الله عنه melihatnya berbuat demikian, iapun memanggilnya dan mengambil sebuah cambuk untuk memukul kepala putranya itu, lalu putranya bertanya: Mengapa engkau memukulku? "Karena engkau duduk bersama orang-orang Amaliqah 4" jawabnya.
5
Begitulah juga sikap yang ditunjukkan oleh para ulama dari kalangan Tabi-'in dan para ulama yang datang setelah mereka rahimahumullahul jami 6

Sekilas Tentang Sejarah Dzikir Berjama'ah Setelah Shalat Wajib Di Masjid:

Adapun yang pertamakah mengadakan dzikir "Takbir" berjama'ah adalah: Ma'dhad bin Yazid al 'Ijliy bersama kelompok (dzikirnya) di kota Kufah,7 sebelum tahun 32 atau 33 H, kemudian dilarang oleh Ibnu Mas'ud رضي الله عنه lalu muncul kembali pada masa Khabbab bin Art رضي الله عنه seperti tertera di atas, lalu pada tahun 116 H Khalifah al Makmun memerintahkan orang-orang untuk bertakbir setiap selesai shalat wajib di masjid, dan ini merupakan salah satu bid'ah yang diadakan olehnya.
8

Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

1 Kisah ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitabnya al Bida Wan Nahyu 'Anha hal. 10 dan Ibnu Abi Syaibah di dalam kitabnya al Mushannaf (VIll: 746) no: 6242 dengan sanad yang hasan, sebagaimana dikemukakan oleh DR. Al Khumais di dalam kitabnya adz DzikrulJama'iy Bainal Ittiba' WalIbtida' hal. 29. [Kembali keatas]
2 Kisah ini telah diriwayatkan oleh ad Darimi di dalam kitab Sunannya (I: 68-69), Ibnu Wadhdhah di dalam kitabnya al Bida' Wan Nahyu 'Anha hal. 5 dari banyak jalan, Ibnul Jauziy di dalam kitabnya Talbisul Iblis hal. 28-29. Dan telah disebutkan oleh Imam Suyuthiy di dalam kitabnya al Amru bil Ittiba' hal. 83-84, dan Syaikh Masyhur Alu Salman berkata di dalam catatan kakinya: Atsar ini shahih; karena jalannya yang banyak. [Kembali Keatas]
3 Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitabnya al Bida' Wan Nabyu 'Anha hal. 5.
4 Maksudnya adalah: Karena kamu telah berbuat suatu urusan yang teramat besar dalam Agama ini.
5 Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kilahnya al Bida' Wan Nahyu 'Anha hal. 10, dan Ibnu Abi Syaibah di dalam kitabnya al Mushannaf (VIII: 559).
6 Lihat keterangannya di kitab al Bida' Wan Nahyu 'Anha karya Imam Ibnu Wadhdhah al Qurthubiy
7 Majmu' Fatawa (XXXV: 41), sebagaimana yang disebutkan oleh DR. Nashir al ‘Aql di dalam kitabnya Rasaa-il Wal Dirasat Fil Ahwaa-i Wal Iftiraq Wal Bida' (I: 226).
8 Lihat kitab al Bidayah Wan Nihayah (X: 270)
[Kembali ke 45678]
Bersambung  BAB IV [Pernyataan Dari Para Ulama Madzhab Imam Syafi'i  Tentang Berdzikir Setelah Selesai Shalat Dengan Suara Keras Dan Berjama'ah]



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Dzikir Berjama'ah setelah Shalat Wajib BAB II

Bab: II

Beberapa Hadits Nabi yang Melarang Dari Berdzikir dan Berdo'a Dengan Suara Keras

HADITS PERTAMA:

Nabi صلي الله عليه وسلم telah bersabda:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ ، كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيْرِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:أَيُّهَا النَّاسُ اِرْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُم

Dari Abu Musa al Asy'ariy, ia berkata: Kami pernah pergi safar bersama Nabi صلي الله عليه وسلم kemudian para Shahabatpun me<­ninggikan suara mereka pada saat bertakbir,laku Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda kepada mereka:

Wahai manusia, hendaklah kamu menyayangi diri kamu sendiri, karena sesungguhnya kamu tidaklah menyeru Dzat Yang tuli dan jauh, bahkan kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia itu bersama kalian (dengan ilmu serta pengawasan-Nya)."1

HADITS KEDUA:

Nabi  صلي الله عليه وسلم  juga telah bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ: اِعْتَكَفَ رسول الله صلي الله عليه وسلم فِيْ الـــمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ، فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ: أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ، فَلاَ يُــؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَيْ بَعْضٍ فِيْ القِرَاءَةِ

Dari Abu Said, ia berkata, "Rasu­lullah  صلي الله عليه وسلم  pernah i'tikaf di masjid, lalu beliau mendengar (sebagian Shahabat) mengeraskan bacaan (mereka), maka beliau membuka tabir (kemahnya yang berada di masjid) dan bersabda, 'Ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap kamu itu bermunajah (berbisik) kepada Rabb-nya, oleh ka­rena itu janganlah sebagian kamu mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah sebahagian kamu mengeraskan bacaannya kepada seba­gian yang lain"2

Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

[1] Muttafaq 'Alaihi: Bukhari no: 2992, Muslim no: 2704, dan Abu Dawud no: 1526,1527,1528
[2]Shahih: Abu Dawud no: 1332, Ibnu Khuzaimah no: 1162, Ahmad di dalam kitab Musnadnya no: 11913, dan telah dishahihkan oleh Imam al Albani di dalam kitab Shahih Abi Dawud (I: 365), dalam kitab Shahih Ja-mi' ash Shaghir no: 2639 dan ash Shahihah (IV: 134)
Bersambung ; BAB III { Sikap Para Shahabat  Terhadap Mereka yang Berdzikir Dengan Suara Keras dan Berjama'ah & Sekilas Tentang Sejarahnya }



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Pandangan Madzhab Syafii Dzikir Berjamaah BAB IV

Bab: IV

Pernyataan Dari Para Ulama Madzhab Imam Syafi'i  Tentang Berdzikir Setelah Selesai Shalat Dengan Suara Keras & Berjama'ah

Setelah ini saya akan membawakan per¬nyataan dalam masalah berdzikir setelah shalat wajib dan juga berdzikir serta berdo'a secara umum dari para ulama kita dari kalangan madzhab Imam Syafi'I  رحمه الله  bahkan juga dari perkataan Imam Syafi'inya  رحمه الله  sendiri:

PERTAMA:
Imam Syafi'I  رحمه الله  sendiri telah berkata di dalam kitabnya yang tersohor "al Umm" (1/127):1
Dan aku (Imam Syafi'i) lebih memilih bagi para imam dan makmum untuk berdzikir sete-lah shalat (yang lima waktu) dengan cara me¬nyembunyikannya (yakni tidak mengeraskan suaranya), kecuali bila imam harus mengajar¬kannya kepada makmum, maka ia (boleh) untuk mengeraskannya sampai mereka bisa mengikutinya, tetapi  kemudian  ia (imam) kembali menyembunyikannya (lagi seperti semula), karena sesungguhnya Allah  سبحانه و تعالي  telah berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
"dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya..."[QS. Al Isra': 110]; maksudnya adalah wallahu Ta'ala a'lam (ketika) berdo'a; "...dan janganlah kamu mengeraskannya.." (maksudnya adalah: janganlah) kamu mengangkat (suaramu ketika berdo'a), " dan janganlah pula kamu merendahkannya" sehingga tidak terdengar oleh dirimu sendiri.2
KEDUA:lmam Nawawi
Imam Nawawi telah menyatakan di il.iliim kitab al Majm’ Syarah Muhadzdzab (III: 484-488)3 sebagai berikut:
Telah terjadi kesepakatan antara Imam Syafi'i dan para ulama pengikut madzhab Syafi'I rahimahumullahul Jami' tentang disunnahkannya dzikir setelah selesai dari Salam, dan hal itu berlaku bagi imam maupun makmum (shalat berjama'ah), dan bagi seorang yang shalat sendirian, baik dia adalah seorang laki-laki maupun wanita, ataupun dia seorang yang sedang safar ataupun tidak... Imam Syafi'i mengatakan:  (kemudian Imam Nawawi membawakan pernyataan Imam Syafi'i di atas). Dan demikianlah juga apa yang telah dinyatakan oleh para ulama dari kalangan madzhab Syafi'i: Bahwa dzikir dan do'a yang dilakukan setelah shalat itu disunnahkan untuk disembunyikan, kecuali bila seorang imam yang hendak mengajarkannya kepada orang-orang, maka dia boleh untuk mengeraskannya, agar mereka dapat belajar (lafazhlafazh dzikir tersebut darinya), dan mereka telah dapat belajar darinya, maka hendaklah ia tidak mengeraskannya lagi,  adapun yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang dengan menugaskan imam untuk khusus (berdzikir dan) berdo'a (untuk sekalian jama'ahnya) pada shalat Shubuh dan Ashar, maka hal itu tidak ada dasarnya (dalam Agama).  Bahkan yang disunnahkan bagi imam untuk menghadap kepada jema'ahnya (setelah selesai shalat). Wallahu a'lam.

KETIGA:
Imam Nawawi juga telah berkata di tempat yang lainnya di dalam kitabnya Syarah Muslim (V/84)4:
Dalam sebuah riwayat: "Bahwa meninggikan suara di saat berdzikir ketika manusia baru sa-ja menyelesaikan shalat wajib itu adalah hal yang biasa terjadi pada masa Nabi   صلي الله عليه وسلم "  dan Ibnu  Abbas  رضي الله عنهما  pernah mengatakan:
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
"Dahulu aku mengetahui selesainya (Nabi   صلي الله عليه وسلم  dan para Shahabatnya  رضي الله عنهم)  dari shalat wajib dengannya (mendengar suara dzikir mereka).[5]
Sedangkan (Para ulama) yang lainnya, mereka semuanya sepakat, bahwa mengeraskan suara di saat berdzikir dan bertakbir itu tidaklah disukai. Dan Imam Syafi'i telah memahami bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan untuk dilakukan pada batas waktu yang singkat, sehingga sang imam dapat mengajarkan lafazh dzikir itu kepada makmumnya. Dan tidak berarti bahwa mereka mengeraskannya secara terus menerus.
Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih memilih, bagi Imam dan makmum untuk menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah shalat wajib, yakni; sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang keras .-pen), kecuali bila sang imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya, maka dia boleh untuk mengeraskannya, sehingga dia melihat bahwa para makmumnya telah mampu untuk berdzikir (sendiri-sendiri). Bila demikian, maka hendaknya dia (imam) menyembunyikan (lagi seperti semula).
Beginilah caranya Imam Syafi'i memahami hadits-hadits di atas (dan yang semisalnya).

KEEMPAT:

Ia juga telah menyatakan di dalam kitab at Tahqiq (hal. 219) sebagai berikut:
Dan telah disunnahkan untuk berdikir dan berdo'a setiap setelah selesai dari salam; dengan cara menyembunyikan (tidak mengeraskan) bacaan (dzikir dan do'anya itu), terkecuali bila seorang imam yang hendak mengajarkan bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka dia boleh untuk mengeraskan bacaannya tersebut. Namun, bila dia melihat bahwa orang-orang (makmum) telah belajar darinya bacaan-bacaan tersebut, maka hendaklah dia kembali untuk menyembunyikan kembali.6
KELIMA:
Kemudian Imam Diyaa-uddin al Azdra'i (w. 731 H) [7] pernah menyatakan:
Imam Syafi'I  رحمه الله  memahami  hadits-hadits yang menunjukkan bahwa berdzikir (setelah shalat itu) dengan suara yang keras, bahwa hal itu dimaksudkan bagi orang yang hendak mengajarkan (lafazh dzikir-dzikir tersebut). [8 ]

KEENAM: Al Hafizh Ibnu Hajar:

Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata di dalam kitabnya Fath-hul Bari (II/326)9:
Dan di dalam redaksi hadits di atas ada isyarat bahwa para Shahabat, tidaklah meninggikan suara mereka di dalam berdzikir, di saat yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Saya (Ibnu Hajar) katakan: Bahwa mengkaitkan perbuatan tersebut kepada para Shahabat, perlu diteliti kembali, sebab pada saat Itu tidak tertinggal dari para Shahabat kecuali sedikit.
Imam Nawawi mengatakan: Dan Imam Syafi'i telah memahami bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan dilakukan pada batas waktu yang singkat, sehingga sang imam dapat mengajarkan lafazh dzikir itu kepada makmumnya, dan tidak berarti bahwa mereka mengeraskannya secara terus menerus. Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih memilih bagi Imam dan makmum untuk menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah shalat wajib sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang tinggi), kecuali bila imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya.

KETUJUH:

Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz al Malibari di dalam kitabnya Fat-hul Mu'in (III: 185-186)10 setelah membawakan pernyataan Imam Syafi'i di atas secara lengkap dari kitab al Umm, maka ia mengatakan:
Faidah: Syaikh kami mengatakan: Adapun (berdzikir atau berdo'a) dengan suara yang sangat keras di dalam masjid, sehingga mengganggu orang yang sedang shalat, maka sudah selayaknya hal seperti ini untuk DIHARAMKAN.

KEDELAPAN:
Lihat juga nukilan di atas beserta sedikit keterangannya di kitab Hasyiyah I'anatith Thalibin (1:185), karya Sayyid al Bakriy bin Sayyid Muhammad Syatha' ad Dimyathiy.
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi'i di atas, jelaslah bagi kita bahwa madzhab beliau dalam masalah berdzikir setelah shalat yang lima waktu adalah dengan sendiri-sendiri, tidak berjama'ah/beramai-ramai, serta tidak dengan mengeraskan suara, sedangkan yang biasa diamalkan oleh saudara-saudara kita kaum muslimin di negeri ini khususnya, maka saya tidak mengetahui, dalil apa serta madzhab siapa yang mereka ikuti itu!!
Kemudian, di bawah ini akan saya bawakan juga sebagian keterangan dari para ulama madzhab Syafi'i yang lainnya tentang sifat (cara) berdzikir yang benar, apakah dengan suara yang keras atau bagaimana?

KESEMBILAN: Imam Ghazaliy

Imam Abu Hamid al Gazaliy asy Syafi'I  رحمه الله  telah berkata di dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin (I/358)11 ketika menerangkan adab-adab dalam berdo'a, ia menyebutkan:
Keempat: Dengan merendahkan suara, antara diam dan keras (seperti seorang yang sedang berbisik) dengan dalil yang diriwayatkan dari Abu Musa al Asy'ari [12 ]
'Aisyah  رضي الله عنها  pernah berkata ketika menafsirkan firman Allah:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا

dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya... [QS. al Isra': 110] Maksudnya "dalam shalatmu" adalah "dalam do'amu (kepada Allah)."
Allah juga telah memuji Nabi-Nya Zakariya  عليه السلام  dengan firman-Nya:

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيّاً

Yaitu tatkala la berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. [Maryam: 3]
Allah سبحانه و تعالي juga telah berfirman:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [QS. Al A'raf: 55].

KESEPULUH: Imam Nawawi

Kemudian Imam Nawawi juga telah menukil pernyataan Imam al Ghazaliy di atas dengan ringkas di kitabnya al Adzkar hal. 470.

KESEBELAS:

Imam Nawawi  رحمه الله  juga telah berkata di dalam kitab Syarah Muslim (III/ 308)13:
Bab (yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang) disukainya kita untuk merendahkan suara pada saat berdzikir, kecuali pada tempat-tempat yang diperintahkan oleh Agama untuk dikeraskan, seperti pada saat bertalbiyah, dan lain-lain. Serta (bab) tentang sabda beliau kepada para shahabatnya, ketika mereka mengeraskan suara dalam bertakbir: Wahai manusia, hendaklah kamu menyayangi diri kalian sendiri, karena sesungguhnya kamu tidaklah menyeru Dzat Yang tuli dan jauh, bahkan kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia itu bersama kalian (dengan ilmu serta pengawasan-Nya)."
Makna kata  "( اِرْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ)"  adalah:  Kasihanilah diri kalian sendiri dengan cara merendahkan suara kalian (di dalam berdzikir), karena meninggikan suara itu hanyalah dilakukan oleh seseorang yang sedang memanggil orang yang berada jauh darinya, agar orang yang berada jauh darinya itu dapat mendengarnya.  Sedangkan kalian saat ini sedang menyeru Allah Ta'ala, dan Dia tidak tuli dan tidak juga jauh, bahkan Dia itu Maha Mendengar dan Dekat. Dan Dia selalu berserta kalian dengan Ilmu dan pengawasan-Nya. Maka dalam hadits ini ada (faidah):  Disunnahkannya kita untuk merendahkan suara di saat berdzikir, bila tidak ada manfaatnya bagi kita untuk meninggikan suara. Karena sesungguhnya bila seseorang itu merendahkan suaranya di saat berdzikir, maka hal itu dapat membuat dia lebih mengagungkan dan meninggikan Allah. Dan bila memang diperlukan untuk meninggikan suara di saat berdzikir, maka boleh untuk meninggikannya sebagaimana yang telah disebutkan di dalam beberapa hadits. Sabda beliau yang disebutkan di dalam riwayat yang lain dari hadits ini: "Bahwa Dzat Yang kalian serukan itu lebih dekat kepada kalian daripada leher hewan tunggangan kalian," maka lafazh itu haruslah difahami seperti yang telah lalu (yakni Allah itu sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya, sehingga tidak perlu untuk mengeraskan suara di dalam berdzikir -pen).

KEDUA BELAS: Imam Baihaqiy

(Imam) Baihaqi—salah seorang pembesar ula¬ma madzhab Syafi'i (w. 458 H) berdalil dengan hadits ini dan yang lainnya dalam hal menyembunyikan bacaan dzikir dan do'a (artinya: Tidak mengeraskannya).14

KETIGA BELAS: Al 'Izz bin Abdis Salam

Imam al 'Izz bin 'Abdis Salam asy Syafi'iy (w. 660 H) telah menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya, sebagaimana yang tercantum di dalam Fatawanya hal. 46-47 no: 15 sebagai berikut:
Soal: Apakah disunnahkan bagi kita untuk berjabatan tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar? Dan apakah juga disunnahkan bagi imam untuk berdo'a setelah selesai salam (shalat) atau tidak? Dan bila engkau mengatakan bahwa hal itu disunnahkan, maka apakah imam itu juga harus menghadap ke kiblat atau tidak? Kemudian apakah boleh untuk mengeraskan suaranya atau justru menyembunyikannya? Kemudian, apakah seorang yang berdo'a (saat) itu juga boleh untuk mengangkat kedua tangannya atau tidak? Karena ini bukan merupakan tempat-tempat yang di situ Nabi  صلي الله عليه وسلم  mengangkat kedua tangannya.
Jawab: Berjabatan tangan setelah selesai dari shalat Shubuh dan Ashar termasuk perbuatan bid'ah [15] Dan Nabi it biasa membaca beberapa dzikir/wirid setelah shalat, dan mengucapkan istigfar tiga kali, kemudian beliau pergi (dari tempatnya) Dan kebaikan itu hanyalah kita dapati dengan cara meneladani Rasuli. Imam Syafi'i pun menyukai agar seorang imam itu segera meninggalkan tempatnya setelah selesai salam (pastinya, setelah membaca beberapa wirid/dzikir yang disyari'atkan Nabi  صلي الله عليه وسلم)  Dan tidaklah disukai bagi seorang pun untuk mengangkat kedua tangannya di saat berdo'a, kecuali pada saat-saat dan tempat yang di situ Rasulullah  صلي الله عليه وسلم,  mengangkat kedua tangannya, dan juga tidak diperbolehkan untuk mengusapkan kedua tangannya itu ke mukanya setelah selesai dia berdo'a, karena tidak ada yang melakukannya, kecuali orang-orang yang jahil (bodoh).

KEEMPAT BELAS: Imam Ibnu Katsir

Imam Ibnu Katsir asy Syafi'I  رحمه الله  berkata di dalam kitab Tafsirnya (III/307-308)16:
Maka Dia berfirman: "Berdoalah kepada Tu¬hanmu... [QS. Al A'raf: 205].
Ibnu Juraij mengatakan dari 'Atha al Khurasani dari Ibnu Abbas, ia berkata dalam rangka menafsirkan ayat di atas: Maksudnya adalah (berdo'a) dengan tersembunyi. Imam Ibnu Jarir berkata menafsirkan ayat di atas: Maksudnya adalah dengan merendahkan diri dalam rangka menta'ati Allah, dan berdo'a dengan penuh kekhusyuan hati dan keyakinan akan ke-Esaan-Nya dan ke-Mahakuasaan-Nya hanya antara kalian dan Dia semata dengan tidak mengeraskan suara dan riya... Ibnu Juraij mengatakan: Dimakruhkan untuk mengeraskan suara di dalam berdzikir dan berdo'a, begitu juga dimakruhkan untuk berteriak ketika berdo'a, akan tetapi justru kita diperintahkan untuk melakukannya dalam keadaan merendah diri dan tenang.
Al Hafizh Ibnu Katsir juga berkata di tempat yang lainnya (III/389)17:
Adapun Firman-Nya: "dengan merendahkan diri dan rasa takut" maksudnya adalah: Ingatlah akan Tuhanmu di dalam hatimu dengan penuh rasa harap dan takut (yang berpadu), dan dengan bisikan lisan bukanlah dengan suara yang tinggi, untuk itulah Dia (lebih menegaskannya  lagi dengan) firman-Nya: "Dan dengan tidak mengeraskan suara," begitulah seharusnya cara seseorang berdzikir kepada Allah, dan bukannya dengan suara yang tinggi dan sangat keras.

KELIMA BELAS: Al Hafizh Ibnu Hajar:

Imam Ibnu Hajar al 'Asqalani , seorang ulama yang dikenal menganut madzhab Syafi'i telah berkata di dalam kitabnya Fat-hul Baari (VI/240)18:
Maksud dari sabda beliau di dalam hadits:  (اِرْبَعُوا)  adalah: "kasihanilah (dirimu sendiri)." Imam ath Thabari mengatakan: Di dalam hadits ini ada larangan untuk mengeraskan suara di dalam berdo'a dan berdzikir, dan seperti itulah pendapat umumnya kaum Salaf dari kalangan para Shahabat dan Tabi'in.
Semua ini adalah pendapat dari para ulama kalangan madzhab Imam Syafi'iy  رحمهم الله. Dan begitulah juga pendapat para ulama dari madzhab yang empat lainnya.19

 Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim


1 Dalam buku aslinya Penulis (Ibnu Saini) mencantumkan perkataan para ulama dari Madzhab Syafi’Ii dalam teks arab, bagi yang menginginkannya silahkan beli bukunya (Ibnu Majjah)
2 Bagi yang mampu untuk berbahasa Arab; silahkan merujuk ke kitab al Umm di bagian akhir pembahasan masalah shalat bab:

كَلَامُ الإِمَامِ وَجُلُوسِهِ بَعْد السَّلَامِ

Atau bagi mereka yang belum mampu untuk berbahasa Arab, bisa juga untuk merujuk ke kitab al Umm edisi terjemahan jilid: I hal: 296, pada Bab: "Berkata-katanya imam dan duduknya sesudah memberi salam," disebutkan sebagai berikut:
"Saya memandang baik bagi imam dan makmum. Bahwa berdzikir kepada Allah, sesudah keluar dari shalat. Keduanya itu menyembunyikan dzikir. Kecuali bahwa dia itu (adalah seorang) imam yang harus orang belajar dari padanya. Maka ia (boleh untuk) mengeraskan suaranya. Sehingga ia melihat bahwa orang (lain) telah mempelajari (lafazh dzikir itu) dari padanya, (maka) kemudian ia (kembali) mengecilkan suaranya. Allah 'azza wa Jalla berfirman:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا

'Dan janganlah engkau sembahyang dengan suara keras dan jangan pula diam saja.' Yakni Allah Yang maha Tahu. Ialah: Do'a. Tidak engkau keraskan: Artinya: Tidak engkau tinggikan suara. Dan tidak diam saja: Artinya: Sehingga tidak dapat engkau dengar sendiri."
Alhamdulillah kitab terjemahan ini telah lama dan banyak beredar di negeri kita ini. Dengan demikian saya tidak akan dituduh mengada-ada dalam hal ini
3 Tepatnya di Kitabush Shalah setelah pembahasan salam.
4 Tepatnya di kitab:  الــمَسَاجِدِ وَمَوَاضِع الصَّلَاةِ, bab: الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاةِ ,  ketika mensyarah hadits no: 583
5 Shahih: Diriwayatkan oleh Bukhari no: 841 dan Abu Dawud no: 1002 & 1003
6 Lihat: adz Dzikrul Jama'iy, Bainal Ittiba' Wal lbtida hal. 46, karya DR. Muhammad al Khumais
7 Lihat: riwayat hidupnya di kitab al A'lam karya az Zerikli (IV: 291)
8 Lihat: kitab Ishlahul Masajid hal. 111 oleh Syaikh Jamaluddin al Qasimi, dan kitab adz Dzikir al jama'i Bainal Ittiba' wal Ibtida' hal. 14, oleh DR. Muhammad bin 'Abdirrahman al Khumais.
9 Tepatnya di kitab:  (الأَذَان), bab:الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاة,  Ketika mensyarahkan hadits no: 841.
10 Tepatnya di kitab: Shalat, pada pembahasan dzikir dan do'a setelah shalat.
11 Tepatnya di kitab:  (الأَذْكَرُ والدَّعَوَاتُ)  bab:

(فِيْ أَدَبِ الدُّعَاءِ وَفَضْلِهِ وَفَضْلِ بَعْدِ الأَدْعِيَةِ الــمَأْثُوْرَةِ وَفَضِيْلَةِ الاِسْتِغْفَارِ(

Kitab ini juga banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah.
12 Muttafaq 'Alaihi: Al Bukhari no: 2992, Muslim no: 2704, akan tetapi lofazh yang disebutkan di atas merupakan lafazh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no: 1526, 1527
13 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2704
14 Lihat nukilannya di kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab (III: 452) dan kitab Fat-hul Mu’in (I: 185), bersama kitab I’anatuth Thalibin
15 Dan saya telah terangkan tentang kesepakatan para ulama madzhab untuk membid’ahkan berjabatan tangan setelah shalat wajib, di risalah saya Hukum Berjabatan Tangan di dalam Islam, Pustaka al ‘Ilmu. Silahkan merujuk ke risalah tersebut bagi siapa yang menginginkannya
16 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-205 dari surat al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
17 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-55 dari surat al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
18 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2992
19 Lihat keterangannya di kitab al Hawadits Wal Bida’ hal.66 dan adz Dzikirul Jama’i hal.43-51.


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger