?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Bab: IV
Pernyataan Dari
Para Ulama Madzhab Imam Syafi'i Tentang
Berdzikir Setelah Selesai Shalat Dengan Suara Keras & Berjama'ah
Setelah ini saya akan membawakan per¬nyataan dalam masalah
berdzikir setelah shalat wajib dan juga berdzikir serta berdo'a secara umum
dari para ulama kita dari kalangan madzhab Imam Syafi'I رحمه الله bahkan juga dari
perkataan Imam Syafi'inya رحمه الله sendiri:
PERTAMA:
Imam Syafi'I رحمه الله sendiri telah berkata di dalam kitabnya yang
tersohor "al Umm" (1/127):1
Dan aku (Imam Syafi'i) lebih memilih bagi para imam dan
makmum untuk berdzikir sete-lah shalat (yang lima waktu) dengan cara
me¬nyembunyikannya (yakni tidak mengeraskan suaranya), kecuali bila imam harus
mengajar¬kannya kepada makmum, maka ia (boleh) untuk mengeraskannya sampai
mereka bisa mengikutinya, tetapi
kemudian ia (imam) kembali
menyembunyikannya (lagi seperti semula), karena sesungguhnya Allah سبحانه و تعالي telah berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ
بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
"dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu
dan janganlah pula merendahkannya..."[QS. Al Isra': 110]; maksudnya adalah
wallahu Ta'ala a'lam (ketika) berdo'a; "...dan janganlah kamu mengeraskannya.."
(maksudnya adalah: janganlah) kamu mengangkat (suaramu ketika berdo'a), " dan
janganlah pula kamu merendahkannya" sehingga tidak terdengar oleh dirimu
sendiri.2
KEDUA:lmam Nawawi
Imam Nawawi telah menyatakan di il.iliim kitab al Majm’
Syarah Muhadzdzab (III: 484-488)3 sebagai berikut:
Telah terjadi kesepakatan antara Imam Syafi'i dan para ulama
pengikut madzhab Syafi'I rahimahumullahul Jami' tentang disunnahkannya dzikir
setelah selesai dari Salam, dan hal itu berlaku bagi imam maupun makmum (shalat
berjama'ah), dan bagi seorang yang shalat sendirian, baik dia adalah seorang
laki-laki maupun wanita, ataupun dia seorang yang sedang safar ataupun tidak...
Imam Syafi'i mengatakan: (kemudian Imam
Nawawi membawakan pernyataan Imam Syafi'i di atas). Dan demikianlah juga apa
yang telah dinyatakan oleh para ulama dari kalangan madzhab Syafi'i: Bahwa
dzikir dan do'a yang dilakukan setelah shalat itu disunnahkan untuk disembunyikan,
kecuali bila seorang imam yang hendak mengajarkannya kepada orang-orang, maka
dia boleh untuk mengeraskannya, agar mereka dapat belajar (lafazhlafazh dzikir
tersebut darinya), dan mereka telah dapat belajar darinya, maka hendaklah ia
tidak mengeraskannya lagi, adapun yang
biasa dilakukan oleh kebanyakan orang dengan menugaskan imam untuk khusus
(berdzikir dan) berdo'a (untuk sekalian jama'ahnya) pada shalat Shubuh dan
Ashar, maka hal itu tidak ada dasarnya (dalam Agama). Bahkan yang disunnahkan bagi imam untuk
menghadap kepada jema'ahnya (setelah selesai shalat). Wallahu a'lam.
KETIGA:
Imam Nawawi juga telah berkata di tempat yang lainnya di
dalam kitabnya Syarah Muslim (V/84)4:
Dalam sebuah riwayat: "Bahwa meninggikan suara di saat
berdzikir ketika manusia baru sa-ja menyelesaikan shalat wajib itu adalah hal
yang biasa terjadi pada masa Nabi صلي الله عليه وسلم
" dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما pernah mengatakan:
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا
سَمِعْتُهُ
"Dahulu aku mengetahui selesainya (Nabi صلي الله عليه وسلم dan para Shahabatnya رضي الله عنهم)
dari shalat wajib dengannya (mendengar
suara dzikir mereka).[5]
Sedangkan (Para ulama) yang lainnya, mereka semuanya
sepakat, bahwa mengeraskan suara di saat berdzikir dan bertakbir itu tidaklah
disukai. Dan Imam Syafi'i telah memahami bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan
untuk dilakukan pada batas waktu yang singkat, sehingga sang imam dapat
mengajarkan lafazh dzikir itu kepada makmumnya. Dan tidak berarti bahwa mereka
mengeraskannya secara terus menerus.
Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih memilih, bagi Imam dan
makmum untuk menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah shalat wajib, yakni;
sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang keras .-pen), kecuali bila sang
imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya, maka dia boleh
untuk mengeraskannya, sehingga dia melihat bahwa para makmumnya telah mampu
untuk berdzikir (sendiri-sendiri). Bila demikian, maka hendaknya dia (imam)
menyembunyikan (lagi seperti semula).
Beginilah caranya Imam Syafi'i memahami hadits-hadits di
atas (dan yang semisalnya).
KEEMPAT:
Ia juga telah menyatakan di dalam kitab at Tahqiq (hal. 219)
sebagai berikut:
Dan telah disunnahkan untuk berdikir dan berdo'a setiap
setelah selesai dari salam; dengan cara menyembunyikan (tidak mengeraskan)
bacaan (dzikir dan do'anya itu), terkecuali bila seorang imam yang hendak
mengajarkan bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka dia boleh untuk mengeraskan
bacaannya tersebut. Namun, bila dia melihat bahwa orang-orang (makmum) telah
belajar darinya bacaan-bacaan tersebut, maka hendaklah dia kembali untuk
menyembunyikan kembali.6
KELIMA:
Kemudian Imam Diyaa-uddin al Azdra'i (w. 731 H) [7]
pernah menyatakan:
Imam Syafi'I رحمه الله memahami hadits-hadits yang menunjukkan bahwa berdzikir
(setelah shalat itu) dengan suara yang keras, bahwa hal itu dimaksudkan bagi
orang yang hendak mengajarkan (lafazh dzikir-dzikir tersebut). [8 ]
KEENAM: Al Hafizh Ibnu Hajar:
Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata di dalam kitabnya
Fath-hul Bari (II/326)9:
Dan di dalam redaksi hadits di atas ada isyarat bahwa para
Shahabat, tidaklah meninggikan suara mereka di dalam berdzikir, di saat yang
telah disebutkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Saya (Ibnu Hajar) katakan: Bahwa mengkaitkan perbuatan
tersebut kepada para Shahabat, perlu diteliti kembali, sebab pada saat Itu
tidak tertinggal dari para Shahabat kecuali sedikit.
Imam Nawawi mengatakan: Dan Imam Syafi'i telah memahami
bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan dilakukan pada batas waktu yang singkat,
sehingga sang imam dapat mengajarkan lafazh dzikir itu kepada makmumnya, dan tidak
berarti bahwa mereka mengeraskannya secara terus menerus. Ia berkata: Bahwa
Imam Syafi'i lebih memilih bagi Imam dan makmum untuk menyembunyikan bacaan
dzikir mereka (setelah shalat wajib sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang
tinggi), kecuali bila imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada
makmumnya.
KETUJUH:
Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz al Malibari di dalam
kitabnya Fat-hul Mu'in (III: 185-186)10 setelah membawakan pernyataan Imam
Syafi'i di atas secara lengkap dari kitab al Umm, maka ia mengatakan:
Faidah: Syaikh kami mengatakan: Adapun (berdzikir atau
berdo'a) dengan suara yang sangat keras di dalam masjid, sehingga mengganggu
orang yang sedang shalat, maka sudah selayaknya hal seperti ini untuk DIHARAMKAN.
KEDELAPAN:
Lihat juga nukilan di atas beserta sedikit keterangannya di
kitab Hasyiyah I'anatith Thalibin (1:185), karya Sayyid al Bakriy bin Sayyid
Muhammad Syatha' ad Dimyathiy.
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi'i di atas,
jelaslah bagi kita bahwa madzhab beliau dalam masalah berdzikir setelah shalat
yang lima waktu adalah dengan sendiri-sendiri, tidak berjama'ah/beramai-ramai,
serta tidak dengan mengeraskan suara, sedangkan yang biasa diamalkan oleh
saudara-saudara kita kaum muslimin di negeri ini khususnya, maka saya tidak
mengetahui, dalil apa serta madzhab siapa yang mereka ikuti itu!!
Kemudian, di bawah ini akan saya bawakan juga sebagian
keterangan dari para ulama madzhab Syafi'i yang lainnya tentang sifat (cara)
berdzikir yang benar, apakah dengan suara yang keras atau bagaimana?
KESEMBILAN: Imam Ghazaliy
Imam Abu Hamid al Gazaliy asy Syafi'I رحمه الله telah berkata di
dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin (I/358)11 ketika menerangkan adab-adab dalam
berdo'a, ia menyebutkan:
Keempat: Dengan merendahkan suara, antara diam dan keras
(seperti seorang yang sedang berbisik) dengan dalil yang diriwayatkan dari Abu
Musa al Asy'ari [12 ]
'Aisyah رضي الله عنها pernah berkata ketika menafsirkan
firman Allah:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya... [QS. al Isra': 110] Maksudnya "dalam
shalatmu" adalah "dalam do'amu (kepada Allah)."
Allah juga telah memuji Nabi-Nya Zakariya عليه السلام dengan
firman-Nya:
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيّاً
Yaitu tatkala la berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang
lembut. [Maryam: 3]
Allah سبحانه و تعالي juga telah berfirman:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang
lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
[QS. Al A'raf: 55].
KESEPULUH: Imam Nawawi
Kemudian Imam Nawawi juga telah menukil pernyataan Imam al
Ghazaliy di atas dengan ringkas di kitabnya al Adzkar hal. 470.
KESEBELAS:
Imam Nawawi رحمه الله juga telah berkata di dalam kitab
Syarah Muslim (III/ 308)13:
Bab (yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang)
disukainya kita untuk merendahkan suara pada saat berdzikir, kecuali pada tempat-tempat
yang diperintahkan oleh Agama untuk dikeraskan, seperti pada saat bertalbiyah,
dan lain-lain. Serta (bab) tentang sabda beliau kepada para shahabatnya, ketika
mereka mengeraskan suara dalam bertakbir: Wahai manusia, hendaklah kamu
menyayangi diri kalian sendiri, karena sesungguhnya kamu tidaklah menyeru Dzat
Yang tuli dan jauh, bahkan kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha
Dekat, dan Dia itu bersama kalian (dengan ilmu serta pengawasan-Nya)."
Makna kata "( اِرْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ)"
adalah: Kasihanilah diri kalian sendiri dengan cara
merendahkan suara kalian (di dalam berdzikir), karena meninggikan suara itu
hanyalah dilakukan oleh seseorang yang sedang memanggil orang yang berada jauh
darinya, agar orang yang berada jauh darinya itu dapat mendengarnya. Sedangkan kalian saat ini sedang menyeru Allah
Ta'ala, dan Dia tidak tuli dan tidak juga jauh, bahkan Dia itu Maha Mendengar
dan Dekat. Dan Dia selalu berserta kalian dengan Ilmu dan pengawasan-Nya. Maka
dalam hadits ini ada (faidah): Disunnahkannya
kita untuk merendahkan suara di saat berdzikir, bila tidak ada manfaatnya bagi
kita untuk meninggikan suara. Karena sesungguhnya bila seseorang itu
merendahkan suaranya di saat berdzikir, maka hal itu dapat membuat dia lebih
mengagungkan dan meninggikan Allah. Dan bila memang diperlukan untuk meninggikan
suara di saat berdzikir, maka boleh untuk meninggikannya sebagaimana yang telah
disebutkan di dalam beberapa hadits. Sabda beliau yang disebutkan di dalam
riwayat yang lain dari hadits ini: "Bahwa Dzat Yang kalian serukan itu
lebih dekat kepada kalian daripada leher hewan tunggangan kalian," maka
lafazh itu haruslah difahami seperti yang telah lalu (yakni Allah itu sangat
dekat kepada hamba-hamba-Nya, sehingga tidak perlu untuk mengeraskan suara di
dalam berdzikir -pen).
KEDUA BELAS: Imam Baihaqiy
(Imam) Baihaqi—salah seorang pembesar ula¬ma madzhab Syafi'i
(w. 458 H) berdalil dengan hadits ini dan yang lainnya dalam hal menyembunyikan
bacaan dzikir dan do'a (artinya: Tidak mengeraskannya).14
KETIGA BELAS: Al 'Izz bin Abdis Salam
Imam al 'Izz bin 'Abdis Salam asy Syafi'iy (w. 660 H) telah
menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya, sebagaimana yang tercantum
di dalam Fatawanya hal. 46-47 no: 15 sebagai berikut:
Soal: Apakah disunnahkan bagi
kita untuk berjabatan tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar? Dan apakah juga
disunnahkan bagi imam untuk berdo'a setelah selesai salam (shalat) atau tidak?
Dan bila engkau mengatakan bahwa hal itu disunnahkan, maka apakah imam itu juga
harus menghadap ke kiblat atau tidak? Kemudian apakah boleh untuk mengeraskan
suaranya atau justru menyembunyikannya? Kemudian, apakah seorang yang berdo'a
(saat) itu juga boleh untuk mengangkat kedua tangannya atau tidak? Karena ini
bukan merupakan tempat-tempat yang di situ Nabi صلي الله عليه وسلم mengangkat kedua
tangannya.
Jawab: Berjabatan tangan
setelah selesai dari shalat Shubuh dan Ashar termasuk perbuatan bid'ah [15]
Dan Nabi it biasa membaca beberapa dzikir/wirid setelah shalat, dan mengucapkan
istigfar tiga kali, kemudian beliau pergi (dari tempatnya) Dan kebaikan itu
hanyalah kita dapati dengan cara meneladani Rasuli. Imam Syafi'i pun menyukai
agar seorang imam itu segera meninggalkan tempatnya setelah selesai salam
(pastinya, setelah membaca beberapa wirid/dzikir yang disyari'atkan Nabi صلي الله عليه وسلم)
Dan tidaklah disukai bagi seorang pun
untuk mengangkat kedua tangannya di saat berdo'a, kecuali pada saat-saat dan
tempat yang di situ Rasulullah صلي الله عليه وسلم, mengangkat kedua tangannya, dan juga tidak
diperbolehkan untuk mengusapkan kedua tangannya itu ke mukanya setelah selesai
dia berdo'a, karena tidak ada yang melakukannya, kecuali orang-orang yang jahil
(bodoh).
KEEMPAT BELAS: Imam Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir asy Syafi'I رحمه الله berkata di dalam
kitab Tafsirnya (III/307-308)16:
Maka Dia berfirman: "Berdoalah kepada Tu¬hanmu... [QS.
Al A'raf: 205].
Ibnu Juraij mengatakan dari 'Atha al Khurasani dari Ibnu
Abbas, ia berkata dalam rangka menafsirkan ayat di atas: Maksudnya adalah
(berdo'a) dengan tersembunyi. Imam Ibnu Jarir berkata menafsirkan ayat di atas:
Maksudnya adalah dengan merendahkan diri dalam rangka menta'ati Allah, dan
berdo'a dengan penuh kekhusyuan hati dan keyakinan akan ke-Esaan-Nya dan
ke-Mahakuasaan-Nya hanya antara kalian dan Dia semata dengan tidak mengeraskan
suara dan riya... Ibnu Juraij mengatakan: Dimakruhkan untuk mengeraskan suara
di dalam berdzikir dan berdo'a, begitu juga dimakruhkan untuk berteriak ketika
berdo'a, akan tetapi justru kita diperintahkan untuk melakukannya dalam keadaan
merendah diri dan tenang.
Al Hafizh Ibnu Katsir juga berkata di tempat yang lainnya
(III/389)17:
Adapun Firman-Nya: "dengan merendahkan diri dan rasa
takut" maksudnya adalah: Ingatlah akan Tuhanmu di dalam hatimu dengan
penuh rasa harap dan takut (yang berpadu), dan dengan bisikan lisan bukanlah
dengan suara yang tinggi, untuk itulah Dia (lebih menegaskannya lagi dengan) firman-Nya: "Dan dengan
tidak mengeraskan suara," begitulah seharusnya cara seseorang berdzikir kepada
Allah, dan bukannya dengan suara yang tinggi dan sangat keras.
KELIMA BELAS: Al Hafizh Ibnu Hajar:
Imam Ibnu Hajar al 'Asqalani , seorang ulama yang dikenal
menganut madzhab Syafi'i telah berkata di dalam kitabnya Fat-hul Baari
(VI/240)18:
Maksud dari sabda beliau di dalam hadits: (اِرْبَعُوا)
adalah: "kasihanilah (dirimu
sendiri)." Imam ath Thabari mengatakan: Di dalam hadits ini ada larangan
untuk mengeraskan suara di dalam berdo'a dan berdzikir, dan seperti itulah
pendapat umumnya kaum Salaf dari kalangan para Shahabat dan Tabi'in.
Semua ini adalah pendapat dari para ulama kalangan madzhab
Imam Syafi'iy رحمهم الله. Dan begitulah juga pendapat para ulama
dari madzhab yang empat lainnya.19
Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim
1 Dalam buku aslinya Penulis (Ibnu Saini) mencantumkan
perkataan para ulama dari Madzhab Syafi’Ii dalam teks arab, bagi yang
menginginkannya silahkan beli bukunya (Ibnu Majjah)
2 Bagi yang mampu untuk berbahasa Arab; silahkan merujuk ke
kitab al Umm di bagian akhir pembahasan masalah shalat bab:
كَلَامُ الإِمَامِ وَجُلُوسِهِ بَعْد السَّلَامِ
Atau bagi mereka yang belum mampu untuk berbahasa Arab, bisa
juga untuk merujuk ke kitab al Umm edisi terjemahan jilid: I hal: 296, pada
Bab: "Berkata-katanya imam dan duduknya sesudah memberi salam,"
disebutkan sebagai berikut:
"Saya memandang baik bagi imam dan makmum. Bahwa
berdzikir kepada Allah, sesudah keluar dari shalat. Keduanya itu menyembunyikan
dzikir. Kecuali bahwa dia itu (adalah seorang) imam yang harus orang belajar
dari padanya. Maka ia (boleh untuk) mengeraskan suaranya. Sehingga ia melihat
bahwa orang (lain) telah mempelajari (lafazh dzikir itu) dari padanya, (maka)
kemudian ia (kembali) mengecilkan suaranya. Allah 'azza wa Jalla berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
'Dan janganlah engkau sembahyang dengan suara keras dan
jangan pula diam saja.' Yakni Allah Yang maha Tahu. Ialah: Do'a. Tidak engkau
keraskan: Artinya: Tidak engkau tinggikan suara. Dan tidak diam saja: Artinya:
Sehingga tidak dapat engkau dengar sendiri."
Alhamdulillah kitab terjemahan ini telah lama dan banyak
beredar di negeri kita ini. Dengan demikian saya tidak akan dituduh mengada-ada
dalam hal ini
3 Tepatnya di Kitabush Shalah setelah pembahasan salam.
4 Tepatnya di kitab: الــمَسَاجِدِ وَمَوَاضِع الصَّلَاةِ,
bab: الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاةِ
, ketika mensyarah hadits no: 583
5 Shahih: Diriwayatkan oleh Bukhari no: 841 dan Abu Dawud
no: 1002 & 1003
6 Lihat: adz Dzikrul Jama'iy, Bainal Ittiba' Wal lbtida hal.
46, karya DR. Muhammad al Khumais
7 Lihat: riwayat hidupnya di kitab al A'lam karya az Zerikli
(IV: 291)
8 Lihat: kitab Ishlahul Masajid hal. 111 oleh Syaikh
Jamaluddin al Qasimi, dan kitab adz Dzikir al jama'i Bainal Ittiba' wal Ibtida'
hal. 14, oleh DR. Muhammad bin 'Abdirrahman al Khumais.
9 Tepatnya di kitab: (الأَذَان),
bab:الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاة,
Ketika mensyarahkan hadits no: 841.
10 Tepatnya di kitab: Shalat, pada pembahasan dzikir dan
do'a setelah shalat.
11 Tepatnya di kitab: (الأَذْكَرُ والدَّعَوَاتُ)
bab:
(فِيْ أَدَبِ الدُّعَاءِ وَفَضْلِهِ وَفَضْلِ بَعْدِ الأَدْعِيَةِ الــمَأْثُوْرَةِ وَفَضِيْلَةِ الاِسْتِغْفَارِ(
Kitab ini juga banyak beredar di negeri kita ini,
walhamdulillah.
12 Muttafaq 'Alaihi: Al Bukhari no: 2992, Muslim no: 2704,
akan tetapi lofazh yang disebutkan di atas merupakan lafazh hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud no: 1526, 1527
13 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2704
14 Lihat nukilannya di kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab (III:
452) dan kitab Fat-hul Mu’in (I: 185), bersama kitab I’anatuth Thalibin
15 Dan saya telah terangkan tentang kesepakatan para ulama
madzhab untuk membid’ahkan berjabatan tangan setelah shalat wajib, di risalah
saya Hukum Berjabatan Tangan di dalam Islam, Pustaka al ‘Ilmu. Silahkan merujuk
ke risalah tersebut bagi siapa yang menginginkannya
16 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-205 dari surat
al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak
beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
17 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-55 dari surat
al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak
beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
18 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2992
19 Lihat keterangannya di kitab al Hawadits Wal Bida’ hal.66
dan adz Dzikirul Jama’i hal.43-51.
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
+ komentar + 1 komentar
Asalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Maaf saya bukan ingin berdebat, tolong diberi pemahaman, tentang ini
karena syariatnya Alloh lah yang memberi kita ilmu dan membuat kita faham.
Mungkin Judul nya "Dzikir dan Sholat(Berdoa dan Dzikir)"
"Dzikir diluar sholat, Berdoa dan Dzikir dalam Sholat"
Karena ayat (Al Isro dan Al A'raaf ) yang di cantumkan tentang doa dalam keadaan sholat.
1. Sholat adalah berdoa. (Isi bacaan sholat terdapat doa dan dzikir) dengan aturan yang tidak bisa dirubah.
2. Dzikir artinya mengingat Alloh.
Dua kegiatan amaliah yang berbeda.
Berdoa dan berdzikir
Kalo berdoa kan
Ya Alloh ampuni dosa kami ...
Ya Alloh berkahi rezeki kami ...
Ya Alloh sayangilah kami ...
isi bacaan sholat itu doa dan dzikir yang sudah di tetapkan tidak boleh ditambah dan dikurangi, tapi dzikir diluar sholat bebas sebanyak-banyaknya (Surat Al Imron 190,191, Al Ahzab 41,42 )
Sholat/berdoa sudah ditetapkan waktunya dan ada tempat2 yang mustajab
seperti sholat di masjidil Harram, mesjid Nabawi
Dedangkan bacaan dzikir dan bertasbih
Subhaanalloh
Walhamdulillah
La ilaha illalloh
atau menyebut Asmaul husna
dan dzikir itu bisa setiap detik (lihat surat Ali Imron 190,191)
Mungkin seperti itu, maaf jika saya lancang, Alloh Maha Pengampun.
Ya Alloh .. Ampuni hamba yang fakir ilmu ini.
Wallahu A'lam Bishawab
Posting Komentar