Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Home » , » Pandangan Madzhab Syafii Dzikir Berjamaah BAB IV

Pandangan Madzhab Syafii Dzikir Berjamaah BAB IV

Written By sumatrars on Jumat, 21 Februari 2014 | Februari 21, 2014

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bab: IV

Pernyataan Dari Para Ulama Madzhab Imam Syafi'i  Tentang Berdzikir Setelah Selesai Shalat Dengan Suara Keras & Berjama'ah

Setelah ini saya akan membawakan per¬nyataan dalam masalah berdzikir setelah shalat wajib dan juga berdzikir serta berdo'a secara umum dari para ulama kita dari kalangan madzhab Imam Syafi'I  رحمه الله  bahkan juga dari perkataan Imam Syafi'inya  رحمه الله  sendiri:

PERTAMA:
Imam Syafi'I  رحمه الله  sendiri telah berkata di dalam kitabnya yang tersohor "al Umm" (1/127):1
Dan aku (Imam Syafi'i) lebih memilih bagi para imam dan makmum untuk berdzikir sete-lah shalat (yang lima waktu) dengan cara me¬nyembunyikannya (yakni tidak mengeraskan suaranya), kecuali bila imam harus mengajar¬kannya kepada makmum, maka ia (boleh) untuk mengeraskannya sampai mereka bisa mengikutinya, tetapi  kemudian  ia (imam) kembali menyembunyikannya (lagi seperti semula), karena sesungguhnya Allah  سبحانه و تعالي  telah berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
"dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya..."[QS. Al Isra': 110]; maksudnya adalah wallahu Ta'ala a'lam (ketika) berdo'a; "...dan janganlah kamu mengeraskannya.." (maksudnya adalah: janganlah) kamu mengangkat (suaramu ketika berdo'a), " dan janganlah pula kamu merendahkannya" sehingga tidak terdengar oleh dirimu sendiri.2
KEDUA:lmam Nawawi
Imam Nawawi telah menyatakan di il.iliim kitab al Majm’ Syarah Muhadzdzab (III: 484-488)3 sebagai berikut:
Telah terjadi kesepakatan antara Imam Syafi'i dan para ulama pengikut madzhab Syafi'I rahimahumullahul Jami' tentang disunnahkannya dzikir setelah selesai dari Salam, dan hal itu berlaku bagi imam maupun makmum (shalat berjama'ah), dan bagi seorang yang shalat sendirian, baik dia adalah seorang laki-laki maupun wanita, ataupun dia seorang yang sedang safar ataupun tidak... Imam Syafi'i mengatakan:  (kemudian Imam Nawawi membawakan pernyataan Imam Syafi'i di atas). Dan demikianlah juga apa yang telah dinyatakan oleh para ulama dari kalangan madzhab Syafi'i: Bahwa dzikir dan do'a yang dilakukan setelah shalat itu disunnahkan untuk disembunyikan, kecuali bila seorang imam yang hendak mengajarkannya kepada orang-orang, maka dia boleh untuk mengeraskannya, agar mereka dapat belajar (lafazhlafazh dzikir tersebut darinya), dan mereka telah dapat belajar darinya, maka hendaklah ia tidak mengeraskannya lagi,  adapun yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang dengan menugaskan imam untuk khusus (berdzikir dan) berdo'a (untuk sekalian jama'ahnya) pada shalat Shubuh dan Ashar, maka hal itu tidak ada dasarnya (dalam Agama).  Bahkan yang disunnahkan bagi imam untuk menghadap kepada jema'ahnya (setelah selesai shalat). Wallahu a'lam.

KETIGA:
Imam Nawawi juga telah berkata di tempat yang lainnya di dalam kitabnya Syarah Muslim (V/84)4:
Dalam sebuah riwayat: "Bahwa meninggikan suara di saat berdzikir ketika manusia baru sa-ja menyelesaikan shalat wajib itu adalah hal yang biasa terjadi pada masa Nabi   صلي الله عليه وسلم "  dan Ibnu  Abbas  رضي الله عنهما  pernah mengatakan:
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
"Dahulu aku mengetahui selesainya (Nabi   صلي الله عليه وسلم  dan para Shahabatnya  رضي الله عنهم)  dari shalat wajib dengannya (mendengar suara dzikir mereka).[5]
Sedangkan (Para ulama) yang lainnya, mereka semuanya sepakat, bahwa mengeraskan suara di saat berdzikir dan bertakbir itu tidaklah disukai. Dan Imam Syafi'i telah memahami bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan untuk dilakukan pada batas waktu yang singkat, sehingga sang imam dapat mengajarkan lafazh dzikir itu kepada makmumnya. Dan tidak berarti bahwa mereka mengeraskannya secara terus menerus.
Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih memilih, bagi Imam dan makmum untuk menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah shalat wajib, yakni; sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang keras .-pen), kecuali bila sang imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya, maka dia boleh untuk mengeraskannya, sehingga dia melihat bahwa para makmumnya telah mampu untuk berdzikir (sendiri-sendiri). Bila demikian, maka hendaknya dia (imam) menyembunyikan (lagi seperti semula).
Beginilah caranya Imam Syafi'i memahami hadits-hadits di atas (dan yang semisalnya).

KEEMPAT:

Ia juga telah menyatakan di dalam kitab at Tahqiq (hal. 219) sebagai berikut:
Dan telah disunnahkan untuk berdikir dan berdo'a setiap setelah selesai dari salam; dengan cara menyembunyikan (tidak mengeraskan) bacaan (dzikir dan do'anya itu), terkecuali bila seorang imam yang hendak mengajarkan bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka dia boleh untuk mengeraskan bacaannya tersebut. Namun, bila dia melihat bahwa orang-orang (makmum) telah belajar darinya bacaan-bacaan tersebut, maka hendaklah dia kembali untuk menyembunyikan kembali.6
KELIMA:
Kemudian Imam Diyaa-uddin al Azdra'i (w. 731 H) [7] pernah menyatakan:
Imam Syafi'I  رحمه الله  memahami  hadits-hadits yang menunjukkan bahwa berdzikir (setelah shalat itu) dengan suara yang keras, bahwa hal itu dimaksudkan bagi orang yang hendak mengajarkan (lafazh dzikir-dzikir tersebut). [8 ]

KEENAM: Al Hafizh Ibnu Hajar:

Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata di dalam kitabnya Fath-hul Bari (II/326)9:
Dan di dalam redaksi hadits di atas ada isyarat bahwa para Shahabat, tidaklah meninggikan suara mereka di dalam berdzikir, di saat yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Saya (Ibnu Hajar) katakan: Bahwa mengkaitkan perbuatan tersebut kepada para Shahabat, perlu diteliti kembali, sebab pada saat Itu tidak tertinggal dari para Shahabat kecuali sedikit.
Imam Nawawi mengatakan: Dan Imam Syafi'i telah memahami bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan dilakukan pada batas waktu yang singkat, sehingga sang imam dapat mengajarkan lafazh dzikir itu kepada makmumnya, dan tidak berarti bahwa mereka mengeraskannya secara terus menerus. Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih memilih bagi Imam dan makmum untuk menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah shalat wajib sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang tinggi), kecuali bila imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya.

KETUJUH:

Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz al Malibari di dalam kitabnya Fat-hul Mu'in (III: 185-186)10 setelah membawakan pernyataan Imam Syafi'i di atas secara lengkap dari kitab al Umm, maka ia mengatakan:
Faidah: Syaikh kami mengatakan: Adapun (berdzikir atau berdo'a) dengan suara yang sangat keras di dalam masjid, sehingga mengganggu orang yang sedang shalat, maka sudah selayaknya hal seperti ini untuk DIHARAMKAN.

KEDELAPAN:
Lihat juga nukilan di atas beserta sedikit keterangannya di kitab Hasyiyah I'anatith Thalibin (1:185), karya Sayyid al Bakriy bin Sayyid Muhammad Syatha' ad Dimyathiy.
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi'i di atas, jelaslah bagi kita bahwa madzhab beliau dalam masalah berdzikir setelah shalat yang lima waktu adalah dengan sendiri-sendiri, tidak berjama'ah/beramai-ramai, serta tidak dengan mengeraskan suara, sedangkan yang biasa diamalkan oleh saudara-saudara kita kaum muslimin di negeri ini khususnya, maka saya tidak mengetahui, dalil apa serta madzhab siapa yang mereka ikuti itu!!
Kemudian, di bawah ini akan saya bawakan juga sebagian keterangan dari para ulama madzhab Syafi'i yang lainnya tentang sifat (cara) berdzikir yang benar, apakah dengan suara yang keras atau bagaimana?

KESEMBILAN: Imam Ghazaliy

Imam Abu Hamid al Gazaliy asy Syafi'I  رحمه الله  telah berkata di dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin (I/358)11 ketika menerangkan adab-adab dalam berdo'a, ia menyebutkan:
Keempat: Dengan merendahkan suara, antara diam dan keras (seperti seorang yang sedang berbisik) dengan dalil yang diriwayatkan dari Abu Musa al Asy'ari [12 ]
'Aisyah  رضي الله عنها  pernah berkata ketika menafsirkan firman Allah:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا

dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya... [QS. al Isra': 110] Maksudnya "dalam shalatmu" adalah "dalam do'amu (kepada Allah)."
Allah juga telah memuji Nabi-Nya Zakariya  عليه السلام  dengan firman-Nya:

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيّاً

Yaitu tatkala la berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. [Maryam: 3]
Allah سبحانه و تعالي juga telah berfirman:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [QS. Al A'raf: 55].

KESEPULUH: Imam Nawawi

Kemudian Imam Nawawi juga telah menukil pernyataan Imam al Ghazaliy di atas dengan ringkas di kitabnya al Adzkar hal. 470.

KESEBELAS:

Imam Nawawi  رحمه الله  juga telah berkata di dalam kitab Syarah Muslim (III/ 308)13:
Bab (yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang) disukainya kita untuk merendahkan suara pada saat berdzikir, kecuali pada tempat-tempat yang diperintahkan oleh Agama untuk dikeraskan, seperti pada saat bertalbiyah, dan lain-lain. Serta (bab) tentang sabda beliau kepada para shahabatnya, ketika mereka mengeraskan suara dalam bertakbir: Wahai manusia, hendaklah kamu menyayangi diri kalian sendiri, karena sesungguhnya kamu tidaklah menyeru Dzat Yang tuli dan jauh, bahkan kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia itu bersama kalian (dengan ilmu serta pengawasan-Nya)."
Makna kata  "( اِرْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ)"  adalah:  Kasihanilah diri kalian sendiri dengan cara merendahkan suara kalian (di dalam berdzikir), karena meninggikan suara itu hanyalah dilakukan oleh seseorang yang sedang memanggil orang yang berada jauh darinya, agar orang yang berada jauh darinya itu dapat mendengarnya.  Sedangkan kalian saat ini sedang menyeru Allah Ta'ala, dan Dia tidak tuli dan tidak juga jauh, bahkan Dia itu Maha Mendengar dan Dekat. Dan Dia selalu berserta kalian dengan Ilmu dan pengawasan-Nya. Maka dalam hadits ini ada (faidah):  Disunnahkannya kita untuk merendahkan suara di saat berdzikir, bila tidak ada manfaatnya bagi kita untuk meninggikan suara. Karena sesungguhnya bila seseorang itu merendahkan suaranya di saat berdzikir, maka hal itu dapat membuat dia lebih mengagungkan dan meninggikan Allah. Dan bila memang diperlukan untuk meninggikan suara di saat berdzikir, maka boleh untuk meninggikannya sebagaimana yang telah disebutkan di dalam beberapa hadits. Sabda beliau yang disebutkan di dalam riwayat yang lain dari hadits ini: "Bahwa Dzat Yang kalian serukan itu lebih dekat kepada kalian daripada leher hewan tunggangan kalian," maka lafazh itu haruslah difahami seperti yang telah lalu (yakni Allah itu sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya, sehingga tidak perlu untuk mengeraskan suara di dalam berdzikir -pen).

KEDUA BELAS: Imam Baihaqiy

(Imam) Baihaqi—salah seorang pembesar ula¬ma madzhab Syafi'i (w. 458 H) berdalil dengan hadits ini dan yang lainnya dalam hal menyembunyikan bacaan dzikir dan do'a (artinya: Tidak mengeraskannya).14

KETIGA BELAS: Al 'Izz bin Abdis Salam

Imam al 'Izz bin 'Abdis Salam asy Syafi'iy (w. 660 H) telah menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya, sebagaimana yang tercantum di dalam Fatawanya hal. 46-47 no: 15 sebagai berikut:
Soal: Apakah disunnahkan bagi kita untuk berjabatan tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar? Dan apakah juga disunnahkan bagi imam untuk berdo'a setelah selesai salam (shalat) atau tidak? Dan bila engkau mengatakan bahwa hal itu disunnahkan, maka apakah imam itu juga harus menghadap ke kiblat atau tidak? Kemudian apakah boleh untuk mengeraskan suaranya atau justru menyembunyikannya? Kemudian, apakah seorang yang berdo'a (saat) itu juga boleh untuk mengangkat kedua tangannya atau tidak? Karena ini bukan merupakan tempat-tempat yang di situ Nabi  صلي الله عليه وسلم  mengangkat kedua tangannya.
Jawab: Berjabatan tangan setelah selesai dari shalat Shubuh dan Ashar termasuk perbuatan bid'ah [15] Dan Nabi it biasa membaca beberapa dzikir/wirid setelah shalat, dan mengucapkan istigfar tiga kali, kemudian beliau pergi (dari tempatnya) Dan kebaikan itu hanyalah kita dapati dengan cara meneladani Rasuli. Imam Syafi'i pun menyukai agar seorang imam itu segera meninggalkan tempatnya setelah selesai salam (pastinya, setelah membaca beberapa wirid/dzikir yang disyari'atkan Nabi  صلي الله عليه وسلم)  Dan tidaklah disukai bagi seorang pun untuk mengangkat kedua tangannya di saat berdo'a, kecuali pada saat-saat dan tempat yang di situ Rasulullah  صلي الله عليه وسلم,  mengangkat kedua tangannya, dan juga tidak diperbolehkan untuk mengusapkan kedua tangannya itu ke mukanya setelah selesai dia berdo'a, karena tidak ada yang melakukannya, kecuali orang-orang yang jahil (bodoh).

KEEMPAT BELAS: Imam Ibnu Katsir

Imam Ibnu Katsir asy Syafi'I  رحمه الله  berkata di dalam kitab Tafsirnya (III/307-308)16:
Maka Dia berfirman: "Berdoalah kepada Tu¬hanmu... [QS. Al A'raf: 205].
Ibnu Juraij mengatakan dari 'Atha al Khurasani dari Ibnu Abbas, ia berkata dalam rangka menafsirkan ayat di atas: Maksudnya adalah (berdo'a) dengan tersembunyi. Imam Ibnu Jarir berkata menafsirkan ayat di atas: Maksudnya adalah dengan merendahkan diri dalam rangka menta'ati Allah, dan berdo'a dengan penuh kekhusyuan hati dan keyakinan akan ke-Esaan-Nya dan ke-Mahakuasaan-Nya hanya antara kalian dan Dia semata dengan tidak mengeraskan suara dan riya... Ibnu Juraij mengatakan: Dimakruhkan untuk mengeraskan suara di dalam berdzikir dan berdo'a, begitu juga dimakruhkan untuk berteriak ketika berdo'a, akan tetapi justru kita diperintahkan untuk melakukannya dalam keadaan merendah diri dan tenang.
Al Hafizh Ibnu Katsir juga berkata di tempat yang lainnya (III/389)17:
Adapun Firman-Nya: "dengan merendahkan diri dan rasa takut" maksudnya adalah: Ingatlah akan Tuhanmu di dalam hatimu dengan penuh rasa harap dan takut (yang berpadu), dan dengan bisikan lisan bukanlah dengan suara yang tinggi, untuk itulah Dia (lebih menegaskannya  lagi dengan) firman-Nya: "Dan dengan tidak mengeraskan suara," begitulah seharusnya cara seseorang berdzikir kepada Allah, dan bukannya dengan suara yang tinggi dan sangat keras.

KELIMA BELAS: Al Hafizh Ibnu Hajar:

Imam Ibnu Hajar al 'Asqalani , seorang ulama yang dikenal menganut madzhab Syafi'i telah berkata di dalam kitabnya Fat-hul Baari (VI/240)18:
Maksud dari sabda beliau di dalam hadits:  (اِرْبَعُوا)  adalah: "kasihanilah (dirimu sendiri)." Imam ath Thabari mengatakan: Di dalam hadits ini ada larangan untuk mengeraskan suara di dalam berdo'a dan berdzikir, dan seperti itulah pendapat umumnya kaum Salaf dari kalangan para Shahabat dan Tabi'in.
Semua ini adalah pendapat dari para ulama kalangan madzhab Imam Syafi'iy  رحمهم الله. Dan begitulah juga pendapat para ulama dari madzhab yang empat lainnya.19

 Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim


1 Dalam buku aslinya Penulis (Ibnu Saini) mencantumkan perkataan para ulama dari Madzhab Syafi’Ii dalam teks arab, bagi yang menginginkannya silahkan beli bukunya (Ibnu Majjah)
2 Bagi yang mampu untuk berbahasa Arab; silahkan merujuk ke kitab al Umm di bagian akhir pembahasan masalah shalat bab:

كَلَامُ الإِمَامِ وَجُلُوسِهِ بَعْد السَّلَامِ

Atau bagi mereka yang belum mampu untuk berbahasa Arab, bisa juga untuk merujuk ke kitab al Umm edisi terjemahan jilid: I hal: 296, pada Bab: "Berkata-katanya imam dan duduknya sesudah memberi salam," disebutkan sebagai berikut:
"Saya memandang baik bagi imam dan makmum. Bahwa berdzikir kepada Allah, sesudah keluar dari shalat. Keduanya itu menyembunyikan dzikir. Kecuali bahwa dia itu (adalah seorang) imam yang harus orang belajar dari padanya. Maka ia (boleh untuk) mengeraskan suaranya. Sehingga ia melihat bahwa orang (lain) telah mempelajari (lafazh dzikir itu) dari padanya, (maka) kemudian ia (kembali) mengecilkan suaranya. Allah 'azza wa Jalla berfirman:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا

'Dan janganlah engkau sembahyang dengan suara keras dan jangan pula diam saja.' Yakni Allah Yang maha Tahu. Ialah: Do'a. Tidak engkau keraskan: Artinya: Tidak engkau tinggikan suara. Dan tidak diam saja: Artinya: Sehingga tidak dapat engkau dengar sendiri."
Alhamdulillah kitab terjemahan ini telah lama dan banyak beredar di negeri kita ini. Dengan demikian saya tidak akan dituduh mengada-ada dalam hal ini
3 Tepatnya di Kitabush Shalah setelah pembahasan salam.
4 Tepatnya di kitab:  الــمَسَاجِدِ وَمَوَاضِع الصَّلَاةِ, bab: الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاةِ ,  ketika mensyarah hadits no: 583
5 Shahih: Diriwayatkan oleh Bukhari no: 841 dan Abu Dawud no: 1002 & 1003
6 Lihat: adz Dzikrul Jama'iy, Bainal Ittiba' Wal lbtida hal. 46, karya DR. Muhammad al Khumais
7 Lihat: riwayat hidupnya di kitab al A'lam karya az Zerikli (IV: 291)
8 Lihat: kitab Ishlahul Masajid hal. 111 oleh Syaikh Jamaluddin al Qasimi, dan kitab adz Dzikir al jama'i Bainal Ittiba' wal Ibtida' hal. 14, oleh DR. Muhammad bin 'Abdirrahman al Khumais.
9 Tepatnya di kitab:  (الأَذَان), bab:الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاة,  Ketika mensyarahkan hadits no: 841.
10 Tepatnya di kitab: Shalat, pada pembahasan dzikir dan do'a setelah shalat.
11 Tepatnya di kitab:  (الأَذْكَرُ والدَّعَوَاتُ)  bab:

(فِيْ أَدَبِ الدُّعَاءِ وَفَضْلِهِ وَفَضْلِ بَعْدِ الأَدْعِيَةِ الــمَأْثُوْرَةِ وَفَضِيْلَةِ الاِسْتِغْفَارِ(

Kitab ini juga banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah.
12 Muttafaq 'Alaihi: Al Bukhari no: 2992, Muslim no: 2704, akan tetapi lofazh yang disebutkan di atas merupakan lafazh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no: 1526, 1527
13 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2704
14 Lihat nukilannya di kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab (III: 452) dan kitab Fat-hul Mu’in (I: 185), bersama kitab I’anatuth Thalibin
15 Dan saya telah terangkan tentang kesepakatan para ulama madzhab untuk membid’ahkan berjabatan tangan setelah shalat wajib, di risalah saya Hukum Berjabatan Tangan di dalam Islam, Pustaka al ‘Ilmu. Silahkan merujuk ke risalah tersebut bagi siapa yang menginginkannya
16 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-205 dari surat al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
17 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-55 dari surat al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
18 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2992
19 Lihat keterangannya di kitab al Hawadits Wal Bida’ hal.66 dan adz Dzikirul Jama’i hal.43-51.


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ ??ْ?َٰ?َ?ِ??


Anda Sedang membaca artikel yang berjudul Pandangan Madzhab Syafii Dzikir Berjamaah BAB IV Silahkan baca artikel dari BLOG AL ISLAM Tentang , Yang lainnya. Dan Ingin Mengeprint klik tombol prin di Bawah, atau bookmark halaman ini dengan URL : https://alislam-sr.blogspot.com/2012/10/pandangan-madzhab-syafii-dzikir_21.html
Klik Untuk Print Friendly and PDF
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

31 Agustus 2016 pukul 23.04

Asalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Maaf saya bukan ingin berdebat, tolong diberi pemahaman, tentang ini
karena syariatnya Alloh lah yang memberi kita ilmu dan membuat kita faham.

Mungkin Judul nya "Dzikir dan Sholat(Berdoa dan Dzikir)"
"Dzikir diluar sholat, Berdoa dan Dzikir dalam Sholat"

Karena ayat (Al Isro dan Al A'raaf ) yang di cantumkan tentang doa dalam keadaan sholat.

1. Sholat adalah berdoa. (Isi bacaan sholat terdapat doa dan dzikir) dengan aturan yang tidak bisa dirubah.

2. Dzikir artinya mengingat Alloh.

Dua kegiatan amaliah yang berbeda.

Berdoa dan berdzikir

Kalo berdoa kan
Ya Alloh ampuni dosa kami ...
Ya Alloh berkahi rezeki kami ...
Ya Alloh sayangilah kami ...

isi bacaan sholat itu doa dan dzikir yang sudah di tetapkan tidak boleh ditambah dan dikurangi, tapi dzikir diluar sholat bebas sebanyak-banyaknya (Surat Al Imron 190,191, Al Ahzab 41,42 )

Sholat/berdoa sudah ditetapkan waktunya dan ada tempat2 yang mustajab
seperti sholat di masjidil Harram, mesjid Nabawi

Dedangkan bacaan dzikir dan bertasbih
Subhaanalloh
Walhamdulillah
La ilaha illalloh
atau menyebut Asmaul husna
dan dzikir itu bisa setiap detik (lihat surat Ali Imron 190,191)


Mungkin seperti itu, maaf jika saya lancang, Alloh Maha Pengampun.
Ya Alloh .. Ampuni hamba yang fakir ilmu ini.
Wallahu A'lam Bishawab

Posting Komentar

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger