BLOG AL ISLAM
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
▼
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
Live Traffic
Orang Baik Bukan Berarti Bebas Cobaan
Written By sumatrars on Minggu, 12 Februari 2023 | Februari 12, 2023
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, ‘kami telah beriman’ TANPA diuji?! Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar tahu orang-orang yang tulus dan orang-orang yang dusta“. (QS. Al-Ankabut: 2-3).
Ingat pula Sabda Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-:
أشدُّالناسِ بلاءً الأنبياءُ ، ثم الأمثلُ فالأمثلُ ، يُبتلى الناسُ على قدْرِ دينِهم ، فمن ثَخُنَ دينُه اشْتدَّ بلاؤُه ، و من ضعُف دينُه ضَعُف بلاؤه ، و إنَّ الرجلَ لَيُصيبُه البلاءُ حتى يمشيَ في الناسِ ما عليه خطيئةٌ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang paling baik (setelahnya), lalu orang yang paling baik (setelahnya). Maka siapa yang agamanya berbobot, cobaannya juga berat. Siapa yang agamanya lemah, cobaannya juga ringan. Dan sungguh seseorang akan terus ditimpa cobaan, hingga dia berjalan di tengah-tengah manusia tanpa dosa sedikitpun“. [(HR. Ibnu Hibban no. 2900, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 993).
Jangan lupa juga perkataan Syaikh Abdul Qodir Jaelani -rahimahullah-: “Wahai anak kecilku, sungguh musibah itu datang bukan untuk membinasakanmu, namun dia datang untuk menguji kesabaran dan imanmu. Wahai anak kecilku, cobaan itu (ibarat) hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, 4/178).
Oleh karena itu, semakin tinggi agama kita, semakin kita butuh berdoa untuk keteguhan iman kita, sebagaimana dicontohkan Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-. Ummu Salamah -isteri beliau- mengatakan: Dahulu doa Nabi -shallallahu’alaihi wasallam- yang paling banyak adalah:
يا مقلب القلوب, ثبت قلبي على دينك
“Wahai Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu“. (HR. Tirmidzi: 3522, disahihkan oleh Syeikh Albani).
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin
Written By Rachmat.M.Flimban on Minggu, 20 Maret 2022 | Maret 20, 2022
AQIDAH
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam.
Perbedaan Antara Menyebutkan Nikmat Allah Dengan Ujub
Written By sumatrars on Selasa, 31 Maret 2015 | Maret 31, 2015
Dalam artikel yang berjudul Sudahkah Anda Melakukan Tahadduts Bin Ni’mah? telah disebutkan bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan sudah dijelaskan pula bahwa nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan dunia.
Berarti jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ (memamerkan amal shaleh) atau ‘ujub (membanggakan amal shalih)? Berikut keterangan para ulama rahimahumullah:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan ujub (merasa bangga dengan nikmat) adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya (atas limpahan nikmat tersebut), mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk (baca merendahkan) dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” (Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312).
Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menyebutkan keta’atan (amal shaleh) dirinya,tidak terlepas dari dua keadaan :
-
Pendorongnya adalah ingin menyatakan dirinya suci dan menghitung-hitung amalnya di hadapan Rabbnya. Hal ini adalah perkara yang berbahaya, terkadang bisa merusak amalnya dan menggugurkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari menyatakan diri bersih (suci), Dia berfirman
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm:32).
Kedua, pendorongnya adalah ingin menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (tahadduts bin ni’mah), dan ia maksudkan hal itu sebagai wasilah agar dicontoh oleh orang-orang yang semisalnya. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” (QS. Adh-Dhuha: 11).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة
“Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh amal shalih (maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya), maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” (Nur ‘alad Darb: 30/12).
Kesimpulan
Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah (termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh) sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`(memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia) dan sum’ah (memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia),maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.
Dan yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah (ikhlas) lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian itu.
Dari Abi Dzar -radhiallahu ‘anhu- berkata,
قيل: يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه؟ قال: تلك عاجل بشرى المؤمن) رواه مسلم.
“Ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda (Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin)” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Catatan :
Perlu diketahui, bahwa orang yang menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan tanpa ada niat riya` dan sum’ah, maka bukanlah termasuk kedalam kategori “sikap sengaja menampakkan jenis yang tercela”, bahkan hal itu termasuk “sikap menampakkan jenis yang terpuji”, asal sesuai dengan yang disyariatkan.
Wallahu A’lam.
(Diolah dari: islamqa.info/ar/137984 dan islamqa.info/ar/148158 )
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Mengatakan Allah Punya Anak, Hampir-Hampir Langit Terbelah
Written By sumatrars on Selasa, 20 Januari 2015 | Januari 20, 2015
Category : Aqidah,
Mengatakan Allah Punya Anak, Hampir-Hampir Langit Terbelah
Pantaskah Allah dikatakan punya anak seperti yang disuarakan oleh orang Nashrani? Sungguh perkataan ini adalah perkataan mungkar yang hampir membuat langit terbelah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)
“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (QS. Maryam: 88-92)
Inilah sanggahan yang telak pada orang yang menyatakan Allah memiliki anak seperti yang disuarakan oleh orang Nashrani. Orang Nashrani menyatakan Isa sebagai putera Allah. Juga orang Yahudi menyatakan bahwa Uzair itu putera Allah. Sedangkan orang musyrik menyatakan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Maha Suci Allah akan perkataan busuk mereka.
Allah pun membantah bahwa sungguh perkataan tersebut sangat-sangat keji. Yang menunjukkan bahayanya perkataan semacam itu, Allah katakan bahwa hampir-hampir saja langit runtuh. Gara-gara perkataan itu pula, bumi hampir saja terbelah. Gunung-gunung pun ikut hancur lantaran perkataan mungkar tersebut.
Ingatlah, Allah tidak pantas dikatakan demikian. Apabila dinyatakan Allah memiliki anak, itu menunjukkan adanya sifat kekurangan dan itu sama saja menandakan Allah itu butuh pada makhluk. Padahal Allah itu “al ghoniy al hamiid”, yang Maha Cukup (artinya: tidak butuh pada makhluk-Nya) dan Maha Terpuji.
Begitu pula jika ada yang mengatakan Allah memiliki anak, berarti anak itu akan serupa dengan orang tuanya. Padahal tidak ada yang serupa dengan Allah Ta’ala. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, Taisir Al Karimir Rahman.
Berarti kekeliruan dari pernyataan Allah itu memiliki anak: (1) Allah itu tidak butuh pada makhluk, (2) Allah itu tidak serupa dengan makhluk sebagaimana kemiripan antara orang tua dan anak.
Ka’ab Al Ahbar mengatakan,
غضبت الملائكة، واستعرت النار ، حين قالوا ما قالوا
“Malaikat akan murka, api neraka akan panas menyala ketika mereka menyuarakan apa yang mereka katakan.”
Meski dikatakan seperti itu, Allah masih tetap memberikan rezeki. Meskipun disakiti, Allah tetap memberikan maaf. Dalam hadits yang dikeluarkan dalam shahihain,
لَيْسَ أَحَدٌ – أَوْ لَيْسَ شَىْءٌ – أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ ، إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا ، وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih sabar dari bentuk disakiti yang ia dengar selain Allah. Mereka menyatakan bahwa Allah memiliki anak. Meski demikian, Allah masih memaafkan mereka dan tetap memberikan mereka rezeki.” (HR. Bukhari no. 6099 dan Muslim no. 2804, dari Abu Musa). Demikian pelajaran dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah.
Namun tetap perkataan “Allah itu punya anak” adalah mungkar.
Ibnu Katsir menyatakan,
وأنه لا إله إلا هو، وأنه لا شريك له، ولا نظير له ولا ولد له، ولا صاحبة له، ولا
كفء له، بل هو الأحد الصمد:
وفي كُلّ شَيءٍ له آيةٌ … تَدُل على أنه واحِدُ …
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah tidaklah memiliki anak dan istri. Tidak ada yang semisal dengan-Nya. Allah itu Al Ahad Ash Shomad (Maha Esa dan semua makhluk bergantung pada-Nya).
Pada segala sesuatu terdapat ayat (tanda kuasa Allah), itu semua menunjukkan Allah itu Esa.” Demikian dinukil dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim.
Dari sini, apakah pantas seorang muslim mengucapkan selamat natal, padahal maksud natal adalah memperingati kelahiran Isa sebagai anak Tuhan?! Tidak pantas menyatakan pula mengucapkan natal masuk dalam perselisihan fikih, dan bukan dalam ranah akidah.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Article : Blog Al-Islam
Akhlaq dan Nasehat, Surat Terbuka Untuk Sang “Senior”
Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015
[Diolah dari ceramah Ustadzunal Fadhil Abdullah Taslim,Lc. MA. ]
Disusun oleh: Ustadz Sa’id
الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله، أما بعد :
Untukmu yang sudah lama keluar masuk halaqoh & dauroh …
Untukmu yang telah malang melintang di dunia kepanitiaan & kepengurusan lembaga dakwah…
Adalah sebuah kenikmatan & anugerah dari , anda bisa menyelesaikan sekian banyak kitab Ulama & mengikuti sekian banyak kajian…
Allah telah memilih Antum menjadi orang yang telah lama mengenal aqidah shahihah & manhaj yang haq…
Allah telah memuliakan Antum menjadi orang yang telah banyak mencicipi lezatnya keimanan…
Keindahan demi keindahan telah anda rasakan sedjak tempo doeloe…
Keindahan tampilan berjenggot dan tidak isbal, kelezatan bisa baca kitab gundul,kenikmatan menghafal beberapa juz Al-Qur`an, kebahagiaan selamat dari sekian aliran sesat, bahkan sekedar kenal ucapan antum & anti, akh & ukhti pun sudah cukup memutar ulang nostalgia manis tersebut!
Itu mah cerita jadul, Mas!
Maksud kami, janganlah terbuai dengan kenangan manis masa lalu, tanpa melihat kenyataan “bagaimana keadaan saya sekarang?”
Sampai manakah perjalanan Anda sekarang?
Bukankah hidup ini hakekatnya adalah perjalanan?
Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda :
كلّ الناسِ يغدو؛ فبائعٌ نَفسَه فمُعتِقها أو موبِقها
“Setiap hari semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya,keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya!” (Hadits Riwayat Imam Muslim).
Renungkanlah!
Seorang hamba sangatlah butuh untuk bisa istiqomah dalam melakukan perjalanannya menuju kepada Allah Ta`ala, dihadapannya banyak fitnah syubhat dan syahwat menghadang. Dan akan semakin menguat kebutuhan tersebut ketika dia berada di akhir zaman, yang diantara ciri khas akhir zaman adalah sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
(بادروا بالأعمال فتنا كقطع الليل المظلم يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا أو يمسي مؤمنا ويصبح كافرا يبيع دينه بعرض من الدنيا)
“Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal shalih, sebelum datangnya gelombang fitnah yang ciri khasnya seperti tumpukan malam yang gelap gulita tanpa cahaya bulan,dahsyatnya gelombang fitnah tersebut mengakibatkan seseorang yang paginya masih dalam keadaan beriman ,sorenya sudah dalam keadaan kufur (baik kufur akbar maupun ashghar-pent) atau sorenya Mukmin ,pagi harinya kufur,dia menjual agamanya dengan secuil dari perhiasan dunia” ,
(Shahih Muslim, bab Dorongan bersegera beramal shalih,sebelum bermunculannya fitnah)
Faedah dari Hadits ini :
-
Perintah untuk bersegera melakukan amal shalih,sebelum datangnya penghalang dan perkara yang menyibukkan seseorang dari beribadah,karena jika gelombang fitnah telah datang,seseorang akan sibuk dengannya,tidak bisa melakukan ibadah dan amal shalih dengan baik.
-
Diantara sifat fitnah akhir zaman :
Seperti tumpukan malam yang gelap gulita tidak bercahaya bulan,sehingga menyebabkan gelap pandangan,seseorang yang terkena fitnah tidak bisa membedakan yang Haq dengan yang batil, padahal jika diluar masa terjadi fitnah,hal itu jelas sekali.
Sesuatu yang sudah jelas-jelas benarnya bisa ditukar dengan sesuatu yang jelas-jelas batilnya,itupun dalam rentang waktu yang singkat! Keimanan adalah sesuatu yang sudah jelas-jelas benarnya,namun ketika gelombang fitnah menghantam,bisa ditukar dengan kekufuran yang jelas-jelas batilnya,dalam waktu satu hari saja! Nah bagaimana lagi dengan perkara-perkara,urusan-urusan yang tingkat kejelasannya dibawah masalah keimanan?? Seseorang bisa lebih gelap pandangannya.
-
Ciri orang yang terfitnah : “…menjual agamanya dengan secuil dari perhiasan dunia”, perhiasan dunia yang dimaksud disini bukan hanya harta, tapi juga wanita, pria, jabatan dan yang lainnya. Saat-saat fitnah menyerang seseorang bisa nekad menggadaikan agamanya dengan ditukar harta, atau wanita atau jabatan.
Antara Sahabat, Tabi’ut Tabi’in dan Kita
Fitnah memang sangat mengerikan, maka wajib bagi kita semua untuk merasa takut terkena fitnah. Jangankan kita, para Sahabat saja merasa takut menjumpai fitnah yang ada pada zaman setelahnya.
Sebagaimana hal ini disebutkan oleh salah satu Imam tabi`ut tabi`in, yaitu : Imam Sufyan Ats-tsauri رحمه الله تعالى ,dahulu Beliau pernah berkata tentang zamannya ,dalam sebuah surat yang ditulisnya :
بلغني أن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا يتعوذون أن يدركوا هذا الزمان وكان لهم من العلم ما ليس لنا ، فكيف بنا حين أدركنا على قلة علم وبصر وقلة صبر وقلة أعوان على الخير مع كدر من الزمان وفساد من الناس . وعليك بالأمر الأول والتمسك به وعليك بالخمول فإن هذا زمان خمول وعليك بالعزلة وقلة مخالطة الناس
“ …telah sampai khabar kepadaku bahwa para Sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dahulu berlindung dari menjumpai zaman kita ini, padahal mereka memiliki ilmu yang tidak kita miliki, maka bagaimana lagi dengan kita yang menjumpainya dengan bekal ilmu kita yang sedikit,kesabaran yang minim dan sedikitnya teman yang membantu kita berbuat baik,serta diiringi dengan sebagian rusaknya zaman dan manusia?….”
Bagaimana dengan kita?
Para Sahabat yang demikian tinggi ilmunya, kuat kesabarannya dan banyak penolong kebaikan بعد الله, mereka takut menjumpai zaman Imam Sufyan Ats-Tsauri, yang merupakan zaman tabi`ut tabi`in, yang ketika itu masih banyak para Imam Ulama AhlusSunnah yang mentarbiyyah umat, kebenaran masih dominan serta jauh lebih sedikit fitnah dibandingkan zaman kita sekarang ini,
Bagaimana lagi dengan kita yang lemah ilmu, amal,ibadah,kesabaran dan ketakwaan dibandingkan dengan mereka ditengah zaman yang banyak rintangan fitnah syahwat dan syubhat ini ??
Oleh karena itu, siapapun kita (senior ataupun junior dalam dunia pengajian),bagaimanapun baiknya keimanan kita,bagaimanapun tingginya kedudukan kita di tengah masyarakat, selayaknya kita lebih takut terkena fitnah dibandingkan para Shahabat !
Seberapapun lamanya kita mengaji manhaj Salaf ini,sebanyak apapun kitab yang telah kita khatamkan,sesenior apapun kita dalam berdakwah,tetap hal itu tidak bisa menjadi alasan merasa aman terkena fitnah.
Harusnya keadaan kita yang banyak kelemahan tersebut, mendorong kita lebih berhati-hati terhadap sebab-sebab, ucapan, perbuatan, tempat, aktifitas, dan seluruh perkara yang bisa menimbulkan fitnah.
Terlebih-lebih jika seandainya kenangan manis sang Senior tempo doeloe tersebut tidak banyak lagi menghiasi kehidupannya.
نسأل الله السلامة و العافية
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya (3)
Written By sumatrars on Jumat, 02 Januari 2015 | Januari 02, 2015
Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah Memukul Anak yang Nakal untuk Mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-Cara Menghukum Anak yang Tidak Dibenarkan Dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
-
Memukul wajah
-
Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
-
Memukul dalam keadaan sangat marah
-
Bersikap terlalu keras dan kasar
-
Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]
Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]
Penutup
Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[1] Hadits shahih riwayat
Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain;
dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul
Jami’ish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam
Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani
dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (2)
Written By sumatrars on Kamis, 01 Januari 2015 | Januari 01, 2015
Transcribed on : 01 Januari 2015 M
Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).
Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah manusia itu dewasa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[1]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[2]
Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[3]
Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[5]
Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….
(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[6]
Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.”[7]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[8]
Ketiga, sumber bacaan dan tontonan
Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.
Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[9]
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.
Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).
Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[10]
- bersambung insya Allah -
References
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.
[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.
[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.
[5] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.
[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.
[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.
[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.
[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.
[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.
Bersambung ke > Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3)
Anak Nakal Bagaimana Mengatasinya (1)
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...
Translate
Google Translate
Recent Post
Populer Post
-
Kategori : Bahasan Utama Berkenaan dengan anjuran sebagian orang mengenai qunut witir setelah pertengahan Ramadhan, dalam artikel ini kam...
-
Category : Akhlaq dan Nasehat Source article: Muslim.Or.Id Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal Syariat Islam yang agung me...
-
Category : Bahasan Utama, Manhaj Source article: Muslim.Or.Id Segala puji bagi Allah yang menjadikan malam dan siang silih berganti se...
-
"Apa kata imam syafi'i tentang dzikir berjama'ah setelah shalat wajib dengan suara keras" Bab: I Ayat-ayat Al Qur...
-
بسم الله الرحمن الرحيم اسلام عليكم ورحمة الله وبركاته Zakat Fitrah/Fidyah - Besar Takaran dan Waktu Pengeluarannya Dari Ibnu Umar ra...
-
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa “ Ya Allah berkahilah ummatku di pagi harinya “. Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc (pimr...
-
Category : Tafsir Al Qur'an Source article: Desember 23, 2014 Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Rumaysho.Com, Pelajaran dari Surat Mary...
-
Bab: II Beberapa Hadits Nabi yang Melarang Dari Berdzikir dan Berdo'a Dengan Suara Keras HADITS PERTAMA: Nabi صلي الله عليه وسلم...
-
Category : Muslimah, Wanita, Soal Jawab Source article: Abunamira.wordpress.com Transcribed on : 01 Januari 2015 M Tanya: Jika ada g...
-
Category : Bahasan Utama Source article: Muslim.Or.Id Transcribed on : 29 Oktober 2014 Bagaimanakah cara melakukan puasa Asyura? P...