Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label tazkiyatun nufus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tazkiyatun nufus. Tampilkan semua postingan

Perkara Duniawi Bukan Patokan Kebaikan

Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015

Category : Al-Quran, harta, kekayaan, pahala, Tafsir, tazkiyatun nafs
Source article: Muslim.Or.Id

(Disarikan dari Al Qawa’idul Hisan Al Muta’alliqah bit Tafsiril Qur’an, karya Syaikh As’Sa’di rahimahullah)

Penulis: Yulian Purnama

28 November 2014,

Sebagian kita mungkin masih tertipu dengan kaidah yang menyesatkan, yaitu jika seseorang merasa dalam keadaan hebat, kaya raya, harta melimpah, kedudukan tinggi, itu pertanda bahwa Allah memberinya kebaikan. Dunia itu menipu, dan ini adalah salah satu tipuannya. Dan ternyata Allah Ta’ala dalam Al Qur’an telah banyak mengingatkan kita akan hal ini.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaparkan sebuah kaidah berharga: “Al Qur’an membimbing manusia agar memahami bahwa ukuran kebaikan seorang insan adalah dari iman dan amal shalihnya. Adapun sekedar merasa dalam kebaikan atau dengan berpatokan dengan karunia duniawi yang Allah berikan padanya, atau dengan kedudukannya, semua ini merupakan sifatnya kaum yang menyimpang” (Qawa’idul Hisan, 126).

مَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Saba: 37)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’ara: 88-89).

dan banyak lagi ayat yang menjadikan iman dan amal shalih sebagai ukuran kebaikan di hadapan Allah, dan menafikan harta dan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan.

Di sisi lain, Al Qur’an juga memberikan hikmah yang berharga bahwasanya sikap gemar mengaku-ngaku bahwa ia sudah berada dalam kebaikan tanpa dibuktikan dengan praktek nyata dan juga sikap gemar menjadikan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan adalah sikapnya orang-orang yang menyimpang.

فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

maka ia (orang kafir) berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat“” (QS. Al Kahfi: 34).

Ia pun berkata:

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا

dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”” (QS. Al Kahfi: 36)

Allah Ta’ala berfirman, menceritakan kelakukan kaum Yahudi dan Nasrani:

وَقَالُوا لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“” (QS. Al Baqarah: 111).

Allah menjawab pengakuan mereka tersebut:

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS. An Nisa: 123).

Pengakuan tetapkan hanya pengakuan, Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada gunanya mengaku-ngaku dan merasa sudah baik, sudah shalih, sudah rajin beribadah, namun yang dilihat oleh Allah adalah amalan kita, bukan pengakuannya. Apakah amalan kita sudah sesuai dengan pengakuan? Apakah amalan kita sudah shalih? Ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya? Inilah yang semestinya menjadi perhatian.

Dan jelaskan bahwa perkara duniawi itu sama sekali bukanlah patokan kebaikan seseorang. Orang yang mendapat kelebihan dalam perkara duniawi, bukan berarti Allah merahmatinya. Dan orang yang diuji dengan kekurangan dalam perkara dunia, bukan berarti Allah memurkainya. Allah Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sama sekali bukanlah demikian!” (QS. Al Fajr: 15-17).

Demikian semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tazkiyatun Nufus, Azab Lewat Hujan

Category : Tazkiyatun Nufus

* Diambil dari buku penulis: Panduan Amal Shalih di Musim Hujan terbitan Pustakan Muslim.

Selesai disusun di pagi hari, 6 Safar 1436 H di Darush Sholihin

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Source article: Muslim.Or.Id

29 November 2014

Saat ini musim hujan. Satu hal yang mesti dipahami tentang hujan, hujan kadang diturunkan sebagai rahmat, kadang sebagai siksa atau hukuman.

Hujan Sebagai Rahmat

Hujan adalah rahmat Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil. (Lihat Zaadul Masiir, 5: 322)

Hujan itu adalah rezeki yang sifatnya umum bagi seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ

Dan di langit terdapat rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz Dzariyat: 22). Yang dimaksud dengan rezeki di sini adalah hujan sebagaimana pendapat Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas, Laits dari Mujahid dan mayoritas ulama pakar tafsir. (Lihat Zaadul Masiir, 5: 421)

Ath Thobari mengatakan, “Di langit itu diturunkannya hujan dan salju, di mana dengan sebab keduanya keluarlah berbagai rezeki, kebutuhan, makanan dan selainnya dari dalam bumi.” (Tafsir Ath Thobari, 21: 520)

Bukti sebagai rahmat, hujan adalah pertolongan untuk wali Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّن السَّمَاء مَاء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ

“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al Anfal: 11)

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan yang Allah turunkan dari langit ketika hari Badr dengan tujuan mensucikan orang-orang beriman untuk shalat mereka. Karena pada saati itu mereka dalam keadaan junub namun tidak ada air untuk mensucikan diri mereka. Ketika hujan turun, mereka pun bisa mandi dan bersuci dengannya. Setan ketika itu telah memberikan was-was pada mereka yang membuat mereka bersedih hati. Mereka dibuat sedih dengan mengatakan bahwa pagi itu mereka dalam keadaan junub dan tidak memiliki air. Maka Allah hilangkan was-was tadi dari hati mereka karena sebab diturunkannya hujan. Hati mereka pun semakin kuat. Turunnya hujan ini pun menguatkan langkah mereka. … Inilah pertolongan Allah kepada Nabi-Nya dan wali-wali Allah. Dengan sebab ini, mereka semakin kuat menghadapi musuh-musuhnya.” (Tafsir Ath Thobari, 11: 61-62)

Hujan Bisa Jadi Sebagai Siksa

Lihatlah azab pada kaum Nuh,

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan difirmankan:Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.“” (QS. Hud: 44)

Lihatlah pula azab pada kaum ‘Aad,

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al Ahqaf: 24-25)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir dengan mendung hitam, beliau khawatirkan itu adalah azab. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ فِى وَجْهِهِ . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا ، رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ ، وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَ فِى وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ . فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَا يُؤْمِنِّى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ ، وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا ( هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا ) »

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mendung atau angin, maka raut wajahnya pun berbeda.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasululah, jika orang-orang melihat mendung, mereka akan begitu girang. Mereka mengharap-harap agar hujan segera turun. Namun berbeda halnya dengan engkau. Jika melihat mendung, terlihat wajahmu menunjukkan tanda tidak suka.” Beliau pun bersabda, “Wahai ‘Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman? Siapa tahu ini adaah azab. Dan pernah suatu kaum diberi azab dengan datangnya angin (setelah itu). Kaum tersebut (yaitu kaum ‘Aad) ketika melihat azab, mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (HR. Bukhari no. 4829 dan Muslim no. 899)

Semoga jadi renungan berharga bagi kita. Moga Allah turunkan pada kita hujan yang bermanfaat, bukan hujan yang membawa petaka dan azab.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Pertahanan Diri dari Gangguan Setan

Written By sumatrars on Kamis, 01 Januari 2015 | Januari 01, 2015

Category : Tazkiyatun Nufus, Setan
Source article: Abunamira.wordpress.com

Transcribed on : 01 Januari 2015M

Tujuh Belas Pertahanan Diri dari Gangguan Setan

Ustadz Sofyan Chalid Ruray

Perlindungan diri dari gangguan setan:

Seorang hamba selayaknya membentengi diri dari gangguan setan dengan pertahanan yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits–hadits shahih berupa doa dan zikir. Karena Al Quran dan Al-Hadits adalah penawar, rahmat, petunjuk serta perlindungan dari kejahatan di dunia dan akhirat dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.

Diantara bentuk pertahanan tersebut adalah:

Pertahanan pertama: Isti’adzah (meminta perlindungan) kepada Allah Yang Maha Besar (yaitu dengan membaca: A’uzubillah). Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk memohon perlindungan kepada-Nya dalam setiap kondisi, khususnya saat hendak membaca Al quran, saat marah, saat was- was dan saat bermimpi buruk.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ إِنَّهُۥ لَيۡسَ لَهُۥ سُلۡطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.” (QS. An Nahl: 98–99)

Pertahanan kedua: Membaca bismillah. Bismillah menghalangi setan ikut serta saat seseorang makan, minum, bersenggama, masuk rumah dan seluruh kondisinya,

عن جابر قال: سمعت رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقول: (إذا دخل الرجل بيته، فذكر اللَّه –تعالى- عند دخوله، وعند طعامه، قال الشيطان لأصحابه: لا مبيت لكم ولا عشاء، وإذا دخل فلم يذكر اللَّه –تعالى- عند دخوله، قال الشيطان: أدركتم المبيت، وإذا لم يذكر اللَّه –تعالى- عند طعامه، قال: أدركتم المبيت والعشاء) رَوَاهُ مُسلِمٌ

Dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliauberkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang lelaki memasuki rumahnya lalu mengucapkanbismillah” ketika masuk, dan ketika makan, maka setan berkata kepada teman-temannya: “Kalian tidak mendapatkan tempat menginap dan makan malam”, namun apabila ia masuk rumahnya dan tidak mengucapkan “bismillah” maka setan berkata: “Kalian mendapatkan tempat menginap”, lalu apabila ia tidak mengucapkan “bismillah” ketika makannya, setan berkata: “Kalian telah mendapatkan tempat menginap dan makan.” [HR. Muslim]

عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لو أن أحدكم إذا أتى أهله؛ قال: بِسْمِ اللَّهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا؛ فقضي بينهما ولد؛ لم يضره الشيطان أبدا) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang kalian mendatangi isterinya (bersetubuh) lalu ia mengucapkan,

بِسْمِ اللَّهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

(Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah seetan dari rezeki yang akan Engkau berikan kepada kami), lalu ditakdirkan dari hubungan tersebut lahirnya seorang anak baginya, maka setan tidak akan bisa menimpakannya kemudharatan selamanya.” [Muttafaq ’alaih]

Pertahanan ketiga: Membaca mu’awwidzatain saat hendak tidur, setelah shalat, saat sakit dan lain-lain. Mu’awwidzatain adalah surat Al-Falaq dan An-Naas:

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ

Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh.” (QS. Al-Falaq: 1) dan seterusnya sampai akhir surat.

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ

Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (Q.S. An-Naas: 1) dan seterusnya sampai akhir surat.

عن عقبة بن عامر قال: بينا أنا أسير مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الجحفة والأبواء إذ غشيتنا ريحوظلمة شديدة، فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يتعوذ بـ﴿قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ﴾و﴿قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ﴾ ويقول: ((يا عقبة تعوذ بهما، فما تعوذ بهما متعوذ بمثلهما)) قال: وسمعته يؤمنا بهما في الصلاة. أخرجه أحمد وأبو داود

Dari Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu, beliauberkata: Saat aku berjalan bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam antara Juhfah dan Abwa’ malam itu angin bertiup kencang dan gelap gulita. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah dengan membaca surat Al-Falaq:

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ

Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh.” (QS. Al-Falaq: 1) dan seterusnya sampai akhir surat.

Dan surat An-Naas:

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ

Katakanlah: Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (QS. An Naas: 1) dan seterusnya sampai akhir surat.

Lalu beliau bersabda: Wahai Uqbah mohonlah perlindungan Allah dengan membaca dua surat tersebut, karena tidak ada cara berlindung yang menyamai keduanya.

Uqbah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam membacanya saat mengimami shalat.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]

Pertahan keempat: Membaca ayat Al-Kursy,

عن أبي هريرة قال: وكلني رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بحفظ زكاة رمضان، فأتاني آت فجعل يحثو من الطعام فأخذته فقلت: لأرفعنك إلى رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال: إذا أويت إلى فراشك فاقرأ آية الكرسي:﴿ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ…..﴾؛ فإنك لن يزال عليك من اللَّه حافظ، ولا يقربك شيطان حتى تصبح … قال النبي صلى الله عليه وسلم: (أما إنه قد صدقك، وهو كذوب، ذاك شيطان). رواه البخاري

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mempercayakanku menjaga harta zakat bulan Ramadhan, lalu ada seseorang yang datang mencuri makanan maka aku mengangkapnya dan berkata: “Demi Allah, engkau akan kuadukan kepada Rasulullah”, ia berkata: “Bila engkau hendak berada di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al-kursiy:

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ …

(Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya)…hingga akhir ayat, sesungguhnya engkau selalu berada di dalam penjagaan Allah dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi”, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dia berkata jujur kepadamu dalam hal ini, sedang dia adalah seorang pendusta, Itulah setan.” [HR. Al-Bukhari]

Pertahanan kelima: Membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah yaitu:

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ…

عن أبي مسعود البدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من قرأ بالآيتين من آخر سورة البقرة في ليلة كفتاه) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu’anhu, iaberkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah di suatu malam, maka itu mencukupinyanya.” [Muttafaq ’alaih]

Pertahanan keenam: Membaca surat Al-Baqarah,

عن أبي هريرة أن رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال: (لا تجعلوا بيوتكم مقابر إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة) أخرجه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhubahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al-Baqarah.” [HR. Muslim]

Pertahanan ketujuh: Banyak berzikir, membaca Al-Quran, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bertahlil,

عن أبي هريرةأن رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال: (من قال لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، في يوم مائة مرة كانت له عدل عشر رقاب، وكتبت له مائة حسنة، ومحيت عنه مائة سيئة، وكانت له حرزاً من الشيطان يومه ذلك حتى يمسي، ولم يأت أحد بأفضل مما جاء به؛ إلا رجل عمل أكثر من ذلك) متق عليه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, semua kerajaan adalah milik-Nya, dan bagi-Nya segala pujian dan Dia berkuasa terhadap segala sesuatu)dalam satu hari seratus kali, niscaya diberikan baginya pahala sebanding dengan memerdekakan sepuluh orang budak, dan ditulis untuknya seratus kebajikan, dihapuskan darinya seratus keburukan, dan ia terlindungi dari syetan di hari itu hingga sore dan tidak seorangpun yang lebih utama daripada dirinya kecuali seseorang yang mengamalkan lebih banyak darinya.” [Muttafaq alaih]

Pertahanan kedelapan: Membaca do’a saat keluar rumah,

عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا خرج الرجل من بيته فقال: بِسْمِ اللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. يقال له: هديت وكفيت ووقيت، فتنحى له الشيطان، فيقول له شيطان آخر: كيف لك برجل قد هدي وكفي ووقي). رواه أبو داود والترمذي

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhubahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:

بِسْمِ اللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

(Bismillah aku bertawakal kepada Allah dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah) akan dikatakan kepadanya “Engkau telah ditunjuki, dan telah dicukupi, dan telah dijaga dan setan menjauh darinya, dan setan yang lain berkata kepadanya: Bagaimana mungkin engkau bisa menggoda seseorang yang telah ditunjuki, dan telah dicukupi, dan telah dijaga.”[HR Abu Daud, Tarmizi]

Pertahanan kesembilan: Berdo’a saat berada di suatu tempat,

عن خولة بنت حكيم قالت سمعت رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقول: (إذا نزل أحدكم منزلاً فليقل: أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، فإنه لا يضره شيء حتى يرتحل منه) رَوَاهُ مُسلِمٌ

Dari Khaulah binti Hakim radhiyallahu’anha berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu berada di suatu tempat maka ucapkanlah:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

(Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan mahluk-Nya), niscaya dia tidak akan terkena gangguan apapun sehingga dia meninggalkan tempat tersebut.” [HR. Muslim]

Pertahanan kesepuluh: Menahan menguap dan meletakkan tangan di mulut ketika menguap,

عن أبي سعيد الخدري قال: قال رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (إذا تثاءب أحدكم؛ فليمسك بيده على فيه؛ فإن الشيطان يدخل) رَوَاهُ مُسلِمٌ

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, iaberkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:“Apabila salah seorang kalian menguap, maka tahanlah dengan meletakkan tangan pada mulut karena sesungguhnya setan berusaha masuk.” [HR. Muslim]

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (التثاؤب من الشيطان، فإذا تثاءب أحدكم فليكظم ما استطاع) متفق عليه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Menguap itu penyebabnya adalah setan, maka apabila salah seorang kamu menguap hendaklah menahan semampunya.”[Muttafaq alaih]

Pertahanan kesebelas: Adzan,

عن أبي هريرة أن رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال: (إذا نودي بالصلاة، أدبر الشيطان، وله ضراط حتى لا يسمع التأذين، فإذا قضي النداء، أقبل حتى إذا ثوب للصلاة أدب، حتى إذا قضي التثويب، أقبل حتى يخطر بين المرء ونفسه، يقول: اذكر كذا! واذكر كذا! لما لم يذكر من قبل، حتى يظل الرجل ما يدري كم صلى؟!) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Bila adzan shalat dikumandangkan setan lari dengan mengeluarkan kentut sehingga seseorang tidak mendengar suara adzan, dan apabila adzan selesai dikumandangkan setan datang kembali, hingga apabila iqomat dikumandangkan setan kembali lari hingga apabila iqomat selesai setan datang lagi kemudian mengganggu pikiran orang yang sedang shalat, dia berkata: “Ingat ini, ingat itu”, sesuatu yang tidak pernah dia ingat sebelumnya sehingga seorang lelaki tidak tahu berapa rakaatkah dia shalat.” [Muttafaq ’alaih]

Pertahanan kedua belas: Membaca do’a memasuki masjid,

عن عقبة قال: حدثنا عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان إذا دخل المسجد قال: (أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) قال: أقط؟ قلت: نعم، قال: فإذا قال ذلك قال الشيطان: حفظ مني سائر اليوم. أخرجه أبو داود

Dari Uqbah radhiyallahu’anhu, ia berkata: Abdullah bin Amru radhiyallahu `anhuma menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau saat memasuki masjid membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajah-Nya Yang Mulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari setan yang terkutuk”. Uqbah berkata: “Apakah cukup itu saja? Abdullah berkata: “Ya”. Abdullah berkata: “Barangsiapa yang membacanya maka setan akan berkata: “Orang ini terlindungi dari gangguanku sepanjang hari ini.” [HR. Abu Daud]

Pertahanan ketiga belas: Membaca doa keluar masjid,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إذا دخل أحدكم المسجد فليسلم على النبي صلى الله عليه وسلم وليقل: اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وإذا خرج فليسلم على النبي صلى الله عليه وسلم وليقل: اَللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم)ِ. أخرجه ابن ماجه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka ucapkanlah shalawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ucapkan:

اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Ya Allah , bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku.

Dan bila keluar maka ucapkanlah shalawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ucapkan:

اَللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Ya Allah, lindungilah aku dari godaan setan yang terkutuk”.” [HR. Ibnu Majah]

Perlindungan keempat belas: Berwudhu dan shalat terutama saat marah atau syahwat sedang membara. Karena wudhu sangat ampuh meredam marah dan gejolak syahwat.

Perlindungan kelima belas: Mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan menghindari: Banyak bicara, memandang hal yang haram, makan yang banyak dan banyak bergaul.

Pertahanan keenam belas: Membersihkan rumah dari gambar, foto, patung, anjing dan lonceng.

عن أبي هريرة قال : قال رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (لا تدخل الملائكة بيتا فيه تماثيل أو تصاوير) أخرجه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat patung atau gambar.” [HR. Muslim]

عن أبي هريرة قال: قال رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (لا تصحب الملائكة رفقة؛ فيها كلب أو جرس) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Para malaikat tidak menyertai suatu rombongan yang disertai anjing atau lonceng.” [HR. Muslim]

Pertahanan ketujuh belas: Menghindari tempat berdiamnya jin dan setan yaitu pada reruntuhan rumah dan tempat-tempat najis, seperti: Jamban, tempat pembuangan sampah, dan tempat yang tidak dihuni, seperti: Gurun, tepian pantai yang jauh dari pemukiman, kandang unta dan lain-lain.

[Dinukil dari kitab Mulakhkhos Al-Fiqh Al-Islami karya Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijirihafizhahullah]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم


Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami / Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manusia Dan Ujian

Written By sumatrars on Senin, 21 Juli 2014 | Juli 21, 2014

Labels : Tazkiyatun Nufus, cobaan hidup, ujian hidup

Posted: 17 Jun 2014 09:36 PM PDT

Sebenarnya kita manusia adalah makhluk yang selalu mencari ujian. Karena kita ingin mencapai derajat yang lebih tinggi sebagai manusia (biasa), yaitu menjadi manusia yang lebih baik.

Baru kelas 1 SD ingin naik ke kelas 2 kita ikut ujian. Dari SD ke SLTP, kita ikut ujian. Menuju SLTA ujian lagi
Mau masuk Universitas, kita dengan penuh semangat ikut ujian. Mau dapat kerja, rebut-rebut daftar ikut ujian. Dengan pilihan sendiri, penuh semangat, kurang tidur dan banyak pengorbaan kita menempuh ujian-ujian itu. Kita melakukannya, karena kita mengatahui dibaliknya ada kebaikan.

Ujian sekolah, ujian mendapat pekerjaan adalah bagian dari ujian hidup yang begitu banyak jenisnya. Tapi, kadang kita menghadapinya dengan cara yang berbeda. Harusnya, kita menghadapi ujian hidup yang lain sama seperti menghadapi ujian sekolah atau masuk kerja.

Jika Allah ta’ala memberi kita ujian dan cobaan, yang pertama kali kita ingat adalah hadist berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: «الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

Nabi Shalallahu alaihi wasallam ditanya: Siapakah yang paling besar cobaan/ujiannya. Beliau menjawab: Para Nabi, kemudian yang lebih menyerupai mereka, kemudian yang lebih menyerupai mereka” (HR. Tirmidzi)

Kalau demikian keadaannya, maka kita berbesar hati dengan cobaan yang menimpa kita, karena semakin banyak cobaan semakin tinggi derajat dan kedudukan kita. Para Nabi alaihimussalam paling banyak dan besar cobaannya, maka paling tinggi kedudukannya.

Hal lain yang perlu kita ingat, bahwa setiap cobaan atau ujian yang menimpa kita, tidak lepas dari dua hal:

  1. Jika kita orang yang baik, maka itu menjadi tambahan pahala kita

  2. Jika kita banyak lalai, itu menjadi peringatan atas kita dan menjadi sebab berkurangnya dosa kita.
    Dari kedua sisi di atas; semuanya baik.

Oleh karena itu, hadapilah ujian hidup anda sebagaimana sedang menghadapi ujian sekolah atau masuk kerja.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan yang terbaik bagi dunia dan akhirat kita, Amiin.


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bersyukur Ketika Senang, Bersabar Ketika Mendapat Bencana

Written By sumatrars on Rabu, 05 Maret 2014 | Maret 05, 2014

Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له . وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له

Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersyukur di saat senang dan bersabar di saat susah, bahkan kedua sifat inilah yang merupakan penyempurna keimanan seorang hamba. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Iman itu terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya adalah) syukur”[2].

Dalam Al-Qur’an, Allah memuji secara khusus hamba-hamba-Nya yang memiliki dua sifat ini sebagai orang-orang yang bisa mengambil pelajaran ketika menyaksikan tanda-tanda kemahakuasaan Allah. Allah berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (QS Luqmaan: 31).

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

Imam Ibnul Qayyim berkata: “(Hadits di atas menunjukkan bahwa) tingkatan-tingkatan iman seluruhnya  (berkisar) antara sabar dan syukur”[3]. 

Kehidupan seorang mukmin seluruhnya bernilai kebaikan dan pahala di sisi Allah, baik dalam kondisi yang terlihat membuatnya senang ataupun susah.


Seorang hamba yang sempurna imannya akan selalu bersyukur kepada Allah ketika senang dan bersabar ketika susah, maka dalam semua keadaan dia senantiasa ridha kepada Allah dalam segala ketentuan takdir-Nya, sehingga kesusahan dan musibah yang menimpanya berubah menjadi nikmat dan anugerah baginya.

Orang yang tidak beriman akan selalu berkeluh kesah dan murka ketika ditimpa musibah, sehinnga semua dosa dan keburukan akan menimpanya, dosa di dunia karena ketidaksabaran dan ketidakridhaannya terhadap ketentuan takdir Allah, serta di akhirat mendapat siksa neraka.

Keutamaan dan kebaikan dalam semua keadaan hanya akan diraih oleh orang-orang yang sempurna imannya[4].

Rukun sabar ada tiga yaitu: menahan diri dari sikap murka terhadap segala ketentuan Allah I, menahan lisan dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang dilarang (Allah), seperti menampar wajah (ketika terjadi musibah), merobek pakaian, memotong rambut dan sebagainya[5].

Rukun syukur juga ada tiga:

mengakui dalam hati bahwa semua nikmat itu dari Allah Ta’ala,
menyebut-nyebut semua nikmat tersebut secara lahir (dengan memuji Allah dan memperlihatkan bekas-bekas nikmat tersebut dalm rangkan mensyukurinya),
menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah[6].


وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
-----------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki
[1] HSR Muslim (no. 2999).
[2] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 88).
[3] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 399).
[4] Keempat faidah di atas kami nukil dari kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/82-83).
[5] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilish shayyib” (hal. 11).
[6] Ibid.

 
Sumber : Artikel Muslim.Or.Id













?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bersyukur Ketika Senang, Bersabar Ketika Mendapat Bencana

Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له . وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له

Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersyukur di saat senang dan bersabar di saat susah, bahkan kedua sifat inilah yang merupakan penyempurna keimanan seorang hamba. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Iman itu terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya adalah) syukur”[2].

Dalam Al-Qur’an, Allah memuji secara khusus hamba-hamba-Nya yang memiliki dua sifat ini sebagai orang-orang yang bisa mengambil pelajaran ketika menyaksikan tanda-tanda kemahakuasaan Allah. Allah berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (QS Luqmaan: 31).

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

Imam Ibnul Qayyim berkata: “(Hadits di atas menunjukkan bahwa) tingkatan-tingkatan iman seluruhnya  (berkisar) antara sabar dan syukur”[3]. 

Kehidupan seorang mukmin seluruhnya bernilai kebaikan dan pahala di sisi Allah, baik dalam kondisi yang terlihat membuatnya senang ataupun susah.


Seorang hamba yang sempurna imannya akan selalu bersyukur kepada Allah ketika senang dan bersabar ketika susah, maka dalam semua keadaan dia senantiasa ridha kepada Allah dalam segala ketentuan takdir-Nya, sehingga kesusahan dan musibah yang menimpanya berubah menjadi nikmat dan anugerah baginya.

Orang yang tidak beriman akan selalu berkeluh kesah dan murka ketika ditimpa musibah, sehinnga semua dosa dan keburukan akan menimpanya, dosa di dunia karena ketidaksabaran dan ketidakridhaannya terhadap ketentuan takdir Allah, serta di akhirat mendapat siksa neraka.

Keutamaan dan kebaikan dalam semua keadaan hanya akan diraih oleh orang-orang yang sempurna imannya[4].

Rukun sabar ada tiga yaitu: menahan diri dari sikap murka terhadap segala ketentuan Allah I, menahan lisan dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang dilarang (Allah), seperti menampar wajah (ketika terjadi musibah), merobek pakaian, memotong rambut dan sebagainya[5].

Rukun syukur juga ada tiga:

mengakui dalam hati bahwa semua nikmat itu dari Allah Ta’ala,
menyebut-nyebut semua nikmat tersebut secara lahir (dengan memuji Allah dan memperlihatkan bekas-bekas nikmat tersebut dalm rangkan mensyukurinya),
menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah[6].


وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
-----------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki
[1] HSR Muslim (no. 2999).
[2] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 88).
[3] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 399).
[4] Keempat faidah di atas kami nukil dari kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/82-83).
[5] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilish shayyib” (hal. 11).
[6] Ibid.

 
Sumber : Artikel Muslim.Or.Id













?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kunci Meraih Ampunan

Written By sumatrars on Rabu, 15 Agustus 2012 | Agustus 15, 2012

Kunci Meraih Ampunan

Ampunan Allah, sesuatu yang amat diharapkan. Tak seorangpun melainkan mengharapkannya. Entah dia seorang ahli ilmu, ahli ibadah, apalagi ahli maksiat.

Terlebih lagi bagi orang-orang yang berusaha untuk menempuh jalan kembali kepada Allah dengan taubat. Banyak rintangan dan hambatan yang harus ditemui. Sehingga hal itu menyebabkan seorang hamba harus waspada, karena tatkala dia telah merasa taubatnya diterima, kemudian -pada akhirnya- perasaan itu justru menyeret dirinya terjerumus ke dalam lembah dosa yang lainnya, wal ‘iyadzu billah!

Ketahuilah saudaraku, bahwa tauhid yang bersih merupakan kunci untuk meraih ampunan. Namun, hal ini tidaklah sesederhana dan semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang.

Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:
  • Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya maka dia pasti masuk neraka.
  • Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.
  • Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan/dosanya justru lebih berat dalam timbangan maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allahta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya)

Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari hal ini, “Ini adalahsyarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalahharus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)

Namun -sebagaimana sudah disinggung di atas- keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena sesungguhnya tauhid yang murni yaitu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekedar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55)

Hadits di atas juga mengandung keterangan bahwa kandungan makna la ilaha illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Kandungan maknanya yaitu wajib meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima, tunduk patuh dan lain sebagainya yang menjadi konsekuensi kalimat yang agung itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 22).

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, Barangsiapa yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran maka dia tidak akan terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna menghalangi dirinya dari terus-menerus berkubang dalam maksiat. Oleh sebab itu dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21)

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa tauhid tidak cukup di lisan. Namun tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban serta meninggalkan kemaksiatan. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menerangkan bahwa barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid- namun dia mencemarinya dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia sekedar mengucapkannya dengan lisan sementara hati atau amalannya berbuat syirik seperti halnya orang-orang munafik maka orang semacam ini ucapan syahadatnya tidak bermanfaat. Akan tetapi yang semestinya dia lakukan adalah mengucapkannya kemudian meyakininya dengan kuat, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 20).

Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang dilarang maka itu berarti dia telah berani menawarkan dirinya untuk menerima hukuman Allah ta’ala meskipun dia mengucapkan kalimat ini dan meyakininya. Apabila dia melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya maka berubahlah dia menjadi orang yang murtad dan kafir. Syahadat ini tidak lagi bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu kalimat ini harus diwujudkan dalam kenyataan dan mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak demikian maka dia berada dalam bahaya besar seandainya dia tidak kunjung bertaubat.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26).

Hadits di atas juga mengandung motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib). Ini merupakan motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan tauhidnya dari kotoran syirik dan kemaksiatan, karena Allah menjanjikan ampunan yang demikian besar bagi orang yang murni tauhidnya. Dan ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang yang selama ini tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan agar waspada dan takut kalau-kalau ternyata di akhir hidupnya mereka tidak tergolong orang yang bersih tauhidnya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya Allah mau menyiksa manusia -di dunia- sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS. Fathir: 45). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Artinya adalah seandainya Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua dosa yang mereka perbuat niscaya Allah akan menghancurkan semua penduduk bumi dan segala binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/362])

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya para pelaku maksiat itu sangat berresiko dijatuhi ancaman siksa dan mereka akan masuk ke neraka lalu mereka akan dikeluarkan darinya dengan syafa’at para nabi dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan mereka telah melemahkan tauhid mereka dan mencemarinya dengan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah denganmembersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa merealisasikan la ilaha illallah adalah sesuatu  yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.

Oleh sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.

Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?’. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah kejelasan iman’ (HR. Muslim). Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38])

Keikhlasan -yang hal ini merupakan intisari dari ajaran tauhid- merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.”(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).

Dan sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah hamba Dinar! Celakalah hamba Dirham! Celakalah hamba khamisah (sejenis kain)! Celakalah hamba khamilah (sejenis model pakaian)! Apabila diberi dia merasa senang, dan apabila tidak diberi maka dia murka. Celaka dan merugilah dia!” (HR. Bukhari).

Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa sebagian manusia ada yang cita-cita hidupnya hanya untuk mendapatkan dunia dan perkara itulah yang paling dikejar olehnya. Itulah tujuan pertama dan terakhir yang dicarinya. Maka kalau ada orang semacam ini niscaya akhir perjalanan hidupnya adalah kebinasaan dan kerugian (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 331).

Itulah sosok pengejar dunia, yang rasa senang dan bencinya dikendalikan oleh hawa nafsunya (lihatal-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 241). Maka barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai puncak urusan dan akhir cita-citanya pada hakekatnya dia telah mengangkatnya sebagai sesembahan tandingan bagi Allah ta’ala (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 332)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan?” (QS. al-Furqan: 43).

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah memberikan keterangan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong menujukan ibadahnya kepada selain Allah. Memang, bisa jadi dia tidak tampak memuja/menyembah patung atau berhala. Atau juga tidak tampak dia menyembah matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia telah menyembah hawa nafsu yang telah menjajah hatinya dan memalingkan dirinya sehingga tidak mau tunduk beribadah kepada Allah (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Pokok munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. al-Baqarah: 165)…” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 212). Orang yang mencintai selain Allah -apa pun bentuknya- sebagaimana kecintaannya kepada Allah, atau orang yang lebih mendahulukan ketaatan kepada selain Allah daripada ketaatan kepada Allah maka sesungguhnya orang tersebut telah terjerumus dalam syirik besar yang tidak akan diampuni oleh Allah jika pelakunya tidak bertaubat darinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 96, lihat juga al-Jadid, hal. 278)

Bahkan, karena terlalu berlebihan kecintaannya kepada dunia maka sebagian orang tega menjadikan amal akherat sebagai alat untuk menggapai ambisi-ambisi dunia semata! Secara fisik mereka tampak mengejar pahala akherat, namun hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada kesenangan dunia yang hanya sesaat. Subhanallah… Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan untuk mereka balasan atas amal-amal mereka di dalamnya sedangkan mereka tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak akan mendapatkan balasan apa-apa di akherat selain neraka dan akan hapuslah semua amal yang mereka kerjakan dan sia-sialah apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa beramal soleh semata-mata untuk menggapai kesenangan dunia -tanpa ada keinginan untuk memperoleh balasan akherat atau balasan yang dijanjikan Allah- termasuk kategori kesyirikan, bertentangan dengan kesempurnaan tauhid, bahkan menyebabkan terhapusnya pahala amalan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 238)
Nas’alullahat taufiq was salamah
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger