?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)
Al-Ustadz Abu
Muhammad Harits
Setelah melalui berbagai rintangan,
Rasulullah beserta rombongan akhirnya berhasil memasuki kota Madinah. Di kota
inilah Rasulullah kemudian membangun masyarakat baru yang dipenuhi dengan
nilai-nilai keislaman.
Masjid Pertama
Tibalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di Madinah bersama rombongan. Saat itu,
para shahabat Anshar banyak yang belum mengetahui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu.
Baru ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bernaung dan Abu Bakr melindungi beliau
dari terik matahari, mereka mengenalnya.
Anas bin Malik radhiallahu anhu
mengatakan: ”Saya ikut menyaksikan hari masuknya Rasulullah ke kota Madinah. Dan
saya tidak pernah melihat satu haripun yang lebih baik dan lebih cerah
dibandingkan hari itu. Saya juga menyaksikan hari wafatnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan saya belum pernah melihat
hari yang lebih buruk (keadaannya) dan lebih gelap dibandingkan hari itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam singgah di Quba, di tempat Kultsum bin Al-Hidmi di
perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf selama beberapa hari dan mulai membangun Masjid
Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun sejak beliau tiba di Madinah.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan
para ulama, masjid apa yang pertama yang dibangun di atas dasar ketakwaan
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ
أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ
يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ
“Janganlah kamu bersembah yang
dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar
takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di
dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah
menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Ada yang mengatakan Masjid Quba, dan
ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Hasan. Mereka berpegang
kepada kalimat: مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ (sejak hari pertama);
Masjid Quba adalah yang pertama kali dibangun di Madinah sebelum Masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Demikian juga pendapat Ibnu ‘Umar,
Sai’d bin Al-Musayyab, dan Al-Imam Malik menurut riwayat Ibnu Wahb, Asyhab, dan
Ibnul Qasim. Setelah menukilkan beberapa hadits, Al-Imam Al-Qurthubi dalam
Tafsir-nya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa masjid
yang dimaksud adalah Masjid Quba. Dan ini pula pendapat Asy-Syaikh Abdurrahman
As Sa’di dalam At-Taisir. Wallahu A’lam.
Namun ada pula yang mengatakan, masjid
itu adalah Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri tentang dua orang
shahabat yang berdebat tentang masjid yang dimaksud dalam ayat ini, kemudian
disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam,
dan kata beliau: ”Yaitu Masjidku ini.” Al-Imam At-Tirmidzi berkata bahwa hadits
ini shahih.
Ibnu Katsir menerangkan bahwa susunan
ayat ini mengarah kepada masjid Quba, kemudian beliau meneruskan, dengan menukil
riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri sebelumnya, dan
berkata: “Ini shahih, dan tidak ada pertentangan antara ayat dengan hadits
tersebut. Karena kalau Masjid Quba dianggap sebagai masjid pertama yang
didirikan di atas dasar ketakwaan, maka Masjid Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentunya lebih utama dan lebih pantas.” (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, 2/474, dan Tafsir Al-Qurthubi)
Setelah itu, beliau bertolak ke
Madinah. Beberapa orang shahabat mencoba memegang tali kendaraan beliau dan
menuntunnya dengan niat mengajak beliau singgah di tempatnya. Tapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan agar
dibiarkan karena kendaraannya diperintah. Akhirnya, rombongan tiba di lokasi
masjid yang sekarang ini.
Ibnul Qayyim mengisahkan bahwa Al-Imam
Az-Zuhri menceritakan, beberapa kali unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam berputar dan akhirnya kembali di tempat dia menderum
pertama kali (di lokasi masjid sekarang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alaihi wa sallam turun dan segera disambut oleh Abu Ayyub, yang masih
keluarga bibi beliau dari Bani Najjar.
Tanah lokasi masjid itu sebetulnya
milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang diasuh As’ad bin Zurarah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membeli tanah itu dari
keduanya untuk didirikan masjid di atasnya.
Setelah membersihkan tanah itu dari
kuburan kaum musyrikin, pohon-pohon gharqad, mulailah tanah itu
diratakan. Beberapa pokok kurma ditebang dan disusun di arah kiblat masjid.
Ukuran panjangnya (dari kiblat sampai ke belakang) ketika itu sekitar 100 hasta
(kira-kira 50 m). Begitu pula kedua sisinya, hampir sama. Sedangkan pondasinya
sekitar 3 hasta. Dan kemudian dibangun dengan bata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam tidak duduk diam dalam membangun masjid ini, bahkan
ikut mengangkat dan memindahkan tanah. Ketika itu, kiblat masih diarahkan ke
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), atapnya dari pelepah-pelepah kurma. Setelah itu
baru dibangun rumah untuk isteri-isteri beliau.
Mempersaudarakan Muhajirin dan
Anshar
Selanjutnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan
Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka
dipersaudarakan berdasarkan persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya
peristiwa Badr.
Setelah Allah Ta’ala
menurunkan ayat:
وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ…
“Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab
Allah...” (Al-Anfal: 75)
Maka pewarisan dikembalikan kepada
hubungan darah dan tidak lagi berdasarkan ukhuwwah diniyyah (persaudaraan
seagama) ini.
Ibnu Katsir menerangkan dalam
Tafsir-nya bahwa ayat ini menyatakan pewarisan di antara sesama kerabat
lebih utama daripada saling mewarisi antara Muhajirin dan Anshar. Ayat ini me-nasikh
(menghapus) hukum warisan sebelumnya yang berdasarkan hilf
(perjanjian, kesepakatan) dan persaudaraan yang terjadi di antara mereka.
Kemudian beliau menukilkan riwayat
dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam yang dipersaudarakan dengan Ka’b bin Malik, bahwa
seandainya Ka’b bin Malik meninggal dunia ketika itu, dialah yang akan
mewarisinya. Lalu turunlah ayat ini.
Begitu eratnya persaudaraan ini, Allah
Ta’ala menceritakan tentang keadaan ini dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ
يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً
مِمَّا أُوتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan orang-orang yang telah
menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(Al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir menerangkan dalam
Tafsir-nya: ”Allah Ta’ala memuji orang-orang Anshar,
menjelaskan betapa tinggi kedudukan, kemuliaan, kemurahan, tidak adanya
kedengkian pada diri mereka, dan justru sebaliknya mereka mempunyai sikap suka
mengutamakan serta mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri mereka
sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan.” Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan
pula betapa mereka mencintai orang-orang Muhajirin yang datang kepada mereka, di
mana semua ini didorong oleh kemuliaan pribadi mereka. Mereka tidak mendapatkan
dalam diri mereka kedengkian terhadap kedudukan dan kemuliaan orang-orang
Muhajirin, meskipun mereka disebut oleh Allah pertama kali.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَنْصَارَ إِلَى أَنْ
يُقْطِعَ لَهُمُ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوْا لاَ إِلاَّ أَنْ تُقْطِعَ لإِخْوَانِنَا
مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ مِثْلَهَا. قَالَ: إِمَّا لاَ، فَاصْبِرُوا حَتَّى
تَلْقَوْنِيْ فَإِنَّهُ سَيُصِيْبُكُمْ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam mengundang orang-orang Anshar untuk dibagikan kepada mereka
harta Bahrain, namun mereka berkata: ‘Tidak, kecuali kalau engkau bagikan pula
seperti itu kepada saudara-saudara kami kaum Muhajirin. Atau tidak sama sekali.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Kalau begitu
bersabarlah, sampai kalian bertemu denganku. Karena sesungguhnya kalian akan
dapati adanya sikap sewenang-wenang sepeninggalku’.”
Berkaitan dengan ayat tadi, disebutkan
pula oleh Ibnu Katsir bagaimana para shahabat Anshar mendahulukan kepentingan
orang lain dari diri mereka sendiri. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ
إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيْفُ هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ
مِنَ الأَنْصَارِ: أَنَا. فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ: أَكْرِمِيْ
ضَيْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا
إِلا قُوْتُ صِبْيَانِيْ. فَقَالَ: هَيِّئِيْ طَعَامَكِ وَأَصْبِحِيْ سِرَاجَكِ
وَنَوِّمِيْ صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوْا عَشَاءً. فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا
وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا
تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ
فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ضَحِكَ اللهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ
فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ {وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ}
“Abu Hurairah menceritakan: ‘Ada
seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam, kemudian beliau perintahkan supaya menemui istri-istri beliau. Namun
kata mereka: ‘Kami tidak punya sesuatu kecuali air (minum).’ Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Siapa yang menjamu tamu
ini?’ Tiba-tiba seorang shahabat Anshar bekata: ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Maka
berangkatlah dia membawanya ke rumah. Shahabat Anshar ini berkata kepada
isterinya: ‘Muliakan (jamulah) tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam ini.’
Wanita itu berkata: ‘Kita tidak punya
apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.’ Suaminya berkata: ‘Siapkan makananmu
itu, perbaiki pelitamu dan tidurkan anak-anakmu. Kalau mereka minta makan,
alihkan perhatian mereka.’
Wanita itu melaksanakan perintah
suaminya, dia mulai menidurkan anak-anak dan menyiapkan makanan dan berdiri
seakan-akan mau memperbaiki pelita lalu memadamkannya. Mereka pun berbuat
seolah-olah memperlihatkan kepada tamunya itu bahwa mereka juga ikut makan
bersamanya.
Setelah itu mereka berdua tertidur
meringkuk menahan lapar. Keesokan harinya laki-laki itu menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Beliau berkata: ‘Allah tertawa
melihat perbuatan kalian terhadap tamu kalian tadi malam.’
Maka Allah menurunkan firman-Nya:”…dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)’.“
Beliau meriwayatkan pula dalam
Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قَدِمَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْمَدِينَةَ فَآخَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ
الأَنْصَارِيِّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يُنَاصِفَهُ أَهْلَهُ وَمَالَهُ فَقَالَ
عَبْدُالرَّحْمَنِ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلَّنِي عَلَى
السُّوْقِ فَرَبِحَ شَيْئًا مِنْ أَقِطٍ وَسَمْنٍ …
“’Abdurrahman bin ‘Auf tiba di Madinah,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakannya dengan
Sa’d bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Lalu Sa’d menawarkan kepadanya
untuk membagi dua hartanya dan isterinya (dia menceraikan isterinya agar setelah
‘iddahnya selesai, dinikah oleh Abdurrahman). Tapi Abdurrahman berkata: ”Semoga
Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku pasar.” Dia berjualan
di sana dan akhirnya mendapat keuntungan, mula-mula dia dapatkan aqith (sejenis
makanan pokok) dan minyak samin…”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan:
”Yakni, persaudaraan seiman, bukan sedarah atau seketurunan. Sehingga dikatakan,
persaudaraan seiman lebih kokoh daripada persaudaraan sedarah. Karena
persaudaraan senasab (sedarah, seketurunan) akan terputus apabila salah satunya
berbeda agama dengan yang lain. Sebaliknya, persaudaraan seiman tidak akan
terputus meskipun nasabnya berbeda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam telah pula mengingatkan sebagaimana dalam hadits Anas
bin Malik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman salah
seorang dari kalian, sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang
dicintainya untuk dirinya sendiri.”
Dan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“’Seorang mu`min dengan mu`min
lainnya bagaikan bangunan yang kokoh, saling menguatkan satu sama lain.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjalin
jemarinya.”
Dan:
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Kamu lihat kaum mukminin itu
dalam kasih sayang dan perasaan di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila
salah satu anggota tubuh itu mengeluh kesakitan, maka seluruh badan merasakan
panas (demam) dan tidak bisa tidur.”
Berbagai kisah tentang persaudaraan
kaum mukminin yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini, banyak kita
dapati dalam berbagai kitab sejarah, tafsir, dan lainnya. Namun mampukah kita
menerapkannya dalam kehidupan kita di jaman di mana persaudaraan dan hubungan
kasih sayang diikat dan dinilai dengan materi, harta benda dunia?
Ibnu Qayyim menukil ucapan Syaqiq bin
Ibrahim dalam Al-Fawaid yang menerangkan beberapa hal yang
menjadi sebab terhalangnya seseorang mendapat taufiq, di antaranya adalah
tertipu atau merasa bangga duduk dan bergaul bersama orang-orang shalih, tapi
tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka.
Di sisi lain, kita juga membaca
buku-buku sejarah hidup para ulama as-salafush shalih, membahas karya-karya
mereka, namun sudahkah kita meniru akhlak mereka dan menerapkannya dalam
kehidupan? Hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal.
Wallahul muwaffiq. (Bersambung)
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar