Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label tafsir quran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tafsir quran. Tampilkan semua postingan

Perkara Duniawi Bukan Patokan Kebaikan

Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015

Category : Al-Quran, harta, kekayaan, pahala, Tafsir, tazkiyatun nafs
Source article: Muslim.Or.Id

(Disarikan dari Al Qawa’idul Hisan Al Muta’alliqah bit Tafsiril Qur’an, karya Syaikh As’Sa’di rahimahullah)

Penulis: Yulian Purnama

28 November 2014,

Sebagian kita mungkin masih tertipu dengan kaidah yang menyesatkan, yaitu jika seseorang merasa dalam keadaan hebat, kaya raya, harta melimpah, kedudukan tinggi, itu pertanda bahwa Allah memberinya kebaikan. Dunia itu menipu, dan ini adalah salah satu tipuannya. Dan ternyata Allah Ta’ala dalam Al Qur’an telah banyak mengingatkan kita akan hal ini.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaparkan sebuah kaidah berharga: “Al Qur’an membimbing manusia agar memahami bahwa ukuran kebaikan seorang insan adalah dari iman dan amal shalihnya. Adapun sekedar merasa dalam kebaikan atau dengan berpatokan dengan karunia duniawi yang Allah berikan padanya, atau dengan kedudukannya, semua ini merupakan sifatnya kaum yang menyimpang” (Qawa’idul Hisan, 126).

مَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Saba: 37)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’ara: 88-89).

dan banyak lagi ayat yang menjadikan iman dan amal shalih sebagai ukuran kebaikan di hadapan Allah, dan menafikan harta dan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan.

Di sisi lain, Al Qur’an juga memberikan hikmah yang berharga bahwasanya sikap gemar mengaku-ngaku bahwa ia sudah berada dalam kebaikan tanpa dibuktikan dengan praktek nyata dan juga sikap gemar menjadikan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan adalah sikapnya orang-orang yang menyimpang.

فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

maka ia (orang kafir) berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat“” (QS. Al Kahfi: 34).

Ia pun berkata:

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا

dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”” (QS. Al Kahfi: 36)

Allah Ta’ala berfirman, menceritakan kelakukan kaum Yahudi dan Nasrani:

وَقَالُوا لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“” (QS. Al Baqarah: 111).

Allah menjawab pengakuan mereka tersebut:

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS. An Nisa: 123).

Pengakuan tetapkan hanya pengakuan, Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada gunanya mengaku-ngaku dan merasa sudah baik, sudah shalih, sudah rajin beribadah, namun yang dilihat oleh Allah adalah amalan kita, bukan pengakuannya. Apakah amalan kita sudah sesuai dengan pengakuan? Apakah amalan kita sudah shalih? Ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya? Inilah yang semestinya menjadi perhatian.

Dan jelaskan bahwa perkara duniawi itu sama sekali bukanlah patokan kebaikan seseorang. Orang yang mendapat kelebihan dalam perkara duniawi, bukan berarti Allah merahmatinya. Dan orang yang diuji dengan kekurangan dalam perkara dunia, bukan berarti Allah memurkainya. Allah Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sama sekali bukanlah demikian!” (QS. Al Fajr: 15-17).

Demikian semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Menafsirkan Al Qur’an dengan Logika

Written By sumatrars on Minggu, 08 Juni 2014 | Juni 08, 2014

Salah satu lagi cara menafsirkan Al Qur’an yang keliru adalah menafsirkan Al Qur’an dengan logika, akal pikiran, tanpa ilmu.

Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).

 

Dalam hadits disebutkan,

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).

Masruq berkata,

اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله

“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al Qur’an) karena tafsir adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 16. Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)

Asy Sya’bi mengatakan,

والله ما من آية إلا وقد سألت عنها، ولكنها الرواية عن الله عز وجل

“Demi Allah, tidaklah satu pun melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Idem. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sanadnya shahih).

Ibrahim An Nakho’i berkata,

كان أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه

“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Idem. Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya shahih).

Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar

Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:

  1. Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
  2. Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
  3. Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
  4. Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 16 Rabi’uts Tsani 1435 H di Panggang, Gunungkidul

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber Artikel : Rumaysho.Com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang)

Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012

Pelajaran dari Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang).

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا - فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا - فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا - فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا - فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا - إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ - وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ - أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ - وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ - إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah – engah. - 2. Dan pukulan yang membuat loncatan api. - 3. Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba waktu shubuh
4. Maka ia menerbangkan debu - 5. Lalu menyerbu ke tengah – tengah kumpulan membawanya - 6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar pada tuhanNya.
7.Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan sendiri keingkarannya. - 8. Dan sesugguhnya dia sangat kuat cintanya kepada harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui jika telah disemburkan apa yang di dalam kubur. - 10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?
11.Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang diri mereka.
Dinamakan denga surat Al Adiyaat karena Allah memulai nya dengan sumpah, menggunakan kata al adiyaat (Kuda para mujahid yang cepat mengahadapi musuh).
Hubungan antara kedua surat terdapat pada pembicaraan tentang pengeluaran mayat-mayat dari perut bumi. Firman allah
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“dan bumi mengeluarkan benda – benda beratnya”
Dan dalam surat ini :
إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
“jika di bangkitkan apa yang di dalam kubur”
Pada surat Az Zalzalah di tutup dengan penjelasan tentang balasan atas kebaikan dan keburukan maka surat Al Adiyat  juga ditutup dengan balasan atas kebaikan dan keburukan :
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
“sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang mereka”.
Makna Kosa Kata
وَالْعَادِيَاتِ
(Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah – engah).
Kuda yang menyerang musuh dengan cepat dan kuat, sehingga muncul darinya suara engahan.
ضَبْحًا
(engahan).
Suara nafas pada dadanya saat menyerang musuh.
فَالْمُورِيَاتِ
(pukulan yang mengeluarkan loncatan api).
Dengan tapalnya saat memukul batu-batu.
قَدْحًا
(loncatan api)
فَالْمُغِيرَاتِ
(kuda yang menyerang dengan tiba – tiba)
yang menyerang musuh dengan tiba – tiba.
صُبْحًا
(di waktu Shubuh)
Demikianlah yang banyak terjadi bahwa penyerangan terjadi pada waktu shubuh. Disebutkan karena Nabi jika hendak menyerang maka Beliau menunggu waktu Shubuh.
فَأَثَرْنَ بِهِ
(maka ia menerbangkan)
Ia menimbulkan dengan serangan itu.
نَقْعًا
(debu)
Karena gerakannya yang kuat.
فَوَسَطْنَ بِهِ
(lalu dia menyerbu ke tengah – tengah membawanya)
Membawa penunggangnya.
جَمْعًا
(kumpulan)
Kumpulan musuh yang dia serang.
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
(sesungguhnya  manusia sangat ingkar kepada Tuhanya)
Sesungguhnya manusia suka menahan kebaikan (harta) yang di dalamnya terdapat hak allah atasnya atau mengingkari kebaikan (yang ada Dia berikan)
عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
(dan sesungguhnya manusia menyasikan sendiri akan hal itu)
Dia saksikan sendiri keingkarannya,sebab dia mengetahui bahwa dirinya menahan dan bakhil dengan harta itu.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
(sesungguhnya di sangat kuat cintantanya kepada harta).
Manusia dalam menyukai kebaikan (maksudnya:harta) teramat suka, maka dia bakhil dengan harta itu.
بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
(telah disemburkan apa yang di dalam kubur)
Disemburkan dan dikeluarkan apa yang ada di dalam kubur dari orang – orang mati. Maksudnya : kebangkitan (allah membangkitkan mereka)
وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
(dan dilahirkan  apa yang ada di dalam dada)
Tampak dan jelas hakekatnya setelah tadinya tertutup di dalam hati dari kebaikan dan keburukan.
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
(sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang diri mereka)
Maha mengetahui amal mereka, baik yang lahir maupun batin dan membatasi amal – amal mereka itu.

Makna secara global
Allah bersumpah dengan kuda, karena ia memiliki perangai terpuji yang tidak di miliki oleh binatang yang lain. Hal itu karena dia adalah kendaraan untuk perang bagi orang arab dan mempunyai pengaruh atas jiwa kaum mukminin.
Padahal ,terdapat ajakan untuk memiliki kuda dan berlatih dengannya untuk berjihad di jalan allah. Juga seruan untuk membiasakan diri dengan urusan yang besar, bersungguh – sungguh dan gesit beramal, serta untuk memiliki kuda dengan maksud – maksud yang baik.
Kelanjutan dari sumpah tersebut adalah penjelasan tabiat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat dan lupa bersyukur pada Khaliq Sang Pemberi nikmat dan sering kali hal itu membawanya tidak tunduk pada syariat Allah serta hukum – hukumNya.
Terdapat penjelasan bahwa karena sangat cintanya manusia kepada harta, hal itu membuatnya kikir dan meninggalkan infaq. Bahkan engkau lihat mereka bersungguh – sungguh mencari harta, sampai – sampai bersedia membinasakan dirinya demi harta.
Mereka memperhatikan dunia dan berpaling dari akherat serta lupa pada hak Allah atas apa yang di berikan, sehingga Allah mengancamnya dan menjanjikan siksaan jika di tetap pada sifat-sifat ini dan tidak memperbaiki akhlaqnya.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ , وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
“apakah mereka tidak tahu, tatkala di bangkitkan apa yang ada di dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada”
Artinya
Apakah orang yang mengingkari dan pura  – pura lupa akan perintah dan larangan Allah mengetahui apa yang terjadi jika dia keluar dari kuburnya dan tampak jelas apa yang ada pada dirinya, dari :niat – niat, kemauan – kemauan, kebaikan , dan keburukan.
Faedah surat
1.Targhib untuk berjihad dan bersiap untuk itu dengan memiliki alatnya.
2. penjelasan tentang hakekat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat – nikmat Rabbnya dan kebanyakan mereka akan terus mengingat musibah yang pernah menimpanya serta melupakan nikmat tatkala nikmat itu melimpah ruah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh.
3.penjelasan tentang tabiat manusia yang sangat cinta pada hatrta.
4.penetapan akidah tentang kebangkitan dan perhitungan.
(dikutip dari buku Ad -Durusil Muhimmah Li Ammatil Ummah, Penerbit Cahaya Tauhid Press)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tafsir Surat Al Baqarah 185

Written By sumatrars on Selasa, 14 Agustus 2012 | Agustus 14, 2012

Tafsir Surat Al Baqarah 185

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS.  Al Baqarah: 185)

شَهْرُ رَمَضَانَ
Bulan Ramadan”
Imam Ath Thabari menjelaskan, “الشهر /asy syahr/ (bulan) dikatakan oleh sebagian ulama, berasal dari kata الشهرة /asy-syuhrah/ artinya dikenal banyak orang. Jika dikatakan قد شَهر فلانٌ سَيْفه /qad syahara fulanun saifahu/ artinya ‘fulan telah mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengarahkannya kepada orang yang ingin diserang’. Jika dikatakan يشهرُه شهرًا /yasyharuhu syahran/ atau شَهر الشهر /syahira syahran/ artinya hilal telah nampak. Jika dikatakan أشهرْنا نحن /asy-harna nahnu/ artinya kita telah memasuki suatu bulan”.

Beliau melanjutkan, “Sedangkan رمضان /ramadhan/ sebagian ahli balaghah arab menyatakan bahwa dinamakan demikian karena begitu menyengat panasnya di bulan itu, hingga bayi pun merasa kepanasan” (Tafsir Ath Thabari, 3/444)

Sebagian ulama mengatakan bahwa Ramadhan adalah salah satu nama Allah, dan mereka berpendapat tidak boleh menyebut Ramadhan tanpa didahului ‘syahru‘. Pendapat ini didasari oleh hadits:

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’” (HR. Al Baihaqi 4/201).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Dengan demikian Ramadhan bukanlah nama Allah dan boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an

Ayat ini adalah dalil bahwa Al Qur’an pertama kali diturunkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana ayat lain:

إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al Qadr: 1)

Juga firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad Dukhan: 3)

Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501)

Bahkan selain Al Qur’an, Ramadhan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari ke malam ke 7 bulan Ramadhan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadhan. Sedangkan Al Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadhan” (dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1575)

Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu :

أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَيئًا أنزله منه، حتى جمعه
“Al Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath Thabari, no. 2818)

Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu juga berkata:

أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه
“Allah menurunkan Al Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath Thabari, no. 2816)

هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan بَيِّنَاتٍ /bayyinaat/ artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502)

Ayat ini juga dalil bahwa Al Qur’an adalah landasar hukum Islam dan ia diturunkan kepada semua manusia, mencakup muslim ataupun bukan, sebagaimana Islam. Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata: “Al Qur’an adalah landasan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus bersamanya kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al Furqaan: 1) ” (Ushul Fiit Tafsir, 1/7)

Oleh karena itu, orang yang sudah mendengar Islam namun tidak menerimanya ia tidak bisa berkilah di hari kiamat kelak. Karena Allah telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk kebenaran dan nadziir (peringatan). Al Jashash berkata: ‘Ayat ini (Al Baqarah 185) adalah bukti akan kebatilan madzhab mujabbirah yang berpandangan bahwa Allah tidak memberikan petunjuk pada orang kafir. Karena dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi semua mukallaf‘ (Ahkamul Qur’an, 1/222)

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Dalam Tafsir Jalalain (1/38) dijelaskan bahwa makna شَهِدَ /syahida/ di sini adalah حَضَرَ /hadhara/ artinya tidak sedang bersafar. Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ adalah melihat istihlal (munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang muqim (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat (Tafsir Ibni Katsir, 1/503). الشَّهْرَ /asy syahra/ di sini merupakan zharf zaman atau keterangan waktu, sehingga yang dimaksud adalah orang yang tidak bersafar dan sehat ketika bulan Ramadhan. Lalu di sini digunakan kata perintah فَلْيَصُمْ /falyashum/ dan kaidah fiqhiyyah mengatakan bahwa ‘hukum asal dari perintah adalah wajib‘. Sehingga ayat ini adalah dalil wajibnya berpuasa bagi orang yang tidak sedang bersafar dan sehat.

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”

Jika lafazh sebelumnya menjelaskan hukum puasa bagi yang tidak bersafar dan dalam kondisi sehat, maka lafazh ini menjelaskan tentang hukum puasa bagi orang yang bersafar atau sakit. Ibnu Katsir menjelaskan, “maksudnya barangsiapa yang menderita sakit hingga membahayakan dirinya jika puasa, atau minimal bisa memberikan gangguan, atau yang sedang bersafar maka mereka boleh tidak berpuasa. Jika mereka tidak berpuasa, mereka wajib menggantinya di hari-hari yang lain” (Tafsir Ibni Katsir, 1/503).

Orang yang sakit, tidak lepas dari tiga keadaan:
  • Sakitnya ringan dan puasa tidak memberikan banyak pengaruh. Maka haram hukumnya meninggalkan puasa.
  • Sakitnya tidak berat, namun dengan berpuasa akan memberikan kesulitan atau kesusahan. Maka makruh hukumnya berpuasa, dan dianjurkan untuk tidak berpuasa.
  • Sakitnya berat, akan membahayakan dirinya jika puasa. Maka haram hukumnya berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/341)
Safar, umumnya dipenuhi kesusahan dan kelelahan, terutama di masa itu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ
Safar adalah sepotong adzab” (HR. Bukhari 1804, Muslim 1927)

Oleh karena itu Ar Rahman memberikan kemudahan kepada hambanya yang bersabar untuk tidak berpuasa. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah musafir lebih utama berpuasa atau tidak? Pendapat yang kuat, hukumnya dipandang menurut keadaannya:
  • Jika seorang musafir berpuasa atau tidak, tidak jauh berbeda keadaannya. Maka lebih utama berpuasa, walaupun tetap boleh tidak berpuasa. Karena dahulu sebagian sahabat ada yang berpuasa ketika safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau tidak melarangnya. Selain itu dengan berpuasa di bulan Ramadhan, berarti lebih cepat menunaikan kewajiban dari pada ditunda di luar Ramadhan. Selain itu dapat menjalankan puasa bersama banyak orang, dari pada di luar Ramadhan.
  • Jika puasa dimungkinkan memberikan kesulitan pada dirinya, maka dianjurkan tidak berpuasa
  • Jika puasa dipastikan memberikan kesulitan besar pada dirinya, maka haram berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/344)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

Bolehnya musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa adalah bukti bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam syariat-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya… semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” (Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106)

Semua hukum syariat baik hal-hal yang wajib, sunnah, makruh ataupun haram pasti mudah, karena tidak melebihi batas kemampuan manusia. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)

Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam melaksanakannya, maka berlaku kaidah:
المشقة تجلب التيسير
Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50)

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya

Lafazh ini masih membahas tentang kewajiban qadha bagi orang sakit dan musafir, yaitu mereka diwajibkan mengganti di hari lain sampai sempurna jumlah hari puasanya menjadi 1 bulan. Ath Thabari membawakan riwayat dari Ad Dhahak bahwa beliau mengatakan: “(maksud الْعِدَّةَ /al ‘iddah/ bilangan di sini) adalah bilangan hari ketika musafir dan orang sakit tidak berpuasa” (Tafsir Ath Thabari, 3/477)

Syaikh As Sa’di memiliki penjelasan bagus: “Wallahu’alam, maksud ayat ini, yaitu dimungkinkan muncul suatu keraguan bahwa (dengan adanya kebolehan berbuka bagi musafir dan orang sakit) tujuan dari puasa hanya didapatkan oleh sebagian orang. Maka ayat ini menjawab keraguan tersebut, yaitu mereka diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan harinya” (Tafsir As Sa’di, 1/86)

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”

Makna ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah “hendaknya kalian berdzikir kepada Allah setelah menyelesaikan ibadah kalian”. Beliau juga menjelaskan, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang disyari’atkannya takbiran ketika hendak shalat idul fitri” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al Kuwatiyyah (13/213) dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya takbiran ketika Idul Fitri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan Idul Fitri karena terdapat athaf terhadap firman Allah وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ Adapun lafadz yang ini maksudnya adalah menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan”.

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
supaya kamu bersyukur
Ibnu Katsir menjelaskan maknanya, “Yaitu jika anda telah menegakkan perintah Allah dengan menunaikan ketaataan-ketaatan dan kewajiban-kewajiban, meninggalkan yang haram, menjaga batasan-batasan agama, maka semoga anda termasuk dalam golongan orang yang bersyukur” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).

Allah Ta’ala telah memberi manusia nikmat yang berlimpah, yang tidak bisa kita hitung banyaknya. Bahkan orang yang merasa paling menderita di dunia pun tidak akan bisa menghitung nikmat Allah kepadanya. Lalu, salah satu bentuk dan bukti rasa syukur seseorang atas nikmat-nikmat tersebut, adalah dengan menjalankan berbagai ketaatan terutama hal-hal yang diwajibkan baginya. Sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa shalat malam hingga kakinya bengkak. ‘Aisyah pun lalu bertanya, mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab: ‘Bukankah aku akan bahagia jika menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?’” (HR. Bukhari 4837, Muslim 2820).

Wallahu’alam bis shawab

Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger