Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Home » , , » Kumpulan Artikel Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal

Kumpulan Artikel Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal

Written By sumatrars on Selasa, 14 Agustus 2012 | Agustus 14, 2012

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

 Haruskah Orang Tua Meminta Izin kepada Anak?
Pembaca mulia, di masa ini tentu sudah tidak asing bagi kita cerita mengenai sikap pembangkangan anak terhadap orang tua. Di antara sikap pembangkangan anak adalah anak tidak pernah meminta izin kepada orang tua ketika akan mengambil barang milik orang tua, atau anak melakukan suatu kegiatan tanpa izin orang tua. Jika Anda adalah orang tua, tentu hati Anda akan terasa sakit apabila anak yang diharapkan akan tulus mencurahkan bakti dan kasih sayangnya pada Anda, tetapi ia malah membangkang, tidak menuruti perintah Anda, bahkan sering berdusta kepada Anda.

Namun, terkadang sebagian orang tua –mudah-mudahan kita terlindung darinya- tidak menyadari bahwa di antara sebab pembangkangan anaknya itu adalah perilaku orang tua sendiri yang memberikan contoh yang buruk bagi anak .

Maka, untuk para orang tua…
Janganlah Engkau berharap anakmu menjadi pemuda yang menghormati dirimu…
Sementara kau pun tidak menghargai anakmu…
Tidakkah kau tahu bahwa
وينشَأُ ناشئُ الفتيانِ منا … على ما كان عوَّدَه أبوه
Para pemuda di antara kami tumbuh…
dengan kebiasaan yang dibiasakan ayah mereka[1]

Perhatikanlah di antara contoh pendidikan Nabi dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu di bawah ini.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بشراب فشرب منه وعن يمينه غلام وعن يساره الأشياخ فقال للغلام ( أتأذن لي أن أعطي هؤلاء ) . فقال الغلام والله يا رسول الله لا أوثر بنصيبي منك أحدا . قال فتله رسول الله صلى الله عليه وسلم في يده
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minuman, lalu beliau pun meminumnya. Di sebelah kanan beliau ada anak kecil, sedangkan di sebelah kiri beliau terdapat para syaikh (orang-orang tua). Beliau berkata kepada anak kecil tersebut, “Apakah Engkau mengizinkanku untuk memberikan ini kepada mereka?” Anak itu berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah mengorbankan bagiankudarimu kepada seorang pun!” (Sahl bin Sa’ad) berkata, “Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meletakkan air itu di tangan anak tersebut”.
(H.R Bukhari)[2]
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat contoh teladan dari Nabi bahwa hendaknya orang yang tua umurnya pun meminta izin kepada seorang anak kecil ketika akan mengambil sesuatu milik anak tersebut. Ini tidak hanya akan menimbulkan kesan di hati anak, tetapi sekaligus menanamkan adab islami pada dirinya. Oleh karena itu, Syaikh Musthafa bin Al-Adawi (الشيخ مصطفى بن العدوي) hafizhahullah berkata,
ففي هذا إشعار للغلام بالاهتمام به من ناحية, و تعليمه لآدب الإسلمية من ناحية أخرى
Sikap tersebut memberikan isyarat (dalam cara pendidikan orang tua) akan adanya “perhatian” orang tua kepada anak dari satu sisi, dan “pengajaran adab islami” di sisi yang lain.[3]

Berilah Anak Penjelasan, Jika Kau Memang Harus Mengambil Sesuatu Darinya
Jika sebelumnya dijelaskan bahwa orangtua hendaknya meminta izin kepada anak, ini bukan berarti orang tua tidak boleh mengambil sesuatu milik anak jika memang ada hal syar’i yang mendorongnya untuk itu. Namun, orangtua hendaknya bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima anak. Jangan sampai ia hanya menonjolkan umurnya yang tua, kekuasaan dan kegarangannya semata karena bisa jadi hal itu malah membuat anak menuruti perintahnya karena “murni” takut padanya. Inilah di antara sebab pembangkangan anak di kala mereka nanti mulai dewasa. Di saat umur anak semakin dewasa, ia semakin merasa memiliki kekuatan sehingga berani melawan.

Maka, Renungkanlah Sikap Nabi terhadap cucunya ini
Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang anak kecil yang sangat dicintai Nabi, apalagi ia adalah cucu beliau. Namun, kecintaan beliau tidak menghalanginya untuk memberikan pendidikan yang tegas kepada Al-Hasan. Perhatikanlah ketegasan beliau dalam hadits berikut ini.
أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulut. Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata,“Eh.. Eh.. Ayo buang! Tidakkah Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?”
(H.R. Muslim)[4]
Perhatikanlah hadits di atas, Nabi tidak hanya melarang Al-Hasan mengambil kurma sedekah, tetapi memberikan alasan mengapa tidak boleh mengambilnya. Beliau menjelaskan bahwa keluarga Nabi memiliki kekhususan yang tidak dimiliki kaum muslimin yang lain, yaitu keluarga Nabi tidak boleh menerima sedekah.

Tidakkah kita ingat pula bahwa dalam kesempatan lain, Nabi juga pernah menahan tangan seorang anak laki-laki dan wanita dari makanan, lalu beliau menjelaskan alasan mengapa harus melakukan demikian?

Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
“Jika kami menghadiri sebuah jamuan makan bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kami tidak akan meletakkan tangan kami pada makanan kecuali jika Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memulainya.
Pada suatu kesempatan, kami menghadiri jamuan makan bersama beliau, kemudian datanglah seorang anak wanita seakan-akan dia didorong sehingga meletakkan tangannya pada makanan. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya.
Selanjutnya, datanglah seorang Arab Badui, seakan-akan dia didorong lalu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salllam mengambil tangannya dan bersabda,
Sesungguhnya setan akan memakan makanan yang tidak disebutkan padanya nama Allah, dan sesungguhnnya dia (setan) mendorong anak wanita ini agar dia bisa makan, lalu aku memegang tangannya. Kemudian, dia (setan) mendorong seorang Arab Badui agar dia bisa makan, lalu aku pun mengambil tangannya.” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangannya (tangan setan) ada pada tanganku beserta tangannya.” [5]
Maka, Nabi menjelaskan alasan beliau menahan tangan keduanya, yaitu karena setiap orang yang akan makan tetapi tidak menyebut nama Allah, ia akan disertai setan, yaitu setan akan turut memakan makanannya itu.

Berikanlah Penjelasan Pula Di Saat Ingin Melarang
  • Kemudian, di samping harus mampu menjelaskan alasan dalam mengambil atau menahan sesuatu milik anak, hendaknya orang tua juga mampu menjelaskan alasan ketika akan melarang sesuatu pada anak. Misalnya, ketika orang tua melarang anak yang ingin ikut kegiatan di sekolahnya yang terdapat unsur maksiat, seperti pentas musik, acara ulang tahun kawan, drum band, cheerleader, makrab, lomba menggambar makhluk bernyawa, dan berbagai pelanggaran syariat lainnya, orang tua harus bisa menjelaskan alasan dari sisi syari’at, tidak hanya melarang semata. Di sinilah kita bisa merasakan pentingnya ilmu. Ini harus didahulukan karena menanamkan ketundukan anak terhadap aturan syariat merupakan hal yang paling pokok. Jangan sampai anak hanya patuh karena takut kepada orang tua, atau karena ada alsan logis yang sesuai dengan akal, tetapi di hati anak tidak ada rasa takut sama sekali kepada Allah. Dalam kondisi seperti ini, anak pun akan bermaksiat kembali di kala orang tua tidak melihat mereka, atau anak tahu alasan logisnya tetapi ia pun tetap melaksanakannya. Maka, banyak sekali kita temui anak-anak yang mulai coba-coba menggunakan narkotika, mereka sebenarnya tahu “secara logis” itu berbahaya bagi tubuh mereka. Akan tetapi, karena tidak ada rasa takut kepada Allahta’ala, mereka pun hanya takut ketahuan orang tua. Maka, jika orang tua tidak melihatnya, mereka kembali menggunakan narkotika tersebut, tanpa merasa bahwa Allah melihatnya.
  • Kami tidak mengatakan bahwa jangan beri penjelasan logis, tetapi dalil semata. Bukan! Bukan itu yang dimaksud. Bahkan, kami katakan, “Setelah mampu menjelaskan dari sisi syari’at, orang tua hendaknya dapat pula melarang anak dengan memberikan alasan logis, sesuai dengan batas daya tangkap anak.” Contoh yang paling sederhana, orang tua dapat memberikan alasan logis mengapa ia melarang anak menggunakan narkotika, yaitu karena narkotika bisa menimbulkan kecanduan dan merusak kesehatan badan. Namun, kalau hanya “alasan logis”, tanpa disertai alasan syar’i, niscaya bibit-bibit keshalihan anak tidak akan mucul dalam diri anak. Wallahu a’lam
Penutup
Demikianlah “secuplik” adab yang diajarkan Nabi kepada kita. Mudah-mudahan, kita semua diberi taufik untuk meneladani Nabi dalam setiap yang beliau ajarkan.

Ba’da maghrib, 14 Februari 2010
di Masjid Al-Ashri

Penulis: Ginanjar Indrajati B.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id


[1] مجمع الحكم و الأمتال, via software المكتبة الشاملة, tanpa halaman.

[2] الجامع الصحيح المختصر, karya محمد بن إسماعيل أبو عبدالله البخاري الجعفي, cet. دار ابن كثير ، اليمامة – بيروت, jilid II, halaman 865, hadits nomor 2224
[3] فقه تربية الأبناء و طائفة من نصائح الأطباء, karya الشيخ مصطفى بن العدوي, cet دار ابن رجب لنشر و التوزيع, 1423 / 2002 M., hal. 103
[4] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري  cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, hadits nomor 1069.
[5] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري  cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, jilid III, hal. 1597 hadits nomor 2017. Berikut ini lafadz aslinya

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن خيثمة عن أبي حذيفة عن حذيفة قال
: كنا إذا حضرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم طعاما لم نضع أيدينا حتى يبدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم فيضع يده وإنا حضرنا معه مرة طعاما فجاءت جارية كأنها تدفع فذهبت لتضع يدها في الطعام فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بيدها ثم جاء أعرابي كأنما يدفع فأخذ بيده فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( إن الشيطان يستحل الطعام أن لا يذكر اسم الله عليه وإنه جاء بهذه الجارية ليستحل بها فأخذت بيدها فجاء بهذا الأعرابي ليستحل به فأخذت بيده والذي نفسي بيده إن يده في يدي مع يدها
Dalam kitab Al Muhalla, Ibnu Hazm Al Andalusi berkata:

ليلة القدر واحدة في العام في كل عام، في شهر رمضان خاصة، في العشر الاواخر خاصة، في ليلة واحدة بعينها لا تنتقل أبدا إلا انه لا يدرى أحد من الناس أي ليلة هي من العشر المذكور؟ إلا انها في وتر منه ولا بد،

Lailatul Qadar itu ada hanya sekali dalam setahun, dan hanya khusus terdapat di bulan Ramadhan-nya serta hanya ada di sepuluh malam terakhirnya, tepatnya hanya satu hari saja dan tidak akan pernah berpindah harinya. Namun, tidak ada satu orang manusia pun yang tahu lailatul qadar jatuh di malam yang mana dari sepuluh malam tersebut. Yang diketahui hanyalah bahwa ia jatuh di malam ganjil.

فان كان الشهر تسعا وعشرين فأول العشر الاواخر بلا شك ليلة عشرين منه، فهى إما ليلة عشرين، وإما ليلة اثنين وعشرين، وإما ليلة أربع وعشرين، واما ليلة ست وعشرين، واما ليلة ثمان وعشرين، لان هذه هي الاوتار من العشر الاواخر

Andaikata Ramadhan itu 29 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-20. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-20, atau ke-22, atau ke-24, atau ke-26, atau ke-28. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.

، وان كان الشهر ثلاثين فأول الشعر الاواخر بلا شك ليلة احدى وعشرين، فهى إما ليلة احدى وعشرين، واما ليلة ثلاث وعشرين، واما ليلة خمس وعشرين، واما ليلة سبع وعشرين، واما ليلة تسع وعشرين، لان هذه هي أوتار العشر بلاشك

Andaikata Ramadhan itu 30 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.

[Sampai di sini perkataan Ibnu Hazm]
Kita semua tahu bahwa penentuan 1 Syawal atau penentuan berapa hari bulan Ramadhan itu ditentukan di akhir Ramadhan dengan ru’yatul hilal. Dengan kata lain, di tengah bulan Ramadhan kita belum tahu apakah bulan Ramadhan itu 29 atau 30 hari. Jika demikian, maka probabilitas jatuhnya lailatul qadar adalah sama di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Dengan kata lain, di malam tanggal genap pun bisa jadi saat itu lailatul qadar, berdasarkan penjelasan Ibnu Hazm di atas. Oleh karena itu, barangsiapa yang bertekad untuk mendapatkan lailatul qadar hendaknya mencari di sepuluh malam terakhir baik malam ganjil maupun genap.

Wallahu’alam.

Penulis: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Posted: 08 Aug 2012 08:11 PM PDT
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakekat kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7]). Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata,Sabar adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim[3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya (yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134] software Maktabah asy-Syamilah)
Macam-Macam Sabar
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 279)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan,“Maka sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari [11/344]).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan cabangnya. Karena pada hakekatnya iman itu secara keseluruhan merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karena sesungguhnya agama ini berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya…” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 105-106)
Sabar merupakan akhlak para rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan tersebut, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. al-An’am: 34)
Sabar membuahkan kebahagiaan hidup
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih, lihat Fath al-Bari [11/342] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Sabar penopang keimanan
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim[9/241])
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar adalah separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalamal-Hilyah dan al-Baihaqi dalam az-Zuhd, lihat Fath al-Bari [1/62] dan [11/342]). Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535], lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah).
Sabar penepis fitnah
Dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR. Muslim [223], lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “… Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan itulah akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dariadh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Sabar membuahkan hidayah bagi hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir menukil keterangan al-A’masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Hikmah dibalik musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220])
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)
Setelah kita mengetahui betapa indahnya sabar, maka sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai pilar kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-gerik anggota badan kita?

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Posted: 08 Aug 2012 05:30 PM PDT
Berikut ini kami ringkaskan kumpulan artikel yang membahas Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal dari muslim.or.id. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dalam menghadapi Hari Raya ‘Idul Fitri 1432 H, hari dimana kaum muslimin berbuka setelah sebulan penuh berpuasa. Semoga dapat dilalui sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga kebiasaan tahun yang disebut mudik, yang biasanya menempuh perjalanan jauh untuk sampai di kampung halaman, ada beberapa tuntunan dan adab yang semestinya diketahui oleh setiap muslim. Selamat menyimak.
I’tikaf
Zakat Fitri
Lebaran
Puasa Syawwal
Daftar Artikel
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ ??ْ?َٰ?َ?ِ??


Anda Sedang membaca artikel yang berjudul Kumpulan Artikel Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal Silahkan baca artikel dari BLOG AL ISLAM Tentang , , Yang lainnya. Dan Ingin Mengeprint klik tombol prin di Bawah, atau bookmark halaman ini dengan URL : https://alislam-sr.blogspot.com/2012/08/kumpulan-artikel-zakat-fitri-lebaran.html
Klik Untuk Print Friendly and PDF
Share this article :

Posting Komentar

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger