?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Fikih Haji (4): Wajib Hajiby Muhammad Abduh Tuasikal |
WAJIB HAJ
Ada beberapa wajib haji:
Ihram dari miqot.
Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
Mabit di malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.
Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
Melempar jumroh secara berurutan.
Mencukur habis atau memendekkan rambut.
Thowaf wada’.
Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.
Wajib pertama: Ihram dari miqot.
Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan
tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
‘alaihi wa sallam menetapkan
tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ،
حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ،
حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri
tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut
jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di
dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk
Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan
Muslim no. 1181)
tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut
jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di
dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk
Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan
Muslim no. 1181)
Wajib kedua: Wukuf di Arafah
hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.
hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.
Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammelakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu
Maghrib.
‘alaihi wa sallammelakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu
Maghrib.
Wajib ketiga: Mabit di
Muzdalifah
Muzdalifah
Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan
berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan
berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ
الْحَرَامِ
“Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Allah di Masy'aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لَيْلَةَ
الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
“Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR.
Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)
dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR.
Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur,
maka ada kewajiban dam.
Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam
Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dambagi
yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di
sana adalah wajib. Dam di
sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun
yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di
Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang
disepakati ulama Syafi’iyah.”
maka ada kewajiban dam.
Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam
Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dambagi
yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di
sana adalah wajib. Dam di
sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun
yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di
Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang
disepakati ulama Syafi’iyah.”
Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak
ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena
adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan
Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak
ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena
adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan
Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia
bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 416-417).
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia
bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 416-417).
Wajib keempat: Melempar Jumroh
Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10
Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau
13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau
13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang
berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah:
203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika
melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah
saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan
pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari
jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai
setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah:
203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika
melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah
saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan
pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari
jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai
setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
Wajib kelima: Mabit di Mina pada
Hari-Hari Tasyriq
Hari-Hari Tasyriq
Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bermalam (mabit)
di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq
(ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit
adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau
dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
‘alaihi wa sallam bermalam (mabit)
di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq
(ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit
adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau
dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
Wajib keenam: Mencukur atau
Memendekkah Rambut
Memendekkah Rambut
Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini dalam sabdanya,
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini dalam sabdanya,
وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ
“Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691
dan Muslim no. 1227)
dan Muslim no. 1227)
Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang
berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut
di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan
rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah
menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut
di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan
rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah
menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath:
27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan
menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir).
Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10
Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan
seperti itu akan terkena dam (Ar
Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan
menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir).
Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10
Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan
seperti itu akan terkena dam (Ar
Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut,
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq(mencukur)
atau qoshr (memendekkan)
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq(mencukur)
atau qoshr (memendekkan)
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’
Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak
ada romldi dalamnya (Fiqih
Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ada romldi dalamnya (Fiqih
Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ
“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari
ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma juga berkata,
‘anhuma juga berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ
خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan
thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim
no. 1328).
thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim
no. 1328).
Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah,
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa
mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu
thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika
dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa
Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini
adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri.
Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai,
sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum
menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’
Islam Web, fatwa no. 58685).
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa
mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu
thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika
dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa
Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini
adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri.
Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai,
sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum
menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’
Islam Web, fatwa no. 58685).
Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak
ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak
ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).
Bersambung
Fikih haji 5
Fikih haji 5
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal
Abduh Tuasikal
Sumber
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar