Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Keutamaan Tanah Haram Makkah

Written By sumatrars on Jumat, 12 Oktober 2012 | Oktober 12, 2012

Keutamaan Tanah Haram Makkah

Tanah haram jika dimutlakkan secara umum yang dimaksudkan adalah tanah Haram Makkah. Inilah tanah yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika disebut Haromain, maka yang dimaksudkan adalah Makkah dan Madinah. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “Allah Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri, yang terbaik serta termulia adalah tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan mendatangi tanah yang mulia tersebut.”

Di antara keutamaan tanah haram Makkah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits berikut.

Pertama: Di Makkah terdapat baitullah

Sebagaimana Allah menyebutkan mengenai do’a Nabi Allah –kholilullah (kekasih Allah)- Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37).

Rumah pertama yang dijadikan peribadatan kepada Allah Ta’ala adalah baitullah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS. Ali Imran: 96).
Dan baitullah inilah yang dijadikan tempat berhaji sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97).

Haji ini dijadikan sebagai amalan penghapus dosa yang telah lalu Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Sebagaimana shalat di baitullah juga dilipatgandakan. Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173).

Kedua: Tanah haram dijadikan tempat yang penuh rasa aman
Inilah berkat do’a Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan 
berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali“.” (QS. Al Baqarah: 126).
Begitu pula disebutkan dalam ayat lainnya,

وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا

Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia” (QS. Ali Imran: 97).
Kaum Quraisy di masa silam juga merasakan rasa aman ketika safar mereka,

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy: 4).

Ketiga: Rizki begitu berlipat di tanah haram.

Inilah juga berkat do’a Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37).

Keempat: Tanah Haram tidak akan dimasuki Dajjal

Dajjal akan muncul dari Ashbahan dan akan menelusuri muka bumi. Tidak ada satu negeri pun melainkan Dajjal akan mampir di tempat tersebut. Yang dikecualikan di sini adalah Makkah dan Madinah karena malaikat akan menjaga dua kota tersebut. Dajjal tidak akan memasuki kedunya hingga akhir zaman. Dalam hadits Fathimah bin Qois radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa Dajjal mengatakan,

فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِى الأَرْضِ فَلاَ أَدَعَ قَرْيَةً إِلاَّ هَبَطْتُهَا فِى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَىَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِى مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِى عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نَقْبٍ مِنْهَا مَلاَئِكَةً يَحْرُسُونَهَا

Aku akan keluar dan menelusuri muka bumi. Tidaklah aku membiarkan suatu daerah kecuali pasti aku singgahi dalam masa empat puluh malam selain Makkah dan Thoybah (Madinah Nabawiyyah). Kedua kota tersebut diharamkan bagiku. Tatkala aku ingin memasuki salah satu dari dua kota tersebut, malaikat menemuiku dan menghadangku dengan pedangnya yang mengkilap. Dan di setiap jalan bukit ada malaikat yang menjaganya.” (HR. Muslim no. 2942)

Dan Dajjal tidak akan memasuki empat masjid. Dalam hadits disebutkan tentang Dajjal,

لاَ يَأْتِى أَرْبَعَةَ مَسَاجِدَ الْكَعْبَةَ وَمَسْجِدَ الرَّسُولِ والْمَسْجِدَ الأَقْصَى وَالطُّورَ

Dajjal tidak akan memasuki empat masjid: masjid Ka’bah (masjidil Haram), masjid Rasul (masjid Nabawi), masjid Al Aqsho’, dan masjid Ath Thur.” (HR. Ahmad 5: 364. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth, sanad hadits ini shahih)

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Madinah An Nabawiyah, 14 Sya’ban 1433 H

Sumber Artikel Berasal dari :Muslim.Or.Id


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji-Naik ke JabJabal Rahmah Saat Hari Arafah

Artikel : Bahasan Utama


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Jika ada yang pernah melaksanakan ibadah haji akan menyaksikan fenomena di Jabal Rahmah di padang Arafah. Jabal (gunung) yang semula terlihat dengan warna batu, akhirnya kelihatan putih saat hari Arafah. Hal ini disebabkan karena para jama’ah haji yang memakai pakaian ihram berwarna putih menaikinya. Bukan hanya jama’ah haji Indonesia, jama’ah haji dari negara lainnya pun turut serta. Apakah memang termasuk ajaran Rasul menaiki gunung tersebut saat wukuf di Arafah? Adakah pahala tertentu bagi orang yang menaiki Jabal Rahmah dan shalat serta wukuf di sana?

Ada penjelasan dari Al Lajnah Ad Daimah, komisi Fatwa di Saudi Arabia sebagai berikut.

Tidak ada petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi kita untuk menaiki Jabal Rahmah sebagaimana yang sering dilakukan orang-orang saat hari Arafah. Tidak pula ada petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhaji untuk menaiki gunung tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari manasik. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Ambillah manasik haji dariku”. Para khulafaur rosyidin dan para sahabat serta orang yang mengikuti mereka dengan baik juga tidak pernah naik ke gunung tersebut ketika mereka berhaji, tidak pula menjadikannya sebagai bagian dari manasik haji. Mereka tidak melakukannya karena mencontoh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga tidak menaikinya. Yang ada adalah dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di bawah gunung tersebut di sisi batu besar. Beliau bersabda, “Aku wukuf di sini, namun seluruh Arofah adalah tempat yang boleh digunakan untuk wukuf.  Naiklah dari perut Aronah.” Oleh karena itu, kebanyakan ulama menyatakan bahwa naik ke Jabal Rahmah ketika haji dan menganggapnya sebagai bagian dari manasik haji termasuk perbuatan bid’ah (yang tidak ada tuntunannya dalam Islam). Yang menyatakan seperti ini adalah Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Shidiq Hasan Khon. 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada tuntunan dari kami, amalannya tertolak.” (HR. Muslim)

Dan juga bukan termasuk petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah di tempat wukuf di Arafah. Yang ada adalah mencukupkan dengan shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Masjid Namiroh, shalat tersebut dikerjakan secara jamak dan qoshor. Dan jangan menjadikan Jabal Rahmah sebagai tempat shalat untuk melaksanakan shalat sunnah maupun shalat fardhu saat hari Arafah. Hendaklah seseorang kala itu menyibukkan dirinya dengan shalat Zhuhur dan Ashar, serta berdzikir pada Allah, memperbanyak tasbih (bacaan Subhanallah), tahlil (bacaan Laa ilaha illallah), tahmid (bacaan Alhamdulillah), takbir (bacaan Allahu Akbar), dan memperbanyak talbiyah (Labbaik Allahumma labbaik …). Juga hendaklah ia memperbanyak doa hingga tenggelamnya matahari. Sedangkan menjadikan Jabal Rahmah sebagai tempat shalat itu termasuk perbuatan bid’ah yang dibuat-buat oleh orang-orang jahil (tidak paham Islam).

Semoga Allah memberi taufik, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ (Fatawa no. 16, 11: 206-208)

Ulama terkemuka dan penulis Fiqih Sunnah yang terkenal, Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, “Naik ke Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol (lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih Sunnah, 1: 495)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wallahu waliyyut taufiq.

@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 3 Dzulhijjah 1432 H (30/10/2011)

Sumber Artikel Muslim.Or.Id



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji-Nilai Kesederhanaan dalam Ibadah haji

Nilai Kesederhanaan dalam Ibadah Haji

Ibadah haji merupakan perjalanan spiritual yang sarat hikmah. Rangkaian prosesi ibadah haji dari sejak niat memasukinya (ihram) hingga ibadah haji berakhir dengan thawaf wadak memberikan banyak pelajaran yang dapat kita petik. Diantaranya adalah soal kesederhanaan. Hal ini akan sangat dirasakan oleh orang yang berhaji.

Sederhana dalam arti meninggalkan kemewahan dan sikap berlebihan dalam kemubahan dunia adalah sikap terpuji. Baik dalam pakaian, makanan, minuman, kendaraan, tempat tinggal dan lain-lain. Allah berfirman (yang artinya), “Makan dan minumlah kalian dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia membenci orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-Araf [7]: 31)

Umar bin Khattab pernah berwasiat, “Jauhilah kemewahan dan berpenampilan orang asing, pakailah pakaian kaum muslimin dan sederhanalah…” (Hilyah Thalib Ilm, Syaikh Bakr Abu Zaid)

Sikap sederhana dan menjauhi kemewahan dunia lebih dekat kepada iman dan takwa. Sementara kemewahan kerap menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kekufuran. Karenanya Allah mengabarkan orang-orang yang bermegah-megahanlah yang sering kali menjadi musuh para Rasul.

Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah kami utus pada sebuah negeri seorang pemberi peringatan, melainkan akan berkata orang-orang yang bermegah-megahan di negeri tersebut, “Sesungguhnya kami kufur terhadap ajaran yang kamu diutus dengannya.” (QS Saba [34]: 34)

Ibadah haji juga mendidik manusia untuk selalu memandang bahwa sesungguhnya kemulian tidak diukur oleh penampilan lahir. Pakaian ihram yang seragam bagi kaum laki-laki dengan rida` (kain ihram bagian atas) dan izar (kain ihram bagian bawah) sangat jelas menggambarkan bahwa manusia di sisi Allah tidak dinilai dari pakaian yang membalut jasadnya. Allah menyatakan pakaian yang paling baik bukanlah pakaian lahir, melainkan takwa.

Wahai anak adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian yang menutup aurat kalian dan sebagai perhiasan, akan tetapi pakaian takwa adalah lebih baik…” (QS Al-Araf [7]: 26)

Kesederhanaan yang diajarkan dalam syariat haji juga mencakup kesederhanaan dalam perkataan dan perbuatan. Prilaku tidak melampaui batas dalam perkataan dan perbuatan hingga termasuk kategori sia-sia atau diharamkan Allah adalah tujuan dari sejumlah larangan-larangan ihram seperti berburu, mencabut tanaman, mengambil barang temuan dan lain-lain.

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka janganlah ada rafats (jima) dan fusuq (perbuatan dan perkataan buruk) dalam (ibadah) haji.” (QS Al-Baqarah [2]: 197)

Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan pengampunan dosa dari ibadah haji hanya bagi orang yang meninggalkan rafats dan fusuq, “Barangsiapa berhaji dan tidak rafats serta fasik, ia akan kembali seperti kondisi ia dilahirkan ibunya.” (Muttafaq ‘Alaih)***Wallahu ‘alam bish-shawab

Sumber Artikel Muslim.Or.Id



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Alat Musik Dalam Pandangan Ulama Madzhab Syafi’i

Kategori : Fiqh dan Muamalah

Sebagian orang mengira alat musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Kali ini kami akan buktikan dari madzhab Syafi’i secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka.

Terlebih dahulu kita lihat bahwa nyanyian yang dihasilkan dari alat musik itu haram. Al Bakriy Ad Dimyathi berkata dalam I’anatuth Tholibin (2: 280),

بخلاف الصوت الحاصل من آلات اللهو والطرب المحرمة – كالوتر – فهو حرام يجب كف النفس من سماعه.

Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti ‘watr’, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj karya Ibnu Hajar Al Haitami disebutkan ,

) طُنْبُورٍ وَنَحْوِهِ ) مِنْ آلَاتِ اللَّهْوِ وَكُلِّ آلَةِ مَعْصِيَةٍ كَصَلِيبٍ وَكِتَابٍ لَا يَحِلُّ الِانْتِفَاعُ بِهِ

Thunbur dan alat musik semacamnya, begitu pula setiap alat maksiat seperti salib dan kitab (maksiat), tidak boleh diambil manfaatnya.” Jika dikatakan demikian, berarti alat musik tidak boleh dijualbelikan. Jual belinya berarti jual beli yang tidak halal.

Dalam kitab karya Al Khotib Asy Syarbini yaitu Mughni Al Muhtaj disebutkan,

) وَآلَاتُ الْمَلَاهِي ) كَالطُّنْبُورِ ( لَا يَجِبُ فِي إبْطَالِهَا شَيْءٌ ) ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا مُحَرَّمَةٌ لَا تُقَابَلُ بِشَيْءٍ

Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dirusak. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika rusak.” Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’) halaman 330 karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafi’i ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja’ bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil harta dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:

وأما آلات اللهو المشغلة عن ذكر الله، فإن كانت بعد كسرها لا تعد مالاً كالمتخذة من الخشب ونحوه فبيعها باطل لأن منفعتها معدومة شرعاً، ولا يفعل ذلك إلا أهل المعاصي

Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahlu maksiat.

Ini perkataan ulama Syafi’iyah yang bukan kami buat-buat. Namun mereka menyatakan sendiri dalam kitab-kitab mereka. Intinya, musik itu haram. Alat musik juga adalah alat yang haram. Pemanfaatannya termasuk diperjualbelikan adalah haram. Artinya, upah yang dihasilkan adalah upah yang haram. Penjelasan ini pun dapat menjawab bagaimana hukum shalawatan dan nasyid dengan menggunakan alat musik. Silakan direnungkan!

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Artikel menarik sebagian bahan kajian lebih jauh tentang musik: “Saatnya Meninggalkan Musik”.

Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Semoga Artikel ini bermanfaat



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hukum Khutbah Jum’at dengan Bahasa Non Arab

Written By sumatrars on Minggu, 07 Oktober 2012 | Oktober 07, 2012

Kategori: Fiqh dan Muamalah

Kami memaparkan tema ini karena terdorong untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama terkait hukum khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab). Faktor yang mendorong kami untuk melakukannya adalah sebuah diskusi ringan antara kami dengan seorang rekan kerja yang mengaku mengaji di Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), -hadaniyallahu wa iyyahu-.

Alhamdulillah, jawaban akan hal tersebut kami jumpai dalam kitab Syaikh Su’ud Asy Syuraim (imam dan khatib Masjid al-Haram) hafizhahullah, yang berjudul Asy Syamil fii Fiqh al Kitab wa al Khutbah. Artikel ini merupakan saduran dari subbab dalam kitab tersebut yang berjudul Al Khutbah bighairi al ‘Arabiyah au Tarjamatiha lighairi al ‘Arabiyah. Berikut ini kami menyajikannya ke hadapan anda. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya.

Hukum Khutbah Jum’at dengan Selain Bahasa Arab

Tidak terdapat riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan mempersyaratkan khutbah Jum”at harus disampaikan dengan bahasa Arab sebagaimana tidak terdapat riwayat yang menunjukkan nabi atau salah seorang sahabat menyampaikan khutbah Jum’at dengan bahasa selain bahasa Arab padahal orang-orang Islam yang ‘ajam (non Arab) ada dan tersebar di negeri kaum muslimin setelah terjadi ekspansi yang dilakukan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan generasi setelahnya hanya berkhutbah dengan bahasa Arab karena itulah bahasa nasional mereka.


Ulama saling berbeda pendapat dalam membolehkan berkhutbah dengan selain bahasa Arab atau terjemahannya.

Al Qadhi Al Baghdadi al Maliki rahimahullah mengatakan, “Ibnu Al Qasim mengatakan,Tidak sah –di dalam khutbah-, kecuali harus disampaikan dengan bahasa Arab.[1]
Abu Al Husain Al ‘Imrani Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Ketika menyampaikan khutbah dipersyaratkan menggunakan bahasa Arab, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa Ar Rasyidin sesudahnya berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat.” Apabila di tengah-tengah suatu kaum tidak dijumpai seorang pun yang menguasai bahasa Arab, maka memungkinkan untuk menyampaikan khutbah dengan bahasa selain Arab. Salah seorang dari mereka wajib untuk mempelajari khutbah dengan berbahasa Arab sebagaimana pendapat yang telah kami kemukakan dalam pembahasan Takbirat al Ihram.[2]

An Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat yang mempersyaratkan penggunaan bahasa Arab dalam berkhutbah sebagaimana hal itu diwajibkan dalam tasyahhud dan takbirat al ihram berdasarkan sabda nabi “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat”. Demikian pula nabi hanya berkhutbah dengan bahasa Arab. Hal ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Asy Syafi’i.[3]

Al Marwadi Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidak sah khutbah Jum’at dengan bahasa selain Arab apabila mampu melakukannya berdasarkan pendapat yang shahih dalam madzhab (Hambali). Ada pendapat yang menyatakan hal tersebut diperbolehkan (sah) apabila tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab.[4]

Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah memberikan kesimpulan mengenai permasalahan ini, “Pendapat yang tepat, -wal ‘ilmu ‘indallah-, dalam merinci permasalahan ini. Apabila mayoritas jama’ah masjid merupakan non Arab yang tidak memahami bahasa Arab, maka tidak mengapa menyampaikan khutbah dengan selain bahasa Arab atau disampaikan dengan bahasa Arab kemudian diterjemahkan.

Apabila mayoritas jama’ah yang hadir di masjid adalah mereka yang mampu memahami bahasa Arab dan mengetahui maknanya, maka yang lebih utama adalah tetap menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab dan tidak menyelisihi petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih para salaf berkhutbah di berbagai masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang non-Arab, tidak terdapat riwayat yang menyatakan bahwa mereka menerjemahkan khutbah yang mereka sampaikan dengan bahasa Arab, karena kemuliaan itu untuk Islam dan kepemimpinan untuk bahasa Arab.

Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menyampaikan khutbah Jum’at dengan selain bahasa Arab ketika dibutuhkan adalah karena hal tersebut merupakan ketentuan pokok dalam syari’at kita yaitu firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).

Diantara dalil akan hal tersebut adalah realita para sahabat tatkala memerangi negeri ajam seperti Persia dan Romawi, mereka tidak memerangi kaum tersebut setelah mengajak mereka kepada Islam dengan perantaraan para penerjemah.[5]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila dia berkhutbah di negeri Arab, maka dia harus menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Apabila dia berkhutbah di luar negeri Arab, maka sebagian ulama mengatakan bahwa sang khatib harus menyampaikannya dengan bahasa Arab barulah kemudian berkhutbah dengan menggunakan bahasa kaum setempat.

Sebagian ulama mengatakan (dalam kondisi tersebut) tidak dipersyaratkan khutbah disampaikan dengan bahasa Arab bahkan wajib menyampaikannya dengan bahasa kaum setempat. Inilah pendapat yang tepat berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).

Tidak mungkin menarik perhatian manusia untuk memperhatikan sebuah nasehat sedangkan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh sang khatib? Dua khutbah yang terdapat dalam khutbah Jum’at, lafadznya tidaklah termasuk lafadz-lafadz yang digunakan sebagai media ibadah (seperti layaknya Al Quran), sehingga kita mengharuskan khutbah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, apabila melewati suatu ayat Al Quran, maka harus mengucapkannya dengan bahasa Arab, karena Al Quran tidak boleh dirubah dari bahasa Arab.”[6]

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa:

Ulama saling berselisih pendapat dalam membolehkan seorang untuk berkhutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab).

Berdasarkan penjelasan para ulama, pendapat yang tepat adalah penyampaian khutbah Jum’at diperinci sebagai berikut:

Apabila mayoritas jama’ah yang menghadiri khutbah mampu berbahasa Arab dan memahami maknanya, maka sang khotib selayaknya mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyampaikan menggunakan bahasa Arab.

Apabila mayoritas jama’ah tidak memahami bahasa Arab, maka sebagian ulama berpendapat sang khotib tetap harus menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, kemudian baru menerjemahkannya dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah wajib dan khotib boleh atau bahkan wajib –berdasarkan keterangan Syaikh Al ‘Utsaimin- menyampaikan khutbah dengan bahasa kaum setempat berdasarkan firman Allah ta’ala di surat Ibrahim ayat 4.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Buaran Indah, Tangerang, 25 Jumadi Ats Tsaniyah 1431 H.

[1]Al Ma’unah 1/306.
[2]Al Bayan 2/573
[3]Al Majmu’ 4/391
[4]Al Inshaf 5/219
[5]Fatawa Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz 12/372
[6]Asy Syarh al Mumti’ 5/78

Sumber Artikel www.muslim.or.id


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Iman dan Taqwa Landasan Mencapai Kesuksesan

Written By sumatrars on Sabtu, 06 Oktober 2012 | Oktober 06, 2012

 Kategori: Akhlaq dan Nasehat

Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.; Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam firmanNya :

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ

"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) suurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
  1. I’tisham bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
  2. I’tisham billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.

Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: 
“Poros kebahagian duniawi dan ukhrawi ada pada i’tisham billahi dan i’tisham bihablillah. Tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan i’tisham bihablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan i’tisham billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhaan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya ke jalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. i’tisham bihablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang i’tisham billahi memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan” (Bada’i Al Tafasir Al Jaami’ Litafsir Imam Ibni Qayyim Al Jauziyah, karya Yasri Al Sayyid Muhammad, terbitan Dar Ibnul Jauzi 1/506-507).

Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.

Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.

Mudah-mudahan bermanfaat.

Dari Sumber Artike : Muslim.or.Id - Penulis : Ustadz Kolid Syamhudi, Lc.
Di salin / tulis ulang pada Blog ini : Rachmat Flimban.



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fiqih Yakin Tidak Hilang Dengan Keraguan

Kaidah Fiqih

YAKIN TIDAK HILANG

DENGAN KERAGUAN

Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan

Oleh: Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله
Publication: 1433 H_2012 M

Sumber: Web Penulis di AhmadSabiq.com
Download ± 500 eBook Islam di www.ibnumajjah.wordpress.com

KAIDAH FIQIH
 اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan.
 
MAKNA KAEDAH
 اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ : yang artinya air itu tenang dikolam
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
  • اليَقِيْنُ : Keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
  •  الظَنُّ : persangkaan kuat Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
  • الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
  • الوَهْمُ : Persangkaan lemah Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
  • الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
  • الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui. (Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi makna kaedah diatas adalah:
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.” (Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)
 
DALIL KAEDAH
 Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم, diantaranya:
Firman Alloh Ta’ala:
وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus : 36)
Hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata : Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”  (HR. Muslim : 362)
Imam Nawawi رحمه الله berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.” (Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: “Bahwasannya ada seseorang yang mengadu kepada Rosululloh صلى الله عليه وسلم bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh bersabda: “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
 Imam Al Khothobi رحمه الله berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang yakin.” (Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه berkata : Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim : 571)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari Abdur Rohman bin Auf رضي الله عنه berkata : “Saya mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما berkata: “Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.” (HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar رحمه الله dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”
 
KEDUDUKAN KAEDAH
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam islam, baik yang berhubungan dengan fiqh maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat masalah fiqh atau mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal : 51)
Imam Nawawi رحمه الله berkata :
“Kaedah ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua permasalahan, dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar رحمه الله berkata :
“Para ulama telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya keraguannya ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqh.” (Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27)
Imam Al Qorrofi رحمه الله berkata:

“Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.” (Al Furuq 1/111)
Imam Ibnu Najjar رحمه الله berkata :

“Kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa dijadikan dalil bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukan pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukan pada keharaman serta masalah lainnya.” (Lihat Syarah al Kaukab al Munir 4/443)
 
PENERAPAN KAEDAH
 Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka cukup disini disebutkan sebagainnya saja sebagai sebuah contoh :
  • Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
  • Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
  • Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
  • Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
  • Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
  • Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
  • Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
  • Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.
Wallohu a’lam[]



Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger