Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Manasik Haji - Fikih Haji 3: Rukun Haji

Written By sumatrars on Selasa, 02 Oktober 2012 | Oktober 02, 2012


RUKUN HAJI
  1. Ihram
  2. Thowaf ifadhoh
  3. Sa’i
  4. Wukuf di Arafah
Jika salah satu dari rukun ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Wajib ihram mencakup:
  1. Ihram dari miqot.
  2. Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak mendapati khuf).
    Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup wajah) dan sarung tangan.
  3. Bertalbiyah.
Sunnah ihram:
  1. Mandi.
  2. Memakai wewangian di badan.
  3. Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
  4. Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan
    wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah.
  5. Berniat ihram setelah shalat.
  6. Memperbanyak bacaan talbiyah.
Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika
telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.
Lafazh talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”. (Aku
menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab
panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu,  aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki
disunnahkan mengeraskan suara.


Rukun kedua: Wukuf di Arafah

Wukuf di Arafah adalah rukun haji
yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di
Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari
rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji
pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,

الْحَجُّ
عَرَفَةُ
Haji adalah wukuf di Arafah.
(HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no.
3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih
).

Yang dimaksud wukuf adalah hadir
dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring
atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak
suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1:
494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai
dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah
(9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk
waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut,
wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).

Jika seseorang wukuf di waktu mana
saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari,
maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam.
Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan
apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di
Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).

Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke
Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol
(lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)


Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)

Thowaf adalah mengitari Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,


وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Dan hendaklah mereka
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah)
.” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat-syarat thowaf:
  1. Berniat ketika melakukan
    thowaf.
  2. Suci dari hadats (menurut
    pendapat mayoritas ulama).
  3. Menutup aurat karena thowaf
    itu seperti shalat.
  4. Thowaf dilakukan di dalam
    masjid walau jauh dari Ka’bah.
  5. Ka’bah berada di sebelah kiri
    orang yang berthowaf.
  6. Thowaf dilakukan sebanyak
    tujuh kali putaran.
  7. Thowaf dilakukan
    berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
  8. Memulai thowaf dari Hajar
    Aswad.
Sunnah-sunnah ketika
thowaf, yaitu:

  1. Ketika memulai putaran
    pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar.
    Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika,
    wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati
    nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
    Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar
    Aswad bertakbir “Allahu akbar”.
  2. Menghadap Hajar Aswad ketika
    memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil
    bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad.
  3. Memulai thowaf dari dekat
    dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai
    thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya
    dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib.
  4. Istilam (mengusap)
    dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan
    pada setiap putaran. Cara istilam adalah
    meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan
    mulut pada tangannya dan menciumnya.
  5. Roml, yaitu berjalan
    cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini
    disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan.
    Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau
    thowaf umroh pada tiga putaran pertama.
  6. Idh-tibaa’, yaitu
    membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada
    thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan
    dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan.
  7. Istilam (mengusap)
    rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan
    tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar
    Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk
    diusap.
  8. Berdo’a di antara Hajar Aswad
    dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia
    berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua
    rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil
    aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb
    kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia
    dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab
    neraka).
    ” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al
    Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
  9. Berjalan mendekati Ka’bah
    bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi
    perempuan.
  10. Menjaga pandangan dari
    berbagai hal yang melalaikan.
  11. Berdzikir dan berdo’a secara
    siir (lirih).
  12. Membaca Al Qur’an ketika
    thowaf tanpa mengeraskan suara.
  13. Beriltizam pada Multazam. Ini
    dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu
    ‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan
    cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan,
    kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan
    membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam
    rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut
    yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat
    terkabulnya do’a berdasarkan
    hadits
    yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As
    Sadlan (Taisirul
    Fiqih,
    347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah
    selesai thowaf dan multazam terletak  antara pintu
    Ka’bah dan Hajar Aswad.”
  14. Melaksanakan shalat dua
    raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim.
    Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at
    pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan
    rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas.
    Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi
    dalam keadaan idh-tibaa’.
  15. Minum air zam-zam dan
    menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan
    shalat
    dua raka’at sesudah thowaf.
  16. Kembali mengusap Hajar Aswad
    sebelum menuju ke tempat sa’i.
Catatan:

  1. Ulama Syafi’iyah berkata,
    “Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf
    qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka
    idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam
    thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i (haji)
    diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan
    melakukan idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih
    Sunnah, 1: 480).
  2. Tidak ada bacaan dzikir atau
    do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf.
    Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak
    ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering
    memberatkan.

Rukun keempat: Sa’i

Sa’i adalah berjalan antara Shofa
dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,

اسْعَوْا
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
Lakukanlah sa’i karena Allah
mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.
” (HR.
Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits tersebut
hasan).

Syarat sa’i:
  1. Niat.
  2. Berurutan antara thowaf, lalu
    sa’i.
  3. Dilakukan berturut-turut
    antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu
    sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi
    jika benar-benar butuh.
  4. Menyempurnakan hingga tujuh
    kali putaran.
  5. Dilakukan setelah melakukan
    thowaf yang shahih.
Sunnah-sunnah
sa’i:

  1. Ketika mendekati Shofa,
    mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min
    sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.”
  2. Berhenti sejenak di antara
    Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu
    mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
    akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
    lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in
    qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah
    wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.”
     Ketika
    di Marwah melakukan hal yang sama.
  3. Berlari kencang antara dua
    lampu hijau bagi laki-laki yang mampu.
  4. Berdo’a dengan do’a apa saja
    di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a,
    dzikir
    atau bacaan tertentu.
  5. Berturut-turut sa’i dilakukan
    setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu
    yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.
Bersambung Klik:
Fikih Haji 4
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal

Sumber Artikel Oleh : www.muslim.or.id



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hijrah Ke Madinah

Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012

Hijrah Ke Madinah

Ketika Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Madinah, bahkan berkembang pesat di kota itu, Rasulullah kemudian mengijinkan kaum muslimin yang ada di Makkah untuk berhijrah.
 
Persiapan
Islam semakin berkembang di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke kota tersebut. Maka merekapun bersegera mempersiapkan diri. Orang pertama yang direncanakan berangkat adalah Abu Salamah bin Abdul Asad dan isterinya Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah) radhiallahu ‘anhuma. Namun takdir Allah menentukan lain, Ummu Salamah tertahan di Makkah. Namun akhirnya dia keluar satu tahun kemudian bersama puteranya Salamah diiringi ‘Utsman bin Abi Thalhah yang ketika itu belum masuk Islam.
Sedikit demi sedikit, kaum muslimin meninggalkan Makkah hingga tidak ada yang tertinggal di Makkah kecuali beberapa orang termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan keduanya menunggu perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang juga tengah menunggu perintah Allah kapan harus keluar meninggalkan Makkah.
Kaum musyrikin yang mengetahui para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah pergi membawa harta, anak, dan isteri mereka, ke negeri Aus dan Khazraj (Madinah), meyakini bahwa negeri tersebut akan membela dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka khawatir, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sampai menyusul, niscaya kaum muslimin akan memiliki kekuatan dan mereka tidak merasa aman dari serangannya. Maka sebelum hal itu terjadi, mereka bersepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Suatu siang, datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam ke rumah Abu Bakr dan berkata: “Keluarkanlah siapapun yang ada di rumahmu.” Kata Abu Bakr: “Mereka adalah keluargamu juga, wahai Rasulullah.”
Rasulullah berkata: “Allah telah mengizinkan saya keluar.” Abu Bakr berkata: “Saya yang akan menyertaimu, wahai Rasulullah?” Kata Rasulullah: “Ya.”
Kemudian Abu Bakr mengatakan: “Ambillah salah satu kendaraanku ini, demi bapak dan ibuku tebusanmu.” Rasulullah berkata: “Dengan harga.”
‘Aisyah menceritakan: “Kemudian kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Asma’ bintu Abi Bakr memotong kain pinggangnya menjadi dua, satu untuk mengikat pinggang dan yang lain untuk membawa bekal tesebut. Dan sejak itulah dia dijuluki Dzatu Nithaqain (Perempuan Yang Memiliki Dua Ikat Pinggang).
Ibnul Qayyim mengisahkan (Zaadul Ma’ad 3/54), Al-Hakim (dalam Al-Mustadrak) dari ‘Umar, menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr berangkat menuju gua Tsur. Dalam perjalanan itu, kadang-kadang Abu Bakr berjalan di depan, kadang di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Melihat hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya, dan Abu Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, kalau saya teringat pengintai dari depan, saya sengaja berjalan di depan. Kalau saya ingat kepada para pengejar, maka saya berjalan di belakang.”
Kata Rasulullah: “Apakah kau ingin kalau terjadi sesuatu engkau yang mengalaminya, bukan aku?”
Kata Abu Bakr: “Ya.”
Demikianlah, keduanya sampai dan bersembunyi di dalam gua. Sementara orang-orang kafir Quraisy yang kehilangan jejak, menyebar para pencari jejak hingga di mulut gua. Ketika itu Abu Bakr berkata sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik: “Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah, niscaya mereka melihat kita.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
مَا ظَنُّكَ  بِاثْنَيْنِ اللهُ ثَالِثُهُمَا  
“Bagaimana menurutmu dengan dua orang di mana Allah adalah yang ketiganya. Jangan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Abdullah bin Abi Bakr selalu bermalam di gua bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Dia seorang pemuda yang cerdik. Sebelum fajar dia sudah berkumpul kembali di tengah-tengah orang-orang kafir Quraisy mendengarkan berita dari mereka dan menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr.
Sementara salah seorang bekas budak yang dimerdekakan Abu Bakr, ‘Amir bin Fuhairah senantiasa menggembalakan kambingnya di sekitar gua dan memerahkan susunya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Demikianlah hal ini berjalan selama tiga malam.
Kisah Suraqah bin Malik
Setelah berusaha mencari dan menyebar ke seluruh pelosok Makkah, mereka tidak juga menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Akhirnya, mereka menyebarkan sayembara, siapa yang berhasil membawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr hidup atau mati, akan diberi hadiah. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr mulai meninggalkan Makkah menyisiri tepi pantai menuju Madinah.
Sesampainya di daerah Bani Mudlij, seseorang melihat mereka dan melapor kepada Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Tapi berita ini ditolak oleh Suraqah. Namun, dia memerintahkan budaknya membawa kuda dan tombaknya keluar dari belakang rumah serta menunggunya di balik gunung.
Setelah itu, dia memacu kudanya mengejar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr. Abu Bakr melihatnya dan berkata: “Ya Rasulullah, lihat Suraqah bin Malik menyusul kita.” Maka Rasulullah pun berdoa. Akhirnya Suraqah beberapa kali terjungkal dari kudanya. Kemudian dia menyerah dan meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr berhenti.
Setelah berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, Suraqah meminta dituliskan kesepakatan. Dan ini tetap dipegangnya sampai pada waktu Fathu Makkah. Kemudian dia menyerahkan tambahan perbekalan kepada rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, namun keduanya mengatakan: “Tidak. Tapi alihkan perhatian para pengejar dari kami.”
Maka setelah itu Suraqah setiap kali bertemu dengan para pencari jejak rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam selalu mengatakan: “Saya sudah mencari berita dan tidak terlihat yang kalian cari.”
Demikianlah, awalnya dia berusaha menangkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr, pada akhirnya dia menjadi pelindung mereka.
Kisah Ummu Ma’bad
Ibnul Qayyim menceritakan: “Rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melanjutkan perjalanan dan singgah di kemah Ummu Ma’bad, yang tinggal di padang pasir memberi makan dan minum para kelana yang singgah di tempat itu.”
Rombongan singgah di sana dan menanyakan apa gerangan yang dimilikinya. Ummu Ma’bad mengatakan tidak ada kecuali kambing yang jauh dari tempat gembalaan. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam minta izin untuk memerah susunya. Ummu Ma’bad pun mengizinkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengusap kambing-kambing tersebut dan menyebut nama Allah lalu berdoa. Maka memancarlah susu kambing itu yang kemudian ditampung di sebuah bejana. Kemudian beliau menyuruh Ummu Ma’bad minum, setelah itu para shahabatnya baru kemudian beliau sendiri. Setelah semua puas, beliau memenuhkan bejana itu kembali dan meninggalkannya di sana, kemudian melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, Abu Ma’bad suami Ummu Ma’bad pulang dan terheran-heran melihat bejana yang penuh dengan air susu. Dia bertanya dari mana ini? Ummu Ma’bad mengatakan bahwa baru saja singgah seorang lelaki penuh berkah dengan sifat demikian dan demikian. Mendengar keterangan isterinya, Abu Ma’bad segera meyakini bahwa itulah orang yang dicari-cari Quraisy. Dan dia bertekad seandainya punya kesempatan akan menemuinya.
Tiba di Madinah
Orang-orang Anshar yang telah mendengar berita keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari kota Makkah pun berusaha menyambutnya. Setiap hari dari pagi hingga matahari menyengat, mereka menunggu kedatangan rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di pinggiran kota. Namun sampai beberapa hari belum juga tampak.
Baru pada hari ke-12 bulan Rabi’ul Awwal, mereka keluar menunggu seperti biasa. Dan ketika matahari sudah mulai terik, mereka bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Seorang Yahudi yang ketika memanjat rumahnya untuk suatu keperluan melihat bayangan dari jauh dan tidak dapat menahan dirinya. Dengan lantang dia berteriak bahwa yang ditunggu-tunggu sudah datang.
Mendengar hal ini, orang-orang Anshar bergegas menyandang senjata mereka dan menuju ke pinggiran kota menyambut rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Kaum muslimin bertakbir gembira dengan kedatangan rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ini. Mereka mengucapkan sambutan dan salam hormat menurut syariat Islam. (Bersambung)
Sebarkan :
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Doa - Semut dan ikan pun turut berdoa

Semut dan ikan pun turut berdoa

Oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
Pembaca,rahimakallahu…
            Berbondong gelombang demi gelombang langkah kaki diarahkan. Ayunan tangan turut menyertai setiap hembusan nafas manusia-manusia hebat di atas hamparan bumi. Jarak bukanlah penghalang walau jauh tak terkira. Panas dan hujan bagi mereka adalah sahabat dekat. Terik matahari tidak mereka hiraukan. Ya,manusia-manusia hebat itu. Ada apa dengan mereka?
            Kampung halaman, Siapa di antara kita yang tak merindukan negeri kelahiran? Ada sejuta kenangan di sana,tempat setiap insan besar dan dibesarkan. Namun bagi mereka,manusia-manusia hebat itu,berpisah dan meninggalkan kampung halaman adalah mengasikkan. Walau berat memang,meski pahit tentunya. Waktu bukanlah alasan walau terasa lama. Mereka,manusia-manusia hebat itu,yang selalu dinantikan,”Di purnama bulan apa kalian akan kembali?”. Mengapa mereka melawan arah rindu yang terkekang?
            Sungguh,mereka benar-benar manusia hebat. Mereka adalah para pengembara dari satu negeri menuju negeri selanjutnya. Tidak ada tujuan yang dicari kecuali ilmu agama,firman Allah dan sabda rasul Nya.Mereka adalah para pecinta ilmu yang sedang mengemban misi suci ,thalabul ilmi. Untuk apa?
            Sejarah telah diukir dan terlukis indah dengan kisah-kisah mengharu biru tentang mereka,para ulama’ panutan umat. Perjuangan berat dan pengorbanan yang sulit telah mereka lalui.Dan kita pun pasti bertanya-tanya,”Demi apa mereka lakukan itu semua?”
Pembaca,hafidzakallahu…
            Alangkah bahagianya seseorang yang selalu didoakan dengan kebaikan dan dimohonkan ampunan. Siapa yang tak ingin?
            Pernahkah terbayang jika yang mendoakan adalah makhluk sejagat? Yang ada di langit berlapis dan yang hidup di atas permukaan bumi,semuanya turut berdoa untuk kebaikan untuk Anda. Bahkan semut-semut di sarangnya juga ikan-ikan di air tempat hidupnya tak ketinggalan untuk mendoakan kebaikan. Untuk siapa?
            Semua mendoakan kebaikan kepada hamba yang selalu mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada masyarakatnya. Sungguh menyenangkan! Dan,hanya ada satu tangga untuk meraihnya yaitu thalabul ilmi.
            Maka,terjawablah sudah tanda tanya yang sempat lahir di atas tadi!
            Mereka,manusia-manusia hebat itu,rela melakukan perjalanan jauh berbulan bahkan bertahun dengan meninggalkan kampung halaman dan sanak kerabat, salah satu sebabnya adalah harapan yang selalu hadir di dalam hati dengan sabda Rasulullah,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah,para malaikat Nya,penduduk langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan turut mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”[1]
Subhanallah!
Pembaca,baarakallahu fiik…
            Jangan heran dan jangan kaget! Allah Maha Mampu untuk menjadikan makhluknya dapat berbicara dan berdoa.Amatlah mudah bagi Allah untuk mengijinkan semut dan ikan turut mendoakan kebaikan untuk para pemilik ilmu agama.
            Allah berfirman dalam ayat Nya,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
            Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. 17:44)
Ibnu Katsir menjelaskan,
            “Tidak ada satu pun makhluk kecuali ia pasti bertasbih dengan memuji Allah. Namun,kalian tidak dapat mengerti tasbih mereka,wahai segenap manusia. Sebab,berbeda  dengan bahasa kalian.
            Hal ini berlaku secara umum untuk hewan binatang,pohon tetumbuhan dan benda-benda mati.
            Pendapat ini adalah yang paling masyhur dibanding pendapat lain”[2]
Pembaca,arsyadakallahu…
            Al Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud,beliau berkata,
“Dulu kami dapat mendengar tasbih dari makanan yang sedang disantap”
            Dalam sebuah riwayat,sahabat menceritakan bahwa Rasulullah pernah mengambil beberapa butir kerikil lalu meletakkannya di atas telapak tangan beliau,ternyata kerikil-kerikil tersebut bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
            Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Abu Bakar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
            Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Umar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
            Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Utsman,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.[3]
Luar biasa,bukan?
Pembaca,rahimakallahu…
            Thalabul ilmi akan membawa kita menuju sebuah dunia yang dipenuhi dan dihiasi oleh doa-doa seluruh makhluk sejagat raya.
            Dan Anda? Di manakah letak Anda dari peta kebaikan semacam ini? Duduk terdiam tanpa terbersit untuk menjadi seperti mereka,yang pandai dan mengerti tentang agama? Tidakkah Anda ingin berada di barisan shaf terdepan?
            Bersemangatlah,Saudaraku,untuk mempelajari ilmu-ilmu agama Islam! Sebab untuk orang semacam Anda,semut dan ikan pun turut berdoa. Baarakallahu fiik
[1] Hadits Abu Umamah Al Bahili riwayat Tirmidzi () di shahihkan oleh Al Albani.
[2] Tafsir Ibnu Katsir
[3] Dishahihkan oleh Al Albani dalam Dzilalul Jannah
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!

Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!

oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
Dari Abu Hurairah,Rasulullah bersabda,”Ada seseorang mengatakan,”Sungguh aku akan memberikan sedekah”. Di malam hari, ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang pencuri (tanpa diketahui). Pagi harinya, orang-orang membicarakan,”Tadi malam,ada seorang pencuri mendapat sedekah”. Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari berikutnya,ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang wanita pelacur (tanpa diketahuinya). Pagi harinya,orang-orang membicarkan,”Tadi malam,ada seorang wanita pelacur mendapat sedekah”.Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari ketiga,ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada salah satu orang kaya (tanpa diketahui).Pagi harinya,orang-orang membicarakan,”Tadi malam,ada orang kaya mendapat sedekah”.Orang itu mengatakan,”Ya Allah,hanya kepada Mu segala pujian. Untuk seorang pencuri,seorang pelacur dan orang kaya”.
Lalu orang itu didatangi dan dikatakan kepadanya,”Adapun sedekah yang engkau berikan kepada si pencuri,mudah-mudahan dengan harta itu ia dapat menahan diri dari perbuatan mencuri. Adapun si pelacur,mudah-mudahan dengan harta itu ia kan menahan diri dari perbuatan zina. Adapun orang kaya,barangkali ia dapat mengambil pelajaran sehingga ia pun mau berinfak dari harta yang Allah berikan”
Hadits riwayat Bukhari ( 1421 ) Muslim (1022 )
Pembaca..
Telah diketahui,sedekah hanyalah diberikan kepada fakir dan miskin. Orang tersebut menyerahkan sedekah kepada seorang pencuri tanpa sepengetahuannya, jika dia seorang pencuri.Esok harinya,orang-orang ramai membicarakan tentang seorang pencuri yang mendapat sedekah. Seorang pencuri,semestinya dihukum dan tidak diberi harta.Orang itu malah mengatakan,”Alhamdulillah”.Ia memuji Allah karena Allah selalu dipuji dalam setiap kondisi.
Lalu,orang itu tetap berkeinginan untuk bersedekah di malam harinya.Tetapi,sedekah berikutnya justru jatuh di tangan seorang pelacur. Paginya,orang-orang kembali dihebohkan dengan berita, seorang wanita pelacur mendapat sedekah tadi malam.Hal ini tidak dapat diterima oleh akal dan fitrah. Namun,orang itu tetap mengucapkan,”Alhamdulillah”.
Kemudian,orang itu masih juga ingin mengeluarkan sedekah.Seakan-akan dia menilai sedekahnya yang pertama dan kedua tidak diterima.Tetapi,sedekahnya malah diterima oleh orang kaya.Orang kaya tidak termasuk golongan yang berhak menerima sedekah.Mereka hanya dapat menerima hadiah dan hibah atau semisalnya. Pagi harinya,orang-orang terheran-heran ; semalam,ada orang kaya mendapat sedekah. Namun,orang itu tetap mengucapkan,”Alhamdulillah,meskipun diterima seorang pencuri, pelacur dan orang kaya”. Padahal yang ia harapkan, sedekah itu diterima orang fakir,yang menjaga kehormatan diri dan suci. Dan,keputusan Allah telah ditaqdirkan.
Kepada orang itu dikatakan,”Sesungguhnya,sedekahmu diterima”. Karena dia ikhlas dalam bersedekah dan berniat baik,namun tidak terkabul.
Si pencuri,mudah-mudahan akan menahan diri dari perbuatan mencuri dengan harta sedekah tersebut. Mungkin saja ia sadar dan berkata,”Harta ini telah memberikan kecukupan”
Si pelacur,mudah-mudahan ia pun dapat menahan diri dari perbuatan zina. Seringnya tujuan berzina adalah mencari harta,wal iyadzu billah.
Orang kaya,mudah-mudahan ia bisa terketuk hatinya lalu berinfak dari harta yang ia miliki.
Demikianlah niat yang baik. Niat yang baik dan tulus selalu membawa kebaikan. Hadits ini sebagai dalil ; seseorang yang berniat baik dan telah berusaha namun akhirnya salah, tetap dicatatkan amal kebaikan untuknya. Oleh sebab itu,ulama’ mengatakan : Jika seseorang menyerahkan zakat kepada orang yang ia sangka berhak, ternyata di kemudian waktu terbukti bila orang tersebut tidak berhak,maka zakat tersebut tetap dihukumi sah.
Didalam hadits ini terdapat ibrah lain ;
    1.Keutamaan sedekah secara ikhlas dan diam-diam. Betapa mahal arti sebuah keikhlasan. Manusia dicipta dengan wataknya yang senang dipuji,tidak ingin dibenci. Tanpa ajaran keikhlasan,seorang hamba akan berbuat untuk selain Allah. Ingin dilihat dan diperhatikan orang banyak. Didengar dan diperbincangkan khalayak ramai. Sungguh berat menjaga agar ibadah selamat dari riya’. Yusuf bin Al Husain berkata,”Tugas terberat di dunia adalah sikap ikhlas. Betapa seringnya aku berusaha untuk menghilangkan riya’ dari hati,seolah-olah ia muncul kembali dengan warna yang lain”
Islam menganjurkan ,dalam beramal hendaknya menjaga niat yang tulus dalam mengharap ridho Allah.Sampai-sampai digambarkan oleh Rasulullah ; ia berinfak menggunakan tangan kanannya,sementara tangan kirinya tidak mengetahui.Apalagi orang lain.
Hal ini ditunjukkan dengan perbuatan orang tersebut yang memberikan sedekah di malam hari,agar tidak diketahui orang.
    2. Dianjurkan untuk mengulangi sedekah jika tidak tepat orang.Hal ini mengajarkan untuk kita ; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam beramal.Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik,senantiasa mewujudkan ibadah yang berkualitas.Tidak merasa puas dengan sedikitnya amalan yang telah dikerjakan.
Allah berfirman,
( لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَىْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ )
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. 3:92)
    3. Hukum diberikan sesuai bentuk lahiriyah sampai diketahui keadaan sesungguhnya. Seseorang yang menampakkan kebaikan,ia disikapi dengan baik juga. Orang lain yang menunjukkan kejahatan,ia disikapi sesuai dengan perbuatannya.
Umar bin Khattab berkata, ”Sesungguhnya orang-orang di masa Rasulullah dinilai dengan wahyu. Dan wahyu telah terputus. Sekarang, kami menilai kalian dengan bentuk lahir dari amalan. Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami memberikan kepercayaan dan kedekatan untuknya. Tidak ada urusan kami dengan apa yang dia sembunyikan. Allah yang akan menghisab apa yang dia rahasiakan. Barangsiapa menampakkan keburukan,kami tidak akan memberikan amanah dan kepercayaan untuknya. Meskipun dia mengatakan,”Apa yang dia rahasiakan adalah kebaikan”. Hadits riwayat Bukhari (2498)
    4.Berkah dari sikap menerima dan ridha.Demikianlah sikap seorang muslim dalam menghadapi setiap ketentuan Allah.Ia selalu memilih bersikap sabar dan ridha.Tidak mengeluh,bukannya tidak menerima.
Ummu Salamah pernah mendengar Rasulullah bersabda,”Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah lalu berdoa sesuai perintah Allah,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah,berikanlah pahala untukku pada musibah ini dan berilah ganti dengan lebih baik” kecuali pasti Allah akan memberikan untuknya pengganti yang lebih baik”
Pada saat Abu Salamah,suaminya,meninggal dunia,Ummau Slamah berkata,”Siapakah dari kaum muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah.Keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah”.Kemudian aku mengucapkan doa tersebut. Dan Allah memberikan untukku Rasulullah sebagai pengganti.Hadits riwayat Muslim (1525)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)

Hijrah Ke Madinah (Bagian 2)

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Setelah melalui berbagai rintangan, Rasulullah beserta rombongan akhirnya berhasil memasuki kota Madinah. Di kota inilah Rasulullah kemudian membangun masyarakat baru yang dipenuhi dengan nilai-nilai keislaman.

Masjid Pertama
Tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di Madinah bersama rombongan. Saat itu, para shahabat Anshar banyak yang belum mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Baru ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bernaung dan Abu Bakr melindungi beliau dari terik matahari, mereka mengenalnya.
Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan: ”Saya ikut menyaksikan hari masuknya Rasulullah ke kota Madinah. Dan saya tidak pernah melihat satu haripun yang lebih baik dan lebih cerah dibandingkan hari itu. Saya juga menyaksikan hari wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan saya belum pernah melihat hari yang lebih buruk (keadaannya) dan lebih gelap dibandingkan hari itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam singgah di Quba, di tempat Kultsum bin Al-Hidmi di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf selama beberapa hari dan mulai membangun Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun sejak beliau tiba di Madinah.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, masjid apa yang pertama yang dibangun di atas dasar ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ
“Janganlah kamu bersembah yang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Ada yang mengatakan Masjid Quba, dan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Hasan. Mereka berpegang kepada kalimat: مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ (sejak hari pertama); Masjid Quba adalah yang pertama kali dibangun di Madinah sebelum Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Demikian juga pendapat Ibnu ‘Umar, Sai’d bin Al-Musayyab, dan Al-Imam Malik menurut riwayat Ibnu Wahb, Asyhab, dan Ibnul Qasim. Setelah menukilkan beberapa hadits, Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa masjid yang dimaksud adalah Masjid Quba. Dan ini pula pendapat Asy-Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam At-Taisir. Wallahu A’lam.
Namun ada pula yang mengatakan, masjid itu adalah Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri tentang dua orang shahabat yang berdebat tentang masjid yang dimaksud dalam ayat ini, kemudian disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan kata beliau: ”Yaitu Masjidku ini.” Al-Imam At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini shahih.
Ibnu Katsir menerangkan bahwa susunan ayat ini mengarah kepada masjid Quba, kemudian beliau meneruskan, dengan menukil riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri sebelumnya, dan berkata: “Ini shahih, dan tidak ada pertentangan antara ayat dengan hadits tersebut. Karena kalau Masjid Quba dianggap sebagai masjid pertama yang didirikan di atas dasar ketakwaan, maka Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentunya lebih utama dan lebih pantas.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/474, dan Tafsir Al-Qurthubi)
Setelah itu, beliau bertolak ke Madinah. Beberapa orang shahabat mencoba memegang tali kendaraan beliau dan menuntunnya dengan niat mengajak beliau singgah di tempatnya. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan agar dibiarkan karena kendaraannya diperintah. Akhirnya, rombongan tiba di lokasi masjid yang sekarang ini.
Ibnul Qayyim mengisahkan bahwa Al-Imam Az-Zuhri menceritakan, beberapa kali unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berputar dan akhirnya kembali di tempat dia menderum pertama kali (di lokasi masjid sekarang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam turun dan segera disambut oleh Abu Ayyub, yang masih keluarga bibi beliau dari Bani Najjar.
Tanah lokasi masjid itu sebetulnya milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang diasuh As’ad bin Zurarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membeli tanah itu dari keduanya untuk didirikan masjid di atasnya.
Setelah membersihkan tanah itu dari kuburan kaum musyrikin, pohon-pohon gharqad, mulailah tanah itu diratakan. Beberapa pokok kurma ditebang dan disusun di arah kiblat masjid. Ukuran panjangnya (dari kiblat sampai ke belakang) ketika itu sekitar 100 hasta (kira-kira 50 m). Begitu pula kedua sisinya, hampir sama. Sedangkan pondasinya sekitar 3 hasta. Dan kemudian dibangun dengan bata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak duduk diam dalam membangun masjid ini, bahkan ikut mengangkat dan memindahkan tanah. Ketika itu, kiblat masih diarahkan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), atapnya dari pelepah-pelepah kurma. Setelah itu baru dibangun rumah untuk isteri-isteri beliau.
Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar
Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka dipersaudarakan berdasarkan persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya peristiwa Badr.
Setelah Allah Ta’ala menurunkan ayat:
وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ…
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah...” (Al-Anfal: 75)
Maka pewarisan dikembalikan kepada hubungan darah dan tidak lagi berdasarkan ukhuwwah diniyyah (persaudaraan seagama) ini.
Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir-nya bahwa ayat ini menyatakan pewarisan di antara sesama kerabat lebih utama daripada saling mewarisi antara Muhajirin dan Anshar. Ayat ini me-nasikh (menghapus) hukum warisan sebelumnya yang berdasarkan hilf (perjanjian, kesepakatan) dan persaudaraan yang terjadi di antara mereka.
Kemudian beliau menukilkan riwayat dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam yang dipersaudarakan dengan Ka’b bin Malik, bahwa seandainya Ka’b bin Malik meninggal dunia ketika itu, dialah yang akan mewarisinya. Lalu turunlah ayat ini.
Begitu eratnya persaudaraan ini, Allah Ta’ala menceritakan tentang keadaan ini dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir-nya: ”Allah Ta’ala memuji orang-orang Anshar, menjelaskan betapa tinggi kedudukan, kemuliaan, kemurahan, tidak adanya kedengkian pada diri mereka, dan justru sebaliknya mereka mempunyai sikap suka mengutamakan serta mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan.” Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan pula betapa mereka mencintai orang-orang Muhajirin yang datang kepada mereka, di mana semua ini didorong oleh kemuliaan pribadi mereka. Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka kedengkian terhadap kedudukan dan kemuliaan orang-orang Muhajirin, meskipun mereka disebut oleh Allah pertama kali.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَنْصَارَ إِلَى أَنْ يُقْطِعَ لَهُمُ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوْا لاَ إِلاَّ أَنْ تُقْطِعَ لإِخْوَانِنَا مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ مِثْلَهَا. قَالَ: إِمَّا لاَ، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ فَإِنَّهُ سَيُصِيْبُكُمْ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengundang orang-orang Anshar untuk dibagikan kepada mereka harta Bahrain, namun mereka berkata: ‘Tidak, kecuali kalau engkau bagikan pula seperti itu kepada saudara-saudara kami kaum Muhajirin. Atau tidak sama sekali.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Kalau begitu bersabarlah, sampai kalian bertemu denganku. Karena sesungguhnya kalian akan dapati adanya sikap sewenang-wenang sepeninggalku’.”
Berkaitan dengan ayat tadi, disebutkan pula oleh Ibnu Katsir bagaimana para shahabat Anshar mendahulukan kepentingan orang lain dari diri mereka sendiri. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيْفُ هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: أَنَا. فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ: أَكْرِمِيْ ضَيْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا إِلا قُوْتُ صِبْيَانِيْ. فَقَالَ: هَيِّئِيْ طَعَامَكِ وَأَصْبِحِيْ سِرَاجَكِ وَنَوِّمِيْ صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوْا عَشَاءً. فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ضَحِكَ اللهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ  {وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ}
“Abu Hurairah menceritakan: ‘Ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, kemudian beliau perintahkan supaya menemui istri-istri beliau. Namun kata mereka: ‘Kami tidak punya sesuatu kecuali air (minum).’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Siapa yang menjamu tamu ini?’ Tiba-tiba seorang shahabat Anshar bekata: ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Maka berangkatlah dia membawanya ke rumah. Shahabat Anshar ini berkata kepada isterinya: ‘Muliakan (jamulah) tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ini.’
Wanita itu berkata: ‘Kita tidak punya apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.’ Suaminya berkata: ‘Siapkan makananmu itu, perbaiki pelitamu dan tidurkan anak-anakmu. Kalau mereka minta makan, alihkan perhatian mereka.’
Wanita itu melaksanakan perintah suaminya, dia mulai menidurkan anak-anak dan menyiapkan makanan dan berdiri seakan-akan mau memperbaiki pelita lalu memadamkannya. Mereka pun berbuat seolah-olah memperlihatkan kepada tamunya itu bahwa mereka juga ikut makan bersamanya.
Setelah itu mereka berdua tertidur meringkuk menahan lapar. Keesokan harinya laki-laki itu menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Beliau berkata: ‘Allah tertawa melihat perbuatan kalian terhadap tamu kalian tadi malam.’
Maka Allah menurunkan firman-Nya:”…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)’.
Beliau meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قَدِمَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْمَدِينَةَ فَآخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ الأَنْصَارِيِّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يُنَاصِفَهُ أَهْلَهُ وَمَالَهُ فَقَالَ عَبْدُالرَّحْمَنِ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلَّنِي عَلَى السُّوْقِ فَرَبِحَ شَيْئًا مِنْ أَقِطٍ وَسَمْنٍ …
“’Abdurrahman bin ‘Auf tiba di Madinah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Lalu Sa’d menawarkan kepadanya untuk membagi dua hartanya dan isterinya (dia menceraikan isterinya agar setelah ‘iddahnya selesai, dinikah oleh Abdurrahman). Tapi Abdurrahman berkata: ”Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku pasar.” Dia berjualan di sana dan akhirnya mendapat keuntungan, mula-mula dia dapatkan aqith (sejenis makanan pokok) dan minyak samin…”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan: ”Yakni, persaudaraan seiman, bukan sedarah atau seketurunan. Sehingga dikatakan, persaudaraan seiman lebih kokoh daripada persaudaraan sedarah. Karena persaudaraan senasab (sedarah, seketurunan) akan terputus apabila salah satunya berbeda agama dengan yang lain. Sebaliknya, persaudaraan seiman tidak akan terputus meskipun nasabnya berbeda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah pula mengingatkan sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman salah seorang dari kalian, sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.”
Dan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“’Seorang mu`min dengan mu`min lainnya bagaikan bangunan yang kokoh, saling menguatkan satu sama lain.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjalin jemarinya.”
Dan:
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Kamu lihat kaum mukminin itu dalam kasih sayang dan perasaan di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh itu mengeluh kesakitan, maka seluruh badan merasakan panas (demam) dan tidak bisa tidur.”
Berbagai kisah tentang persaudaraan kaum mukminin yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini, banyak kita dapati dalam berbagai kitab sejarah, tafsir, dan lainnya. Namun mampukah kita menerapkannya dalam kehidupan kita di jaman di mana persaudaraan dan hubungan kasih sayang diikat dan dinilai dengan materi, harta benda dunia?
Ibnu Qayyim menukil ucapan Syaqiq bin Ibrahim dalam Al-Fawaid yang menerangkan beberapa hal yang menjadi sebab terhalangnya seseorang mendapat taufiq, di antaranya adalah tertipu atau merasa bangga duduk dan bergaul bersama orang-orang shalih, tapi tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka.
Di sisi lain, kita juga membaca buku-buku sejarah hidup para ulama as-salafush shalih, membahas karya-karya mereka, namun sudahkah kita meniru akhlak mereka dan menerapkannya dalam kehidupan? Hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Wallahul muwaffiq. (Bersambung)

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang)

Pelajaran dari Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang).

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا - فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا - فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا - فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا - فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا - إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ - وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ - أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ - وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ - إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah – engah. - 2. Dan pukulan yang membuat loncatan api. - 3. Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba waktu shubuh
4. Maka ia menerbangkan debu - 5. Lalu menyerbu ke tengah – tengah kumpulan membawanya - 6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar pada tuhanNya.
7.Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan sendiri keingkarannya. - 8. Dan sesugguhnya dia sangat kuat cintanya kepada harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui jika telah disemburkan apa yang di dalam kubur. - 10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?
11.Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang diri mereka.
Dinamakan denga surat Al Adiyaat karena Allah memulai nya dengan sumpah, menggunakan kata al adiyaat (Kuda para mujahid yang cepat mengahadapi musuh).
Hubungan antara kedua surat terdapat pada pembicaraan tentang pengeluaran mayat-mayat dari perut bumi. Firman allah
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“dan bumi mengeluarkan benda – benda beratnya”
Dan dalam surat ini :
إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
“jika di bangkitkan apa yang di dalam kubur”
Pada surat Az Zalzalah di tutup dengan penjelasan tentang balasan atas kebaikan dan keburukan maka surat Al Adiyat  juga ditutup dengan balasan atas kebaikan dan keburukan :
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
“sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang mereka”.
Makna Kosa Kata
وَالْعَادِيَاتِ
(Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah – engah).
Kuda yang menyerang musuh dengan cepat dan kuat, sehingga muncul darinya suara engahan.
ضَبْحًا
(engahan).
Suara nafas pada dadanya saat menyerang musuh.
فَالْمُورِيَاتِ
(pukulan yang mengeluarkan loncatan api).
Dengan tapalnya saat memukul batu-batu.
قَدْحًا
(loncatan api)
فَالْمُغِيرَاتِ
(kuda yang menyerang dengan tiba – tiba)
yang menyerang musuh dengan tiba – tiba.
صُبْحًا
(di waktu Shubuh)
Demikianlah yang banyak terjadi bahwa penyerangan terjadi pada waktu shubuh. Disebutkan karena Nabi jika hendak menyerang maka Beliau menunggu waktu Shubuh.
فَأَثَرْنَ بِهِ
(maka ia menerbangkan)
Ia menimbulkan dengan serangan itu.
نَقْعًا
(debu)
Karena gerakannya yang kuat.
فَوَسَطْنَ بِهِ
(lalu dia menyerbu ke tengah – tengah membawanya)
Membawa penunggangnya.
جَمْعًا
(kumpulan)
Kumpulan musuh yang dia serang.
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
(sesungguhnya  manusia sangat ingkar kepada Tuhanya)
Sesungguhnya manusia suka menahan kebaikan (harta) yang di dalamnya terdapat hak allah atasnya atau mengingkari kebaikan (yang ada Dia berikan)
عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
(dan sesungguhnya manusia menyasikan sendiri akan hal itu)
Dia saksikan sendiri keingkarannya,sebab dia mengetahui bahwa dirinya menahan dan bakhil dengan harta itu.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
(sesungguhnya di sangat kuat cintantanya kepada harta).
Manusia dalam menyukai kebaikan (maksudnya:harta) teramat suka, maka dia bakhil dengan harta itu.
بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
(telah disemburkan apa yang di dalam kubur)
Disemburkan dan dikeluarkan apa yang ada di dalam kubur dari orang – orang mati. Maksudnya : kebangkitan (allah membangkitkan mereka)
وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
(dan dilahirkan  apa yang ada di dalam dada)
Tampak dan jelas hakekatnya setelah tadinya tertutup di dalam hati dari kebaikan dan keburukan.
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ
(sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu Maha Mengetahui tentang diri mereka)
Maha mengetahui amal mereka, baik yang lahir maupun batin dan membatasi amal – amal mereka itu.

Makna secara global
Allah bersumpah dengan kuda, karena ia memiliki perangai terpuji yang tidak di miliki oleh binatang yang lain. Hal itu karena dia adalah kendaraan untuk perang bagi orang arab dan mempunyai pengaruh atas jiwa kaum mukminin.
Padahal ,terdapat ajakan untuk memiliki kuda dan berlatih dengannya untuk berjihad di jalan allah. Juga seruan untuk membiasakan diri dengan urusan yang besar, bersungguh – sungguh dan gesit beramal, serta untuk memiliki kuda dengan maksud – maksud yang baik.
Kelanjutan dari sumpah tersebut adalah penjelasan tabiat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat dan lupa bersyukur pada Khaliq Sang Pemberi nikmat dan sering kali hal itu membawanya tidak tunduk pada syariat Allah serta hukum – hukumNya.
Terdapat penjelasan bahwa karena sangat cintanya manusia kepada harta, hal itu membuatnya kikir dan meninggalkan infaq. Bahkan engkau lihat mereka bersungguh – sungguh mencari harta, sampai – sampai bersedia membinasakan dirinya demi harta.
Mereka memperhatikan dunia dan berpaling dari akherat serta lupa pada hak Allah atas apa yang di berikan, sehingga Allah mengancamnya dan menjanjikan siksaan jika di tetap pada sifat-sifat ini dan tidak memperbaiki akhlaqnya.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ , وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
“apakah mereka tidak tahu, tatkala di bangkitkan apa yang ada di dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada”
Artinya
Apakah orang yang mengingkari dan pura  – pura lupa akan perintah dan larangan Allah mengetahui apa yang terjadi jika dia keluar dari kuburnya dan tampak jelas apa yang ada pada dirinya, dari :niat – niat, kemauan – kemauan, kebaikan , dan keburukan.
Faedah surat
1.Targhib untuk berjihad dan bersiap untuk itu dengan memiliki alatnya.
2. penjelasan tentang hakekat manusia, bahwa dia mengingkari nikmat – nikmat Rabbnya dan kebanyakan mereka akan terus mengingat musibah yang pernah menimpanya serta melupakan nikmat tatkala nikmat itu melimpah ruah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh.
3.penjelasan tentang tabiat manusia yang sangat cinta pada hatrta.
4.penetapan akidah tentang kebangkitan dan perhitungan.
(dikutip dari buku Ad -Durusil Muhimmah Li Ammatil Ummah, Penerbit Cahaya Tauhid Press)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi

Kesudahan Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi

ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Para shahabat Nabi memiliki kedudukan demikian tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Namun sungguh mengherankan, ada orang-orang yang berani melecehkan mereka dan senantiasa berusaha mencari kelemahan mereka. Orang-orang yang berani merendahkan para shahabat Nabi adalah orang-orang yang tidak tahu diri, yang tidak tahu kapasitas dirinya. Di antara tanda-tanda keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat, adalah kepekaannya untuk melihat dan mengintrospeksi diri sebelum melihat dan mengoreksi orang lain. Dia akan sangat mengerti tentang kapasitas dirinya sebelum mengerti kapasitas orang lain, sehingga ketika mendengar sabda Rasulullah :
“Janganlah mencela para shahabatku, janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan dua telapak tangan atau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)
Maka dia akan berupaya menahan hatinya dari berburuk sangka kepada para shahabat dan menahan lisannya dari mencela mereka. Karena dia sadar, bukan kapasitasnya untuk membicarakan, menilai dan mengkritik orang-orang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya n itu. Namun di sisi lain, kita tak pernah lupa akan sejarah orang-orang yang tak tahu diri. Orang-orang cebol (kerdil) yang ingin menggapai bintang di angkasa sambil melolong dengan lolongan-lolongan keji, berkedok kebebasan dan sikap kritis.
Lolongan kaum orientalis kafir yang kemudian dikemas dengan kemasan sok ilmiah oleh antek-antek mereka dari anak-anak kaum muslimin untuk mengkritik para shahabat Rasulullah n. Dan ini bukanlah hal yang baru dalam peradaban umat manusia. Lolongan tersebut sesungguhnya merupakan kelanjutan dari lolongan kaum Syi’ah Rafidhah yang senantiasa berambisi menghancurkan citra Rasulullah dan ajaran agama Islam yang dibawanya.
Al-Imam Malik bin Anas berkata : “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi, namun tidak mampu. Maka mereka pun akhirnya mencela para shahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Karena, jika beliau itu orang baik niscaya para shahabatnya adalah orang-orang yang baik pula.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, hal. 580)
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Jika engkau melihat siapa saja yang mencela seorang shahabat Rasulullah maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Hal itu karena keyakinan kami bahwa Rasulullah adalah haq, Al Qur`an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah. Tujuan mereka dalam mencela para saksi kami (para shahabat) tidak lain adalah menghancurkan Al Qur`an dan As Sunnah. Mereka sesungguhnya lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq1.” (Al-Kifayah, hal.49)
Para pembaca,
Semua shahabat Rasulullah adalah orang-orang baik dan adil, yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Allah telah memuji para shahabat Rasulullah di dalam Al Qur`an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itupun telah terukir melalui lisan Rasulullah, suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh seorangpun setelah mereka. Semoga Allah menyayangi mereka dan menganugerahkan untuk mereka kedudukan tertinggi di kalangan shiddiqin, syuhada` dan shalihin. Merekalah yang menyampaikan ajaran Rasulullah kepada kita. Mereka menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah berupa perkara-perkara yang sifatnya umum maupun khusus, keharusan dan bimbingan. Mereka mengerti Sunnah Rasulullah, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berfikir dan memahami suatu perkara (berdasarkan ilmu). Pendapat-pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri.” (Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Al-Baihaqi, 1/441)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Para shahabat semuanya adil, baik yang terlibat dalam fitnah (pertempuran di antara mereka, pen.) atau yang tidak terlibat di dalamnya, menurut ijma’ ulama yang diperhitungkan kata-katanya.” (At-Taqrib ma’a Tadribirrawi, 2/190).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, semua shahabat itu adil, karena adanya pujian dari Allah  di dalam Al Qur`an dan (Rasulullah) di dalam Sunnahnya terhadap segala akhlak dan perbuatan mereka, serta terhadap apa yang mereka korbankan berupa harta dan nyawa bersama Rasulullah, dengan semata-mata mengharap pahala dan balasan yang mulia di sisi Allah I.” (Al-Ba’its Al-Hatsits hal.154)
Al-Imam Ibnul Mulaqqin berkata: “Semua shahabat Rasulullah n mempunyai kekhususan, yaitu tidak perlu ditanyakan tentang keadilannya. Karena mereka telah mendapatkan rekomendasi di dalam Al Qur`an dan As Sunnah serta ijma’ ulama yang diperhitungkan ucapannya.” (Al-Muqni’ fi Ulumil Hadits, 2/492, dinukil dari Al-Inthishar Lish Shahbi Wal Aal, hal. 218)
Al-Imam Ibnul Atsir  berkata: “Para shahabat seperti para perawi lainnya dalam semua hal itu, kecuali dalam hal al-jarh wat ta’dil (pujian dan kritikan), karena mereka semua adalah orang-orang yang adil, dan tidak boleh dikritik. Hal ini karena Allah dan Rasul-Nya telah merekomendasi dan memuji mereka…” (Usdul Ghabah 1/10, dinukil dari Al-Inthishar, hal. 222)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya semua shahabat adalah orang-orang yang adil, dan tidaklah menyelisihi dalam hal ini kecuali orang-orang yang nyeleneh dari kalangan ahlul bid’ah.” (Al-Ishabah, 1/10-11)
Asy-Syaikh Mahmud Muhammad Syakir berkata: “Bila demikian agungnya keutamaan bershahabat dengan Rasulullah, maka seorang muslim manakah yang mampu setelah ini untuk menjulurkan lisannya mencela seseorang dari shahabat Muhammad Rasulullah ?! Dengan lisan manakah dia meminta udzur ketika saling beragumentasi dihadapan Rabb mereka (di hari kiamat)?! Apa yang hendak dia katakan saat telah tegak baginya hujjah dari Al Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya ?! Hendak lari kemanakah dia dari adzab Allah pada hari (kiamat) itu?!” (Majallah Al-Muslimun, edisi 3 th. 1371 H, dinukil dari kitab Matha’in Sayyid Quthub fi Ash-habi Rasulillah n,, hal. 11).
Maka dari itu, orang-orang yang sok menilai, mengkritik dan mencela para shahabat, tak lain ibarat seekor kambing kerdil yang berambisi (dengan tanduknya) menghancurkan batu besar yang sangat kokoh. Batu itu pun tetap utuh tak bergeming, sedangkan si kambing kerdil menuai petaka. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Barangsiapa melakukannya (mencela shahabat, pen.), maka wajib diberi pelajaran dan dihukum, tidak diberi ampun, bahkan terus dihukum hingga bertaubat. Jika bertaubat maka diampuni, namun jika bersikukuh dengannya maka terus dihukum dan dipenjara sampai mati atau rujuk (kembali kepada kebenaran, red.).” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Al-Imam Malik bin Anas t berkata: “Barangsiapa mencaci Nabi (n)maka (hukumannya) dibunuh, dan barangsiapa mencela para shahabat maka diberi pelajaran.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 569)
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih t berkata: “Barangsiapa mencela para shahabat Nabi maka harus dihukum dan dipenjara.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Dengan demikian, apakah para pencela shahabat itu dikafirkan?
Para pembaca, berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash-Sharimul Maslul, hal. 586-587, maka dapatlah disarikan sebagai berikut:
1. Mencela shahabat, dengan diiringi pernyataan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau dialah yang sebenarnya sebagai nabi dan Malaikat Jibril telah keliru dengan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, atau menganggap bahwa Al Qur`an kurang sekian ayat dan ada yang disembunyikan dan lain sebagainya, maka tidak diragukan lagi kekafirannya, bahkan tidak diragukan pula kekafiran orang yang ragu akan kekafiran mereka.
2. Mencela shahabat namun tidak menjatuhkan keadilan dan agama mereka. Misalnya menyifati sebagian shahabat dengan kikir, pengecut, ilmunya sedikit, atau kurang zuhud dan lain sebagainya, maka yang seperti ini berhak diberi pelajaran/dihukum dan tidak dikafirkan.
3. Melaknat dan menjelek-jelekkan mereka dengan lafadz yang umum, maka masih diragukan apakah dikafirkan ataukah tidak, karena adanya kemungkinan antara laknat kemarahan dan laknat yang bersumber dari keyakinan.
4. Mencela shahabat sampai pada tingkatan meyakini bahwa mereka telah murtad sepeninggal Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang dari mereka saja, atau semua telah melakukan kefasikan (sepeninggal beliau), maka yang seperti ini tidak diragukan tentang kekafirannya.
Akhir kata, demikianlah kesudahan buruk bagi orang-orang yang mencela shahabat Rasulullah n. Semoga Allah I menjauhkan kita dari akhlak tercela ini, dan tiada yang dapat kami ucapkan kecuali sebuah harapan dari Allah I yang terukir dalam lantunan doa:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang beriman bercokol pada hati kami, Wahai Rabb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
1 Zindiq adalah orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman. Asal-usul mereka adalah orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan dan meyakini reinkarnasi serta memiliki keyakinan sebagaimana orang-orang Majusi.
diambil dari asysyariah.com

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama yang kelak a...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger