Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Kapan Jari Telunjuk Diturunkan Dalam Tasyahud Akhir?

Written By sumatrars on Kamis, 08 Januari 2015 | Januari 08, 2015



Category : Fiqih dan Muamalah, Ftwa Ulama, Fiqh,Fatwa,Ulama
Source article: http://Islamqa.info/ar/165999, Penyusun: Ustadz Sa’id, Muslim.Or.Id
Fatwa Syaikh Shalih Al Munajjid

Soal:

Di tengah-tengah tasyahhud saat seseorang selesai mengucapkan shalawat Ibrahimiyyah apakah jari telunjuk selayaknya tetap diangkat hingga imam selesai salam atau ia boleh membuka genggamannya (menurunkan jari telunjuknya-pent) dan meletakkan (telapak tangan)nya di atas pahanya langsung begitu selesai dari shalawat Ibrahimiyyah? Jazakumullah Khaira.

Jawab:

Alhamdulillah.

Pertama, dalam sunnah nabawiyyah tentang penjelasan tata cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat syari’at mengangkat jari telunjuk dalam shalat dan telah disebutkan perincian penjelasan tentang hal itu disertai dalil-dalilnya di web kami, yaitu jawaban no. 7570 dan 11527.

Kedua, para ahli fiqh sudah menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengisyaratkan dengan jari telunjuk (mengangkatnya-pent) di bagian manapun asal masih dalam tasyahhud, maka berarti ia telah menunaikan sunnah ini (mengangkat jari telunjuk-pent) dan telah mengikuti petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memunaikan shalatnya. Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tempat diangkatnya, sedangkan ini adalah permasalahan afdhaliyyah saja.

Tempat mulai mengangkat telunjuk dan perselisihan Ulama tentangnya

Syaikh Ahmad Al-Barlisi ‘amiiratusy -Syafi’i (wafat 957 H), berkata, “Dengan bentuk mengisyaratkan jari telunjuk yang manapun dari yang sudah disebutkan di atas (dalam kitab beliau-pent) seseorang yang melakukannya sudah terhitung mengamalkan sunnah tersebut. Adapun yang menjadi perselisihan ulama adalah sebatas mana yang afdhal”. Ucapannya selesai, diambil dari Hasyiah ‘Amiiroh (1/188). Lihat juga Al-Majmu’ tulisan An-Nawawi (3/434).

Perselisihan dalam masalah afdhaliyyah ini adalah perkara ijtihad ulama yang (masing-masing pendapat) masih bisa dikatakan memiliki alasan ilmiyyah karena tidak adanya dalil yang jelas dan pasti dalam hal ini.

Ada sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam saat duduk di dalam shalatnya meletakkan telapak tangan kanannya di atas lututnya dan mengangkat jari sebelah jempolnya (telunjuk-pent). Beliau berdo’a dengannya, sedangkan telapak tangan kirinya diletakkan di atas lutut yang satunya. Beliau membuka telapak tangan kiri tersebut dan diletakkan di atas lututnya. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya (no. 294) dan berkata, “Hadits Ibnu Umar ini hadits hasan gharib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Ubaidillah bin Umar kecuali dari sisi ini. Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in mengamalkannya. Mereka memilih isyarat jari telunjuk ketika tasyahhud dan pendapat ini adalah pendapat ulama madzhab kami”. Ucapannya selesai. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam kitab Shahih At-Tirmidzi.

Sabda beliau (dan mengangkat jari sebelah jempolnya [telunjuk-pent] yang digunakan berdo’a oleh beliau) menunjukan bahwa mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a dalam tasyahhud. Adapun lafadz do’a dimulai dari dua kalimat syahadat karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah ‘azza wa jalla, sedangkan hal itu sebab suatu do’a lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mulailah mengucapkan inti do’anya (Allahumma shalli ‘ala Muhammad) hingga akhir tasyahhud dan sampai akhir salam. Adapun awal tasyahhud (Attahiyyatulillah sampai ucapan kita wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin) bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan do’a kesalamatan bagi hamba-Nya.

Riwayat-riwayat yang ada dari para sahabat dan tabi’in dalam masalah ini menunjukkan bahwa mengisyaratkan jari telunjuk maksudnya adalah isyarat kepada tauhid dan ikhlas. Jadi (isyarat), jari telunjuk tersebut hakikatnya adalah ungkapan dalam bentuk perbuatan tentang keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, maka pantaslah jika awal isyarat telunjuk adalah lafadz syahadat (Asyhadu an laa ilaaha illallahu). Oleh karena itu Ibnu Abbbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Isyarat tersebut adalah ungkapan keikhlasan”.

Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengisyaratkan dengan jari (telunjuknya) dalam shalat, maka hal itu baik dan itu ungkapan tauhid”, diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dalam Mushannaf (2/368).

Apa yang disebutkan di atas adalah salah satu pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu permulaan isyarat telunjuk saat syahadat tauhid.

Adapun masalah kapan selesainya isyarat telunjuk tersebut, para sahabat yang meriwayatkan mengangkat jari telunjuk tidaklah menyebutkan nabi shallallahu alaihi wa sallam sallam menurunkannya (di bagian tertentu sebelum selesainya salam-pent), maka (dapat disimpulkan) bahwa mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahhud semuanya adalah do’a .

Abu Abdillah Al-Khurasyi Al-Maliki (wafat th.1101 H) raimahullah berkata, “Dari awal tasyahhud hingga akhirnya, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu dan sesuai dengan yang mereka sebutkan sampai selesai salam walaupun panjang tasyahhud tersebut”. Perkataanya selesai, diambil dari Syarhu Mukhtashor Kholil (1/288).

Dan ulama syafi’iyyah menyetujui mereka, yaitu isyarat telunjuk ketika syahadatain, akan tetapi mereka memberikan penjelasan tambahan secara rinci dan detail yang barangkali tidak ditemukan dalilnya. Mereka mengatakan, “Permulaan mengangkat jari telunjuk adalah ketika sampai pengucapan huruf hamzah dari ucapannya di syahadatain, yaitu (illlallah).

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dari semua ucapan dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa, disunnahkan mengisyaratkan telunjuk tangan kanannya lalu mengangkatnya ketika sampai huruf hamzah dari ucapannya (Laa ilaaha illalllahu)”. Perkataannya selesai, diambil dari kitab Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab (3/434).

Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Mengangkatnya saat ucapannya (illallah), yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah; untuk mengikuti riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak atau jelas menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai (sesaat sebelum) berdiri (ke raka’at ke tiga pada tasyahhud awal-pent) atau sampai salam (pada tasyahhud akhir-pent). Adapun yang dibahas sekelompok orang zaman sekarang tentang mengembalikannya, maka ini menyelisihi penukilan. Ucapannya selesai, diambil dari Nihayatul Muhtaj (1/522).

Ada juga di antara ulama yang mengatakan bahwa isyarat telunjuk tersebut dimulai dari awal tasyahhud. Semua tasyahhud hakikatnya adalah do’a dan terdapat suatu riwayat dalam hadits bahwa beliau berdo’a dengannya. Adapun di awal tasyahhud (Attahiyyaatulillaah) ini adalah pujian mengawali do’a, maka hakikatnya pujian tersebut termasuk bagian do’a dan bukan keluar dari bagian do’a.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Disunnahkan isyarat telunjuk dalam tasyahhud dan do’a” (Ikhtiyaraat, /38).
Dalam fatwa Lajnah Daimah (7/56), “Isyarat telunjuk sepanjang tasyahhud dan menggerakkannya saat do’a serta menggenggam jari jemari (selain telunjuk-pent) terus dilakukan sampai (selesai) salam”.

Yang jelas, permasalahan ini adalah masalah ijtihadiyyah khilafiyyah dan berbagai pendapat dalam masalah ini terkait dengan salah satu cabang kecil dari masalah shalat. Tidak mengapa seseorang menyelisihi ijtihad ini dan mengikuti pendapat yang dia pandang kuat dalam masalah ini dengan berdasarkan ilmu.

Terdapat juga fatwa Lajnah Daimah (5/368), “Mengangkat telunjuk dalam tasyahhud adalah sunnah dan hikmahnya adalah isyarat kepada kemahaesaan Allah. Jika ia mau silahkan menggerakkannya (telunjuk-pent), jika tidak, maka (tidaklah mengapa) tidak menggerakkannya. Permasalahan ini tidak mengharuskan perpecahan dan permusuhan di antara para penuntut ilmu. Seandainya ia tidak mengangkatnya pun atau mengangkatnya namun tidak menggerakkkannya tidaklah mengapa karena masalah ini adalah masalah mudah tidaklah mengharuskan pengingkaran dan (saling) menjauh, namun sunnahnya adalah mengangkatnya di kedua tasyahhud sekaligus sampai seseorang (selesai) salamnya sebagai isyarat kepada tauhid. Adapun menggerakkannya, maka ketika berdo’a sebagaimana yang ditunjukkan sunnah yang shohihah.” Selesai fatwa ini, diambil dari Fatawal Lajnah (5/368).

Lihat jawaban dari pertanyaan nomor 7570.

Wallahu a’lam.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tanya Jawab Bersama Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad



Category : Bahasan Utama, Tanya Jawab
Source article: Muslim.Or.Id

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, shalawat serta salam atas Rasulillah, keluarganya, para sahabat, dan siapa saja yang mengikuti petunjuknya dengan baik hingga hari kiamat kelak. Amma ba’du.

Berikut ini adalah kumpulan pertanyaan dari Al Akh Al Hasan ibn Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr kepada ayahnya, Samahatus Syaikh ‘Abdul Muhsin ibn Hammad Al ‘Abbad Al Badr yang dinukil dari page fm.ask beliau.

  1. Apakah malaikat maut memiliki para pembantu karena Allah Ta’ala berfirman :

  2. ملك الموت الذي وكل بكم

    Malaikat maut yang diserahi tugas untuk (mencabut nyawa)mu..” (QS. As Sajdah : 11)

    Dalam ayat lainnya Allah Ta’ala berfirman,

    توفته رسلنا

    ..Ia diwafatkan oleh utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami” (QS. Al An’aam : 61)

    Kemudian dalam ayat lainnya Allah Ta’ala berfirman,

    تتوفاهم الملائكة ظالمي أنفسهم

    ..Yang dicabut nyawanya oleh malaikat-malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri” (QS. An Nisaa’ : 97)

    Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Ya, malaikat maut memiliki para pembantu.

  3. Apakah tukang ramal dan dukun kafir?

  4. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Barangsiapa yang mengaku mengetahui hal yang ghaib, maka dia kafir

  5. Apa hukum musafir yang mendapati imam di dua rakaat terakhir. Apakah ia menyempurnakan jadi empat rakaat atau ia langsung salam bersama imam (karena qashar –pent)? Jazakallaahu khaira

  6. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Menyempurnakan empat rakaat.

  7. Apa hukum seorang wanita menyusui saudara kandungnya (karena saudaranya masih bayi –pent)? Apa hukum seorang wanita menyusui cucu perempuannya?

  8. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Boleh. Boleh saja ia menyusui siapapun yang dia kehendaki (dan tetap berlaku hukum mahram yang menjadi konsekuensi persusuan, wallahu a’lam –pent)

  9. Apakah ayahku adalah mahram bagi istriku?

  10. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Dia adalah mahram berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “..(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. An Nisaa : 23)

  11. Anakku berumur 10 tahun, apakah ia dianggap mahram apabila diajak menemani safar?

  12. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Dia bukan mahram dalam hal ini.

  13. Apa hukum shalat witir?

  14. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Sunnah muakkadah.

  15. Assalamu’alaikum warahmatulah syaikhuna, apakah cambang (bulu yang tumbuh di pipi –pent) termasuk jenggot? Apakah boleh untuk diambil atau dicukur?

  16. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Termasuk bagian dari jenggot, tidak boleh dipotong.

  17. Assalamu’alaikum, apa hukum shalat dua rakaat setelah ashar? Barakallahu fiik.

  18. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya dan itu terkait khusus dengan waktu tersebut.

  19. Bolehkah menshalatkan mayit di kuburan? Barakallaahu fiikum
    Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Boleh dan batas waktunya adalah sebulan (setelah mayit dikubur –pent)

  20. Apa hukum perempuan mengenakan abaya yang di dalamnya terdapat perhiasan dan ornamen, dan itu tertutupi dari pandangan lelaki?

  21. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Setiap pakaian yang ada perhiasannya seperti abaya tersebut tidak boleh.

  22. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh. Apa hukumnya perempuan mengenakan abaya di atas pundak (untuk menutup kepala dan hanya disampirkan –pent)? Jazaakallaahu khaira.

  23. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Tidak boleh karena menyerupai lelaki.

  24. Apakah shalat sunnah di tanah suci (Haramain) mendapat pahala senilai 100,000 shalat?

  25. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Shalat sunnah di tanah suci mengambil hukum shalat wajib dalam masalah pahala (yaitu senilai 100,000 shalat –pent)

  26. Apa hukum membeli emas dengan sistem kredit?

  27. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Hal itu tidak boleh karena disyaratkan dalam sistem tersebut untuk menahan emasnya (emas baru bisa diambil setelah lunas –pent)

  28. Zakat barang yang disewakan, apakah dikeluarkan bulanan ataukah tahunan?

  29. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Apabila harganya ditahan (hingga mencapai nishab –pent) dan telah berlalu haulnya setahun maka wajib dizakati.

  30. Bolehkah perempuan memakai handphone berlapis emas?

  31. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut.

  32. Apakah memakai cincin itu sunnah?

  33. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Bukan sunnah karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakainya karena kebutuhan.

  34. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, ahsanallaahu ilaik, sahkah apabila ada seseorang mengusap kaos kaki orang lain yang lemah (untuk bersuci –pent)?

  35. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Sah sebagaimana sahnya ia mewudhukan orang yang lemah.

  36. Apa hukumnya membaca Al Quran bagi orang yang haid dan ia hafal Al Quran?

  37. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Boleh, seperti halnya boleh baginya membaca di HP atau dengan memakai selubung kain (agar tidak bersentuh kulit –pent) seperti kaos tangan, atau selainnya.

  38. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikhuna apakah ada udzur bagi seorang laki-laki untuk memotong jenggotnya?

  39. Al Akh Hassan bin Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Wa’aaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, aku mendengar ayahku Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah berulangkali ditanya tentang mencukur jenggot karena berbagai aturan yang menyulitkannya dan karena itulah persyaratan di pekerjaannya dan berbagai alasan lain, adapun jawabannya tetap satu :

    وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

    Dan barangsiapa bertaqwa pada Allah, akan Allah jadikan baginya jalan keluar” (QS. At Thalaq : 3)

  40. Apa hukumnya cuka yang dijual dengan merk “cuka alkohol”?

  41. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Yang lebih berhati-hati adlaah meninggalkannya. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

    دع مايريبك الى مالا يريبك

    Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR Tirmidzi, Ahmad, Ibn Hibban dan dinilai shahih oleh Al Albani)

  42. Ahsanallahu ilaikum syaikhuna, apakah tergolong mahram anak perempuan dari istri ayahku?

  43. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Dia bukan mahramnya, karena boleh baginya untuk menikahinya.

  44. Ahsanallahu lisyaikhina, apa hukumnya seandainya seorang khatib berkhutbah Jumat tiga kali karena lupa?

  45. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Bila ia berkhutbah tiga kali karena lupa maka yang dianggap adalah dua yang pertama, adapun yang ketiga maka dianggap tambahan dan hukumnya sama seperti orang yang melakukan sa’i 14 kali karena lupa.

  46. Ahsanallaahu ilaikum syaikhuna, apa pendapat yang rajih dalam masalah bersedekap setelah bangkit dari ruku?

  47. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Khilaf diantara para ulama dan yang rajih ialah bersedekap

  48. Apa hukumnya mencukur jenggot dengan maksud supaya setelah dicukur ia tumbuh lebih lebat? Jazaakumullaahu khaira.

  49. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Tidak boleh.

  50. Shahihkah hadits “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku diutus dengannya”?

  51. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Hadits ini nomor 41 dari Arba’un An Nawawiah dan sanadnya termasuk diperbincangkan, kesimpulannya hadits ini hasan.

  52. Ahsanallaahu ilaikum, apakah Al Musthafa termasuk dari nama Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

  53. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Al Musthafa ialah sifat Nabi shallallaahu alaihi wa sallam

  54. Apa makna “Jawami’ul kalim” sebagaimana terdapat dalam hadits, “Aku dilebihkan atas para Nabi dengan enam keutamaan, yaitu jawaami’ul kalim..”?

  55. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Yaitu perkataan ringkas namun sarat makna

  56. Apa hukumnya mendengar musik?

  57. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Tidak boleh, haram.

  58. Apa hukum belajar di Universitas yang ikhtilath? Dengan mengetahui bahwa di negeri kami tidak terdapat kampus kecuali ini saja.

  59. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Tidak boleh secara mutlak.

  60. Apa hukum berjabat tangan dengan perempuan?

  61. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Tidak boleh berjabat tangan dengan perempuan kecuali mahramnya.

  62. Bismillaahirrahmanirrahiim, syarah Shahih Muslim apa yang paling utama dan paling menjelaskan seluruh isi hadits?
    Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Syarh paling luas dan menyeluruh ialah dari Syaikh Muhammad Ali Aalu Adam Al Ethiopi, berjudul “Al Bahru Al Muhiith At Tajah”

  63. Bolehkah membeli sertifikat kemampuan berbahasa Inggris padahal seluruh yang kupelajari adalah dalam bahasa Arab?

  64. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Tidak boleh, dan perbuatan tersebut termasuk menipu dan mengkhianati amanah.

  65. Apa obat penyakit ujub (bangga) terhadap diri sendiri?

  66. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Obatnya adalah memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk, membiasakan diri untuk rendah hati, memperbanyak doa bagi diri sendiri, “Allahummakfini syarri nafsi” Ya Allah cukupkanlah bagiku keburukan diriku sendiri.

  67. Ahsanallaahu ilaikum, samaahatul waalid hafizhakumullaah, mana yang lebih utama menghafalkan kitab Umdatul Ahkam, Bulughul Maram, atau keduanya sekaligus? Dan bagaimana cara paling efektif untuk menghapal kitab-kitab hadits dan urut-urutannya? Ghafarallaahu lanaa walakum

  68. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Kitab pertama yang hendaknya dihafalkan ialah Arba’in An Nawawiyah kemudian Umdatul Ahkam.

  69. Ahsanallaahu ilaikum, apa hukum membaca Al Quran dari HP?

  70. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Yang lebih utama ialah membaca mushaf selama masih memungkinkan, namun apabila tidak memungkinkan maka tidak mengapa membaca dari HP

  71. Dalam hadits,

  72. ((ماء زمزم لما شرب له))

    “Air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya.”

    Yang kami pahami dari sini bahwasanya diantara sunnah ialah kita berdoa sebelum meminum air zamzam, akan tetapi apakah doa tersebut khusus untuk diri sendiri ataukah bisa digunakan bagi orang lain secara umum, misalkan kepada kerabat kita?

    Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Doa tersebut untuk diri sendiri adapun untuk orang lain maka aku tidak mengetahui dalil yang menunjukkan hal tersebut

  73. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana pendapat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin mengenai tahdzir Syaikh Muhammad bin Hadi terhadap Syaikh Shalih As Sindi? Apakah kami harus mengikutinya sehingga kami meninggalkan dars As Syaikh As Sindi? Atau kami meninggalkan jarh al mufassar tersebut sehingga kami tetap menghadiri dars As Syaikh As Sindi? Apakah pendapat Syaikh Muhammad bin Hadi bahwasanya Ibrahim Ar Ruhaili rangking dua dalam jarh mufassar?

  74. Jazaakumullahu khaira.

    Al Akh Hassan bin Abdul Muhsin Al Abbad menjawab : Perkataan Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr terkhusus fenomena tajrih dan tabdi’ di kalangan penuntut ilmu dapat disimak di link http://www.youtube.com/watch?v=t2iBasnFqP8 Dan aku pernah mendengar beliau berkata bahwa jarh wa ta’dil di zaman ini adalah fitnah.

  75. Apakah berkahnya air zamzam masih ada apabila ia tercampuri air putih biasa?

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr menjawab : Allahu a’lam, akan tetapi yang nampak bagiku ialah tidak berlaku lagi hukum barakah.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KALENDER Bahasan Utama,Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah



Category : Bahasan Utama, Kalender, Hijriyah, Masehi, Tasyabbuh

Raihlah Enam Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Suatu fenomena yang menyedihkan, banyak di antara kaum muslimin yang masih asing dengan kalender mereka sendiri, bukan hanya orang awamnya, namun juga thalabatul ‘ilmi (penuntut ilmu agama) di antara mereka. Padahal di dalam penggunaan kalender Hijriyyah terdapat banyak barakah dan keuntungan. Sayangnya, banyak dari kaum muslimin tidak mengetahui keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kalender Hijriyyah dalam kesehariannya. Nah, berikut enam keuntungan yang bakal Anda dapatkan jika Anda menggunakan kalender Hijriyyah,

  1. Menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Ketauhilah,berkalender Hijriyyah merupakan perintah Allah, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”(QS. Al-Baqarah: 189).

Sisi pendalilan

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda mulai dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya hilal dimulailah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Dengan demikian, hilal-hilal itu sebagai patokan waktu dalam kehidupan manusia dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qamariy (berdasarkan peredaran bulan) karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa berkalender Hijriyyah merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له

Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul Fithri). Maka apabila (pandangan) kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh“(HR. Al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762).

Sisi pendalilan

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata,

Aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ (kesepakatan) sahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Istikhdamut Tarikhil Miladi,http://www.dorar.net/art/223).

  1. Berpegang Teguh Dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ Sahabat

Berkalender Hijriyyah merupakan bentuk berpegang teguh dengan Sunah Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ sahabat, mengapa?

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya,

Bab Penanggalan. Darimana mereka menentukan penanggalan?

عن سهل بن سعد قال ما عدوا من مبعث النبي صلى الله عليه وسلم ولا من وفاته ما عدوا إلا من مقدمه المدينة

Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Mereka (para Sahabat) tidaklah menghitung (penanggalan) berdasarkan saat diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula berdasarkan wafat beliau, namun hanyalah berdasarkan awal tahun masuknya beliau ke kota Madinah (Hijrah)”.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang sejarah asal pencanangan kalender Hijriyyah, bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ditegur oleh Abu Musa radhiallahu ‘anhu ketika menulis surat tanpa tanggal lalu Umar pun memerintahkan orang-orang untuk membuat penanggalan dengan dasar hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka pun melakukannya (http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7151&idto=7154&bk_no=52&ID=2186).

Berarti nampak dari penjelasan di atas, bahwa pencetus kalender Hijriyyah adalah salah satu dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dan diikuti oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum tanpa ada penentangan sedikit pun, ini menandakan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara mereka.

  1. Berkalender Hijriyyah Berarti Memudahkan Kita Mengetahui Waktu-Waktu Ibadah

Banyak waktu-waktu ibadah yang ditentukan dengan kalender Hijriyyah, misalnya tentang ibadah haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).

  1. Berkalender Hijriyyah artinya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelisihi musyrikin
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum memerintahkan kita untuk menyelisihi perkara yang menjadi ciri khas kaum musyrikin, beliau bersabda,

خالفوا المشركين

Selisihilah kaum musyrikin!” (Muttafaqun ‘alaihi).

Sedangkan nashara serta romawi sebagai biang kerok munculnya kalender masehi adalah bagian dari kaum musyrikin. Maka, kita dituntut untuk menyelisihi mereka dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka (diantaranya dalam masalah berkalender masehi) (baca Tahukah Anda 5 Rahasia dibalik kalender masehi?).

  1. Berkalender Hijriyyah Menunjukkan Keterikatan Diri Kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
    Hal ini karena dasar perhitungan kalender Hijriyyah adalah berdasarkan hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga membuat setiap orang yang berpenanggalan dengan kalender ini akan mengingat hjrah dan perjuangan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengingatkan pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum muslimin di masa lalu. Selanjutnya diharapkan setiap muslim yang berkalender dengannya akan bisa mengambil suri tauladan dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.

  2. Berkalender Hijriyyah Artinya Mengibarkan Bendera Syi’ar Umat Islam dan Simbol Kekokohan Jati Diri Mereka
    Umat Islam bukan umat pengekor. Umat Islam adalah pemimpin dunia. Khalifatun fil ardh, maka tentunya tidak pantas kalau mengambil simbol kuffar dengan penanggalan masehi. Bahkan seorang muslim diperintahkan untuk memiliki jati diri yang khas.

Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wa sallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.

Source article: Muslim.Or.Id

Article : Blog Al-Islam


Back to Top Kembali ke atas
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fiqih, Apakah Dianjurkan Minum Air Zam-Zam Sambil Berdiri?



Category : amair zam zam, fikih, Haji, mekkah, umroh, zamzam

31 December 2014,

Masjidil Haram Makkah Al Mukarromah, 7 Rabi’ul Awwal 1436 H

Muhammad Abduh Tuasikal (@RumayshoCom)

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

Sebagian orang punya keyakinan atau anggapan bahwa minum air zam-zam dianjurkan sambil berdiri. Apakah benar anggapan semacam itu?

Perlu diketahui bahwa minum sambil duduk tetap diperintahkan karena mengingat adanya larangan minum sambil berdiri. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri (HR. Muslim no. 2024).

Sedangkan hadits lain menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا

“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Mayoritas ulama menganggap bahwa hadits terakhir di atas menunjukkan bolehnya minum seperti itu. Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa beliau minum juga sambil berdiri selain pada air zam-zam. Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim setelah menyebutkan hadits-hadits yang membicarakan minum sambil berdiri bahwa hadits-hadits tersebut tidaklah bermasalah dan tidak ada yang dhoif, bahkan seluruhnya shahih. Pemahaman yang tepat, hadits yang menyebutkan larangan minum sambil berdiri menunjukkan makruhnya. Sedangkan hadits yang membicarakan cara minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Jadi kedua macam hadits tersebut tak saling kontradiksi. Demikiam penjelasan Imam Nawawi.
Dalam madzhab Abu Hanifah dianjurkan minum air zam-zam sambil berdiri. Para ulama Hanafiyah menganggap bahwa keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang minum air zam-zam sambil berdiri adalah hadits khusus yang keluar dari konteks larangan minum sambil berdiri.

Kesimpulan yang lebih baik, tidak ada anjuran minum air zam-zam sambil berdiri. Keadaan yang baik saat minum air tersebut adalah sambil duduk. Sedangkan yang disebutkan kalau beliau minum sambil berdiri adalah menunjukkan kebolehan sebagaimana keterangan Imam Nawawi rahimahullah di atas.

Semoga bermanfaat bagi yang ingin menikmati keberkahan air zam-zam.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Apa Hukum Merayakan Maulid Nabi?

Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015

Category : Manhaj, Maulid Nabi
Source article: Muslim.Or.Id

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.

Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?

Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).

***

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Akhlaq dan Nasehat, Surat Terbuka Untuk Sang “Senior”




Category : Akhlak, ikhwan, istiqamah, Nasehat, renungan

[Diolah dari ceramah Ustadzunal Fadhil Abdullah Taslim,Lc. MA. ]

Disusun oleh: Ustadz Sa’id

Source article: Muslim.Or.Id

الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله، أما بعد :

Untukmu yang sudah lama keluar masuk halaqoh & dauroh …

Untukmu yang telah malang melintang di dunia kepanitiaan & kepengurusan lembaga dakwah…

Adalah sebuah kenikmatan & anugerah dari , anda bisa menyelesaikan sekian banyak kitab Ulama & mengikuti sekian banyak kajian…

Allah telah memilih Antum menjadi orang yang telah lama mengenal aqidah shahihah & manhaj yang haq…

Allah telah memuliakan Antum menjadi orang yang telah banyak mencicipi lezatnya keimanan…

Keindahan demi keindahan telah anda rasakan sedjak tempo doeloe…

Keindahan tampilan berjenggot dan tidak isbal, kelezatan bisa baca kitab gundul,kenikmatan menghafal beberapa juz Al-Qur`an, kebahagiaan selamat dari sekian aliran sesat, bahkan sekedar kenal ucapan antum & anti, akh & ukhti pun sudah cukup memutar ulang nostalgia manis tersebut!

Itu mah cerita jadul, Mas!

Maksud kami, janganlah terbuai dengan kenangan manis masa lalu, tanpa melihat kenyataan “bagaimana keadaan saya sekarang?”

Sampai manakah perjalanan Anda sekarang?

Bukankah hidup ini hakekatnya adalah perjalanan?

Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda :

كلّ الناسِ يغدو؛ فبائعٌ نَفسَه فمُعتِقها أو موبِقها

Setiap hari semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya,keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya!” (Hadits Riwayat Imam Muslim).

Renungkanlah!

Seorang hamba sangatlah butuh untuk bisa istiqomah dalam melakukan perjalanannya menuju kepada Allah Ta`ala, dihadapannya banyak fitnah syubhat dan syahwat menghadang. Dan akan semakin menguat kebutuhan tersebut ketika dia berada di akhir zaman, yang diantara ciri khas akhir zaman adalah sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

(بادروا بالأعمال فتنا كقطع الليل المظلم يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا أو يمسي مؤمنا ويصبح كافرا يبيع دينه بعرض من الدنيا)

Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal shalih, sebelum datangnya gelombang fitnah yang ciri khasnya seperti tumpukan malam yang gelap gulita tanpa cahaya bulan,dahsyatnya gelombang fitnah tersebut mengakibatkan seseorang yang paginya masih dalam keadaan beriman ,sorenya sudah dalam keadaan kufur (baik kufur akbar maupun ashghar-pent) atau sorenya Mukmin ,pagi harinya kufur,dia menjual agamanya dengan secuil dari perhiasan dunia” ,

(Shahih Muslim, bab Dorongan bersegera beramal shalih,sebelum bermunculannya fitnah)

Faedah dari Hadits ini :

  1. Perintah untuk bersegera melakukan amal shalih,sebelum datangnya penghalang dan perkara yang menyibukkan seseorang dari beribadah,karena jika gelombang fitnah telah datang,seseorang akan sibuk dengannya,tidak bisa melakukan ibadah dan amal shalih dengan baik.

  2. Diantara sifat fitnah akhir zaman :

  1. Seperti tumpukan malam yang gelap gulita tidak bercahaya bulan,sehingga menyebabkan gelap pandangan,seseorang yang terkena fitnah tidak bisa membedakan yang Haq dengan yang batil, padahal jika diluar masa terjadi fitnah,hal itu jelas sekali.

  2. Sesuatu yang sudah jelas-jelas benarnya bisa ditukar dengan sesuatu yang jelas-jelas batilnya,itupun dalam rentang waktu yang singkat! Keimanan adalah sesuatu yang sudah jelas-jelas benarnya,namun ketika gelombang fitnah menghantam,bisa ditukar dengan kekufuran yang jelas-jelas batilnya,dalam waktu satu hari saja! Nah bagaimana lagi dengan perkara-perkara,urusan-urusan yang tingkat kejelasannya dibawah masalah keimanan?? Seseorang bisa lebih gelap pandangannya.

  1. Ciri orang yang terfitnah : “…menjual agamanya dengan secuil dari perhiasan dunia”, perhiasan dunia yang dimaksud disini bukan hanya harta, tapi juga wanita, pria, jabatan dan yang lainnya. Saat-saat fitnah menyerang seseorang bisa nekad menggadaikan agamanya dengan ditukar harta, atau wanita atau jabatan.

Antara Sahabat, Tabi’ut Tabi’in dan Kita

Fitnah memang sangat mengerikan, maka wajib bagi kita semua untuk merasa takut terkena fitnah. Jangankan kita, para Sahabat saja merasa takut menjumpai fitnah yang ada pada zaman setelahnya.

Sebagaimana hal ini disebutkan oleh salah satu Imam tabi`ut tabi`in, yaitu : Imam Sufyan Ats-tsauri رحمه الله تعالى ,dahulu Beliau pernah berkata tentang zamannya ,dalam sebuah surat yang ditulisnya :

بلغني أن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا يتعوذون أن يدركوا هذا الزمان وكان لهم من العلم ما ليس لنا ، فكيف بنا حين أدركنا على قلة علم وبصر وقلة صبر وقلة أعوان على الخير مع كدر من الزمان وفساد من الناس . وعليك بالأمر الأول والتمسك به وعليك بالخمول فإن هذا زمان خمول وعليك بالعزلة وقلة مخالطة الناس

…telah sampai khabar kepadaku bahwa para Sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dahulu berlindung dari menjumpai zaman kita ini, padahal mereka memiliki ilmu yang tidak kita miliki, maka bagaimana lagi dengan kita yang menjumpainya dengan bekal ilmu kita yang sedikit,kesabaran yang minim dan sedikitnya teman yang membantu kita berbuat baik,serta diiringi dengan sebagian rusaknya zaman dan manusia?….

Bagaimana dengan kita?

Para Sahabat yang demikian tinggi ilmunya, kuat kesabarannya dan banyak penolong kebaikan بعد الله, mereka takut menjumpai zaman Imam Sufyan Ats-Tsauri, yang merupakan zaman tabi`ut tabi`in, yang ketika itu masih banyak para Imam Ulama AhlusSunnah yang mentarbiyyah umat, kebenaran masih dominan serta jauh lebih sedikit fitnah dibandingkan zaman kita sekarang ini,

Bagaimana lagi dengan kita yang lemah ilmu, amal,ibadah,kesabaran dan ketakwaan dibandingkan dengan mereka ditengah zaman yang banyak rintangan fitnah syahwat dan syubhat ini ??

Oleh karena itu, siapapun kita (senior ataupun junior dalam dunia pengajian),bagaimanapun baiknya keimanan kita,bagaimanapun tingginya kedudukan kita di tengah masyarakat, selayaknya kita lebih takut terkena fitnah dibandingkan para Shahabat !

Seberapapun lamanya kita mengaji manhaj Salaf ini,sebanyak apapun kitab yang telah kita khatamkan,sesenior apapun kita dalam berdakwah,tetap hal itu tidak bisa menjadi alasan merasa aman terkena fitnah.

Harusnya keadaan kita yang banyak kelemahan tersebut, mendorong kita lebih berhati-hati terhadap sebab-sebab, ucapan, perbuatan, tempat, aktifitas, dan seluruh perkara yang bisa menimbulkan fitnah.

Terlebih-lebih jika seandainya kenangan manis sang Senior tempo doeloe tersebut tidak banyak lagi menghiasi kehidupannya.

نسأل الله السلامة و العافية

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Riba Biang Keladi Kemacetan


Category : Bahasan Utama, Riba,Kredit
Source article: Muslim.Or.Id

Tahu tidak, biang keladi kemacetan di kota-kota besar di tanah air adalah riba. Kenapa bisa?

Bisa saja. Karena sekarang kredit leasing semakin merajalela. Jika kredit semakin dipermudah, berarti kendaraan bermotor semakin banyak di jalan-jalan. Kita lihat sendiri bagaimana jumlah motor dan mobil yang semakin meningkat belakangan ini. Bisa terjadikan peningkatan yang sangat dahsyat dikarenakan kredit semakin dipermudah. Coba bayangkan dengan uang satu juta, seseorang sudah bisa bawa pulang motor. Dengan DP 25 juta-an, mobil Avanza sudah bisa di tangan.

Itu semua yang mengakibatkan kemacetan. Jadi biang keladi sebenarnya adalah pada kredit leasing. Leasing saat inilah yang tak lepas dari riba.

Leasing yang Tak Lepas dari Riba

Pembelian mobil atau motor melalui jasa leasing atau jasa bank, mungkin jika kita saksikan seperti terjadi jual beli. Padahal kenyataannya yang terjadi adalah utang piutang.

Buktinya apa?

Yang sebenarnya terjadi adalah customer memesan kendaraan pada dealer dengan cara pembayaran tertunda. Karena pembayaran demikian, maka pihak dealer yang tidak ingin uang berputar lama bekerja sama dengan pihak leasing. Pembayaran secara cash dilakukan oleh pihak leasing pada dealer. Selanjutnya pelunasan pembayaran dari customer diteruskan pada pihak leasing.

Hakekat transaksi yang terjadi antara leasing dan konsumen bukanlah jual beli. Namun pihak leasing mengutangkan lantas mengambil untung dari utang piutang tersebut. Padahal para ulama telah sepakati bahwa setiap utang piutang yang di dalamnya ditarik keuntungan atau manfaat, maka itu adalah riba.

Misalnya ingin mendapatkan motor vario 17 juta rupiah secara cash. Namun cicilan lewat leasing atau bank menjadi 22 juta rupiah. Hakekat yang terjadi adalah 17 juta rupiah dipinjamkan dari pihak leasing atau bank dan 22 juta rupiah itulah total cicilannya. Keuntungan tersebutlah yang disebut riba.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kenapa tidak bisa dikatakan jual beli?

Karena pihak leasing tidak memiliki kendaraan. Yang memiliki barang adalah pihak dealer yang langsung dijual pada pihak konsumen. Kalau dikatakan pihak leasing yang menjual tidaklah benar karena kendaraan tersebut tidak berpindah tangan pada pihak leasing. Pihak leasing pun bisa melanggar hadits berikut.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Riba Hanya Mengundang Murka Allah

Bukan hanya dampak dari menyebarnya kredit leasing yang dihukumi riba ini pada kemacetan jalan. Namun lebih daripada itu, tersebarnya riba semakin mengundang murka Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kita dengan yang halal dan menjauhkan kita dari yang haram.

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak
[Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu] (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan kata Syaikh Al Albani)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengusap Peci dan Kerudung Ketika Berwudhu, Bolehkah?



Category : Fiqh dan Muamalah, fikih, sorban, Wudhu

28 November 2014

Source article: Muslim.O.Id

Mengusap Kepala ketika Berwudhu’

Di antara rukun wudhu adalah mengusap kepala sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah [5]: 6).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tatacara mengusap kepala ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan tatacara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dengan kedua (telapak) tangannya. Beliau (mengurap) ke arah depan kemudian kembali lagi ke belakang. Beliau memulai dari bagian depan kepala, kemudian mengusap ke arah belakang dengan kedua telapak tangannya sampai tengkuk, kemudian kembali lagi ke depan sampai ke tempat di mana beliau memulai mengusap kepalanya (yaitu bagian depan kepala).” (HR. Bukhari no. 185, Muslim no. 235, dan Tirmidzi no. 28)

Hadits di atas menunjukkan bahwa mengusap kepala sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala di atas adalah “mengusap keseluruhan kepala”. Sebagaimana dalam hadits di atas, mengusap keseluruhan kepala dapat dilakukan degan dua cara, yaitu: (1) dari tengkuk, ke arah depan, kemudian kembali lagi ke belakang; atau (2) sebaliknya, yaitu dari bagian depan, ke arah tengkuk, kemudian kembali lagi ke depan.

Hadits di atas juga menunjukkan lemahnya pendapat Imam Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i –rahimahumallah- yang menyatakan bahwa mengusap kepala cukup dengan mengusap sebagian kepala, baik dengan mengusap tiga helai rambut, atau seperempat atau setengah bagian kepala saja. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/117).


Mengusap Sorban (Imamah)

Terdapat hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mengusap kain sorban (imamah) yang menutupi seluruh kepala beliau ketika berwudhu. ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan tatacara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ

Aku melihat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam mengusap sorban dan dua buah khuff (sepatu) beliau.” (HR. Bukhari no. 205)

Jika sebagian kepala beliau tidak tertutup sorban, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan bagian kepala yang tidak tertutup sorban tersebut. Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

Sesungguhnya Nabi shallalahu ‘alahi wa sallam berwudhu, maka beliau mengusap ‘an-nashiyah’, (mengusap) imamah dan dua buah khuff (sepatu) beliau.” (HR. Muslim no. 247)

Yang dimaksud dengan ‘an-nashiyah’ adalah rambut yang tumbuh di bagian depan dahi. (Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 28)

Hadits ini juga menunjukkan wajibnya mengusap seluruh bagian kepala karena ketika ada sebagian kepala yang tidak tertutup sorban, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan bagian kepala yang terbuka tersebut sekaligus, tidak mencukupkan diri hanya dengan mengusap sorban atau sebagian kepala yang terbuka saja.

Mengusap sorban ini diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu (1) suci (terbebas dari najis) dan (2) imamah tersebut sulit dan merepotkan jika dilepas, yaitu imamah yang ujungnya dililitkan ke leher, sebagaimana adat kebiasaan orang Arab. (Lihat Syarhul Mumti’, 1/236-237)

Oleh karena itu, tidak boleh mengusap peci (bagi laki-laki) sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad rahimahullah karena dua alasan berikut ini:

  • Peci pada umumnya tidak menutup semua bagian kepala, berbeda dengan sorban. Sehingga dua hal ini tidak bisa dianalogikan.

  • Tidak ada kesulitan untuk melepas peci ketika berwudhu, berbeda dengan sorban. (Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 28 dan Al-Mughni, 1/346)

Lalu bagaimana dengan jilbab (kerudung) perempuan?

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama membolehkan bagi perempuan untuk mengusap kerudung (jilbab). Mereka beralasan dengan meng-qiyaskan antara imamah (bagi laki-laki) dan kerudung (bagi perempuan).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin raimahullah berkata,”Jika terdapat kesulitan, misalnya karena cuaca yang sangat dingin, atau ada kesulitan jika harus mencopot dan memakai kerudung kembali, maka mengusap semacam ini (yaitu mengusap kerudung), tidaklah mengapa. Jika tidak (ada kesulitan semacam itu), maka yang lebih utama adalah tidak mengusap kerudung, sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih dalam masalah ini (yaitu kewajiban mengusap seluruh bagian kepala secara langsung).” (Lihat Syarhul Mumti’, 1/239)

Syaikh Abu Malik berkata,”Adapun wanita, maka aku tidak mengetahui adanya dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam masalah ini (yaitu kewajiban mengusap seluruh bagian kepala). Akan tetapi, boleh bagi para wanita untuk mengusap (bagian atas) kerudungnya. Seandainya dia mengusap bagian depan kepalanya beserta kerudungnya, maka ini lebih baik, dalam rangka keluar dari perselisihan para ulama.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/118).

Hal ini sebagaimana perbuatan Ummu Salamah yang mengusap kerudungnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir. (Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 1/346). Wallahu a’lam.

Selesai disusun menjelang subuh, Masjid Nasuha Rotterdam, 5 Shafar 1436

Referensi:

  • Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Daarul Fikr Beirut, cetakan 1 tahun 1405 (Maktabah Syamilah)

  • Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi (Maktabah Syamilah)

  • Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Maktabah Tauqifiyah.

  • Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, Maktabah Ibnu Taimiyah Kuwait, cetakan 5 tahun 1410.
     


Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger