BLOG AL ISLAM
Diberdayakan oleh Blogger.
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
twitter
Live Traffic
Latest Post
Oktober 06, 2012
Aqidah - Pertemanan Dengan Non Muslim
Written By sumatrars on Sabtu, 06 Oktober 2012 | Oktober 06, 2012
Kategori : Aqidah
Pertanyaan:
Saya tinggal bersama seorang teman yang beragama Nasrani. Kadang ia berkata
kepada saya: “Ya
akhi (wahai saudaraku)“, atau berkata “Kita
khan saudara“, kami juga makan dan minum bersama, apakah dibolehkan
melakukannya?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baaz -rahimahullah-
menjawab:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sungguh
orang mu’min itu bersaudara” (QS. Al Hujurat: 10)
Dan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
المسلم أخو المسلم
“Seorang
muslim itu saudara bagi muslim yang lain“
Maka yang saudara itu adalah sesama muslim, bukan orang kafir, baik dia Nasrani,
Yahudi, penyembah berhala, Majusi atau pun Syi’ah. Dan seorang muslim tidak
boleh menjadikan mereka sebagai sahabat karib. Namun bila sekedar makan bersama
sesekali, atau secara kebetulan kalian bertemu ketika makan, atau kalian makan
bersama dalam sebuah acara jamuan yang sifatnya umum, ini semua dibolehkan.
Adapun jika anda menjadikannya teman karib, teman yang sering jalan bersama,
sering makan bersama, ini tidak dibolehkan. Karena Allah telah memutuskan tali
cinta dan loyalitas antara kita dan mereka. Allah Ta’ala berfirman
dalam Al Qur’an:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ
قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al
Mumtahanah: 4)
Allah Ta’ala juga
berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يعني يحبون وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka”
(QS. Al Mujaadalah: 22)
Kesimpulannya, seorang muslim wajib untuk berlepas diri dari orang-orang musyrik
dan membenci mereka karena Allah. Namun,
tidak boleh mengganggu mereka, meneror mereka, atau berbuat yang melebihi batas
padahal anda tidak memiliki hak. Walau demikian, tetap tidak boleh
menjadikan mereka teman karib atau orang yang sangat disayangi. Adapun jika
secara kebetulan anda makan bersama dalam sebuah jamuan, atau secara kebetulan
menonton sesuatu bersama, tanpa menganggap dia sebagai teman karib dan tanpa ada
rasa loyal terhadapnya, hukumnya boleh.
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4872
Penerjemah: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 06, 2012
Aqidah - Dakwah Tauhid Kepada Keluarga
Kategori: Aqidah
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma
ba’du.
Dakwah tauhid merupakan tugas mulia. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Katakanlah
(Muhammad): Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Aku mengajak
kepada Allah (tauhid) di atas landasan bashirah/ilmu.” (QS.
Yusuf: 108)
Segenap rasul pun telah menunaikan tugas agung ini dengan penuh tanggung jawab.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh,
Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS.
An-Nahl: 36)
Ibrahim ‘alaihis
salam -dengan segenap perjuangan
dan pengorbanannya dalam mendakwahkan tauhid- pun pada akhirnya meraih predikat
yang sangat mulia sebagai Khalil/kekasih Allah. Itu berangkat dari ketulusan
beliau dalam mendakwahkan ajaran yang hanif ini kepada kaumnya.
Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh
telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Kami berlepas
diri dari kalian dan dari segala sesembahan kalian selain Allah. Kami
mengingkari kalian dan telah tampak jelas antara kami dengan kalian permusuhan
dan kebencian untuk selamanya, sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS.
Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam pun
melanjutkan ajaran tauhid yang diserukan oleh para pendahulunya setelah Allah
turunkan wahyu kepadanya. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Wahai
orang yang berselimut. Bangkit dan berikanlah peringatan. Tuhanmu, maka
agungkanlah. Pakaianmu, maka sucikanlah. Dan berhala-berhala itu, maka jauhilah.” (QS.
Al-Muddatstsir: 1-5)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Allah
telah mengutus beliau dengan misi memberi peringatan dari syirik dan untuk
mengajak kepada tauhid.” (risalah Tsalatsat
al-Ushul)
Dakwah yang mereka serukan adalah ajakan untuk menjadikan Allah -Sang Penguasa
langit dan bumi- sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya tempat bergantung,
satu-satunya tumpuan rasa cinta, takut dan harapan. Mereka menolak segala bentuk
persekutuan hak-hak Allah dengan pujaan-pujaan selain-Nya, apakah ia berwujud
malaikat, nabi, matahari, bulan, bintang, batu, atau pepohonan. Tidak ada yang
berhak diibadahi kecuali Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha
Pemberi Rizki dan Pemilik Kekuatan yang maha dahsyat.
Allah ta’ala menceritakan
tentang dakwah Ibrahim ‘alaihis
salam kepada ayahnya (yang
artinya), “Wahai
ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat,
bahkan tidak bisa memberikan manfaat kepadamu barang sedikit pun? Wahai ayahku,
sesungguhnya telah datang kepadaku suatu ilmu yang belum datang kepadamu, maka
ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus itu. Wahai
ayahku, janganlah engkau memuja setan. Karena sesungguhnya setan itu durhaka
kepada ar-Rahman.” (QS. Maryam:
42-44)
Sebuah dialog yang indah. Sebuah dakwah yang tumbuh dan berkembang karena
perasaan kasih sayang kepada sesama. Mencintai kebaikan bagi saudaranya
sebagaimana seorang mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Oleh sebab
itulah para rasul berusaha untuk mengajak sanak keluarganya untuk bersama-sama
menjadi hamba Allah semata, bukan hamba selain-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh
Ibrahim ‘alaihis
salam dan juga Nabi kita
Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bahkan segenap para rasul pun memberikan keteladanan
yang serupa kepada kita. Adakah seorang anak yang suka ayahnya sendiri menjadi
penghuni neraka? Adakah seorang keponakan yang suka apabila pamannya sendiri
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala? Adakah seorang ayah suka apabila
anak cucunya menjadi para pelestari tradisi pemujaan terhadap berhala?!
Inilah dakwah yang penuh dengan kasih sayang kepada umat manusia. Dakwah yang
mengajak mereka untuk mengentaskan diri dari berlapis-lapis kegelapan menuju
cahaya. Dari kegelapan dosa dan maksiat menuju
cahaya ketaatan. Dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan. Dari kegelapan syirik menuju
cahaya tauhid. Dari kegelapan bid’ah menuju cahaya sunnah.
Inilah dakwah yang akan mempertemukan nenek moyang dan keturunan mereka di atas
jembatan keimanan dan tauhid yang tertanam kuat dalam hati sanubari dan merasuk
dalam sendi-sendi kehidupan.
Inilah dakwah kepada persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan yang terjalin di
atas simpul keimanan dan semakin menguat dengan ikatan-ikatan ketakwaan. Inilah
dakwah kepada persatuan dan peringatan dari segala bentuk percerai-beraian.
Bersatu dalam memegang teguh tali Allah, bersatu dalam naungan hizb Allah, dan
bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Allah, hizb asy-Syaitan dan menundukkan
berbagai keinginan nafsu yang terlarang. Inilah dakwah tauhid.
Inilah dakwah Ibrahim ‘alaihis
salam kepada ayahnya, inilah
dakwah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada paman
dan sanak familinya, inilah dakwah Luqman -seorang ayah yang salih- kepada
putranya…
Inilah dakwah yang akan menyelamatkan diri seorang dan sanak kerabatnya dari
jilatan api neraka. Inilah dakwah yang mencetak generasi yang berbakti kepada
ayah bunda. Inilah dakwah yang mencetak para pemuda yang tumbuh dewasa di atas
ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Inilah dakwah yang mendidik para wanita
beriman yang patuh kepada perintah Allah ta’ala,
agar mereka menjulurkan jilbab-jilbab mereka dan tidak bersolek sebagaimana
tingkah laku wanita jahiliyah.
Inilah dakwah yang akan menundukkan hati-hati manusia kepada hukum Rabb alam
semesta.
Oleh sebab itu, sudah semestinya bagi setiap penuntut ilmu untuk memiliki
semangat dalam menebarkan cahaya hidayah ini kepada umat manusia, terlebih lagi
kepada saudara dan keluarganya. Sungguh, apabila seorang saja yang mendapatkan
hidayah dari Allah dengan perantara dirinya maka itu jauh lebih berharga
daripada unta-unta yang berwarna merah. Maka bagaimana lagi jika sepuluh orang,
seratus orang, atau bahkan jutaan orang mendapatkan hidayah melalui tangannya.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran, dan
saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS.
Al-’Ashr: 1-3)
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan
siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak kepada Allah
dan dia juga beramal salih. Dia pun berkata: Sesungguhnya aku ini termasuk
orang-orang yang berserah diri/muslim.” (QS.
Fushshilat: 33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang menuntut ilmu untuk menghidupkan kembali ajaran Islam maka dia termasuk
golongan shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Dengan ilmu dan
amal, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki dirinya.
Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 06, 2012
Aqidah - Benarkah Rasulullah Ada Dimana-Mana
Benarkah Rasulullah Ada Dimana-Mana?
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”” (QS. Al A’raf: 188)
Ayat-ayat lain yang maknanya senada sangatlah banyak.
Pertanyaan:
Benarkah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam saat ini ada dimana-mana? Lalu apakah beliau mengetahui perkara
gaib?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baz -rahimahullah-
menjawab:
Tentunya kita semua tahu baik secara logika maupun berdasarkan dalil-dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berada dimana-mana. Yang benar jasad beliau saat ini berada di makamnya yaitu di kota Madinah Al Munawwarah. Sedangkan ruh beliau ada di Rafiqul A’laa, yaitu di surga. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits shahih, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika menjelang wafatnya:
Tentunya kita semua tahu baik secara logika maupun berdasarkan dalil-dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berada dimana-mana. Yang benar jasad beliau saat ini berada di makamnya yaitu di kota Madinah Al Munawwarah. Sedangkan ruh beliau ada di Rafiqul A’laa, yaitu di surga. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits shahih, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika menjelang wafatnya:
اللهم في الرفيق الأعلى
“Ya
Allah, di Rafiqul A’la” (Al Bukhari di bab Al
Jumu’ah (850), juga di Sunan At Tirmidzi bab Ad
Da’awat (3496), di Sunan An Nasa’i bab Al
Jana’iz (1830), Sunan Ibnu Majah bab Maa
Ja’a Fil Jana’iz (1619), di Musnad Ahmad bin Hambal (6/200), di Muwatha Malik
bab Jana’iz (562))
sebanyak 3 kali lalu beliau wafat.
Para ulama Islam di kalangan para sahabat dan yang setelah mereka telah
bersepakat bahwa RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam dimakamkan di rumah ‘Aisyah Radhiallahu’anha,
bersebelahan dengan masjid beliau yang mulia. Dan jasad beliau tetap berada di
sana sampai masa sekarang. Sedangkan ruh beliau, juga ruh para Nabi dan Rasul
yang lain, serta ruh orang-orang mu’min semuanya di surga, namun keadaan mereka
bertingkat-tingkat sesuai dengan kekhususan yang Allah berikan dalam hal ilmu dan
iman juga dalam hal kesabaran dalam menghadapi rintangan di jalan dakwah.
Sedangkan mengenai perkata gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah
semata. Adapun RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam serta orang-orang setelah beliau hanya mengetahui hal gaib sebatas
yang telah diberitahu oleh Allah saja. Yaitu yang telah dikabarkan melalui Al
Qur’anul Karim dan hadits, semisal pengetahuan tentang surga, neraka, gambaran
keadaan hari kiamat, atau perkara lain yang terdapat penjelasan dari Al Qur’anul
Karim dan hadits yang shahih. Semisal itu juga, pengetahuan tentang turunnya
Dajjal, akan terbitnya matahari dari barat, keluarnya dabbah, turunnya Nabi Isa
Al Masih bin Maryam di akhir zaman, atau perkara-perkara lainnya.
Berdasarkan firman Allah Azza
Wa Jalla di surat An Naml :
“Katakanlah:
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”
(QS. An Naml: 65)
Juga firman Allah di surat Al An’am:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib” (QS. Al An’am: 50)
Juga firman Allah di surat Al A’raf:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ
كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”” (QS. Al A’raf: 188)
Ayat-ayat lain yang maknanya senada sangatlah banyak.
Terdapat banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak mengetahui perkara gaib. Salah satunya sabda beliau ketika
ditanya oleh Jibril tentang kapan terjadinya kiamat:
ما المسئول عنها بأعلم من السائل
“Yang
bertanya (Malaikat Jibril) pun tidak lebih mengetahui dari yang ditanya (Rasulullah)”
(HR. Al Bukhari bab Al
Iman, no.50; Muslim bab Al
Iman, no.10; An Nasa’i bab Al
Iman Wa Syara’i-’u-hu , no. 4991; Ibnu Majah bab Muqaddimah, no. 64; Ahmad,
2/426)
Kemudian beliau ditanya tentang 5 tanda kiamat yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah, beliau membacakan ayat Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah
Yang menurunkan hujan” (QS. Luqman: 34)
Dalil lain, ketika ahlul
ifki menuduh ‘Aisyah Radhiallahu’anha berbuat
zina, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tidaklah mengetahui tuduhan tersebut benar ataukah bohong, sampai
akhirnya turun wahyu dari Allah dalam surat An Nur.
Dalil lain, ketika ‘Aisyah ikut pada sebagian peperangan, kalungnya hilang.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pun tidak mengetahui dimana kalung tersebut berada sehingga beliau
mengutus beberapa orang untuk mencarinya namun hasilnya nihil. Setelah unta
milik ‘Aisyah berdiri barulah diketahui ternyata kalung tersebut selama ini ada
di bawah unta. Ini beberapa hadits dari sekian banyak hadits yang
menunjukkan bahwa RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam tidak mengetahui hal gaib.
Sedangkan apa yang disangkakan oleh sebagian orang sufi bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam mengetahui hal gaib dan beliau hadir di perayaan-perayaan mereka
semisal mereka menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam hadir di tengah mereka ketika perayaan Maulid Nabi, atau perayaan
yang lain, ini semua adalah sangkaan yang salah dan tidak memiliki dasar.
Keburukan ini disebabkan oleh ketidak-pahaman mereka terhadap Al Qur’an dan hadits sebagaimana
yang dipahami oleh salafus
shalih.
Kita memohon kepada Allah semoga kita dan kaum muslimin semua diberi keselamatan
dari musibah yang
menimpa mereka, kita juga memohon kepada Allah agar memberikan petunjuk bagi
kita dan seluruh kaum muslimin kepada jalan yang lurus. Sungguh Allah maha
mendengar dan mengabulkan doa.
Sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/2496
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 05, 2012
Aqidah - Apakah Orang Mati Bisa Mendengar
Written By sumatrars on Jumat, 05 Oktober 2012 | Oktober 05, 2012
Kateguri : Aqidah
Pada sebuah kesempatan, Syaikh
Prof.Dr. Abdul Aziz Bin Muhammad Abdul Latief *) ditanya:
Apakah orang mati dapat mendengarkan hal-hal yang terjadi disekitarnya?
Ketika seseorang meninggal, apakah ia dapat merasakan apa yang ada disekitarnya, seperti keberadaan keluarganya, sebelum ia dimandikan, dikafankan lalu dikubur?
Lalu apakah mayat tersebut dapat mendengarkan suara-suara disekelilingnya?
Karena terdapat hadits yang menyatakan bahwa mayat dapat mendengar hentakan sandal orang yang menguburkannya.
Ketika seseorang meninggal, apakah ia dapat merasakan apa yang ada disekitarnya, seperti keberadaan keluarganya, sebelum ia dimandikan, dikafankan lalu dikubur?
Lalu apakah mayat tersebut dapat mendengarkan suara-suara disekelilingnya?
Karena terdapat hadits yang menyatakan bahwa mayat dapat mendengar hentakan sandal orang yang menguburkannya.
Syaikh Dr. Abdul Aziz Bin Muhammad Abdul Latief menjawab:
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وبعد
Keadaan asalnya, orang mati tidak dapat mendengar, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Sesungguhnya
kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An Naml:
80)
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala juga berfirman:
فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Sesungguhnya
kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar”
(QS. Ar Ruum: 52)
Juga firman-Nya:
وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
“Dan
kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat
mendengar” (QS. Fathir: 22)
Serta ayat-ayat yang lain. Selain itu, mati itu seperti tidur. Bahkan sebagian
ulama mengatakan bahwa tidur adalahAl
Wafaat Ash Shughra (kematian kecil). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ
“Dan
Allah-lah yang mewafatkan (menidurkan) kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa
yang kamu kerjakan di siang hari” (QS. Al An’am: 60)
Dan kita tahu bersama, bahwa orang yang tidur tidak bisa mendengar orang
berbicara padanya. Maka orang mati tentu lebih tidak bisa lagi.
Adapun orang mati dapat mendengar suara hentakan sandal ini merupakan
pengecualian khusus dari keadaan asal, pengecualian ini dikarenakan terdapat
dalil yang menyebutkannya. Wallahu’alam.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Sumber: http://www.alabdulltif.net/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=28121
*)
Beliau adalah salah satu ulama dari kota Riyadh Saudi Arabia, menjadi dosen di beberapa Universitas, dan beliau pakar dalam masalah Aqidah.
Beliau adalah salah satu ulama dari kota Riyadh Saudi Arabia, menjadi dosen di beberapa Universitas, dan beliau pakar dalam masalah Aqidah.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 05, 2012
Gelang Penolak Bala
Gelang Penolak Bala
Kategori: Aqidah
,أَخْبَرَنِي عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً، أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ،
فَقَالَ: «وَيْحَكَ مَا هَذِهِ؟» قَالَ: مِنَ الْوَاهِنَةِ؟ قَالَ: «أَمَا
إِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ؛ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ
وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا»
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam suatu
ketika melihat seorang lelaki yang di tangannya terdapat gelang dari
kuningan, maka beliau bertanya, “Apa
ini?”. Dia menjawab, “Untuk menangkal penyakit.” Maka Nabi mengatakan,
“Lepaskan
saja, karena sesungguhnya gelang itu tidak akan memperbaiki keadaanmu
kecuali kamu semakin bertambah lemah. Bahkan kalau kamu meninggal dalam
keadaan masih memakai gelang itu tentu kamu tidak akan bahagia selamanya”
(HR. Ahmad, sanadnya la
ba’sa bih)
Kandungan hadits secara global
Imran bin Hushain radhiyallahu’anhuma menyebutkan kepada kita salah satu sikap yang diambil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memerangi syirik dan membebaskan manusia darinya. Sikap beliau itu adalah : ketika beliau melihat ada seorang lelaki yang memakai gelang kuningan maka beliau menanyakan kepadanya maksud perbuatannya itu? Maka lelaki itu menjawab bahwa maksudnya mengenakan itu adalah untuk mencegah dari penyakit, maka beliau pun memerintahkan untuk segera membuangnya. Beliau juga memberitahukan kepadanya bahwa hal itu tidak akan berguna baginya bahkan membahayakan dirinya, dan gelang itu justru akan semakin menambah penyakit yang ingin dia hindari. Dan bahaya yang lebih besar daripada itu adalah jika anda tetap memakainya hingga mati maka keberuntungan di akhirat pun tidak akan anda dapatkan.
Imran bin Hushain radhiyallahu’anhuma menyebutkan kepada kita salah satu sikap yang diambil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memerangi syirik dan membebaskan manusia darinya. Sikap beliau itu adalah : ketika beliau melihat ada seorang lelaki yang memakai gelang kuningan maka beliau menanyakan kepadanya maksud perbuatannya itu? Maka lelaki itu menjawab bahwa maksudnya mengenakan itu adalah untuk mencegah dari penyakit, maka beliau pun memerintahkan untuk segera membuangnya. Beliau juga memberitahukan kepadanya bahwa hal itu tidak akan berguna baginya bahkan membahayakan dirinya, dan gelang itu justru akan semakin menambah penyakit yang ingin dia hindari. Dan bahaya yang lebih besar daripada itu adalah jika anda tetap memakainya hingga mati maka keberuntungan di akhirat pun tidak akan anda dapatkan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini
- Mengenakan gelang dan yang semacamnya dalam rangka menjaga diri dari serangan penyakit termasuk perbuatan syirik
- Larangan berobat dengan sesuatu yang diharamkan
- Mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang bodoh
- Bahaya syirik bagi kehidupan dunia dan akhirat
- Hendaknya pemberi fatwa menanyakan rincian masalah dan mempertimbangkan maksud perbuatan
- Syirik kecil merupakan dosa besar yang terbesar
- Tidak ada udzur karena bodoh untuk melakukan syirik
- Sikap keras dalam mengingkari orang yang melakukan salah satu perbuatan syirik agar dia meninggalkan dan menjauhinya
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Uqbah bin Amir secara marfu’, (Nabi
bersabda)
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً ، فَلا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ ، وَمَنْ عَلَّقَ وَدَعَةً
، فَلا وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa
yang menggantungkan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan urusannya,
dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (kerang) maka Allah tidak akan
memberikan ketenangan baginya” (HR. Al Hakim 7582, Ibnu Hibban 6220,
sanadnya diperselisihkan, Al Albani mendhaifkannya dalam Silsilah
Adh Dha’ifah, 1266)
Dalam riwayat lainnya,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa
yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad,
no. 17092. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah, 492)
Kandungan kedua hadits ini secara global
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan kepada orang yang menggunakan jimat dengan keyakinan bahwa benda itu dapat menolak madharat agar Allah membalikkan apa yang dia maksudkan dan agar Allah tidak menyempurnakan urusan-urusannya. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakan keburukan bagi orang yang memakai kerang untuk tujuan yang serupa agar Allah tidak membiarkan dia hidup dalam ketenangan, bahkan supaya segala gangguan menggoncangkan dirinya, doa ini dimaksudkan sebagai bentuk peringatan keras terhadap perbuatan itu, sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitakan di dalam hadits yang kedua bahwa perbuatan ini termasuk syirik kepada Allah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan kepada orang yang menggunakan jimat dengan keyakinan bahwa benda itu dapat menolak madharat agar Allah membalikkan apa yang dia maksudkan dan agar Allah tidak menyempurnakan urusan-urusannya. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakan keburukan bagi orang yang memakai kerang untuk tujuan yang serupa agar Allah tidak membiarkan dia hidup dalam ketenangan, bahkan supaya segala gangguan menggoncangkan dirinya, doa ini dimaksudkan sebagai bentuk peringatan keras terhadap perbuatan itu, sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitakan di dalam hadits yang kedua bahwa perbuatan ini termasuk syirik kepada Allah
Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua hadits ini
- Menggantungkan jimat dan kerang termasuk perbuatan syirik
- Barangsiapa yang bersandar kepada selain Allah maka Allah akan membalasnya dengan kebalikan dari apa yang dia inginkan
- Doa keburukan bagi orang yang menggantungkan jimat-jimat dan kerang bahwa dia akan kehilangan apa yang dia harapkan dan justru mendapatkan kebalikan dari keinginannya
Sumber : al-Mulakhkhash
fi Syarh Kitab at-Tauhid karya
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
Artikel Muslim.Or.Id
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyud
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 05, 2012
Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bazrahimahullah ditanya,
“Apakah membaca Al Qur’an di sisi kubur termasuk amalan yang tidak dituntunkan khususnya surat Fatihah dan Al Baqarah? Karena setahu saya setelah membaca kitab Ar Ruh karya Ibnul Qayyim bolehnya membaca Qur’an ketika pemakaman mayit dan setelah pemakaman. Beliau menyebutkan bahwa para salaf menasehati agar membaca Al Qur’ah ketika pemakaman.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
Membaca Al Qur’an di sisi kubur adalah di antara amalan yang tidak dituntunkan sehingga tidak boleh kita lakukan. Kita tidak boleh pula shalat di sisi kubur karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan seperti itu. Begitu pula hal tersebut tidak pernah dituntunkan oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen). Karena amalan tadi hanyalah dilakukan di masjid dan di rumah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kubur” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777). Hadits ini menunjukkan bahwa kubur bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk membaca Al Qur’an. Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus di masjid dan di rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur adalah memberi salam kepada penghuninya dan mendoakan kebaikan pada mereka.[1] Lin 1
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penguburan mayit, beliau berhenti di sisi kubur dan berkata,
Mintalah ampun pada Allah untuk saudara kalian dan mintalah kekokohan (dalam menjawab pertanyaan kubur). Karena saat ini ia sedang ditanya” (HR. Abu Daud no. 2758. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Beliau sendiri tidak membaca Al Qur’an di sisi kubur dan tidak memerintahkan untuk melakukan amalan seperti ini..
Memang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -jika riwayat tersebut shahih-bahwa beliau melakukan seperti itu, alasan ini tidak bisa dijadikan pendukung. Karena yang namanya ibadah ditetapkan dari sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari Al Qur’an. Perkataan sahabat tidak selamanya menjadi pendukung, begitu pula selainnya selain khulafaur rosyidin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai khulafaur rosyidin,
“Wajib atas kalian berpegang tegus dengan ajaranku dan juga ajaran khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Ajaran khulafaur rosyidin bisa jadi pegangan selama tidak menyelisihi ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya, maka itu tidak selamatnya bisa menjadi pegangan dalam hal ibadah.
Karena sekali lagi, ibadah adalah tauqifiyah, mesti dengan petunjuk dalil. Ibadah itu tauqifiyyah, diambil dari Al Qur’an dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Adapun perkataan Ibnul Qayyim dan sebagian ulama lainnya, itu tidak bisa dijadikan sandaran. Dalam masalah semacam ini hendaklah kita berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Amalan yang menyelisihi keduanya adalah amalan tanpa tuntunan. Jadi, kita tidak boleh shalat di sisi kubur, membaca Al Qur’an di tempat tersebut, berthawaf mengelilingi kubur, dan tidak boleh pula berdo’a kepada selain Allah di sana. Tidak boleh seorang muslim pun beristighotsah dengan berdo’a kepada penghuni kubur atau si mayit.
Tidak boleh pula seseorang bernadzar kepada penghuni kabar karena hal ini termasuk syirik akbar. Sedangkan berdo’a di sisi kubur atau berdo’a pada Allah di sisi kubur termasuk amalan yang mengada-ngada.
Lalu Syaikh rahimahullah ditanya oleh salah satu muridnya, “Apalah Imam Ahmad telah rujuk secara perbuatan dari pendapat yang membolehkan berdo’a di sisi kubur? Jazakumullah khoiron, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.
Diriwayatkan mengenai hal ini, namun aku sendiri tidak mengetahui keshahihannya seandainya beliau rujuk. Namun jika beliau membolehkannya (berdo’a di sisi kubur), maka beliau keliru, sama halnya dengan ulama lainnya. Dan Ibnu ‘Umar sendiri lebih afdhol dari Imam Ahmad. Sekali lagi, pegangan kita dalam ibadah
adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (dikembalikan) kepada Allah.” (QS. Asy Syura: 10).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al Hasyr: 7). Amalan ini adalah permasalahan ibadah dan permasalah yang urgent
sehingga seharusnya setiap muslim kembalikan pada ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang suci.
Ada yang bertanya lagi pada Syaikh Ibnu Baz, “Apakah engkau berpegang pada madzhab tertentu?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Fatwa yang kukeluarkan tidaklah berdasarkan pada madzhab tertentu, aku tidak berpegang pada madzhab Imam Ahmad dan imam lainnya. Yang selalu jadi peganganku
adalah firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik pendapat tersebut terdapat pada madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, atau Zhohiriyah atau pada sebagian ulama
salaf di masa silam. Yang selalu jadi peganganku adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Saya tidak selalu berpegang pada madzhab Hambali atau madzhab lainnya.
Sandaranku sekali lagi adalah pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu‘alaihi wa sallam, dan yang menjadi petunjuk dari kedua dalil tersebut
dalam berbagai hukum. Inilah kewajiban yang harus diikuti setiap penuntut ilmu. [Referensi: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/9920]
Fatwa di atas mengajarkan pada kita suatu pedoman yang penting dalam beragama. Hendaknya kita berpegang teguh pada dalil. Perkataan ulama atau ulama madzhab
tidak selamanya bisa menjadi pegangan jika menyelisihi ajaran Al Qur’an dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berbeda dengan sikap sebagian orang yang terlalu fanatik buta pada madzhab
tertentu. Padahal para imam madzhab sendiri tidak memerintahkan kita untuk ikut pendapatnya, yang mereka anjurkan adalah ikutilah dalil.
Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata, “Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan
tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[2] lin 2
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits
Nabawi, maka tinggalkanlah.[3] lin 3
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[4] lin 4
Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka
itulah pendapatku.”[5] lin 5
Terdapat riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan, “Jika ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku, maka
beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.” Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.” Perkataan ini disebutkan oleh Al Baihaqi, beliau mengatakan bahwa sanadnya
shahih[6]. lin 6
Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[7] lin 7
Sekali lagi ulama dan imam madzhab bukanlah Rasul yang setiap perkataannya harus diikuti, apalagi jika menyelisihi dalil. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun
menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu
yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[8]lin 8
@ KSU, Riyadh KSA, 15 Rabi’ul Awwal 1433 H
Sumber Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal | Sumber Artikel: Muslim.Or.Id
[1] Do’a ketika ziarah kubur sesuai ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, (semoga Allah merahmati
orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan). Kami insya Allah akan bergabung bersama kalian, saya meminta keselamatan
untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim no. 975)
[2] I’lamul Muwaqi’in, 2/211, Darul Jail
[3] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
[4] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41
[5] Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’
[6] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/54-55
[7] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53
[8] Majmu’ Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa’
Kembali Ke : Lin 1 | Lin 2 | Lin 3 | Lin 4 |Lin 5 | Lin 6 | Lin 7 | Lin 8
Aqidah - Membaca Al Quran di Sisi Kubur
Membaca Al Quran di Sisi Kubur
Kategori: Aqidah
Yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, sebagian yang ziarah kubur sering membawa Qur’an –terutama surat Yasin-, lalu membacanya di sisi kubur. Kita sepakat bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan surat Yasin adalah surat yang baik, mengandung pelajaran dan hikmah-hikmah penting di dalamnya. Namun apakah ketika ziarah kubur dituntunkan demikian? Ataukah ada tuntunan atau ajaran lainnya dari Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bazrahimahullah ditanya,
“Apakah membaca Al Qur’an di sisi kubur termasuk amalan yang tidak dituntunkan khususnya surat Fatihah dan Al Baqarah? Karena setahu saya setelah membaca kitab Ar Ruh karya Ibnul Qayyim bolehnya membaca Qur’an ketika pemakaman mayit dan setelah pemakaman. Beliau menyebutkan bahwa para salaf menasehati agar membaca Al Qur’ah ketika pemakaman.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
Membaca Al Qur’an di sisi kubur adalah di antara amalan yang tidak dituntunkan sehingga tidak boleh kita lakukan. Kita tidak boleh pula shalat di sisi kubur karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan seperti itu. Begitu pula hal tersebut tidak pernah dituntunkan oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen). Karena amalan tadi hanyalah dilakukan di masjid dan di rumah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kubur” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777). Hadits ini menunjukkan bahwa kubur bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk membaca Al Qur’an. Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus di masjid dan di rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur adalah memberi salam kepada penghuninya dan mendoakan kebaikan pada mereka.[1] Lin 1
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penguburan mayit, beliau berhenti di sisi kubur dan berkata,
اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
Mintalah ampun pada Allah untuk saudara kalian dan mintalah kekokohan (dalam menjawab pertanyaan kubur). Karena saat ini ia sedang ditanya” (HR. Abu Daud no. 2758. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Beliau sendiri tidak membaca Al Qur’an di sisi kubur dan tidak memerintahkan untuk melakukan amalan seperti ini..
Memang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -jika riwayat tersebut shahih-bahwa beliau melakukan seperti itu, alasan ini tidak bisa dijadikan pendukung. Karena yang namanya ibadah ditetapkan dari sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari Al Qur’an. Perkataan sahabat tidak selamanya menjadi pendukung, begitu pula selainnya selain khulafaur rosyidin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Wajib atas kalian berpegang tegus dengan ajaranku dan juga ajaran khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Ajaran khulafaur rosyidin bisa jadi pegangan selama tidak menyelisihi ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya, maka itu tidak selamatnya bisa menjadi pegangan dalam hal ibadah.
Karena sekali lagi, ibadah adalah tauqifiyah, mesti dengan petunjuk dalil. Ibadah itu tauqifiyyah, diambil dari Al Qur’an dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Adapun perkataan Ibnul Qayyim dan sebagian ulama lainnya, itu tidak bisa dijadikan sandaran. Dalam masalah semacam ini hendaklah kita berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Amalan yang menyelisihi keduanya adalah amalan tanpa tuntunan. Jadi, kita tidak boleh shalat di sisi kubur, membaca Al Qur’an di tempat tersebut, berthawaf mengelilingi kubur, dan tidak boleh pula berdo’a kepada selain Allah di sana. Tidak boleh seorang muslim pun beristighotsah dengan berdo’a kepada penghuni kubur atau si mayit.
Tidak boleh pula seseorang bernadzar kepada penghuni kabar karena hal ini termasuk syirik akbar. Sedangkan berdo’a di sisi kubur atau berdo’a pada Allah di sisi kubur termasuk amalan yang mengada-ngada.
Lalu Syaikh rahimahullah ditanya oleh salah satu muridnya, “Apalah Imam Ahmad telah rujuk secara perbuatan dari pendapat yang membolehkan berdo’a di sisi kubur? Jazakumullah khoiron, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.
Diriwayatkan mengenai hal ini, namun aku sendiri tidak mengetahui keshahihannya seandainya beliau rujuk. Namun jika beliau membolehkannya (berdo’a di sisi kubur), maka beliau keliru, sama halnya dengan ulama lainnya. Dan Ibnu ‘Umar sendiri lebih afdhol dari Imam Ahmad. Sekali lagi, pegangan kita dalam ibadah
adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (dikembalikan) kepada Allah.” (QS. Asy Syura: 10).
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al Hasyr: 7). Amalan ini adalah permasalahan ibadah dan permasalah yang urgent
sehingga seharusnya setiap muslim kembalikan pada ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang suci.
Ada yang bertanya lagi pada Syaikh Ibnu Baz, “Apakah engkau berpegang pada madzhab tertentu?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Fatwa yang kukeluarkan tidaklah berdasarkan pada madzhab tertentu, aku tidak berpegang pada madzhab Imam Ahmad dan imam lainnya. Yang selalu jadi peganganku
adalah firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik pendapat tersebut terdapat pada madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, atau Zhohiriyah atau pada sebagian ulama
salaf di masa silam. Yang selalu jadi peganganku adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Saya tidak selalu berpegang pada madzhab Hambali atau madzhab lainnya.
Sandaranku sekali lagi adalah pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu‘alaihi wa sallam, dan yang menjadi petunjuk dari kedua dalil tersebut
dalam berbagai hukum. Inilah kewajiban yang harus diikuti setiap penuntut ilmu. [Referensi: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/9920]
Fatwa di atas mengajarkan pada kita suatu pedoman yang penting dalam beragama. Hendaknya kita berpegang teguh pada dalil. Perkataan ulama atau ulama madzhab
tidak selamanya bisa menjadi pegangan jika menyelisihi ajaran Al Qur’an dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berbeda dengan sikap sebagian orang yang terlalu fanatik buta pada madzhab
tertentu. Padahal para imam madzhab sendiri tidak memerintahkan kita untuk ikut pendapatnya, yang mereka anjurkan adalah ikutilah dalil.
Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata, “Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan
tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[2] lin 2
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits
Nabawi, maka tinggalkanlah.[3] lin 3
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[4] lin 4
Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka
itulah pendapatku.”[5] lin 5
Terdapat riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan, “Jika ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku, maka
beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.” Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.” Perkataan ini disebutkan oleh Al Baihaqi, beliau mengatakan bahwa sanadnya
shahih[6]. lin 6
Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[7] lin 7
Sekali lagi ulama dan imam madzhab bukanlah Rasul yang setiap perkataannya harus diikuti, apalagi jika menyelisihi dalil. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun
menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu
yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[8]lin 8
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Sumber Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal | Sumber Artikel: Muslim.Or.Id
[1] Do’a ketika ziarah kubur sesuai ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ (وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ) وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, (semoga Allah merahmati
orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan). Kami insya Allah akan bergabung bersama kalian, saya meminta keselamatan
untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim no. 975)
[2] I’lamul Muwaqi’in, 2/211, Darul Jail
[3] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
[4] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41
[5] Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’
[6] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/54-55
[7] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53
[8] Majmu’ Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa’
Kembali Ke : Lin 1 | Lin 2 | Lin 3 | Lin 4 |Lin 5 | Lin 6 | Lin 7 | Lin 8
الجمعة، 20 ذو القعدة، 1433
الجمعة، 20 ذو القعدة، 1433
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Oktober 05, 2012
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Sumber Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Iman dan Taqwa Landasan Mencapai Kesuksesan
Kategori : Akhlaq dan Nasehat
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk
bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن
رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُ
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan
manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik. Sehingga
Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang
belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu
tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ
تُرْجَعُونَ
“Maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main
saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya
untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak
dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung
dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan)
serta (mendapatkan) suurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional
dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir
seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa.
Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah
yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
- I’tisham bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
- I’tisham billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua
hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya
dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: “Poros kebahagian duniawi dan ukhrawi ada pada i’tisham
billahi dan i’tisham
bihablillah. Tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan
dua hal ini. Sedangkan i’tisham
bihablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan i’tisham
billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan
mencapai (keridhaan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan
menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam
perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua
hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan
menunjukinya ke jalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi
alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. i’tisham
bihablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang i’tisham
billahi memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab
keselamatannya di perjalanan” (Bada’i
Al Tafasir Al Jaami’ Litafsir Imam
Ibni Qayyim Al Jauziyah, karya Yasri Al Sayyid Muhammad, terbitan Dar Ibnul
Jauzi 1/506-507).
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga
menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan
ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat
mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan
kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan
tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan.
Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan
diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Sumber Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM
BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...