Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Manasik Haji - Fikih Haji 8 Kesalahan Seputar Haji

Written By sumatrars on Rabu, 03 Oktober 2012 | Oktober 03, 2012


Fikih Haji (8): Kesalahan-Kesalahan Seputar Haji



KESALAHAN-KESALAHAN SEPUTAR HAJI

Kesalahan ketika ihram
  1. Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
  2. Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
  3. Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau nifas  boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan’im atau miqot untuk memulai ihram karena tadi sejak awal ia sudah berihram.
Kesalahan dalam thawaf
  1. Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma’il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka’bah, sedangkan Hijr Isma’il itu berada dalam Ka’bah.
  3. Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
  4. Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk syarat thawaf.
  5. Mencium setiap pojok atau rukun Ka’bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
  6. Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil Haram.
  7. Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad. Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.
Kesalahan ketika sa’i
  1. Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa’i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
  2. Ada yang melakukan sa’i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa’i akan berakhir di Marwah.
  3. Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap kiblat.
  4. Shalat dua raka’at setelah sa’i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
  5. Tetap melanjutkan sa’i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah melaksanakan shalat jama’ah terlebih dahulu.
Kesalahan di Arafah
  1. Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf di luar Arafah.
  2. Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib. Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan karena tidak melakukan yang wajib.
  3. Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
  4. Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo’a. Padahal yang sesuai sunnah adalah menghadap kiblat.
  5. Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini adalah amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan.
  6. Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.
Kesalahan di Muzdalifah
  1. Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Dan diyakini hal ini adalah suatu anjuran.  Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina, bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
  2. Sebagian jama’ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia telah meninggalkan yang wajib.
Kesalahan ketika melempar jumroh
  1. Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
  2. Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir “Allahu akbar”.
  3. Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama’ah meyakini bahwa ia melempar setan. Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa’i.
  4. Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
  5. Sebagian jama’ah haji dan biasa ditemukan adalah jama’ah haji Indonesia, ada yang melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
  6. Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
  7. Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti diulang.
Kesalahan di Mina
  1. Melakukan thawaf wada’ dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
  2. Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu keliru.  Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.
Kesalahan ketika Thawaf Wada’
  1. Setelah melakukan thawaf wada’, ada yang masih berlama-lama di Makkah bahkan satu atau dua hari. Padahal thawaf wada’ adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari meninggalkan Makkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
  2. Berjalan mundur dari Ka’bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada’ dan diyakini hal ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid’ah.
Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.
Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai disusun di Ummul Hamam, Riyadh KSA
5 Dzulhijjah 1432 H (1 hari sebelum safar ke Mina)
Sumber Artikel www.muslim.or.id

Referensi Kitab
  1. Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
  2. Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, sumber dari Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan).
  3. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam Kuwait.
  4. Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Muassasah Al Amiyah Al ‘Anud.
  5. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi-Beirut, cetakan kedua, 1392 H.
  6. Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr-Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
  7. An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1431 H.
  8. Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, Majalah Al Bayan, terbitan 1429 H.
  9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
  10. Mursyid Al Mu’tamir wal Haaj waz Zaair fii Dhouil Kitab was Sunnah, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan ketiga, 1418 H.
  11. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
  12. Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blansia, cetakan pertama, 1424 H.
  13. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Maktabah At Taufiqiyah.
  14. Shifatul Hajj wal ‘Umrah, terbitan bagi pengurusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cetakan keduabelas, 1432 H.
  15. Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.

Referensi Buku Indonesia
  1. Meneladani Manasik Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, terbitan Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan ketiga, 1429 H.
Referensi Mawqi’
  1. Mawqi’ Islam Web:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=58685
  1. Mawqi’ resmi Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz :http://www.binbaz.org.sa/mat/3737
  2. Mawqi’ Dorar.net:
http://www.dorar.net/art/379



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik Haji - Fikih Haji 7 Amalan Haji

     Fikih Haji (7): Amalan-Amalan Haji

AMALAN-AMALAN HAJI


Setelah berihram, lalu melakukan thawaf qudum bagi yang berhaji ifrod dan qiron. Sedangkan bagi yang berhaji tamattu’, setelah berihram, ia melakukan thawaf umrah dan sa’i umrah, kemudian tahallul dan boleh melakukan larangan-larangan ihram. Sampai datang tanggal 8 Dzulhijjah (hari tarwiyah) barulah melakukan amalan-amalan  berikut.

Tanggal 8 Dzulhijjah ( Hari Tarwiyah )

  1. Pada waktu Dhuha, jamaah haji berihram dari tempat tinggalnya/kediaman dengan niat akan melaksanakan ibadah haji, ini bagi yang berniat haji tamattu'. sedangkan bagi yang berniat haji ifrad dan qiron, ia tetap berihram dari awal.
  2. Setelah berihram, wajib menjauhi segala larangan ihram.
  3. Memperbanyak talbiyah.
  4. Bertolak menuju Mina sambil bertalbiyah.
  5. Melaksakan shalat Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, 'Isya' dan Shubuh di Mina. Shalat-shalat dikerjakan di waktunya masing-masing ( tanpa di jamak ) dan shalat empat raka'at (Zhuhur, Ashar, dan Maghrib) di qoshor.
  6. Mabit (Bermalam) di Mina dan hukumnya sunnah.
  7. Memperbanyak dzikir kala itu seperti dzikir pagi dan petang, juga dzikir lainnya.
Tanggal 9 Dzulhijjah ( hari Arafah )
  1. Sesudah shalat Shubuh di Mina dan setelah matahari terbit, bertolak menuju Arafah sambila bertalbiyah dan bertakbir.
  2. Pada hari arafah, yang disunnahkan bagi jama'ah haji adalah tidak berpuasa sebagaimana contoh dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
  3. Jika memungkinkan, sebelum wukuf di Arafah, turun sebentar di masjid Namirah hingga masuk waktu Zhuhur.
  4. Jika memungkinkan, mendengarkan khutbah di masjid Namirah, lalu mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim dan di qashar dengan satu adzan dan dua iqamah.
  5. Setelah shalat Zhuhur, memasuki padang Arafah untuk melaksanakan wukuf.
  6. Ketika wukuf, berupaya semaksimal mungkin untuk berkonsentrasi dalam do'a, dzikir dan merendahkan diri kepada Allah.
  7. Menghadap ke arah kiblat ketika berdo'a sambil mengangkat kedua tangan dengan penuh kekhusyu'an.
  8. Saat wukuf, memperbanyak bacaan "Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa 'ala kulli syaa-in qodiir" dan bacaan shalawat.
  9. Tidak keluar meninggalkan Arafah kecuali setelah matahari tenggelam.
  10. Setelah matahari terbenam, bertolak menuju Muzdalifah dengan penuh ketenangan.
  11. Sampai di Muzdalifah, lakukan terlebih dahulu shalat Maghrib dan Isya' dengan dijamak dan diqashar (shalat Maghrib 3 rakaat, sedangkan shalat Iysa' 2 raka'at) dengan satu adzan dan dua iqamah.
  12. Mabit di Muzdalifah dilakukan hingga terbit fajar. Adapun bagi kaum lemah dan para wanita dibolehkan untuk berangkat ke Mina setelah pertengahan malam.
Tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Nahr atau Idul Adha)
  1. Para jamaah haji harus shalat Shubuh di Muzdalifah, kecuali kaum lemah dan para wanita yang telah bertolak dari Muzdalifah setelah pertengahan malam.
  2. Setelah shalat Shubuh, menghadap ke arah kiblat, memuji Allah, bertakbir, bertahlil, serta  berdo’a kepada Allah hingga langit kelihatan terang benderang.
  3. Berangkat menuju Mina sebelum matahari terbit dengan penuh ketenangan sambil bertalbiyah/ bertakbir.
  4. Ketika tiba di lembah Muhasir, langkah dipercepat bila memungkinkan.
  5. Menyiapkan batu untuk melempar jumroh yang diambil dari Muzdalifah atau dari Mina.
  6. Melempar jumroh ‘aqobah dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada setiap lemparan.
  7. Setelah melempar jumroh 'Aqobah berhenti bertalbiyah.
  8. Bagi yang berhaji tamattu’ dan qiran, menyembelih hadyu setelah itu. Yang tidak mampu menyembelih hadyu, maka diwajibkan berpuasa selama 10 hari: 3 hari pada masa haji dan 7 hari setelah kembali ke kampung halaman. Puasa pada tiga hari saat masa haji boleh dilakukan pada hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
  9. Mencukur rambut atau memendekkannya. Namun mencukur (gundul) itu lebih utama. Bagi wanita, cukup menggunting rambutnya sepanjang satu ruas jari.
  10. Jika telah melempar jumroh dan mencukur rambut, maka berarti telah tahallul awwal. Ketika itu, halal segala larangan ihram kecuali yang berkaitan dengan wanita. Setelah tahallul awwal boleh memakai pakaian bebas.
  11. Menuju Makkah dan melaksakan thawaf ifadhoh.
  12. Melaksanakan sa’i haji antara Shafa dan Marwah bagi haji tamattu’ dan bagi haji qiron dan ifrod yang belum melaksanakan sa’i haji. Namun jika sa’i haji telah dilaksanakan setelah thawaf qudum, maka tidak perlu lagi melakukan sa’i setelah thawaf ifadhoh.
  13. Dengan selesai thawaf ifadhoh berarti telah bertahallul secara sempurna (tahalluts tsani) dan dibolehkan melaksanakan segala larangan ihram termasuk jima’ (hubungan intim dengan istri).
Tanggal 11 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)
  1. Mabit di Mina pada sebagian besar malam.
  2. Menjaga shalat lima waktu dengan diqashar (bagi shalat yang empat raka’at) dan dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak).
  3. Memperbanyak takbir pada setiap kondisi dan waktu.
  4. Melempar jumroh yang tiga setelah matahari tergelincir, mulai dari jumroh ula (shugro), jumroh wustho, dan jumroh kubro (aqobah).
  5. Melempar setiap jumroh dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada setiap lemparan.
  6. Termasuk yang disunnahkan ketika melempar adalah menjadikan posisi Makkah berada di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan.
  7. Setelah melempar jumroh ula dan wustho disunnahkan untuk berdoa dengan menghadap ke arah kiblat. Namun, setelah melempar jumroh aqobah tidak disunnahkan untuk berdo’a.
  8. Mabit di Mina.
Tanggal 12 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)
  1. Melakukan amalan seperti hari ke-11.
  2. Jika selesai melempar ketiga jumroh lalu ingin pulang ke negerinya, maka dibolehkan, namun harus keluar Mina sebelum matahari tenggelam. Kemudian setelah itu melakukan thawaf wada’. Keluar dari Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah disebut nafar awwal.
  3. Bagi yang ingin menetap sampai tanggal 13 Dzulhijjah, berarti di malamnya ia melakukan mabit seperti hari sebelumnya.
Tanggal 13 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)
  1. Melakukan amalan seperti hari ke-11 dan ke-12.
  2. Setelah melempar jumroh sesudah matahari tergelincir, kemudian bertolak meninggalkan Mina. Ini dinamakan nafar tsani.
  3. Jika hendak kembali ke negeri asal, maka lakukanlah thawaf wada’ untuk meninggalkan Baitullah. Bagi wanita haidh dan nifas, mereka diberi keringanan tidak melakukan thawaf wada’. Thawaf wada’ adalah manasik terakhir setelah manasik lainnya selesai. (Sebagian besar diambil dari Meneladani Manasik Haji dan Umrah, 131-144)
Bersambung Fikih Haji 8

Sumber Artikel www.muslim.co.id




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik Haji - Fikih Haji 6 Tentang Miqot

Written By sumatrars on Selasa, 02 Oktober 2012 | Oktober 02, 2012

Fikih Haji (6): Tentang Miqot

MIQOT

  1. Miqot zamaniyah yaitu bulan-bulan haji, mulai dari bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah.
  2. Miqot makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umroh. Ada lima tempat: (1) Dzulhulaifah (Bir ‘Ali), miqot penduduk Madinah  (2) Al Juhfah, miqot penduduk Syam, (3) Qornul Manazil (As Sailul Kabiir), miqot penduduk Najed, (4) Yalamlam (As Sa’diyah), miqot penduduk Yaman, (5) Dzat ‘Irqin (Adh Dhoribah), miqot pendudk Irak. Itulah miqot bagi penduduk daerah tersebut dan yang melewati miqot itu.
Catatan :
  1. Penduduk Makkah yang ingin berihram haji atau umrah, maka hendaklah ia ke tanah halal, yaitu di luar tanah haram dari arah mana saja.
  2. Tidak boleh bagi seseorang yang berhaji atau berumroh melewati miqot tanpa ihram. Jika melewatinya tanpa ihram, maka wajib kembali ke miqot untuk berihram. Jika tidak kembali, maka wajib baginya menunaikan dam (fidyah), namun haji dan umrahnya sah. Jika ia berihram sebelum miqot, maka haji dan umrahnya sah, namun dinilai makruh.
Miqot dari Jeddah

Sebagian jama’ah haji dari negeri kita, meyakini bahwa Jeddah adalah tempat awal ihram. Mereka belumlah berniat ihram ketika di pesawat saat melewati miqot. Padahal Jeddah sudah ada sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
, namun beliau tidak menetapkannya sebagai miqot. Inilah pendapat mayoritas ulama yang menganggap Jeddah bukanlah miqot.  Ditambah lagi jika dari Indonesia yang berada di timur Saudi Arabia, berarti akan melewati miqot terlebih dahulu sebelum masuk Jeddah, bisa jadi mereka melewati Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau Yalamlam. Dalil penguat bahwa yang melewati daerah miqot, maka harus berihram dari tempat tersebut dan tidak boleh melampauinya adalah hadits,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181) (Lihat An Nawazil fil Hajj, 116-138 dan bahasan dorar.net

Bersambung ke Artikel FIKIH HAJI 7

Sumber Artike : www.muslim.or.id


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik haji - Fikih Haji 5


Fikih Haji (5): Larangan Ketika Ihram

by Muhammad Abduh Tuasikal
LARANGAN KETIKA IHRAM
Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau
berumroh, maka wajib baginya menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan.
Yang dilarang bagi orang yang berihram adalah sebagai berikut:
  1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, 
    bulu kemaluan, kumis dan jenggot).
  2. Menggunting kuku.
  3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat 
    laki-laki yang bukan mahrom di hadapannya.
  4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi 
    laki-laki seperti baju, celana dan sepatu.
  5. Menggunakan harum-haruman.
  6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam 
    larangan adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam),
    (2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan
    buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4) hewan yang
    diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing),
    (5) hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)
  7. Melakukan khitbah dan akad nikah.
  8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum 
    melempar jumroh Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah
    tersebut wajib disempurnakan dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta
    untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci. Apabila tidak mampu,
    maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan
    tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah
    tahallul awwal, maka ibadah hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib
    keluar ke tanah halal dan berihram kembali lalu melakukan thowaf ifadhoh
    lagi karena ia telah membatalkan ihramnya dan wajib memperbaharuinya.
    Dan  ia wajib menyembelih seekor kambing.
  9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib 
    menyembelih seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih
    seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul
    Fiqh, 358-359).
Tiga keadaan seseorang melakukan larangan ihram
  1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan 
    tidak ada fidyah.
  2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan 
    mendesak, maka ia dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur
    rambut (baik rambut kepala atau ketiaknya), atau ingin mengenakan
    pakaian berjahit karena mungkin ada penyakit dan faktor pendorong
    lainnya.
  3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada 
    kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa
    sehingga wajib bertaubat dengan taubat yang nashuhah (tulus).
Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan
  1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.
  2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul 
    awwal, ditambah ibadah hajinya tidak sah.
  3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. 
    Caranya adalah ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan
    kepada orang miskin di tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan
    harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan setiap orang  miskin
    dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan
    jumlah mud makanan yang harus ia beli.
  4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1]  
    berpuasa tiga hari, [2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap
    orang miskin diberi 1 mud dariburr (gandum)
    atau beras, [3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)
Catatan:
  1. Jika wanita yang berniat tamattu’ mengalami haidh sebelum thowaf dan 
    takut luput dari amalan haji, maka ia berihram dan  meniatkannya menjadi
    qiron. Wanita haidh dan nifas melakukan seluruh manasik selain thowaf di
    Ka’bah.
  2. Wanita adalah seperti laki-laki dalam hal larangan-larangan saat ihram 
    kecuali dalam beberapa keadaan: (1) mengenakan pakaian berjahit, wanita
    tetap boleh mengenakannya selama tidak bertabarruj (memamerkan
    kecantikan dirinya), (2) menutup kepala, (3) tidak menutup wajah kecuali
    jika terdapat laki-laki non mahram.
  3. Orang yang berihram maupun tidak berihram diharamkan memotong pepohonan 
    dan rerumputan yang ada di tanah haram. Hal ini serupa dengan memburu
    hewan, jika dilakukan, maka ada fidyah. Begitu pula dilarang membunuh
    hewan buruan dan menebang pepohonan di Madinah, namun tidak ada fidyah
    jika melanggar hal itu.
Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram
  1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini 
    disepakati oleh para ulama.
  2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan 
    mengkonsumsinya seperti buah-buahan yang dimakan atau digunakan sebagai
    obat. Hal ini juga disepakati oleh para ulama.
  3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman) 
    dan memang digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur
    barus, minyak ambar, dan za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika
    berihram.
  4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan 
    untuk maksud lain, maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj,
    198).
Hal-hal yang dibolehkan ketika ihram
  1. Mandi dengan air dan sabun yang tidak berbau harum.
  2. Mencuci pakaian ihram dan mengganti dengan lainnya.
  3. Mengikat izar (pakaian 
    bawah atau sarung ihram).
  4. Berbekam.
  5. Menutupi badan dengan pakaian berjahit asal tidak dipakai.
  6. Menyembelih hewan ternak (bukan hewan buruan).
  7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya 
    selama bukan maksud digunakan untuk parfum.
  8. Memakai kacamata.
  9. Berdagang.
  10. Menyisir rambut.
Tahallul
Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1)
tahallul awwal (tahallul shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).
Tahallul awwal ketika
telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), (2)
mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah
boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi),
memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang
berkaitan dengan istri.
Tahalluts tsani ditambah
dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun). Ketika telah
tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk
jima’ (hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).

Bersambung Fikih haji 6


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik haji Fikih Haji 4 Wajib Haji



Fikih Haji (4): Wajib Haji

by Muhammad Abduh Tuasikal
WAJIB HAJ
Ada beberapa wajib haji:

  1. Ihram dari miqot.

  2. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.

  3. Mabit di malam hari nahr (malam
    10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.

  4. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.

  5. Melempar jumroh secara berurutan.

  6. Mencukur habis atau memendekkan rambut.

  7. Thowaf wada’.
Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.
Wajib pertama: Ihram dari miqot.
Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam 
menetapkan
tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ،
حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri
tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut
jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di
dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk
Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah
.” (HR. Bukhari no. 1524 dan
Muslim no. 1181)
Wajib kedua: Wukuf di Arafah
hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.
Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu
Maghrib.
Wajib ketiga: Mabit di
Muzdalifah
Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam 
melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan
berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ
Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'aril haram (Muzdalifah)
” (QS. Al Baqarah: 198).
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لَيْلَةَ
الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.
” (HR.
Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur,
maka ada kewajiban dam.
Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam
Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dambagi
yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di
sana adalah wajib.  Dam di
sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun
yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam
10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di
Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang
disepakati ulama Syafi’iyah.”
Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga  tidak
ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena
adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan
Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia
bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat
An Nawazil fil Hajj, 416-417).
Wajib keempat: Melempar Jumroh
Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10
Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau
13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang
berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya
.” (QS. Al Baqarah:
203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika
melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah
saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan
pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari
jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai
setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
Wajib kelima: Mabit di Mina pada
Hari-Hari Tasyriq
Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
 bermalam (mabit)
di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq
(ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit
adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau
dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
Wajib keenam: Mencukur atau
Memendekkah Rambut
Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam 
memerintahkan
hal ini dalam sabdanya,
وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ
Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691
dan Muslim no. 1227)
Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang
berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut
di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan
rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah
menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath:
27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan
menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir).
Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10
Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan
seperti itu akan terkena dam (Ar
Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut,
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq(mencukur)
atau qoshr (memendekkan)
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’
Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak
ada romldi dalamnya (Fiqih
Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam 
memerintahkan
hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma
, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam 
bersabda,
لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ
Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari
ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah
” (HR. Muslim no. 1327).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma
 juga berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ
خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan
thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh
.”(HR. Muslim
no. 1328).
Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah,
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa
mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu
thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika
dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa
Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini
adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri.
Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai,
sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum
menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’
Islam Web, fatwa no. 58685).
Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak
ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).

Bersambung
Fikih haji 5

Sumber
Artikel www.muslim.or.id





Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manasik Haji - Fikih Haji 3: Rukun Haji


RUKUN HAJI
  1. Ihram
  2. Thowaf ifadhoh
  3. Sa’i
  4. Wukuf di Arafah
Jika salah satu dari rukun ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Wajib ihram mencakup:
  1. Ihram dari miqot.
  2. Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak mendapati khuf).
    Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup wajah) dan sarung tangan.
  3. Bertalbiyah.
Sunnah ihram:
  1. Mandi.
  2. Memakai wewangian di badan.
  3. Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
  4. Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan
    wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah.
  5. Berniat ihram setelah shalat.
  6. Memperbanyak bacaan talbiyah.
Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika
telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.
Lafazh talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”. (Aku
menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab
panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu,  aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki
disunnahkan mengeraskan suara.


Rukun kedua: Wukuf di Arafah

Wukuf di Arafah adalah rukun haji
yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di
Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari
rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji
pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,

الْحَجُّ
عَرَفَةُ
Haji adalah wukuf di Arafah.
(HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no.
3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih
).

Yang dimaksud wukuf adalah hadir
dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring
atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak
suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1:
494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai
dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah
(9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk
waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut,
wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).

Jika seseorang wukuf di waktu mana
saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari,
maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam.
Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan
apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di
Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).

Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke
Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol
(lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)


Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)

Thowaf adalah mengitari Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,


وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Dan hendaklah mereka
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah)
.” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat-syarat thowaf:
  1. Berniat ketika melakukan
    thowaf.
  2. Suci dari hadats (menurut
    pendapat mayoritas ulama).
  3. Menutup aurat karena thowaf
    itu seperti shalat.
  4. Thowaf dilakukan di dalam
    masjid walau jauh dari Ka’bah.
  5. Ka’bah berada di sebelah kiri
    orang yang berthowaf.
  6. Thowaf dilakukan sebanyak
    tujuh kali putaran.
  7. Thowaf dilakukan
    berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
  8. Memulai thowaf dari Hajar
    Aswad.
Sunnah-sunnah ketika
thowaf, yaitu:

  1. Ketika memulai putaran
    pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar.
    Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika,
    wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati
    nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
    Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar
    Aswad bertakbir “Allahu akbar”.
  2. Menghadap Hajar Aswad ketika
    memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil
    bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad.
  3. Memulai thowaf dari dekat
    dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai
    thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya
    dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib.
  4. Istilam (mengusap)
    dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan
    pada setiap putaran. Cara istilam adalah
    meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan
    mulut pada tangannya dan menciumnya.
  5. Roml, yaitu berjalan
    cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini
    disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan.
    Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau
    thowaf umroh pada tiga putaran pertama.
  6. Idh-tibaa’, yaitu
    membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada
    thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan
    dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan.
  7. Istilam (mengusap)
    rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan
    tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar
    Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk
    diusap.
  8. Berdo’a di antara Hajar Aswad
    dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia
    berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua
    rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil
    aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb
    kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia
    dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab
    neraka).
    ” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al
    Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
  9. Berjalan mendekati Ka’bah
    bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi
    perempuan.
  10. Menjaga pandangan dari
    berbagai hal yang melalaikan.
  11. Berdzikir dan berdo’a secara
    siir (lirih).
  12. Membaca Al Qur’an ketika
    thowaf tanpa mengeraskan suara.
  13. Beriltizam pada Multazam. Ini
    dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu
    ‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan
    cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan,
    kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan
    membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam
    rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut
    yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat
    terkabulnya do’a berdasarkan
    hadits
    yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As
    Sadlan (Taisirul
    Fiqih,
    347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah
    selesai thowaf dan multazam terletak  antara pintu
    Ka’bah dan Hajar Aswad.”
  14. Melaksanakan shalat dua
    raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim.
    Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at
    pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan
    rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas.
    Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi
    dalam keadaan idh-tibaa’.
  15. Minum air zam-zam dan
    menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan
    shalat
    dua raka’at sesudah thowaf.
  16. Kembali mengusap Hajar Aswad
    sebelum menuju ke tempat sa’i.
Catatan:

  1. Ulama Syafi’iyah berkata,
    “Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf
    qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka
    idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam
    thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i (haji)
    diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan
    melakukan idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih
    Sunnah, 1: 480).
  2. Tidak ada bacaan dzikir atau
    do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf.
    Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak
    ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering
    memberatkan.

Rukun keempat: Sa’i

Sa’i adalah berjalan antara Shofa
dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,

اسْعَوْا
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
Lakukanlah sa’i karena Allah
mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.
” (HR.
Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits tersebut
hasan).

Syarat sa’i:
  1. Niat.
  2. Berurutan antara thowaf, lalu
    sa’i.
  3. Dilakukan berturut-turut
    antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu
    sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi
    jika benar-benar butuh.
  4. Menyempurnakan hingga tujuh
    kali putaran.
  5. Dilakukan setelah melakukan
    thowaf yang shahih.
Sunnah-sunnah
sa’i:

  1. Ketika mendekati Shofa,
    mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min
    sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.”
  2. Berhenti sejenak di antara
    Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu
    mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
    akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
    lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in
    qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah
    wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.”
     Ketika
    di Marwah melakukan hal yang sama.
  3. Berlari kencang antara dua
    lampu hijau bagi laki-laki yang mampu.
  4. Berdo’a dengan do’a apa saja
    di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a,
    dzikir
    atau bacaan tertentu.
  5. Berturut-turut sa’i dilakukan
    setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu
    yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.
Bersambung Klik:
Fikih Haji 4
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal

Sumber Artikel Oleh : www.muslim.or.id



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger