Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Perbaiki Tauhid

Written By sumatrars on Rabu, 15 Agustus 2012 | Agustus 15, 2012

Memperbaiki tauhid pada diri kita itu sangatlah penting. Syaikh Abdul Malik Ramadhanihafizhahullah berkata, “Sesungguhnya memperbaiki tauhid bagi agama -seseorang- seperti kedudukan perbaikan jantung bagi badan.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak/sakit maka sakitlah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu)

Oleh sebab itu mendakwahkan tauhid merupakan program yang sangat mulia. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah laa ilaaha illallaah, sedangkan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.”(HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Jati diri seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas tauhidnya. Karena tauhid dalam jiwanya laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullahberkata“Tauhid ini memiliki kedudukan penting laksana pondasi bagi suatu bangunan.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Manakah yang lebih baik; orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, ataukah orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh dan ia pun akan runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Hal itu dikarenakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum munafikin yang membangun masjid untuk sholat padanya. Akan tetapi tatkala mereka tidak membarengi amalan yang agung dan utama ini -yaitu membangun masjid- dengan keikhlasan yang tertanam di dalam hatinya, maka amalan itu sama sekali tidak memberikan manfaat bagi mereka. Bahkan, justru amalan itu yang akan menjerumuskan mereka jatuh ke dalam Jahannam, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat tersebut.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar,hal. 13)

Tauhid ibarat sebatang pohon. Cabang-cabangnya adalah amalan. Adapun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan tiada tara di akhirat. Demikian pula syirik, dusta dan riya’ seperti sebatang pohon, yang buah-buahnya di dunia adalah cekaman rasa takut, kekhawatiran, sempit dada, dan gelapnya hati. Dan di akhirat nanti pohon yang jelek itu akan membuahkan siksaan dan penyesalan (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan suatu kalimat yang baik seperti pohon yang indah, pokoknya tertanam kuat -di dalam tanah- sedangkan cabangnya menjulang ke langit.” (QS. Ibrahim: 24). Yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ di dalam ayat ini adalah syahadat laa ilaaha illallaah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 425)

Saudara-saudaraku, sangat banyak ayat maupun hadits yang menerangkan tentang keutamaan memperbaiki dan mendakwahkan tauhid ini. Tidak sanggup rasanya lisan dan tangan ini untuk menggambarkan betapa agungnya dakwah tauhid ini. Bagaimana tidak? Sementara inilah hak Allah Rabb penguasa alam semesta dan intisari dakwah para Rasul ‘alaihimush sholatu was salam!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, agama yang murni adalah milik Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Rabb seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya; Tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr: 19)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allah. Ketahuilah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tentram.”(QS. ar-Ra’d: 28)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan ikhlas dari dalam hatinya.”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah laa ilaha illallaah niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud dari Mu’adz bin Jabalradhiyallahu’anhu)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya seluruh seruan yang ditegakkan dengan klaim ishlah/perbaikan sedangkan ia tidak memiliki pusat perhatian dalam masalah tauhid, tidak pula berangkat dari sana, niscaya dakwah semacam itu akan tertimpa penyimpangan sebanding dengan jauhnya mereka dari pokok yang agung ini. Seperti halnya orang-orang yang menghabiskan umur mereka dalam upaya memperbaiki hubungan antara sesama makhluk semata, akan tetapi hubungan mereka terhadap al-Khaliq -yaitu aqidah mereka- sangat menyelisihi petunjuk salafus shalih.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 17)

Maka tidaklah berlebihan jika kita katakan, “Di mana pun bumi dipijak, maka di situlah dakwah tauhid harus ditegakkan!”. Kebahagiaan seperti apakah yang anda idamkan, kejayaan macam apakah yang anda impikan, apabila semangat dakwah tauhid sama sekali tidak bergejolak di dalam hati anda?!

Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bedah Buku

Tabligh Akbar & Bedah Buku “Membongkar Koleksi Dusta Idahram” oleh Ustadz Firanda Andirja (Jakarta Utara, 15 Juli 2012)

Tabligh Akbar & Bedah Buku

“Membongkar Koleksi Dusta Idahram”

(Jawaban Terhadap Buku Karya Syaikh Idahram)

Pemateri: Ustadz Firanda Andirja, MA
(Mahasiswa S3 Aqidah Universitas Islam Madinah, Da’i di Saudi Arabia, Pengisi Tetap di Radio Rodja)

Waktu dan Tempat:
Ahad, 15 Juli 2012
Pukul 09.00 – 12:00WIB
Bertempat Di Masjid Astra, Jl. Gaya Motor Raya No. 3, Sunter II – Jakarta Utara

Informasi:
081381289665
083870069950
021-51267102
*Gratis & terbuka untuk umum
Penyelenggara:
Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) Kota Administrasi Jakarta Utara
Bekerjasama dengan:
DKM Masjid Astra, Rodja TV, Radio Rodja 756AM & Radio Muslim Yogyakarta 107,8FM
Kajian ini Insya Allah akan disiarkan langsung oleh Rodja TV, Radio Rodja 756AM & Live streaming di www.radiomuslim.com

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Panduan Zakat

Panduan Zakat (15): Salah Paham dengan Amil Zakat

Golongan ketiga: amil zakat
Amil zakat tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ

“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[1]

Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan  pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[2]

Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[3]

‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[4]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat[5] untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[6]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula, “Orang yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya, ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas. Jika harta zakat itu rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur kewajibannya.”[7]

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.

Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.

Berapa besar zakat yang diberikan kepada ‘amil? Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Ia diberikan sebagaimana upah hasil kerja kerasnya.”[8]

-bersambung insya Allah-


Sumber Artikel oleh Muslim.Or.Id

[1] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 319-320.
[3] Fiqh Sunnah, 1: 353.
[4] Tamamul Minnah, 2: 290.
[5] Ini seperti keadaan badan atau lembaga zakat atau takmir masjid di negeri kita yang sebenarnya status mereka adalah sebagai wakil dan bukan amil zakat.
[6] Majalis Syahri Ramadhan, hal 163-164.
[7] Syarhul Mumti’, 6: 224-225.
[8] Syarhul Mumti’, 6: 226.
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385)
Dalam lafadz yang lain:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238)
Derajat Hadits
At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).
Faidah Hadits
Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.
Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)
Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)
Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:
النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس
An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)
Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).
Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:
«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:
Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan. Segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.
Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.
Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر
Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’
Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.
Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)
Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa
Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)
Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?
Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.
Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.
Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.
Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits
إنما الطاعة في المعروف
Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan
dan hadits:
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah
Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)

Penulis: Yulian Purnama
Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tadabbur Al-Qur’an

Tadabbur Al-Qur’an

Alhamdulillah, demikianlah lisan kita memuji Allah yang telah memudahkan kita berjumpa dengan bulan yang mulia dan penuh barakah. Tak terasa bulan puasa (shiyaamsedang kita jalani dengan ketaatan kepada Allah. Bulan Ramadhan juga bulan diturunkannya al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah (yang artinya) :

Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah/2: 185)

Juga firman-Nya (yang artinya) :
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (QS. al-Qadar/97 :1)
Sehingga pantaslah bila disebut sebagai bulan al-Qur’an.

Tidak diragukan lagi al-Qur`an adalah cahaya petunjuk dan ruh kehidupan seorang muslim. Orang yang tidak membaca al-Qur`an dan mengamalkannya maka ia telah menjadi mayat sebelum wafatnya. Mati walaupun masih berbicara, beraktifitas dan bepergian. Allah berfirman (yang artinya) :
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am/6:122)

Bagaimana tidak demikian, seorang mukmin memandang kehidupannya tanpa al-Qur`an seperti kehidupan tanpa air dan udara.

Al-Qur`an obat bagi tubuh dan jiwa seorang mukmin
Seorang muslim yang membaca al-Qur`an dengan benar akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman memenuhi hati dan seluruh anggota tubuhnya. Kemudian jiwanya siap menghadapi semua peristiwa dan kejadian yang menimpanya sambil mengucapkan firman Allah (yang artinya) :

Katakanlah: ”Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah/9:51)

Dengan itu jiwa dapat menghadapi dan menghilangkan was-was dan semua perasaan yang menghantuinya . Memang tidak dapat dipungkiri manusia lebih banyak dihantui was-was dan perasaannya yang belum pasti terjadi. Mereka takut bila berbuat kebaikan akan menimpanya musibah ini dan itu, padahal itu hanyalah perasaan dan was-was yang ditembakkan syeitan kehati manusia. Dalam hal ini al-Qur`an menjadi obat penawar dari hal-hal ini. Lihatlah firman Allah (yang artinya) :

(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ”Sesungguhnya manusia  telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ”Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”.

Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman“. (QS Al Imran/3: 173-175)

Kita dan al-Qur`an
Sudah demikian jelasnya kedudukan al-Qur`an namun masih banyak dari kita yang meninggalkannya. Tidak pernah membacanya apalagi merenungkan dan men-taddabburi-nya.
Fenomena ini muncul didalam kehidupan kaum muslimin umumnya, kecuali dibulan Ramadhan. Kita lihat banyak kaum muslimin yang mengkhatamkan al-Qur`an dibulan ini. Ini satu hal yang membanggakan namun sayang hanya sekedar meng-khatam-kannya saja tanpa ada perubahan dalam dirinya. Tidak ada bedanya sebelum dan sesudah menkhatamkannya dan tidak faham sedikitpun apa yang dibacanya.

Tadabbur al-Qur`an
Sebenarnya tidak ada yang lebih bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat seorang hamba dan lebih mendekatkannya kepada kebahagian dan keselamatan dari tadabbur al-Qur`an  dan merenungkan isi kandungannya. Seorang yang membaca al-Qur`an dengan tadabbur akan melihat kebaikan dan keburukan serta nasib para pelakunya:
  • Ia melihat tenggelamnya kaum nabi Nuh
  • Ia mengetahui sambaran halilintar terhadap kaum ‘Ad dan Tsamud
  • Ia mengerti tenggelamnya Fir’aun dan terpendamnya Qarun dan hartanya.
Dengan tadabbur al-Qur`an inilah seorang muslim hidup bersama akherat seakan-akan ia berada disana dan hilang darinya dunia hingga seakan-akan ia telahkeluar meninggalkannya. Hingga akhirnya mendapatkan hati seperti dijelaskan dalam firman Allah (yang artinya) :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (QS Al-Anfaal/8: 2)

Marilah kita dekatkan diri kita kepada al-Qur`an dengan membacanya dan mentadabburinya, semoga dibulan Ramadhan bulan Al-Qur`an ini kita dapat menggapainya.
Wabillahit taufiq


Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama : Aurat Wanita Di Depan Mahram Dan Wanita Lain

Kategori : Fiqh dan Muamalah

Pertanyaan:

Apa batas aurat wanita di depan wanita lain atau di depan lelaki yang menjadi mahram-nya?

Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah* menjawab:
Telah tersebar anggapan di masyarakat bahwa aurat wanita di depan wanita lain atau di depan lelaki yang menjadi mahram-nya adalah antara pusar sampai lutut. Ini adalah sebuah kesalahan.
dan seterusnya Allah Ta’ala menyebutkan orang-orang yang termasuk mahram.
 



Yang benar adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam surat An Nuur:

ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن

Dan seorang mukminah tidak boleh memperlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An Nuur: 31)


Oleh karena itu yang diperbolehkan adalah memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan. Sedangkan bagian tubuh yang bukan tempat perhiasan tidak diperbolehkan memperlihatkannya kepada orang lain kecuali suaminya. Hal ini berdasarkan keumuman hadits:

المرأة عورة

Wanita adalah aurat

Misalnya rambut, ia adalah tempat perhiasan, maka boleh ditampakkannya (kepada wanita dan mahramnya). Begitu juga leher dan dada bagian atas adalah tempat perhiasan, maka maka boleh ditampakkannya. Demikian juga telapak tangan, dan betis serta betis yang biasa diberi khul-khul (gelang kaki), maka boleh ditampakkan.

Sedangkan menampakkan paha, dada, punggung atau semisalnya di depan wanita lain atau lelaki mahram, adalah perkara yang diharamkan. Demikian juga tidak diperbolehkan memakai pakaian yang masih menampakkan aurat, semisal celana panjang yang ketat atau pakaian yang tipis, di depan lelaki mahram.
Sebaiknya wanita muslimah di depan lelaki mahram menggunakan pakaian sebagaimana yang digunakan ketika beraktifitas di dalam rumahnya, semisal gaun wanita yang panjangnya melebihi lutut, atau memakai celana panjang dengan gamis di atasnya, sehingga mengesankan lututnya bersambung, atau pakaian semacam itu.

Jika seorang muslimah hendak menyusui anaknya, maka hendaknya ia menutup dadanya dengan kain penutup dan jangan menampakkannya di depan ayahnya atau saudara lelakinya. Inilah rasa malu yang wajib dimiliki oleh setiap wanita dan dijaga baik-baik.

(Fatawa Syaikh Mayshur Hasan Salman, fatwa no.71, Asy Syamilah)
*) Beliau adalah seorang ulama di masa ini yang berasal dari negeri Palestina, dan merupakan salah seorang murid dari Asy Syaikh Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. Beliau dikenal sebagai seorang muhaqqiq (peneliti), pakar hadits dan pakar fiqih.



Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

13 Akhlak Utama Salafus Shalih

13 Akhlak Utama Salafus Shalih

Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bagaimanakah berakhlaq yang mulia.

Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih)

Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?

Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagaiushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:

[Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar]

Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

[Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’alaberfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

[Ketiga: Sabar ketika berdakwah]
Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

[Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih]
Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.

[Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)

[Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah.

[Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya]
Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)

[Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,

أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)

[Kesembilan: Tegar menghadapi ujian]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)

[Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah]
Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742)

[Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’alamelarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).

Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada.

[Keduabelas: Tidak kufur nikmat]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)

[Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia]
Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Referensi
Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu Khuzaimah.
Panggang-GK, 2 Jumadits Tsani 1431 H (15/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hakikat Ilmu

Kategori : Akhlaq dan Nasehat
 Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Baru saja para orang tua disibukkan oleh agenda “mencarikan sekolah” untuk putra-putrinya yang akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sungguh melelahkan dan menegangkan, apalagi bagi anak yang nilainya pas-pasan. Sang Bapak dan Anak harus kesana-kemari sambil mencari informasi setiap harinya.

Tidak hanya satu formulir yang diambilnya, sebagai alternatif bila sekolah pilihan pertama tidak dapat diraih. Fenomena ini terjadi setiap tahun, termasuk oleh sebagian besar kaum muslimin. Banyak pendaftar yang diterima dan akan berhadapan dengan biaya sekolah yang cukup besar. Namun ada juga yang tidak diterima sehingga harus memutar haluan hidup. Secara umum, hanya ada satu motivasi yang terbersit di hati mereka, yaitu : anakku harus menjadi orang sukses!

Sukses yang hakiki adalah berhasil menjalani hidup ini untuk mendapatkan syurga-Nya. Berapa banyak orang tua memandang bahwa kesuksean itu adalah dengan nilai duniawi. Lihatlah hadits di atas, bagaimana nilai dunia ‘tidak lebih berharga dari sayap seekor nyamuk!!’. Hingga tujuan mereka menyekolahkan anak-anaknya ialah agar mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Mereka lupa akan tujuan menuntut ilmu ialah harus ikhlas karena Allah dan agar generasi kita tidak berada dalam kebodohan. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Mereka lupa bahwa Islam sebagai agama paripurna telah memberikan perhatian yang besar terhadap kesuksesan, yaitu dengan ilmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Menuntut ilmu itu wajib (hukumnya) atas setiap muslim” (Shahihul Jami’ 3913)

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah menuntut ilmu syar’i. Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
Namun ketahuilah kaum muslimin yang semoga Allah rahmati, bahwa Islam membagi ilmu berdasarkan hukumnya sebagai berikut:

Pertama: Ilmu Dien, yang terbagi menjadi:
  1. Ilmu dien yang hukumnya Fardlu ‘Ain (wajib dimiliki oleh setiap orang), yaitu: Ilmu tentang akidah berupa rukun iman yang enam, dan ibadah, seperti thoharoh, sholat, shiyam, zakat, dan ibadah wajib lainnya.
  2. Ilmu dien yang hukumnya Fardlu Kifayah (harus ada sebagian orang islam yang menguasai, bila tidak ada maka semua kaum muslimin di tempat itu berdosa), yaitu: ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fara’idh, ilmu bahasa, dan ushul fiqh.
Kedua: Ilmu Duniawi, yaitu segala ilmu yang dengan ilmu tersebut tegaklah segala maslahat dunia dan kehidupan manusia, seperti: ilmu kedokteran, pertanian, ilmu teknik, perdagangan, militer, dan sebagainya. Menurut ‘ulama, hukum ilmu duniawi adalah fardlu kifayah.

Dengan demikian, islam adalah agama ilmu, ilmu kemaslahatan hidup di dunia maupun akhirat. Namun seiring dengan pergeseran tujuan hidup manusia, motivasi menuntut ilmupun mulai bergeser. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia mulai condong kepada ilmu duniawi dan menomor duakan, bahkan melupakan ilmu dien (agama). Entah kekhawatiran apa yang membayangi manusia sehingga mereka lebih mementingkan ilmu dunia dari pada ilmu dien, padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. Ar Rum:7)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah ‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.” (Taisir Karimir Rahman 4/75)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)

Maukah kita disebut bodoh oleh Sang Khaliq…??

Akankah kita bergelimang dalam kebodohan ilmu dien (agama), padahal kebodohan adalah sebuah kejumudan? Lalu, tidakkah kita ingin sukses dan jaya di negeri akhirat nanti? Apa yang menghalangi kita untuk segera meraup ilmu dien (agama), sebagaimana kita berambisi meraup ketinggian ilmu dunia karena tergambar kesuksesan masa depan kita?

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, seorang ‘ulama kontemporer telah mengumpulkan keutamaan ilmu, khususnya ilmu dien untuk mendongkrak motivasi kita yang begitu lemah. Mari kita simak!
  1. Bahwa ilmu dien adalah warisan para Nabi, warisan yang lebih berharga dan lebih mulia dibanding segala warisan. Rasulullah telah bersabda:
    Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya (warisan ilmu), sungguh ia telah mengambil keuntungan yang banyak”. (Shahihul Jami Al Albani : 6297)
  2. Ilmu itu akan kekal sekalipun pemiliknya telah mati, tetapi harta akan berpindah dan berkurang bahkan jadi rebutan bila pemiliknya telah mati. Kita pasti mengetahui Abu Hurairah –semoga Allah meridlainya- seorang yang diberi julukan “gudangnya periwayat hadits”. Dari segi harta, beliau tergolong kaum kaum papa (fuqoro’), hartanya pun telah sirna, tetapi ilmunya tidak pernah sirna. Kita masih tetap membacanya. Inilah buah dari Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam:
    Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
  3. Ilmu, sebanyak apapun tak menyusahkan pemiliknya untuk menyimpan, tak perlu gudang yang luas untuk menyimpannya, cukup disimpan dalam dada dan kepalanya. Ilmu akan mejaga pemiliknya sehingga memberi rasa aman dan nyaman, berbeda dengan harta yang bila semakin banyak, semakin susah menyimpannya, menjaganya, dan pasti membuat gelisah pemiliknya.
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam menggambarkan para pemilik ilmu itu ibarat lembah yang bisa menampung air yang bermanfaat bagi alam sekitar, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Perumpamaan dari petunjuk ilmu yang aku diutus dengannya bagaikan hujan yang menimpa tanah, sebagian di antaranya ada yang baik (subur), yang mampu menampung air dan menumbuhkan tetumbuhan dan rumput-rumputan yang banyak, di antaranya lagi ada sebagian tanah keras yang mampu menahan air yang dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia untuk meminum, mengairi tanaman, dan bercocok tanam…..” (HR. Bukhari & Muslim)
  5. Ilmu adalah jalan menuju surga (jannah), tiada jalan pintas menuju surga kecuali dengan ilmu. Sabdanya shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (HR. Muslim)
  6. Ilmu merupakan pertanda kebaikan seorang hamba. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Siapa yang Allah kehedaki baginya kebaikan, akan dipahamkan baginya masalah dien (agama)” (HR. Bukhari)
Problem terbesar di kalangan ummat ini adalah kebodohan terhadap agamanya. Maka diperlukan usaha nyata untuk memecahkan problem tersebut, yaitu dengan ilmu. Dan ilmu tersebut hanya akan didapat majelis ilmu yang didalam dikatakan “Firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perkataan para sahabat –semoga Allah meridlai mereka semua-”. Tanpa melalaikan ilmu dunia, ilmu agama harus diprioritaskan karena hukum dan manfaatnya jauh lebih tinggi dibanding ilmu duniawi. Hal inilah yang sekarang ini terbalik. Ummat lebih mementingkan ilmu dunia dan cenderung melupakan ilmu dien. Padahal tidak ada obat bagi kebodohan kecuali dengan ilmu. Kebodohan dalam hal apapun! Bahkan ketika di antara kita ada yang mengatakan “kita harus seimbang antara dunia dan akhirat”.

Maka pada hakikatnya perkataan itu hanyalah usaha untuk menutupi kebodohan terhadapa ilmu dien. Bagaimana dikatakan seimbang, dikala dia tidak mengetahui syarat Laa Ilaha Illallah serta pembata-pembatalnya, konsekuensi 2 kalimat syahadat, rukun-rukun shalat, dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Sementara dia mengetahui sekian banyak ilmu dunia, akuntansi, geografi, matematika, kimia dan ilmu yang bersifat duniawi secara mendetail. Bukanlah hal tercela diantara kita mendalami ilmu tersebut, namun yang dicela adalah ketika ilmu-ilmu tersebut mereka kuasai, tapi ilmu dien adalah nol besar jika tidak mau dikatakan minus.

Demikianlah beberapa mutiara ilmu (dien) yang jauh lebih mulia dari harta. Sebenarnya masih banyak keunggulan lainnya yang tidak termuat dalam tulisan sederhana ini. Karena itu mari kita gali ilmu dien secara benar dari sumbernya, yaitu Al-Quran dan As-sunnah melalui pemahaman para salafush shalih (pendahulu yang shalih). Jangan lupakan mutiara berharga dalam hidup ini.

Wallaahu waliyyut-taufiq.

Sumber Artikel Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama yang kelak a...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger