BLOG AL ISLAM
Kontributor
Cari Blog Ini
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
▼
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
Live Traffic
Perkara Duniawi Bukan Patokan Kebaikan
Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015
(Disarikan dari Al Qawa’idul Hisan Al Muta’alliqah bit Tafsiril Qur’an, karya Syaikh As’Sa’di rahimahullah)
Penulis: Yulian Purnama
28 November 2014,
Sebagian kita mungkin masih tertipu dengan kaidah yang menyesatkan, yaitu jika seseorang merasa dalam keadaan hebat, kaya raya, harta melimpah, kedudukan tinggi, itu pertanda bahwa Allah memberinya kebaikan. Dunia itu menipu, dan ini adalah salah satu tipuannya. Dan ternyata Allah Ta’ala dalam Al Qur’an telah banyak mengingatkan kita akan hal ini.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaparkan sebuah kaidah berharga: “Al Qur’an membimbing manusia agar memahami bahwa ukuran kebaikan seorang insan adalah dari iman dan amal shalihnya. Adapun sekedar merasa dalam kebaikan atau dengan berpatokan dengan karunia duniawi yang Allah berikan padanya, atau dengan kedudukannya, semua ini merupakan sifatnya kaum yang menyimpang” (Qawa’idul Hisan, 126).
مَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Saba: 37)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’ara: 88-89).
dan banyak lagi ayat yang menjadikan iman dan amal shalih sebagai ukuran kebaikan di hadapan Allah, dan menafikan harta dan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan.
Di sisi lain, Al Qur’an juga memberikan hikmah yang berharga bahwasanya sikap gemar mengaku-ngaku bahwa ia sudah berada dalam kebaikan tanpa dibuktikan dengan praktek nyata dan juga sikap gemar menjadikan perkara dunia sebagai ukuran kebaikan adalah sikapnya orang-orang yang menyimpang.
فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا
“maka ia (orang kafir) berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat“” (QS. Al Kahfi: 34).
Ia pun berkata:
وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا
“dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”” (QS. Al Kahfi: 36)
Allah Ta’ala berfirman, menceritakan kelakukan kaum Yahudi dan Nasrani:
وَقَالُوا لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“” (QS. Al Baqarah: 111).
Allah menjawab pengakuan mereka tersebut:
لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS. An Nisa: 123).
Pengakuan tetapkan hanya pengakuan, Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada gunanya mengaku-ngaku dan merasa sudah baik, sudah shalih, sudah rajin beribadah, namun yang dilihat oleh Allah adalah amalan kita, bukan pengakuannya. Apakah amalan kita sudah sesuai dengan pengakuan? Apakah amalan kita sudah shalih? Ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya? Inilah yang semestinya menjadi perhatian.
Dan jelaskan bahwa perkara duniawi itu sama sekali bukanlah patokan kebaikan seseorang. Orang yang mendapat kelebihan dalam perkara duniawi, bukan berarti Allah merahmatinya. Dan orang yang diuji dengan kekurangan dalam perkara dunia, bukan berarti Allah memurkainya. Allah Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sama sekali bukanlah demikian!” (QS. Al Fajr: 15-17).
Demikian semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Menafsirkan Al Qur’an dengan Logika
Written By sumatrars on Minggu, 08 Juni 2014 | Juni 08, 2014
Salah satu lagi cara menafsirkan Al Qur’an yang keliru adalah menafsirkan Al Qur’an dengan logika, akal pikiran, tanpa ilmu.
Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).
Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
Masruq berkata,
اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله
“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al Qur’an) karena tafsir adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 16. Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)
Asy Sya’bi mengatakan,
والله ما من آية إلا وقد سألت عنها، ولكنها الرواية عن الله عز وجل
“Demi Allah, tidaklah satu pun melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Idem. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sanadnya shahih).
Ibrahim An Nakho’i berkata,
كان أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه
“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Idem. Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya shahih).
Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar
Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:
- Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Disusun di pagi hari penuh berkah, 16 Rabi’uts Tsani 1435 H di Panggang, Gunungkidul
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel : Rumaysho.Com
Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang)
Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012
Pelajaran dari Surat Al Adiyaat ( Kuda Perang Yang Berlari Kencang).
Tafsir Surat Al Baqarah 185
Written By sumatrars on Selasa, 14 Agustus 2012 | Agustus 14, 2012
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah: 185)
-
Sakitnya ringan dan puasa tidak memberikan banyak pengaruh. Maka haram hukumnya meninggalkan puasa.
-
Sakitnya tidak berat, namun dengan berpuasa akan memberikan kesulitan atau kesusahan. Maka makruh hukumnya berpuasa, dan dianjurkan untuk tidak berpuasa.
-
Sakitnya berat, akan membahayakan dirinya jika puasa. Maka haram hukumnya berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/341)
-
Jika seorang musafir berpuasa atau tidak, tidak jauh berbeda keadaannya. Maka lebih utama berpuasa, walaupun tetap boleh tidak berpuasa. Karena dahulu sebagian sahabat ada yang berpuasa ketika safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau tidak melarangnya. Selain itu dengan berpuasa di bulan Ramadhan, berarti lebih cepat menunaikan kewajiban dari pada ditunda di luar Ramadhan. Selain itu dapat menjalankan puasa bersama banyak orang, dari pada di luar Ramadhan.
- Jika puasa dimungkinkan memberikan kesulitan pada dirinya, maka dianjurkan tidak berpuasa
-
Jika puasa dipastikan memberikan kesulitan besar pada dirinya, maka haram berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/344)
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...