Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Syarah Dzikir Sebelum Tidur (5)

Written By sumatrars on Minggu, 22 Maret 2015 | Maret 22, 2015

Related categories : Syarah,sirah,Dzikir,

Transcribed on: 22 Maret 2015

Ingat Allah, Rasulullah dan Waliyullah

Bismillah Walhamdulillah

Semoga Allah SWT Senantiasa memberi perlindungan dan pertolongan kepada kita semua.

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ خَلَقْتَ نَفْسِيْ وَأَنْتَ تَوَفَّاهَا، لَكَ مَمَاتُهَا وَمَحْيَاهَا، إِنْ أَحْيَيْتَهَا فَاحْفَظْهَا، وَإِنْ أَمَتَّهَا فَاغْفِرْ لَهَا. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ

Ya Allah, sesungguhnya Engkau menciptakan diriku, dan Engkaulah yang akan mematikannya. Mati dan hidupnya hanya milik-Mu. Apabila Engkau menghidupkannya, maka peliharalah ia. Apabila Engkau mematikannya, maka ampunilah ia. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu keselamatan.”[1]

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma.

Ungkapan نَفْسِيْ ‘jiwaku’, dengan kata lain, ruhku.

Ungkapan لَكَ مَمَاتُهَا وَمَحْيَاهَا ‘mati dan hidupnya hanya milik-Mu’, dengan kata lain, di tangan-Mu kekuasaan mematikan dan menghidupkannya. Tak seorang pun selain Engkau mampu untuk itu. Engkau Yang menghidupkan dan Engkau Yang mematikan. Dan Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

Ungkapan إِنْ أَحْيَيْتَهَا ‘apabila Engkau menghidupkannya’, dengan kata lain, jika Engkau biarkan dia tetap hidup; فَاحْفَظْهَا ‘maka peliharalah’ dari segala sesuatu yang membahayakannya dan menjadikannya kasar.

Ungkapan وَإِنْ أَمَتَّهَا ‘apabila Engkau mematikannya’, dengan kata lain, jika Engkau pisahkan dia dari badanku. Karena mematikan ruh adalah ungkapan yang menunjukkan perpisahannya dengan badan.

Ungkapan أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ ‘aku mohon kepada-Mu keselamatan’. الْعَافِيَةَ adalah penjagaan Allah terhadap seorang hamba dari berbagai macam penyakit dan musibah.

Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal. 296-297.

[1] Ditakhrij Muslim, (4/2083), no. 2712; dan Ahmad dengan lafazh darinya (2/79).

Akhiri dengan bacaan Alhamdulillah.

Insya Allah, Postingan ini dapat mengentarkan Kejalan Kebenaran, Amin.

Sources of articles by :  and authors by :  Doandzikir.wordpress.Com

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3

Kembali Keatas

|
07:31:10 PM
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Syarah Dzikir Sebelum Tidur (4)

Doa/Dzikir Sebelum Tidur (4)


19/03/2015

بِاسْمِكَ رَبِّيْ وَضَعْتُ جَنْبِيْ، وَبِكَ أَرْفَعُهُ، فَإِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِيْ فَارْحَمْهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku aku merebahkan tubuhku, dengan menyebut nama-Mu aku angkat tubuhku. Jika Engkau hendak menahan jiwaku (mencabut nyawaku), maka kasihanilah; dan jika Engkau biarkan (hidup), maka jagalah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih.”[1]

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.

Disebutkan di bagian awal hadits:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ عَنْ فِرَاشِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَلْيَنْفُضْهُ بِصَنِفَةِ إِزَارِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ بَعْدُ فَإِذَا اضْطَجَعَ فَلْيَقُلْ…

Jika salah seorang dari kalian bangun dari kasurnya, lalu hendak kembali lagi kepadanya, hendaknya dia mengibasnya dengan ujung kain sarungnya tiga kali, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui apa yang menggantikannya sepeninggalnya. Sedangkan jika berbaring hendaknya mengucapkan…

Ungkapan بِصَنِفَةِ إِزَارِهِ ‘dengan ujung kain sarungnya’, صَنْفَة adalah bagian ujung kain sarung, yaitu setelah ikatan di bagian pinggang. Dikatakan pinggirannya, dengan kata lain, bagian tepinya mana pun. Sedangkan yang dimaksud di sini pokoknya adalah bagian ujung. Sedangkan dalam riwayat yang di dalamnya disebutkan: بِدَا خِلَةِ إِزَارِهِ ‘dengan bagian dalam kain sarungnya’, maka dikatakan, “Beliau tidak memerintahkan kepadanya dengan menggunakan bagian dalam kain sarung melainkan dengan bagian luarnya.” Karena yang demikian lebih jelas dan lebih bagus. Karena orang yang bersarung dia mengambil salah satu ujungnya di bagian kanannya. Sedangkan bagian yang lain di bagian kirinya. Lalu dia mengembalikan yang dipegang dengan tangan kirinya ke badannya. Itulah yang disebut dengan ‘bagian dalam kain sarung’. Sedangkan bagian yang dipegang dengan tangan kanannya dikembalikan pada kain sarung yang langsung bersentuhan dengan badannya. Lalu jika seseorang menuju kasurnya, lalu dia mengendurkan sarungnya, maka dia akan mengendurkan dengan menggunakan tangan kanannya atas bagian luar kain sarungnya sehingga tetaplah bagian dalam yang menggantung. Dengan bagian itulah dia kibaskan.

Ungkapan مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ‘apa yang menggantikannya’, dengan kata lain, apa yang datang kepadanya sepeninggalnya. Yakni, kiranya binatang berbisa mendekat sehingga menjadi berada di atasnya setelah dirinya.

Ungkapan فَإِنْ أَمْسَكْتَ ‘jika Engkau tahan jiwaku’, dengan kata lain, ruhku. Sedangkan yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah ruh karena adanya keterangan atas kata itu. Yakni jika Engkau menahannya di sisi-Mu dengan mematikannya, maka kasihilah dia. Sedangkan jika Engkau melepaskannya kembali ke badanku lagi, maka jagalah dia dari kejahatan syetan dan berbagai kerusakan yang ditimbulkan dunia dengan apa-apa yang dengannya Engkau jaga para hamba-Mu yang shalih.[]

Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal. 294-296.

[1] Al-Bukhari, (11/126), no. 6320; dan Muslim, (4/2084), no. 2714.

Sumber Artikel; Doandzikir.wordpress.com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hadits Palsu: Larangan Melihat Kemaluan Istri

Hadits Palsu Larangan Melihat Kemaluan Istri
Hadits, Farji 

Posted on 20/03/2015 by Ibnu Majjah

Nama eBook: Hadits Palsu Tentang Larangan Melihat Kemaluan Suami/Istri

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA حفظه الله

الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، والصلاة والسلام على إمام المرسلين، نبينامحمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد

Allah Tabaroka wa ta’ala telah menghalalkan hubungan suami istri, hanya saja sebagian manusia melarang melihat kemaluan pasangannya dengan dalil:

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ فَلاَ يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى

Diriwayatkan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istri atau budaknya, maka janganlah dia melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan kebutaan

Bacalah eBook ini yang akan menjelaskan riwayat ini dari segi keabsahan hadits dan fikih haditsnya.

Download :

Download Ms Word

Disalin dari Sumber Artikel;
Penulis Salinan; H.Rachmat.Flimban
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengkompromikan Dua Dalil Lebih Utama

Kaidah Fikih, Dalil, Fikih, Kaidah, Menyikapi, Pertentangan.

18/03/2015 by Ibnu Majjah

Alhamdulillah, kita memuji dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada kita, selanjutnya shalawat dan salam teruntuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, Amma ba’du:

Kaedah Fikih yang kita posting pada kesempatan yang mulia ini adalah:

إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ

Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunyaselamamasihmemungkinkan

Kaidah ini menjelaskan patokan yangharus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.

Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.

Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkinmaka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhirlalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.

Silahkan simak eBook ini lebih lanjut dan temukan contoh penerapannya…

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manhaj, Madrasah Salafus Shalih

Written By sumatrars on Sabtu, 24 Januari 2015 | Januari 24, 2015



Category : Manhaj
Source article: Muslim.Or.Id

Berapa banyak wali murid yang sanggup membayar SPP yang tinggi, namun tak kunjung mendapatkan tingginya iman dan akhlak anak kesayangannya?

Berapa banyak murid yang sekolah di gedung yang besar, namun kerdil jiwa lulusannya?

Berapa banyak sekolah yang berfasilitas mewah semewah hotel, dengan ribuan murid, namun sayangnya semakin megah fisiknya, semakin banyak yang lemah iman, ilmu, dan, amalnya.

Kasus demi kasus melanda, bukan hanya muridnya yang berkasus, namun juga sebagian gurunya pun berkasus! Dari sisi ilmu tidak bisa bersaing, dari sisi amal, akhlaq, dan ibadah memprihatinkan.

Lihatlah Hakikat dan jangan tertipu dengan yang zahir!

Hakikat suatu pendidikan bukan ditentukan berdasarkan banyaknya murid, bukan pula pada megahnya bangunan, dan fasilitas, akan tetapi ditentukan berdasarkan baiknya tujuan dan niat (ikhlas), serta sesuainya bentuk pendidikan itu dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan manhaj salaf (mutaba’ah). Na’am, sarana dan fasilitas fisik memiliki andil besar, namun sifatnya penunjang, bukan yang pertama dan utama.

Memang benar kurikulum pelajaran yang zahir sangat penting. Namun kurikulum khafiy juga tidak bisa disepelekan, keikhlasan guru dan muridnya, semangat, contoh nyata pengamalan sunnah dari guru dan murid seniornya (kakak kelas), pergaulan murid-muridnya, dan lingkungan sekolahnya. Semua itulah hakikatnya. Mengajarkan dan menanamkan “sesuatu” kepada murid-murid tersebut bisa jadi lebih besar pengaruhnya daripada pemahaman, hafalan, pengerjaan soal ujian yang merupakan target kurikulum zahir.

Alangkah indahnya ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah:

“فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر”

“Ciri khas orang yang berakal sehat adalah suka melihat hakekat dan tidak tertipu dengan perkara yang zahir”.

Madrasah Salaf

Lihatlah bagaimana madrasah Salafush Shalih yang walaupun terkadang sedikit muridnya, walaupun sederhana bangunannya, namun karena taufik dari Allah lalu keikhlasan dan mutaba’ah mereka (gigihnya memegang sunnah), tumbuhlah sebuah madrasah yang mubarakah, keluarlah darinya lulusan-lulusan insan-insan yang bertakwa.

Salah satu Imam Ahlus Sunnah dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, Imam Al-Auza’i rahimahullah mengisahkan tentang jumlah orang yang menghadiri majelis guru beliau, Imam Atha’ bin Abi Rabaah rahimahullah (beliau adalah salah seorang imam dari kalangan Tabi’in, murid Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah radiyallahu an hum. Imam Auza’i mengatakan tentang hal itu

مات عطاء بن أبي رباح يوم مات , وهو أرضى أهل الأرض عند الناس , وما كان يشهد مجلسه إلا تسعة أو ثمانية. اهـ

Pada hari meninggalnya Atha’ bin Abi Rabaah rahimahullah, beliau menjadi orang yang paling dicintai di muka bumi di zamannya, padahal dulu ketika hidupnya, pernah didapati “tidaklah ada orang yang menghadiri majelisnya kecuali hanya 9 atau 8 orang saja”.

Orang yang paling dicintai di zamannya, seorang imam besar ternyata pernah didapati yang menghadiri majelisnya hanya sembilan atau delapan orang saja. Padahal dengan taufik Allah, muncullah nama-nama besar dari madrasah beliau yang sederhana itu, semisal Imam Abu Hanifah, Al-Auza’i, dan yang lainnya.

Silsilatudz Dzahab

Ada sebuah kisah yang menarik tentang Imam Nafi’ rahimahullah salah satu dari Imam-Imam Tabi’in dan salah seorang yang disebut-sebut ulama termasuk dari Silsilatudz Dzahab (Rangkaian sanad emas) dan dikatakan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah sebagai sanad yang paling shahih.

قال البخاري رحمه الله : أصح الأسانيد كلها : مالك عن نافع عن ابن عمر

Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Sanad yang paling shahih adalah jika suatu riwayat diriwayatkan dari Malik, Nafi’, dan Ibnu ‘Umar”.

Di antara kebiasaan beliau adalah menyediakan waktu mengajarkan Ilmu ba’da Shalat Subuh sampai terbit matahari, nah Imam Malik rahimahullah yang merupakan murid beliau berkata,

وكان يجلس بعد الصبح في المسجد لا يكاد يأتيه أحد

Pernah suatu saat beliau duduk di Masjid ba’da Shalat Shubuh, namun hampir-hampir tidak ada seorang pun yang mendatangi beliau”.

Orang yang termasuk Silsilatudz Dzahab dan Ashahhul Asaniid ini pernah didapati hampir-hampir tidak ada seorangpun yang mendatangi beliau.

Apakah karena sedikitnya orang yang menghadiri majelis beliau lalu hakikatnya tidak sukses sekolah yang beliau pimpin? Padahal sekolah tersebut, majelis beliau tersebut telah meluluskan alumnus-alumnus besar sekelas Imam Malik dan Imam Al-Hafidz Ayub As-Sikhtiyani.

Cambuk bagi kita

Semua itu sebagai cambuk bagi kita untuk terus mempelajari mengapa dan bagaimana pendidikan mereka bisa sukses dan berusaha keras untuk berbenah diri. Itulah hakikat bermanhaj salaf, senantiasa mencontoh bagaimana Salafus Shalih berilmu dan mengamalkan Islam.

والله أعلم بالصواب.

[Diolah dari ceramah Ustadzunal Fadhil Abdullah Taslim, Lc., MA. dengan penambahan]

Oleh : Ust. Sa’id Abu Ukkasyah

Disalin 10 Januari 2015

Article : Blog Al-Islam


Back to Top



?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fiqih Shalat, Rajin Shalat Namun Masih Bermaksiat



Category : Fiqih, Fiqih Shalat,
Source article: Rumaysho.Com, Muhammad Abduh Tuasikal

Kita tahu bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sayangnya, ada yang rajin shalat, namun di luar itu ia masih berjudi. Kami pun mendapatkan cerita seperti itu. Apakah shalatnya yang bermasalah? Coba kita kaji bersama dengan melihat perkataan ulama-ulama salaf di masa silam.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata beliau,

إِنَّ الصَّلاَةَ لاَ تَنْفَعُ إِلاَّ مَنْ أَطَاعَهَا

Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, hal. 159 dengan sanad shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 13: 298 dengan sanad hasan dari jalur Syaqiq dari Ibnu Mas’ud).

Al Hasan berkata,

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ تَنْهَهُ عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan sanad yang shahih dari jalur Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qotadah dari Al Hasan)

Abul ‘Aliyah pernah berkata,

إِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهَا ثَلاَثُ خِصَالٍ فَكُلُّ صَلاَةٍ لاَ يَكُوْنُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الخَلاَل فَلَيْسَتْ بِصَلاَةٍ: الإِخْلاَصُ، وَالْخَشْيَةُ، وَذِكْرُ اللهِ. فَالإِخْلاَصُ يَأْمُرُهُ بِاْلمعْرُوْفِ، وَالخَشْيَةُ تَنْهَاهُ عَنِ المنْكَرِ، وَذِكْرُ القُرْآنِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ.

Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhohullah berkata, “Siapa yang merutinkan shalat dan mengerjakannya di waktunya, maka ia akan selamat dari kesesatan.” (Bahjatun Nazhirin, 2: 232).

Jika ada yang sampai berbuat kemungkaran, maka shalat pun bisa mencegahnya dari perbuatan tersebut.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحَ سَرِقَ؟ فَقَالَ: “إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا يَقُوْلُ

Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ada seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?” Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia lakukan.” (HR. Ahmad 2: 447, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Nah berarti shalat yang baik adalah shalat yang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inilah shalat yang mesti dibentuk. Jadi kalau ia rajin shalat, malah masih terus melakukan dosa besar, maka shalatnya lah yang mesti diperbaiki. Wallahu a’lam.

Disalin pada, 27 Rajab 1435 H


Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Memberi Selamat Tahun Baru Masehi?

Written By sumatrars on Kamis, 22 Januari 2015 | Januari 22, 2015



Category : Bahasan Utama, Bid'ah, happy new year, Manhaj, tahun baru, tahun baru masehi
Source article: Muslim.Or.Id

Bolehkah Saling Mendoakan Dan Memberi Selamat Tahun Baru Masehi?

Berikut ini adalah pernyataan yang kurang tepat:

Daripada kumpul-kumpul malam tahun baru untuk bakar kembang api dan niup terompet seperti orang Yahudi, mendingan malam tahun baru kita berkumpul buat pengajian dan saling mendoakan

Saya ikut tahun baru sekedar formalitas aja kok, gak enak ama temen, gak niat merayakannya juga, saya sudah tahu hukumnya

Yang benar adalah, jalanilah malam tahun baru sebagaimana malam-malam biasanya. Tidak ada yang spesial di malam tahun baru. Tidak perlu membuat “saingan” berupa kegiatan Islami dalam rangka menyambut tahun baru. Intinya tidak perlu membuat acara khusus dalam rangka menyambut tahun baru masehi. Tidak perlu membuat majelis dzikir atau pengajian dalam rangka tahun baru. Karena jelas tahun baru masehi bukan perayaan kaum Muslimin dan jelas itu adalah perayaan non-muslim serta memiliki sejarah yang terkait dengan agama kuno Romawi.

Sebagaimana dalam buku “The World Book Encyclopedia” vol.14 hal.237 dijelaskan:

Semenjak abad ke 46 SM raja Romawi julius caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun. Orang Romawi mem persembahkan hari 1 Januari kepada janus, dewa segala gerbang pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama janus sendiri,yaitu dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”.

Jelas tahun baru masehi bukanlah bagian dalam Islam dan jangan sampai kita ikut-ikutan menyerupai mereka. Karena jika kita ikut-ikutan menyerupai mereka maka kita bisa dihukumi bagian dari mereka. Tidak perlu menjadikan momen tahun baru untuk ajang saling mendoakan tau membuat majelis “pengajian” khusus untuk menyambutnya. Atau sekedar basa-basa walapun tidak berniat merayakannya.

Berikut pertanyaan yang diajukan kepada syaikh Muhammad Al-Munajjid hafidzahullah:Bolehkah bagi kaum Muslimin saling memberikan ucapan selamat dan mendoakan pada saat momen tahun baru masehi? Tentunya mereka tidak berniat/bermaksud untuk merayakannya“.

Beliau menjawab:Tidak boleh bagi kaum Muslimin saling memberikan ucapan selamat tahun baru masehi, tidak boleh juga mereka merayakannya. Karena kedua perbuatan tersebut termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sedangkan kita dilarang melakukan hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Daud no. 4031, dishahihkan oleh Al Albani)

Memberikan ucapan selamat yang terkait dengan suatu hari yang berulang tiap tahunnya termasuk dalam makna merayakannya dan mmenjadikan hari tersebut sebagai hari raya, dan ini juga terlarang. Wallahu a’lam.1

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair hafizhahullah ditanya mengenai berdoa dan ucapan selamat tahun baru. Beliau menjelaskan bahwa doa itu boleh kapan saja (doa mutlak), tetapi sebaiknya tidak dikaitkan dengan perayaan-perayaan hari raya tertentu seperti tahun baru. Beliau berkata, “Doa untuk saudara muslim bisa dengan doa mutlak, seorang muslim tidak menjadikannya ibadah (khusus) terkait dengan hari raya tertentu.2

Sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak ikut-ikutan setelah tahu sejarah dan hakikat perayaan tahun baru. Janganlah kita mengikuti perayaan dan hal-hal yang jelek dari Yahudi dan Nashrani. Karena ini sudah diperingati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa akan banyak kaum muslimin yang mengikuti mereka walapun sampai ke perkara yang buruk dan bisa merusakan agama kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?3

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?4

Demikian semoga bermanfaat.

Baca juga Mengkhususkan Malam Awal Tahun Dengan Ibadah

@Laboratorium Klinik RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta tercinta

Catatan kaki
1 Sumber: http://islamqa.info/ar/177460
2 Sumber: http://www.saaid.net/mktarat/nihat/13.htm
3 HR. Bukhari no. 7319
4 HR. Muslim no. 2669

Article : Blog Al-Islam


Back to Top



?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perbedaan Antara Bid-ah Hakiki dan Bid-ah Idhafi


Fatwa Ulama: Perbedaan Antara Bid’ah Hakiki dan Bid’ah Idhafi

Category : Bid'ah, bid’ah hakiki, bid’ah idhafi, fatwa, Manhaj

Fatwa Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

Soal:

Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. 

Apakah perbedaan antara bid’ah hakiki dan bid’ah idhafi?

Jawab:

Bid’ah hakiki, yaitu anda melakukan amalan yang sama sekali tidak ada landasan dalil dari syari’at, yang tidak menyerupai ibadah yang memiliki asal dalam syari’at. Dan pelakunya bermaksud mendapatkan pahala dari amalan tersebut, misalnya orang yang beribadah dengan cara menari, bersiul, dan ibadah lainnya yang dilakukan oleh orang-orang sufi yang bodoh. Mereka menganggap ibadah tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Bid’ah idhafi, adalah amalan yang memiliki landasan dalil dari syari’at, semacam shalat, puasa dan selainnya. Namun amalan tersebut dikaitkan dengan sesuatu, seperti dikaitkan pada waktu, tempat, tata cara, atau keyakinan tertentu. Maka dengan sebab ini, jadilah ibadah semacam itu sebagai bid’ah idhafi.

Misalnya shalat sunnah dan puasa sunnah yang ia berharap pahala jika dikerjakan. Akan tetapi, mengkhususkan puasa di hari tertentu, atau shalat di malam tertentu yang tidak ada landasan dalil syar’i, maka hal ini tergolong bid’ah idhafi. Seperti mengkhususkan malam 27 Rajab, atau malam nishfu (pertengahan bulan) Sya’ban, atau hari-hari lainnya.

Dua macam bid’ah ini, baik bid’ah hakiki maupun bid’ah idhafi, wajib diwaspadai dan dijauhi seorang muslim. Aku sampaikan sebuah kaidah yang penting:

أن الأمر خلاف السنة، إذا داوم المسلم عليه صار بدعة إضافية

Suatu perkara yang menyelisihi sunnah, jika terus menerus dikerjakan, maka perkara tersebut termasuk dalam bid’ah idhafi

maka waspadalah dan waspadalah!

Wallahul Muwaffiq.

Source article: Muslim.Or.Id

Article : Blog Al-Islam




?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger