Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban

Written By sumatrars on Rabu, 16 Juli 2014 | Juli 16, 2014

Labels : Bahasan Utama, Hadits, Sya'ban

Bulan Sya’ban adalah bulan yang ke-8 dalam penanggalan hijriyah. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Banyak hadits yang berbicara tentang keutamaan bulan Sya’ban. Akan tetapi, banyak juga hadits-hadits lemah (dha’if) yang disebarkan pada bulan ini yang berkaitan dengan bulan Sya’ban.

Kita harus berhati-hati dengan hadits lemah (dha’if), terlebih lagi jika hadits tersebut berhubungan dengan aqidah, amalan dan hukum dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama selainku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka sesungguhnya dia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka.1

Oleh karena itu, penulis berusaha mengumpulkan beberapa hadits lemah tentang bulan Sya’ban dari beberapa tulisan ulama dan penuntut ilmu untuk bisa kita ambil faidah bersama-sama2.

Berikut ini sebagian hadits-hadits lemah tersebut:

Hadits ke-1: Penamaan bulan Sya’ban

إنما سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فيه خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

  1. Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.3

Hadits ke-2 , ke-3 dan ke-4: Keutamaan bulan Sya’ban

رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي.

  1. Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.4

خِيرَةُ اللهِ مِنَ الشُّهُورِ شَهْرُ رَجَبٍ وَهُوَ شَهْرُ اللهِ، مَنْ عَظَّمَ شَهْرَ اللهِ رَجَبٍ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرَ اللهِ، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنَّاتِ النَّعِيمِ، وَأَوْجَبَ لَهُ رِضْوَانَهُ الْأَكْبَرَ، وَشَعْبَانُ شَهْرِي فَمَنْ عَظَّمَ شَهْرَ شَعْبَانَ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرِي، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرِي كُنْتُ لَهُ فَرَطًا وَذُخْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَشُهِرُ رَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِي…

  1. Sebaik-baik bulan adalah bulan Allah, (yaitu Rajab). Barang siapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka dia telah mengagungkan urusan Allah. Barang siapa yang mengagungkan urusan Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan pasti mendapatkan keridhaan-Nya yang paling besar. Bulan Sya’ban adalah bulanku. Barang siapa yang mengagungkan bulan Sya’ban maka dia telah mengagungkan urusanku. Barang siapa yang mengagungkan urusanku, maka saya akan menjadi pendahulunya dan simpanan kebaikannya di hari kiamat. Bulan Ramadhan adalah bulan umatku…5

فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِه.

  1. Keutamaan bulan Rajab dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Al-Qur’an dari seluruh dzikir. Keutamaan bulan Sya’ban dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Muhammad dari seluruh nabi. Dan keutamaan bulan Ramadhan dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Allah dibanding dengan hamba-hamba-Nya.6

Hadits ke-5, ke-6 dan ke-7: Puasa di bulan Sya’ban

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ-صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-يَصُوْمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَرُبَّما أخَّرَ ذلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهِ صَوْمُ السَّنَةِ فَيَصُوْم شَعْبَانَ.

  1. Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulan dan terkadang beliau mengakhirkan puasa tiga hari tersebut sampai setahun, kemudian beliau berpuasa di bulan Sya’ban.7

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Akan tetapi, yang diingkari pada hadits di atas adalah alasan mengapa beliau berpuasa Sya’ban.

عن أبي هريرة-رضي الله عنه- أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَصُمْ بَعْدَ رَمَضَانَ إِلَّا رَجَبٌ وَشَعْبَانُ

  1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa setelah bulan Ramadhan kecuali berpuasa di bulan Rajab dan Sya’ban saja.8

Hadits ini jelas sekali bertentangan dengan hadits-hadits yang lain yang menunjukkan bahwa beliau biasa berpuasa Syawwal, Senin-Kamis dan lain-lain.

عن عَائِشَةَ ، قَالَتْ: … فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ: مَالِيْ أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ ، فَقَالَ:

يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ شَهْرٌ يَنْسَخُ لمِلَكِ اْلمَوْتِ مَنْ يَقْبِضُ ، فَأُحِبُّ أَنْ لَا يَنْسَخَ اسْمِيْ إِلَّا وَأَناَ صَائِمٌ.

  1. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha … dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Mengapa saya melihat engkau paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ‘Ya ‘Aisyah! Sesungguhnya dia adalah bulan yang mana Malaikat Maut mencatat (nama-nama) orang yang akan dicabut (nyawanya), dan saya senang jika dicatat namaku dalam keadaaan saya sedang berpuasa.”9

Hadits ke-8: Puasa Nishfu Sya’ban (Pertengahan bulan Sya’ban)

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا

  1. Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.10
    Terdapat keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban, tetapi yang diingkari dalam hadits ini adalah penyebutan amalan khusus yang dikhususkan pada hari tersebut.

Hadits ke-9 sampai 16: Keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا , فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ.

  1. Sesungguhnya Allah turun pada malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit dunia dan mengampuni lebih dari jumlah bulu kambing suku Kalb.”11
    Suku Kalb dulu terkenal memiliki banyak kambing peliharaan, sehingga mereka terkenal di negeri Arab. Penyebutan banyak hamba-hamba yang akan diampuni pada malam tersebut benar dan terdapat pada hadits yang shahih, yang diingkari pada hadits ini adalah jumlah khusus yang disebutkan.

خَمْسُ لَيالٍ لا تُرَدُّ فِيهِنَّ الدَّعْوَةُ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبانَ وَلَيْلَةُ الجُمُعَةِ وَلَيْلَةُ الفِطْرِ وَلَيْلَةُ النَّحْرِ

  1. Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak pada malam-malam itu, yaitu: malam pertama di bulan Rajab, malam pertengahan di bulan Sya’ban, malam Jum’at, malam (idul) fitri dan malam sembelihan (idul-adha).12


Yang diingkari dalam hadits ini dan berikutnya adalah penyebutan amalan khusus yang dikhususkan pada malam tersebut.

مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, بَعَثَ اللهُ إِلَيْه مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَه .

  1. Barang siapa yang membaca di malam pertengahan di bulan Sya’ban seribu kali ‘Qul Huwallahu Ahad’, maka Allah akan mengutus kepadanya seratus ribu malaikat untuk memberi kabar gembira kepadanya.13

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, قَضَى اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ الَّليْلَة

  1. Ya ‘Ali! Barang siapa yang shalat di malam pertengahan di bulan Sya’ban sebanyak seratus rakaat dengan membaca seribu ‘Qul Huwallahu Ahad’, maka Allah memenuhi seluruh hajatnya yang dia minta pada malam itu.14

مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الِعيْدِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْب.

  1. Barang siapa yang menghidupkan dua malam, yaitu: malam id dan malam pertengahan di bulan Sya’ban, maka hatinya tidak akan mati, dimana hati-hati manusia banyak yang mati.15

مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثَلاَثَ مِئَةِ ركْعَةٍ ( فِيْ لَفْظٍ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً ) يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد شُفِّعَ فِيْ عَشْرَةٍ قَدْ اسْتَوْجَبُوْا النَّار.

  1. Barang siapa yang shalat di malam pertengahan di bulan Sya’ban sebanyak tiga ratus raka’at, (di dalam riwayat lain dua belas rakaat), dan dia membaca pada setiap rakaat tiga puluh kali ‘Qul Huwallah Ahad’, maka dia akan bisa memberi syafaat untuk sepuluh orang yang dipastikan masuk ke dalam neraka.16

مَنْ أَحْيَا الليَالِيْ الخَمْس ؛ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّة: لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةَ النَّحْرِ، وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ

  1. Barang siapa yang menghidupkan lima malam maka dia akan masuk surga, yaitu: malam tarwiyah (9 Dzul-hijjah), malam ‘Arafah, malam idul-adha, malam idul-fitri dan malam pertengahan di bulan Sya’ban.17

إِذَا كَانَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ نَادَى مُنَادٍ : هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرُ لَهُ? هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ? فَلَا يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلَّا أُعْطِيَ إِلَّا زَاِنيَة بِفَرْجِهَا أَوْ مُشْرِك .

  1. “Pada malam pertengahan di bulan Sya’ban seorang pemanggil menyeru, “Adakah orang yang meminta ampun, maka aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta, maka aku akan mengabulkannya? Tidak ada seorang pun yang meminta kecuali saya akan mengabulkannya kecuali pezina dan orang musyrik.18
    Yang diingkari dalam hadits ini adalah penyebutan lafaz pezina, karena terdapat lafaz yang shahih yang tidak diampuni pada malam tersebut adalah orang musyrik dan musyahin (orang yang memilki permusuhan dengan saudara seiman)

Hadits ke-17: Doa agar diberkahi di bulan Rajab dan Sya’ban dan disampaikan kepada bulan Ramadhan

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ .

  1. Ya Allah! Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami kepada bulan Ramadhan.19


Yang diingkari pada hadits ini adalah penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Fathu Al-Kabir fi Dhammizziyadah Ila Jami’ Ash-Shaghir. Jalaluddin As-Suyuthi. Beirut: Darul-Fikr.

  2. Al-Manar Al-Munif fi Ash-Shahih wa Adh-Dha’if. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Al-Hanbali. Halab: Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyah.

  3. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhaa As-Sayyi’ fil-Ummah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ar-Riyadh: Darul-Ma’arif.

  4. Tabyiinul-‘Ajab bima Warada fi Rajab. Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.

  5. www.ahlalhdeeth.com

  6. www.kalemasawaa.com

Footnotes

  1. HR Al-Bukhari no. 1291 dari Al-Mughirah, Muslim dalam Muqaddimatush-shahih no. 4 dari Abu Hurairah dan yang lainnya.

  2. Karena keterbatasan waktu, sebagian takhrij dan hukum hadits di catatan kaki, penulis hanya menukil dari sumber-sumber yang disebutkan pada daftar pustaka.

  3. HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’ ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061.

  4. HR Ibnu Abi Al-Fawaris dalam Al-Amali dan Al-Ashbahani dalam At-Targhib dari Hasan secara mursal. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 4400.

  5. HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3532. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 6188.

  6. HR Salafy Al-Hafizh, disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tabyiinul-‘Ajb bimaa Warada fi Fadhli Rajab. Beliau berkata, “Seluruh rijal sanad ini tsiqah kecuali As-Saqathi sesungguhnya dia Aafah. Dan sangat terkenal memalsukan hadits dan mengganti-ganti sanad serta tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dengan sanad hadits seperti ini kecuali dia.”

  7. HR At-Thabrani dalam Al-Awsath no. 2098 dari ‘Aisyah. Beliau mengatakan, “Tidak diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila kecuali dengan sanad ini. ‘Amr meriwayatkannya sendirian darinya.” Saya katakan, “Abdurrahman bin Abi Laila dha’if.”

  8. HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3522 dan dia berkata, “Dha’if.”

  9. Awal dari hadits tersebut adalah hadits yang shahih diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Adapun tambahan hadits yang diberi garis bawah, maka tambahan tersebut munkar, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi dalam ‘Ilalul-Hadits no. 737.

  10. HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132.

  11. HR Tirmidzi no. 739 dan Ibnu Majah no. 1389. Syaikh Al-Albani men-dha’if-kannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.

  12. HR Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 1452.

  13. Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Lisanul-Mizan (V/271).

  14. Disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal. 50.

  15. Disebutkan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (II/562).

  16. Disebutkan di dalam kitab Al-Manar Al-Munif hal. 99 no. 177.

  17. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dha’if At-Targhib no. 667, “Maudhu’.”

  18. HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3555. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 7000.

  19. HR At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 3939, Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3534. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4395.


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by :Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Pria Berambut Panjang

Labels :Fiqh dan Muamalah, gondrong, Isbal, penampilan, rambut, rambut gondrong, rambut panjang

Bolehkah pria berambut panjang? Kita tahu bahwa penampilan semacam itu hanya pada wanita. Namun saat ini, beberapa pria sengaja memanjangkan rambutnya.

Abu Darda’ pernah meminta nasehat pada Sahl bin Al Hanzholiyyah, di mana Sahl kala itu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الأَسَدِىُّ لَوْلاَ طُولُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ

Sebaik-baik orang adalah Khuraim Al Asadi, seandainya rambutnya tidak panjang dan tidak memanjangkan sarungnya di bawah mata kaki

Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ternyata sampai kepada Khuraim. Lantas ia segera mengambil pisau, kemudian memotong rambutnya sampai kedua telinganya dan mengangkat sarungnya hingga pertengahan kedua betisnya. (HR. Abu Daud no. 4089 dan Ahmad 4: 179. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Hadits ini menunjukkan bahwa panjang rambut laki-laki adalah tidak melebihi pundaknya dan rambut yang panjang menunjukkan sifat kesombongan. Yang biasa butuh berambut panjang untuk berpenampilan menarik hanyalah wanita.

Hadits ini pun sebagai keterangan bahwa laki-laki tidak boleh menyerupai wanita dalam berpenampilan. Termasuk pula tidak boleh menyerupai wanita dalam hal rambut. Karena perbuatan menyerupai seperti itu dilaknat.

Hadits di atas juga menjadi dalil bahwa para sahabat saat mendengar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka langsung melakukannya, tidak menunda-nunda, tidak pula cari alasan lain supaya mendapat keringanan. Tidaklah seperti sebagian orang yang saat disampaikan suatu dalil malah masih mencari-cari alasan, barangkali ada ulama yang berpendapat berbeda. Padahal para ulama seringkali mengatakan,

Siapa saja yang mencari-cari pendapat yang sesuai hawa nafsunya, maka dalam dirinya terdapat sifat zindiq atau kemunafikan

Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 306-307.

Moga Allah beri hidayah.


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Shalat Raghaib dan Nishfu Sya’ban Menurut An Nawawi



Labels : Fiqh dan Muamalah, Bid'ah, shalat alfiyah, shalat raghaib

Pada bulan Rajab dan Sya’ban ini, di masyarakat kita tersebar ibadah yang bernama shalat raghaib yang biasanya dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya’ dan biasanya didahului dengan puasa hari Kamisnya. Selain itu ada pula ibadah shalat nishfu Sya’ban atau shalat Alfiyah yang dilakukan pada pertengahan Sya’ban. Biasanya dilakukan sebanyak seratus raka’at dengan membaca surah Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Bahkan terkadang dibumbui dengan fadhilah-fadhilah yang bombastis. Kita simak bagaimana pendapat Imam An Nawawi rahimahullah, ulama besar madzhab Syafi’i mengenai dua ibadah tersebut.

Ketika ditanya mengenai shalat raghaib dan shalat nishfu sya’ban, beliau menjawab:

الحمد لله ، هاتان الصلاتان لم يصلهما النبي-صلى الله عليه وسلم-ولا أحد من أصحابه–رضي الله عنهم–ولا أحد من الأئمة الأربعة المذكورين–رحمهم الله – ، ولا أشار أحد منهم بصلاتهما، ولم يفعلهما أحد ممن يقتدي به، ولم يصح عن النبي منها شيء ولا عن أحد يقتدي به ، وإنما أحدثت في الأعصار المتأخرة وصلاتهما من البدع المنكرات ، والحوادث الباطلات ، وقد صح عن النبي- صلى الله عليه وسلم- أنه قال : “إياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ضلالة ” . وفي الصحيحين عن عائشة –رضي الله عنها– قالت: قال رسول الله-صلى الله عليه وسلم-: “من أحدث في ديننا ما ليس منه فهو رد”. وفي صحيح مسلم أن رسول الله-صلى الله عليه وسلم-قال : “من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”.

وينبغي لكل أحد أن يمتنع عن هذه الصلاة، ويحذر منها، وينفر عنها ويقبح فعلها، ويشيع النهي عنها، فقد صح عن النبي- صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “من رأى منكم منكراً فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه”. وعلى العلماء التحذير منها ، والإعراض عنها أكثر مما على غيرهم ، لأنه يقتدى بهم .
ولا يغترن أحد بكونها شائعة يفعلها العوام وشبههم ، فإن الاقتداء إنما يكون برسول الله- صلى الله عليه وسلم- وبما أمر به لا بما نهى عنه، وحذَّر منه

“Segala puji bagi Allah. Dua shalat ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tidak pula dilakukan oleh salah seorang shahabatnya radhiyallahu’anhum, juga tidak dilakukan oleh salah seorang dari imam madzhab yang empat rahimahumullah, tidak ada pula satu isyarat pun bahwa mereka mereka melakukan kedua shalat ini. Demikian juga tidak dilakukan oleh seorang ulama yang menjadi teladan. Tidak ada satu riwayat pun yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga riwayat dari pada ulama yang menjadi teladan.

Kedua ibadah ini baru muncul pada masa-masa belakangan. Melakukan kedua shalat ini merupakan bid’ah yang munkar dan perkara batil yang diada-adakan. Dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu sesat“. Dan dalam shahihain dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang tak ada asalnya dalam agama kami, maka perkara tersebut tertolak“. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasululullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari kami, maka itu tertolak“.

Semestinya setiap orang menghindari kedua shalat ini dan memperingatkan orang darinya, menjauhkan diri darinya, dan mencela perbuatan tersebut, sertan menyebarkan larangan untuk melakukannya. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya“. Dan merupakan kewajiban bagi para ulama untuk memperingatkan umat darinya. Dan hendaknya mereka menjauhkan diri dari ibadah tersebut lebih serius daripada orang lain, karena mereka merupakan panutan bagi orang lain.

Janganlah tertipu dengan banyaknya orang awam atau semisalnya yang melakukan ibadah ini. Sesungguhnya yang patut diteladani itu adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan perintah dan larangannya, serta apa-apa yang beliau peringatankan” (Musajalah Ilmiyah Baynal Imamain Jalilain Al Izzibni Abdissalam Wabni Shalah, 45-47).

Di tempat lain ketika ditanya mengenai shalat raghaib, beliau menjawab,

هي بدعة قبيحة منكرة أشد إنكار، مشتملة على منكرات فيتعين تركها والإعراض

Ibadah tersebut termasuk bid’ah tercela serta munkar yang paling munkar. Mengandung berbagai macam kemungkaran. Maka sudah jelas kewajiban meninggalkannya dan berpaling darinya” (Fatawa Imam An Nawawi, 57)

Bahkan di tempat lain ketika membahas shalat raghaib, beliau lebih tegas lagi,

قاتل الله واضعها ومخترعها , فإنها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة . وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها وبطلانها وتضليل فاعلها أكثر من أن تحصر

Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan dan membuat-buat ibadah ini. Karena ibadah in adalah bid’ah yang munkar, termasuk dalam bid’ah yang sesat dan kebodohan. Di dalamnya terdapat berbagai kemungkarna yang nyata. Beberapa ulama telah menulis tulisan bermanfaat yang khusus mencela dan menjelaskan kesesatan serta kebid’ahan ibadah ini. Juga menjelaskan dalil tentang betapa tercela, batil dan sesatnya, orang yang melalukan ibadah tersebut dengan dalil yang terlalu banyak untuk bisa dihitung” (Syarah Shahih Muslim, 8/20)

Maka jelaslah bahwa shalat raghaib dan shalat alfiyah adalah ibadah yang diada-adakan, tidak ada tuntunannya dari syariat Islam. Imam An Nawawi rahimahullah, ulama besar madzhab Syafi’i, sangat tegas dalam menjelaskan hal ini. Maka sangat aneh jika orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi’i malah mengamalkannya.

Dari penjelasan-penjelasan di atas juga kita bisa melihat betapa Imam An Nawawi sangat tegas terhadap perbuatan bid’ah dalam agama. Beliau dan juga para ulama ahlussunnah rahimahumullah mencela dan mengingkari perbuatan bid’ah, karena mereka meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat yang juga tegas dalam mengingkari perbuatan bid’ah.

Semoga kita senantiasa diberi hidayah oleh Allah Ta’ala untuk berada di jalan-Nya yang lurus. Wabillahi At Taufiq Wa Sadaad.

Referensi:

Musajalah Ilmiyah Baynal Imamain Jalilain Al Izzibni Abdissalam Wabni Shalah
http://www.alimam.ws/ref/871

Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perintah Disesuaikan Dengan Kemampuan



Labels :Hadits, larangan, Manhaj, perintah, sunnah nabi

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarh/penjelasan

Lafaz hadits ini dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا » . فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ – ثُمَّ قَالَ – ذَرُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan bersabda, “Wahai manusia! Allah telah mewajibkan haji kepada kamu, maka berhajilah.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Apakah pada setiap tahunnya wahai Rasulullah?” Maka Beliau pun terdiam, sampai ia bertanya tiga kali, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku katakanYa tentu mesti dan kamu pasti tidak akan sanggup,” kemudian Beliau bersabda, “Tinggalkanlah aku pada apa yang aku tinggalkan kepada kamu, karena sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan karena pertentangan mereka kepada para nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kamu dan jika aku melarang, maka tinggalkanlah”.

Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib ditinggalkan seluruhnya kecuali ada uzur yang membolehkannya seperti memakan bangkai karena darurat atau terpaksa, berbeda dengan perintah yang disesuaikan dengan kemampuan. Oleh karena itu ada kaidah,

لاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ

Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu

Hadits ini termasuk kaedah Islam yang penting, dan banyak hukum yang masuk ke dalam kaedah ini, seperti dalam shalat, jika tidak sanggup mengerjakan sebagian rukun atau syarat, maka ia kerjakan yang bisa ia lakukan, dan dalam wudhu, jika ia tidak sanggup membasuh sebagian anggota wudhu’, maka ia membasuh bagian yang bisa dibasuh. Demikian pula dalam melakukan nahi munkar, jika ia tidak sanggup menyingkirkan semuanya, maka ia lakukan nahi munkar yang bisa ia lakukan.

Mungkin rahasia mengapa yang dilarang Beliau itu wajib ditinggalkan segera, karena hal itu mudah yakni hanya dengan berhenti dari melakukannya. Berbeda dengan perintah, di mana ada yang bisa dikerjakan oleh seseorang dan ada yang tidak, dan lagi mengerjakan itu mengadakan suatu perbuatan yang butuh adanya kemampuan.

Perlu diketahui bahwa yang dilarang oleh Islam itu terbagi dua:

  1. Larangan yang menunjukkan haram

  2. Larangan karena kurang utama (atau disebut makruhi)

Larangan yang menunjukkan haram wajib segera ditinggalkan sedangkan larangan karena kurang utamanya perbuatan itu maka dianjurkan untuk ditinggalkan. Umumnya larangan-larangan dalam hal ibadah menunjukkan haram, karena asal ibadah itu tauqif (diam/menunggu dalil) sedangkan larangan-larangan dalam hal adab (karena tindakan tersebut kurang utama) biasanya makruh. Oleh karena itu, kita sering melihat dalam kitab-kitab para ulama di sana disebutkan “Larangan ini adalah makruh” yakni karena terkait dengan adab.

Dalam hadits di atas disebutkan, “Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka”. Yang demikian disebabkan karena mereka bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan hanya karena ingin memperdalam pengetahuan atau membebani diri, dsb. Hal ini adalah haram. Imam Ibnu Rajab berkata, “Hadits-hadits ini menunjukkan larangan bertanya tentang hal yang tidak dibutuhkannya…juga menunjukkan larangan bertanya dengan maksud ta’annut/takalluf, main-main dan melecehkan.” Oleh karena itu, Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu apabila ditanya tentang sesuatu, dia berkata, “Apakah ini benar terjadi?” Jika mereka mengatakan, “Tidak” maka Zaid bin Tsabit mengatakan, “Tinggalkanlah (pertanyaan itu) sampai benar-benar terjadi”.

Pada waktu wahyu turun, para sahabat dilarang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang beberapa masalah. Hal itu, karena bisa saja ada larangan baru karena pertanyaan yang diajukan sehingga mereka akan terbebani. Di samping itu, banyak bertanya tidaklah menunjukkan baiknya keadaan agama seseorang dan tidak menunjukkan kewara’annya. Adapun bertanya tentang Al Qur’an dalam arti ingin paham maksud ayat ini dan itu, atau bertanya tentang maksud hadits ini dan itu, atau menanyakan tentang suatu ilmu untuk diamalkan atau yang penting bagi seseorang maka tidak mengapa, bahkan hal itu terpuji. Termasuk pula bertanya tentang hal yang benar-benar terjadi atau biasanya terjadi. Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk mendalami agama.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)

"Mujahid berkata, “Orang yang malu dan sombong tidak dapat mempelajari ilmu”."

Az Zuhriy berkata, “Ilmu itu lemari, kuncinya adalah bertanya”. Ada pula yang berkata, “Bertanya itu separuh ilmu”.

Lain halnya, apabila bertanya tentang masalah yang tidak ada habis-habisnya, atau yang jarang terjadi, atau yang tidak terjadi atau yang tidak ada faedahnya (seperti tentang sesuatu yang Allah sembunyikan dari makhluk-Nya seperti tentang rahasia taqdir dan tentang kapan kiamat), maka dalam hal ini, seharusnya dihindari dan dijauhi.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat agar seseorang menyibukkan diri dengan perkara yang lebih penting yang dibutuhkan pada saat itu daripada perkara yang belum dibutuhkan saat itu, dan hendaknya seseorang bertanya dalam hal yang dibutuhkannya, serta tidak bertanya tentang hal yang tidak penting baginya.

Faidah Hadits

Hadits di atas juga menunjukkan:

  1. Wajibnya menjauhi semua yang dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi yang dilarang Allah Subhaanahu wa Ta’aala, tentunya jika larangan tersebut menunjukkan haram; bukan makruh.

  2. Barang siapa yang tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan, dan dia hanya mampu melakukan sebagiannya, maka hendaknya dia melakukan apa yang mampu dilakukan.

  3. Mudahnya agama ini, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.

  4. Menolak keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.

  5. Larangan berselisih dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.

  6. Wajibnya mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perintahnya yang wajib, dan bahwa menyelisihi Beliau merupakan sebab kebinasaan.

  7. Tercelanya sikap membebani diri dengan bertanya sesuatu secara mendetail yang akhirnya akan memberatkan dirinya. Contohnya adalah Bani Israil, saat mereka membebani dirinya dengan terus bertanya tentang sapi betina, akhirnya mereka kesulitan mencarinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

  8. « إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِى الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ »

    Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya bagi kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang (sebelumnya) tidak diharamkan bagi kaum muslimin, lalu menjadi haram karena pertanyaan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  9. Imam Nawawi berkata, “Sepatutnya bagi orang yang telah sampai kepadanya sesuatu dari fadhaa’ilul a’maal (keutamaan terhadap suatu amalan) untuk mengamalkannya meskipun hanya sekali agar ia termasuk orang yang melakukannya, dan tidak meninggalkannya secara mutlak, bahkan hendaknya mengerjakan yang mudah daripadanya berdasarkan hadits ini.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Maraji’: Makbatah Syamilah versi 3.45, Syarh Al Arba’in (Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh), Ahkamul Jana’iz (M. Nashiruddin Al Albani), Al Adzkar (Imam Nawawi), dll.


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

An Nawawi Dan Ibnul Mundzir Adalah Wahabi?

Written By sumatrars on Selasa, 15 Juli 2014 | Juli 15, 2014

Label: Manhaj, akidah, kuburan, madzhab syafi'i, ngalap berkah, syafi'i, Tauhid, Wahabi

Sebagian orang yang tidak suka dengan dakwah tauhid, menjuluki para da’i yang mengajak untuk bertauhid yang benar dengan julukan “wahabi”. Diantara perkara yang banyak diingkari para pembenci dakwah tauhid adalah larangan syariat terhadap ibadah di kuburan dan ngalap berkah di kuburan. Para da’i yang memperingkatkan hal ini pun lantas dijuluki “wahabi”. Padahal diantara para pembenci tersebut banyak yang menisbatkan diri pada madzhab Syafi’i, sedangkan para ulama madzhab Syafi’i pun melarang beribadah di kuburan dan ngalap berkah di sana. Simak penjelasan Ust Musyaffa Lc., MA. berikut ini:

***

An Nawawi melarang ibadah dan ngalap berkah di kuburan

Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676H), ulama besar madzhab Syafi’i, mungkin akan dikatakan terpengaruh paham Wahabi, karena perkataan beliau berikut ini:

لا يجوز أن يطاف بقبره صلى الله عليه وسلم، ويكره إلصاق الظهر والبطن بجدار القبر، قاله أبوعبيد الله الحليمي وغيره. قالوا: ويكره مسحه باليد وتقبيله، بل الأدب أن يبعد منه كما يبعد منه لو حضره في حياته صلى الله عليه وسلم.

هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه، ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام وفعلهم ذلك، فإن الاقتداء والعمل إنما يكون بالأحاديث الصحيحة وأقوال العلماء، ولا يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهالاتهم… ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة، فهو من جهالته وغفلته، لأن البركة إنما هي فيما وافق الشرع، وكيف يبتغى الفضل في مخالفة الصواب؟!

“Tidak boleh thawaf di kuburannya Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan tindakan menempelkan punggung dan perut ke dinding kuburan beliau adalah perbuatan yang dibenci. Itulah yang dikatakan oleh Abu Ubaidillah Al-Halimi dan ulama yang lainnya. Mereka juga mengatakan: “dibenci pula mengusap kuburan itu dengan tangan dan menciumnya. Namun yang sesuai dengan adab / sunnah adalah dengan menjauh dari kuburan beliau, sebagaimana hendaknya ia menjauhkan badannya bila ia mendatangi beliau saat masih hidup.

Inilah tindakan yang benar, yang dikatakan oleh para ulama, dan mereka sepakat dalam hal ini. Dan janganlah tergoda dengan banyaknya orang-orang awam yang menyelisinya, dan (jangan tergoda pula) oleh kelakuan mereka itu! Karena mengikuti dan mengamalkan sesuatu itu hanyalah dengan dasar hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama. Dan jangan tergoda oleh bentuk-bentuk kebodohan dan perkara-perkara (bid’ah) yang diada-adakan oleh orang-orang awam. Barangsiapa terbetik di benaknya, bahwa mengusap dengan tangan dan tindakan yang semisalnya lebih mendatangkan berkah, maka itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan hanyalah dalam hal yang sesuai syariat. Bagaimana mungkin suatu keutamaan dicari dalam hal yang menyelisihi kebenaran?! (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi, 8/275)

Wahabi-kah Imam An Nawawi?! Atau Syafi’i-kah mereka yang dituduh wahabi?!

Ibnul Mundzir melarang shalat di kuburan

Banyak orang beranggapan dianjurkan untuk shalat di kuburan para wali saat berziarah. Tentunya dengan tujuan yang beragam. Padahal Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menyabdakan:

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ

Janganlah kalian shalat ke kuburan!” (HR. Muslim: 972).

Mungkin diantara mereka ada yang ngeyel dengan mengatakan: “itu kan kalau shalatnya menghadap ke kuburan, kalau saya shalatnya di kuburan tapi menghadap ke kiblat!“. Sayang, orang seperti ini belum tahu hadits-hadits lain yang lebih tegas dalam masalah ini. Bukankah Nabi kita tercinta shallallahu’alaihi wasallam juga telah menyabdakan:

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ

Bumi semuanya bisa dijadikan masjid (yakni tempat shalat yang di dalamnya ada sujud), kecuali tempat untuk mandi, dan kuburan” (HR. Abu Dawud: 492 dll, dishahihkan oleh Alhakim, Adz-Dzahabi, dan Syaikh Al Albani).

Mungkin ia masih akan ngeyel dengan mengatakan: “itu kan pemahaman Anda yg wahabi”, mohon ma’af mas ‘lakum diinukum waliya diin“.

Subhanallah… sulit jadinya jika sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam kurang dihormati dan tidak didengarkan.

Baiklah, bukankah Ibnul Mundzir (wafat 319 H) yang bermazhab Syafi’i telah mengatakan:

وَقَوْله: «وَلَا تَجْعَلُوهَا قُبُورًا» ، يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ غَيْرُ جَائِزَةٍ فِي الْمَقْبَرَةِ

sabda beliau: ‘jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan!‘, itu menunjukkan bahwa shalat itu tidak diperbolehkan di kuburan” (Kitab Al-Ausath, 2/183).

Silahkan, bila orang itu menuduh Ibnul Mundzir sebagai seorang wahabi.


Sumber artikel : Muslim.Or.Id

Kembali Keatas /Top

Artikel :Blog Al Islam


 

Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Akhlak Tercela: Tergesa-Gesa

Label : Akhlaq dan Nasehat

Agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna karena Islam mengajarkan seluruh aspek-aspek kehidupan manusia, dari hal yang paling penting sampai hal yang sering dianggap sepele oleh kebanyakan manusia. Tidaklah satu di antara kita menyebutkan satu perkara kecuali pasti telah dijelaskan oleh syariat Islam yang mulia ini.

Selain itu, agama Islam juga merupakan agama yang indah. Syariatnya mengajarkan kedamaian kepada umatnya dan memotivasi pemeluknya untuk memperindah akhlaknya. Tidak ada satu akhlak baik pun di muka bumi ini, kecuali pasti telah diperintahkan dan dicontohkan langsung oleh manusia terbaik di muka bumi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak ada satu akhlak buruk pun di muka bumi ini, kecuali pasti telah diperingatkan dan dijauhi oleh kekasih kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Itulah agama Islam. Agama yang umatnya tidak akan merugi selama-selamanya jika bisa melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Sang Pemilik Syariat ini, Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Dan salah satu akhlak tercela yang ada di muka bumi ini, yang telah diperingatkan oleh suri teladan umat Islam, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,adalah tergesa-gesa.
Makna “tergesa-gesa

Tergesa-gesa dalam bahasa Arab adalah isti’jal, ‘ajalah, dan tasarru’. Yang keseluruhannya memiliki makna yang sama. Dan lawan kata dari isti’jal adalahanaah dan tatsabbut. Yang artinya adalah pelan-pelan, dan tidak terburu-buru.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Ar-Ruh bahwa tergesa-gesa adalah keinginan untuk mendapatkan sesuatu sebelum tiba waktunya yang disebabkan oleh besarnya keinginannya terhadap sesuatu tersebut, seperti halnya orang yang memanen buah sebelum datang waktu panennya.

Bukti tentang tercelanya sifat tergesa-gesa

Syariat Islam mencela sifat ini dan melarang pemeluknya untuk memiliki sifat tersebut, sebagaimana Islam juga mencela dan memperingatkan kaum muslimin dari sifat malas dan berlambat-lambat dalam sesuatu.

Berikut ini, akan dijelaskan bagaimana Alquran, As-Sunnah, dan para ulama mencela dan memperingatkan akan sifat ini.

Dalil Alquran

Di dalam Alquran terdapat peringatan dari Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak terburu-buru dalam membaca Alquran. Yaitu yang terdapat dalam surat Al-Qiyamah ayat 16-19:

{ لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) }

Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Alquran karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya”.

Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat untuk menghafal ayat yang diturunkan melalui malaikat Jibril ‘alaihissalam kepadanya, sehingga beliau saling mendahului bacaannya Jibril ‘alaihissalam. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’alamemerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memperhatikan dan mendengarkan apa yang dibacakan Jibril kepadanya. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadanya bahwa beliau akan dimudahkan dalam menghafal dan mengamalkannya. Dan Allah ‘Azza wa Jallaberjanji memberikan penjelasan terhadap apa yang dibacakan Jibril untuknya tersebut.

Di dalam Alquran juga terdapat ayat yang menyifati manusia dengan sifat tergesa-gesa, sehingga menyebabkan manusia itu mendoakan keburukan bagi dirinya sendiri di saat kondisi marah sebagaimana dia mendoakan kebaikan untuk dirinya sendiri. Yaitu yang terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 11:

وَيَدْعُ الإنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا

Artinya: “Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan manusia itu bersifat tergesa-gesa.

Faktor penyebab manusia melakukan hal tersebut adalah kekhawatiran, ketergesa-gesaan, dan sedikitnya kesabaran yang ada padanya. Atau bisa juga makna dari ayat di atas adalah manusia yang berlebih-lebihan dalam meminta sesuatu dalam doa yang dia yakini merupakan yang terbaik untuknya. Sedangkan pada hakikatnya hal itu adalah sebab kebinasaan dan keburukan baginya dikarenakan kebodohannya akan keadaan yang sebenarnya. Hal ini hanyalah terjadi karena sifat ketergesa-gesaan dan sudut pandangnya yang sempit terhadap sesuatu.

Dalil As-Sunnah

Sesungguhnya lemahnya jiwa ketika menghadapi musibah dan ketika harus bersabar di dalamnya, serta terburu-buru untuk segera mendapatkan kebaikan, itu semua dapat menyebabkan seseorang tertimpa keputusasaan. Terlebih lagi jika hal itu semua terjadi dalam jangka waktu yang lama dan beratnya ujian yang menimpa.

Hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang hamba akan senantiasa dikabulkan doanya oleh Allah Jalla wa ‘Ala selama dia tidak berdoa yang mengandung kezaliman, tidak memutuskan tali silaturahmi, dan tidak tergesa-gesa. Kemudian ada sahabat yang bertanya, “Apa yang dimaksud tergesa-gesa di sini, wahai Rasulullah?” Lalu beliau menjawab, “Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi mengapa aku tidak melihat tanda-tanda doaku dikabulkan? Sehingga dia lelah dalam berdoa dan meninggalkan doanya tersebut” (HR. Muslim)

Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Orang yang berkata, ‘Aku telah berdoa, akan tetapi doaku tidak kunjung dikabulkan,’ lalu meninggalkan doanya karena berputus asa dari rahmat Allah berupa mengungkit-ungkitnya di hadapan Allah bahwa dia telah banyak berdoa kepada-Nya, sejatinya adalah orang yang bodoh akan bentuk pengabulan Allah terhadap doanya tersebut. Dia mengira bahwa bentuk pertolongan Allah kepadanya dengan diberikan apa yang dia minta, padahal Allah mengetahui apa yang dia minta itu adalah keburukan baginya.

Syaikh Utsaimin rahimahullahu berkata dalam kitabnya, Syarh Riyadhus Shalihin ketika menjelaskan hadis ini, “Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’alamenghalangimu dari terkabulnya doa kecuali karena ada hikmah di balik semua itu, atau karena adanya faktor penghalang dari terkabulnya doa tesebut. Akan tetapi, jika kamu berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan penuh keyakinan dan rasa harap yang besar bahwa Dia akan mengabulkan doamu tersebut. Teruslah berdoa sampai Allah mewujudkan apa yang kamu inginkan. Dan jika Dia belum mewujudkan apa yang kamu inginkan, maka ketahuilah bahwa Dia menghindarkan dirimu dari banyaknya bahaya yang tidak kamu ketahui, atau doa tersebut akan disimpan oleh-Nya untukmu di hari kiamat nanti. Maka dari itu, janganlah kamu berputus asa dan jangan berletih dalam berdoa. Teruslah berdoa karena doa adalah ibadah. Dan perbanyaklah doa, maka Allah akan mengabulkan doamu. Jika belum dikabulkan, maka jangan lelah dari doamu dan janganlah kamu berburuk sangka kepada Allah. Karena sejatinya Allah Maha Bijaksana. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 216 yang artinya, “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Perkataan para ulama

ذو النون يقول: ( أربع خلال لها ثمرة: العجلة، والعجب، واللجاجة، والشره، فثمرة العجلة الندامة، وثمرة العجب البغض، وثمرة اللجاجة الحيرة، وثمرة الشره الفاقة )

Dzun Nun (Tsauban bin Ibrahim) rahimahullahu berkata, “Ada empat perkara buruk yang menghasilkan buah: tergesa-gesa yang buahnya adalah penyesalan, kagum pada dirinya sendiri yang buahnya adalah kebencian, keras kepala yang buahnya adalah kebingungan, dan rakus yang buahnya adalah kemiskinan”.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Sifat tergesa-gesa adalah dari setan. Sejatinya sifat tergesa-gesa juga merupakan sikap gegabah, kurang berpikir dan berhati-hati dalam bertindak. Yang mana sifat ini menghalangi pelakunya dari ketenangan dan kewibawaan. Dan menjadikan pelakunya memiliki sifat menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan mendekatkan pelakunya kepada berbagai macam keburukan, dan menjauhkannya dari berbagai macam kebaikan. Dia adalah temannya penyesalan. Dan katakanlah, bahwa siapa saja yang tergesa-gesa maka dia akan menyesal”.

Faktor penyebab munculnya sifat ini

Ketergesa-gesaan dalam diri manusia muncul karena hasil dari berkumpulnya faktor-faktor berikut ini:

  1. Adanya salah satu pendorong dalam diri seseorang untuk mewujudkan hal yang diinginkannya

  2. Tidak adanya cara pandang atau pemikiran yang menyeluruh terhadap suatu perkara

Dan faktor utama munculnya sifat yang menyebabkan manusia terjatuh pada kesalahan ini adalah setan, musuh terbesar manusia. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bersabda, “Ketenangan itu datangnya dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu datangnya dari setan” (Hadis ini dinilai hasan oleh syekh Al-Albani dalam kitabnya Shahihul Jaami’)

Itulah beberapa celaan dan peringatan terhadap salah satu sifat tercela ini, yang terdapat di dalam Alquran, hadis, dan juga perkataan para ulama. Sebenarnya masih banyak lagi celaan dan peringatan terhadapnya, baik itu dari Alquran, hadis, maupun perkataan salaf saleh yang tidak bisa disebutkan secara keseluruhan.

Dan setelah kita mengetahui tentang tercelanya sifat ini dan buruknya dampak yang diakibatkan dari sifat ini, maka hendaknya kita sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya untuk menjauhi sifat tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk berakhlak sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berakhlak. Dan jadikanlah beliau adalah satu-satunya manusia di muka bumi ini yang kita jadikan contoh dan teladan dalam segala aspek kehidupan tanpa terkecuali.

Semoga Allah Jalla wa ‘Ala mengumpulkan kita dengan beliau kelak di surga-Nya nanti. Amin.

Referensi

  1. Ar ruuh, Ibnul Qoyyim al Jauziyyah

  2. Qowa’id muhimmah fil amri bil ma’ruf wan nahyi ‘anil munkar ‘ala dhouil kitaabi was sunnah, Dr. hamud bin Ahmad ar Ruhaili

  3. Aisaarut Tafaasiir, As’ad humidi

  4. Manhajir Rasuul fii Tashiihil Akhto’, Ali bin Nayif asy Syahuud

  5. Mausu’atul akhlakil islamiyyah,

Syarh riyadhus Sholihin, Syaikh Sholih al ‘Utsaimin

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

Kembali ke Atas / Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Keluar dari Ahlus Sunnah Karena Menyelisihi Mainstream

Label : Bahasan Utama, ahlus sunnah, ijtihadiyah, Pemilu

Disalin 05 Jun 2014 di Publikasikan : 15 Juli 2014

Dahulu, memang yang kami rasakan adalah sulit menerima pendapat yang lain. Pendapat yang kami dengar pertama kali atau pendapat dari guru kami, itulah yang kami pegang erat-erat. Berlalunya waktu dan ada kemampuan untuk menelaah pendapat yang lain, pendapat guru kami pun, kami selisihi. Bukan karena apa-apa, cuma lantaran ada dalil saja yang kami anggap lebih kuat.

Misal saja, guru kami lebih cenderung pada pendapat duduk di tahiyat akhir pada shalat dua raka’at adalah duduk iftirosy, yaitu kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Bahkan dahulu inilah yang jadi pendapat anak-anak ngaji. Pokoknya kalau tidak dengan cara ini, keahlus-sunnahannya dipertanyakan. Ada yang sampai berujar, “Ahlus Sunnah kok shalatnya seperti itu?” Setelah memahami dalil dan banyak menelaah, ternyata kami pun lebih cenderung pada pendapat yang kami anut sejak kecil yaitu pendapat Syafi’iyah bahwa duduk pada tasyahud akhir adalah duduk tawarruk berapa pun jumlah raka’atnya. Banyak belajar, banyak menelaah, membuat kami sadar bahwa perbedaan dalam hal fikih seperti itu ada. Dan sah-sah saja menyelisihi guru kami karena memandang dalil. Semakin tahu perbedaan dalam hal ijtihadiyah, membuat kami pun semakin lapang dada.

Menyelisihi hal yang sudah mendarah daging atau yang sudah jadi mainstream -istilah anak muda saat ini-, amatlah berat. Pihak yang memegang pendapat mainstream ada yang sampai menyalahkan bahkan yang lebih gawat sampai mengeluarkan saudaranya dari Ahlus Sunnah.

Buktinya saja yang kami alami saat ini. Saat membolehkan mencoblos dalam Pemilu karena menimbang adanya maslahat dan untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar dengan mengambil yang lebih ringan, ketika pendapat ini yang dipilih, berbagai hujatan pun datang. Sampai dicap jelek dengan mental tempe, pro demokrasi, juga dipertanyakan keilmuannya di mana. Tetap sabar, mungkin karena mereka belum paham. Padahal para ulama zaman kita ini ketika disodorkan pertanyaan, apakah harus mencoblos atau tidak dalam Pemilu, mayoritas mereka menjawab, tetap mencoblos. Alasannya? Yah untuk mengurangi kemudaratan, daripada yang jelek yang berkuasa. Silakan tilik dan banyak olah bacaan, pasti akan menemukan seperti yang kami utarakan.

Kalau memang tidak setuju dengan pendapat pro coblos, cobalah ditanggap dengan cara yang santun. Bila cara shalat kita saat tasyahud berbeda tidak mengeluarkan dari Ahlus Sunnah, maka seharusnya kita memperlakukan yang sama untuk hal mencoblos. Tak perlulah perbedaan ijtihadiyah yang ada membuat kita saling menjauh dan saling menyesatkan. Marilah berdamai dan bersatu.

Coba perhatikan nasehat yang bagus dari Ibnu Taimiyah berikut ini,

وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ

Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)

Kembali Ibnu Taimiyah melanjutkan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para sahabatnya,

لَا يُصَلِّيَن أَحَدٌ الْعَصْرَ إلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

“Janganlah seorang pun shalat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.”

Di antara mereka ada yang sudah mendapati waktu Ashar di jalan, namun mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah mencapai Bani Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan shalat ‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat ‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang berbeda tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar.

Hal di atas berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Oleh karenanya, jika ada masalah selama bukan suatu yang krusial dalam hal ushul (pokok agama), maka diserupakan seperti itu pula. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)

Juga coba renungkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya,

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.” (Idem, 10: 17).

Tugas kita saling menasehati. Jika ada yang melampaui batas dalam memutuskan untuk coblos dengan berkampanye hitam, tolong diingatkan. Atau waktunya habis hanya karena membela satu capres, tolong dinasehati. Kami pun tetap hargai yang memilih golput. Peace!

Semoga Allah terus menjaga ukhuwah kita.


Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

Kembali ke atas / Top

Artikel :Blog Al Islam



Daftar Artikel
Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger