Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Sunnah Yang Terlupakan, Ucapan “Innal ‘Aisya, ‘Aisyul Akhirah”

Written By sumatrars on Selasa, 10 Juni 2014 | Juni 10, 2014

Category : do'a, Dzikir
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 9 June 2014,

Syaikh Ibnul Utsaimin -rahimahullah- mengatakan:

Rasul -shallallahu’alaihi wasallam- dahulu bila melihat suatu perkara dunia yg membuatnya takjub, beliau mengatakan:

لبيك إن العيش عيش الآخرة

/Labbaik, innal ‘aisya ‘aisyul akhirah/
Aku penuhi panggilanmu ya Allah, sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akherat” (HR. Bukhari 2834, Muslim 1805)

Karena bila seseorang melihat suatu perkara dunia yang membuatnya takjub, mungkin saja dia meliriknya, sehingga dia berpaling dari Allah. Oleh karena itu beliau mengatakan: “labbaik” sebagai jawaban panggilan Allah azza wajalla, kemudian beliau memantapkan hatinya dg mengatakan: “Sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akhirat“.

Karena kehidupan yang membuatmu takjub ini adalah kehidupan yang pasti sirna, sedang kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akherat. Oleh karena itu, termasuk diantara sunnah ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan di dunia ini adalah mengucapkan: “Labbaik, innal aisya aisyul akhirah” (Syarah Mumti‘, 3/124).

Imam Syafi’i -rahimahullah- mengatakan:

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengucapkannya (yakni ucapan: “Innal ‘Aisya ‘Aisyul Akhirah“) di momen yang paling membahagiakan dan di momen yang paling menyusahkan.

(Nihayatul Mathlab, karya Al Juwaini, 4/237-238).

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bolehkah Mendakwahkan Ilmu Sebelum Mengamalkannya?

Category : Akhlaq dan Nasehat, Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, dakwah, Ilmu, Manhaj
Source article: Muslim.Or.Id, Yulian Purnama

Transcribed on : 9 Jun 2014

Tidak ragu lagi bahwa ilmu yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah wajib diamalkan, bukan sekedar diilmui semata. Ilmu akan bermanfaat bagi seseorang ketika diamalkan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka amalkan” (QS. Al-Waqi’ah: 24).

Allah Ta’ala tidak berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ

Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka ketahui”.

Namun yang menjadi masalah, apakah seseorang yang ingin menyampaikan suatu ilmu atau mendakwahkannya, ketika itu ia wajib sudah mengamalkan apa yang ia sampaikan? Simak penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berikut ini, beliau berkata:

“syarat ke enam (dalam amar ma’ruf nahi mungkar), hendaknya orang yang ber-amar ma’ruf (memerintahkan perkara yang disyariatkan) dan ber-nahi munkar (melarang perkara yang dilarang agama) itu sudah mengamalkan apa yang ia sampaikan. Ini adalah pendapat sebagian ulama. Jika ia belum mengamalkannya, maka tidak boleh ber-amar ma’ruf nahi mungkar.

Karena Allah Ta’ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

Maka jika seseorang tidak shalat, maka ia tidak boleh menyuruh orang lain untuk shalat. Jika ia minum khamr, maka ia tidak boleh melarang orang lain meminumnya. Oleh karena itu, seorang penyair bersyair:

لا تنه عن خلق وتأتي مثله

عار عليك إذا فعلت عظيم

jangan engkau melarang sebuah sikap, namun engkau juga melakukan semisalnya
kehinaan besar bagimu jika kau melakukan yang demikian

Namun jumhur ulama berbeda dengan pendapat ini. Menurut jumhur, wajib ber-amar ma’ruf walaupun ia belum melakukannya, dan wajib melarang kemungkaran walaupun ia masih melakukannya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menegur Bani Israil yang gemar menyuruh berbuat kebaikan, namun mereka melakukannya sambil melupakan diri-diri mereka sendiri.

Pendapat jumhur inilah yang shahih. Saya katakan, sekarang anda diperintahkan oleh Allah 2 hal: (1) Melakukan kebaikan (2) Memerintahkan orang lain berbuat kebaikan. Dan anda juga dilarang dari 2 hal: (1) Melakukan kemungkaran (2) Meninggalkan nahi mungkar. Maka janganlah anda meninggalkan hal yang diperintahkan sekaligus juga melakukan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satunya, tidak melazimkan gugurnya kewajiban yang lain” (Syarh Al Aqidah Al Washithiyyah, 514-515).

Jadi, kalau tidak mengerjakan semua kewajiban, maka minimal jangan tinggalkan semuanya. Ini juga sebagaimana kaidah:

ما لا يدرك كله لا يترك جله

apa-apa yang tidak capai semuanya, jangan tinggalkan semua

Misalnya ketika seseorang yang tidak shalat namun ia tahu shalat itu wajib dan ia tahu temannya juga tidak shalat, maka ia di tuntut 2 hal: (1) Melakukan shalat (2) Memerintahkan temannya untuk shalat. Maka dalam kasus ini ia tetap wajib memerintahkan temannya shalat, walaupun ia tidak atau belum shalat. Dengan ini ia menunaikan 1 kewajibannya. Karena jika ia tidak shalat dan tidak memerintahkan temannya untuk shalat, ia melakukan 2 keburukan, sebagaimana kata Syaikh Ibnul Utsaimin, “anda meninggalkan hal yang diperintahkan sekaligus juga melakukan yang dilarang“. Yaitu meninggalkan shalat dan meninggalkan amar ma’ruf.

Namun sekali lagi, ini bukan berarti seseorang tidak perlu beramal ketika hendak ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Hendaknya orang yang ber-amar ma’ruf nahi mungkar senantiasa introspeksi diri, lebih bersemangat memperbaiki diri sendiri sebelum orang lain, selalu bersemangat mengamalkan ilmu yang ia miliki sebelum menerapkannya kepada orang lain. Cukuplah firman Allah Ta’ala sebagai pengingat dan ancaman baginya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)

Demikian, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, terutama kami sebagai penulis, untuk senantiasa bersemangat mengamalkan ilmu yang kita miliki. Dan semoga Allah menyelamatkan kita agar tidak termasuk orang-orang yang mengatakan sesuatu namun tidak diamalkan. Wallahul musta’an wa ‘alaihit tuklaan.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kemudahan Agama Islam

Written By sumatrars on Senin, 09 Juni 2014 | Juni 09, 2014

Category : Hadits, agama islam, Hadits, islam, islam itu mudah
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 8 Jun 2014

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الدِّينَ يُسْر، وَلَنْ يَشادَّ الدينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فسَدِّدوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بالغُدْوة وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلَجة” (رواه البخاريُّ وَفِي لَفْظٍ لِلْبُخَارِيِّ “وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوْا”)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba” (HR. Bukhari, dan pada sebuah lafaz Bukhari disebutkan, “Sederhanalah, sederhanalah niscaya kalian akan sampai“)

Syarh/Penjelasan:

Demikianlah agama Islam. Ia adalah agama yang mudah, baik dalam akidah maupun amalan. Akidah Islam mudah dicerna oleh akal pikiran, seperti tentang keesaan Allah, keberhakan-Nya untuk diibadahi karena Dia sebagai Pencipta alama semesta, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada seorang yang setara dengan-Nya (lihat surat Al Ikhlas), berbeda dengan keyakinan trinitas yang dianut orang-orang Nasrani dan penuhanan makhluk yang keadaannya lebih lemah daripada penyembahnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Demikian pula dalam amalan, syariat Islam seluruhnya mudah, bahkan kewajiban menjadi gugur ketika seseorang tidak mampu melaksanakannya. Bahkan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempraktekkannya dalam keseharian adalah hal yang mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Perhatikanlah hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»

Dari Anas ia berkata, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mereka diberitahu, maka sepertinya mereka menganggapnya sedikit, lalu mereka berkata, “Bagaimanakah keadaan kami dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.” Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa selama-lamanya dan tidak akan berbuka.” Sedangkan yang lain lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Maka datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dan bersabda, “Kalian yang berkata begini dan begitu. Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang tidak suka sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di antara prinsip Islam adalah ‘adamul haraj (meniadakan kesulitan). Oleh karena itu, Islam meringankan hukum-hukum untuk memudahkan manusia dengan beberapa cara, di antaranya:

  1. Pengguguran kewajiban dalam keadaan tertentu, misalnya tidak wajibnya melakukan ibadah hajji bagi yang tidak aman.

  2. Pengurangan kadar dari yang telah ditentukan, seperti mengqashar shalat bagi orang yang sedang melakukan perjalanan.

  3. Penukaran kewajiban yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, kewajiban wudhu’ dan mandi diganti dengan tayammum ketika tidak bisa menggunakan air.

  4. Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal), seperti jama’ taqdim, melaksanakan shalat ‘Ashar di waktu Zhuhur karena dibutuhkan.

  5. Menangguhkan, yaitu mengerjakan sesuatu setelah lewat waktu asalnya, seperti jama’ ta’khir, misalnya melaksanakan shalat Zhuhur di waktu ‘Ashar karena dibutuhkan.

  6. Perubahan, yaitu bentuk perbuatan berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi, seperti dalam shalat khauf (ketika perang). Allah Ta’ala berfirman,

    فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ

    Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)” (QS. Al Baqarah: 239)

    Demikian juga ketika sakit yang membuat seseorang tidak sanggup berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

    Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak sanggup, maka sambil duduk. Jika tidak sanggup, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushain)

Sabda Beliau, “tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam)”, yakni menjalankan ibadah dengan sikap tasyaddud (mempersempit kelapangan Islam) dan ghuluw (melewati aturan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti menjadikan perkara sunat sebagai wajib, mengharamkan beberapa hal yang dihalalkan, dan tidak mau mengambil rukhshah (keringanan/kelonggaran dari Allah).

Sabda Beliau, “kecuali dia akan kalah”, yakni akan bosan sendiri dan akhirnya ditinggalkan.
Namun tidak termasuk tasyaddud/ghuluw kalau seseorang berusaha ke arah kesempurnaan dalam mengerjakan ajaran Islam.

Sabda Beliau, “Maka bersikap luruslah” yakni tetaplah mengerjakan ajaran Islam tanpa tasaahul/bermalas-malasan dan tanpa tasyaddud/ghuluw (melewati aturan) seperti menambah-nambah atau berbuat bid’ah. Hal ini sebagaimana firman Allah:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Huud: 112)

Ayat “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar” yakni tetaplah kamu berada di atas ajaran Islam, jangan malas mengerjakannya atau meremehkannya. Sedangkan ayat “sebagaimana diperintahkan kepadamu” yakni sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak melewati aturan dan tidak menambah-nambah. Berdasarkan keterangan ini, seseorang akan merasakan kesulitan menjalankan agama ketika ia menambah-nambah ajaran Islam (berbuat bid’ah).

Sabda Beliau, “Mendekatlah” yakni jika kamu tidak dapat mengerjakan seluruh ajaran Islam, maka berusahalah mengerjakan sebagian besarnya.

Sabda Beliau, “Berbahagialah” yakni berbahagialah dengan pahala yang Allah janjikan, dan Dia tidak pernah mengingkari janji. Dengan anda mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan, akan membuat seserang semakin semangat dan ringan mengerjakan amal salehi.

Sabda Beliau, “Manfaatkanlah waktu pagi, sore, dan ketika sebagian malam tiba” yakni usahakanlah selalu mengerjakan ibadah pada saat-saat kuat dan semangat mengerjakannya yaitu di waktu pagi, petang, dan sebagian malam.

Ini termasuk jawami’ul kalim yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah sabda Beliau, kata-katanya sedikit namun kandungannya begitu dalam.

Dari hadits ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya:

Faidah Hadits:

  1. Seluruh ajaran Islam mudah, baik akidah maupun amalan.

  2. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

  3. Jika kita tidak dapat mengejar semua, maka jangan tinggalkan sebagian besarnya.

  4. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kita.

  5. Memberikan semangat orang-orang yang beramal serta memberikan kabar gembira kepada mereka dengan kebaikan dan pahala yang akan diperoleh dari mengerjakan suatu amalan.

  6. Jalan yang perlu dilalui dalam mengadakan perjalanan menuju Allah Subhaanhu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

***
Maraji’: Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Fathul Bari (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ’Asqalani), dll.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Makna “Afiat” Dan Urgensinya

Written By sumatrars on Minggu, 08 Juni 2014 | Juni 08, 2014

Category : Doa dan Zikir, afiyah, afiyat, do'a, Dzikir, hidup sehat, kesehatan muslim, sehat
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 7 June 2014,

Kata afiat dalam bahasa kita sudah berpadu dengan kata sehat sehingga terbentuklah frase ‘sehat wal afiat’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hlm.11) , kata afiat merupakan sinonim dari kata ‘sehat’, sehingga pengertian frase tersebut menjadi (dalam kondisi) ‘sehat dan sehat’.

Kata afiat sesungguhnya termasuk serapan dari Bahasa Arab ( الْعَافِيَةُ, al-‘âfiyah). Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam mempergunakan kata itu dalam rangkaian doanya. Maka, pemahaman terhadap kata tersebut akan tepat bila mengacu dalam buku-buku literatur Islam.

Pengertian afiyat dalam Islam cakupannya luas dan berdimensi dunia dan akhirat. Luasnya makna ‘âfiat tampak secara tekstual pada doa yang diajarkan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam berikut ini:

اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِيْ دِيْنِيْ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ…

Ya Allah, sesungguhnya aku betul-betul memohon kepadaMu maaf, dan ‘afiyat di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku betul-betul memohon kepadaMu maaf dan ‘afiyat pada agamaku, keluargaku dan hartaku…” (HR. Abu Daud 5074, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Secara global, afiat adalah perlindungan Allâh bagi hambaNya dari berbagai macam penyakit dan bencana.
Makna afiat di dunia dan akhirat yaitu memperoleh keselamatan dari hal-hal yang buruk, yang otomatis mencakup seluruh keburukan yang telah berlalu maupun yang akan datang.

Afiyat mencakup keselamatan dari berbagai fitnah, penyakit, musibah dan hal-hal buruk lainnya yang terjadi di dunia ini. Sementara afiyat di akhirat, mencakup keselamatan dari siksa setelah kematian, seperti siksa kubur, siksa Neraka dan kengerian yang terjadi antara keduanya, hisab dan kesulitan-kesulitan lainnya.

Permohonan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam akan afiat dalam agama bermakna memohon perlindunganNya dari segala perkara yang merusak din atau memperburuknya. Sementara permohonan afiyat untuk keluarga, agar keluarga mendapat perlindungan Allâh dari beragam fitnah, bencana dan musibah. Adapun permohonan afiyat pada harta dimaksudnya supaya memperoleh penjagaan Allâh Ta’âla dari kejadian-kejadian yang melenyapkannya seperti hanyut dalam banjir, mengalami kebakaran, pencurian, dan peristiwa buruk lainnya. Dengan demikian doa ini mencakup permohonan perlindungan Allâh Ta’âla dari segala kejadian-kejadian yang berisi gangguan bagi manusia yang muncul tanpa dapat diprediksi dan mara bahaya yang menyengsarakan.

Maka tak heran, orang yang mendapatkan karunia afiat, ia telah memperoleh karunia yang sangat besar. Barang siapa dianugerahi afiat di dunia dan akhirat, maka ia telah memperoleh porsi kebaikan yang sempurna.

Dari Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallâhu ‘anhu, sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam menegaskan:

سَلُوْا الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فَإِنَّ أَحَدًا لَمْ يُعْطَ بَعْدَ الْيَقِيْنِ خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ

Mohonlah ampunan dan afiat. Sesungguhnya seorang hamba tidak memperoleh karunia yang lebih baik setelah (memperoleh) al-yaqiin dari menerima afiat” (HR. At Tirmidzi 3558, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 3632)

Untuk itu, tatkala Al-Abbâs bin ‘Abdul Muththalib radhiyallâhu ‘anhu meminta petunjuk kepada Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam mengenai apa yanga diminta dalam doanya kepada Allâh Ta’ala , Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam memerintahkan pamannya untuk memohon afiat.

Dari al-‘Abbâs bin ‘Abdil Muththalib radhiyallâhu ‘anhu , paman Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang aku minta kepada Allâh Azza wa Jalla!”. Beliau menjawab, ‘Mintalah afiat’. Selang beberapa hari kemudian, aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang aku minta kepada Allâh Azza wa Jalla!”. Beliau bersabda kepadaku, “Wahai ‘Abbas, paman Rasûlullâh, mintalah kepada Allâh afiat di dunia dan akhirat”.

Dengan demikian, karunia ‘fisik sehat’ yang dinikmati seseorang sudah masuk dalam bingkai afiah yang diperolehnya dari Allâh Ta’âla. Semoga Allâh Ta’âla berkenan menganugerahkan kepada kita ‘afiat di dunia dan akhirat. Wallâhu a’lam.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Salahkah Ucapan “Subhaanallah” Ketika Kagum/Takjub?

Alhamdulillah. Asshalaatu wassalaamu ‘ala nabiiyihi alkariim.

Beberapa tulisan di dunia maya menyebutkan kelirunya ungkapan “subhaanallah” ketika seseorang takjub atau kagum terhadap sesuatu. Pernyataan yang benar, insya Allah, bahwa salah satu ungkapan yang dilirihkan seorang muslim ketika takjub atau kagum terhadap sesuatu adalah ungkapan ‘subhaanallah’.

Berikut beberapa dalilnya,

Dalil pertama

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau (سبحانك), maka peliharalah kami dari siksa neraka”” (QS. Ali Imraan: 190-191)

Segi pendalilan dalam ayat ini adalah terdapat tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan langit dan bumi beserta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di dalamnya. Lisan orang yang berakal menyenandungkan tasbih kepada Allah ketika melihat dan memikirkan tentang segala sesuatu yang Allah ciptakan[1].

Mereka berkata, seperti dalam ayat di atas: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau (سبحانك), maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Tentang ayat ini, Dr Muhammad ibn Ishaq berkata dalam kitabnya yang berjudul at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah: “Dalam ayat ini terdapat seruan kepada kamu muslimin untuk merenungi penciptaan dan bertasbih kepada Allah ketika takjub yang menandakan kebesaran dan keagungan Allah dan bahwasanya hanya Dialah illah yang berhak diibadahi dengan benar”[2].

Dalil kedua

Allah membuka surat Al-Israa’ dengan ungkapan tasbih:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Al-Israa’: 1).

Ayat yang mengagumkan ini mengandung sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun kecuali Allah semata. Oleh sebab itu Allah membuka surat al-Israa’ dengan tasbih sebagai sebagai bentuk takjub terhadap mu’jizat yang menandakan kebesaran dan keagungan-Nya, kebenaran kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kedudukan beliau yang tingga di sisi Allah [3].

Sebagian ulama berkata: “ungkapan ‘subhaana (سبحان)’ dalam ayat di atas adalah untuk ta’ajjub (takjub/kagum)”[4].

Kesimpulan

Masih banyak nash yang lain mengindikasikan bahwa ungkapan “subhanallah” juga digunakan sebagai bentuk ta’ajjub. Begitu pula ungkapan para ulama dalam tema ini.
Tidak tepat jika menyalahkan orang yang mengungkapkan “subhanallah” ketika takjub/kagum.
Penggunaan ungkapan “subhanallah” digunakan atau diungkapkan pada banyak kondisi seperti penyucian terhadap Allah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak disenangi, kesalahan aqidah, ta’ajjub dan kondisi lain yang disebutkan para ulama.
Kami sangat menyarankan untuk membaca kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah wa ar-Raddu ‘ala Mafaahim al-Khathi’ah Fiyhi yang dikarang oleh Dr. Muhammad ibn Ishaq diterbitkan oleh Maktabah Daar al-Minhaaj, Riyadh. Kitab ini terdiri dari 2 jilid tebal mengulas panjang lebar tentang tasbih. Catatan sederhana ini banyak mengambil faidah dari kitab tersebut jilid 2.

Subhaanaka allahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta asytaghfiruka wa atuubu ilaika.

Direvisi kembali kamis sore, Asrama LIPIA Jakarta, 24 Muharram 1435 H

Catatan Kaki

[1]  Lihat kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah oleh Dr Muhammad ibn Ishaq, hal 32, jilid 2.

[2] Ibid, hal 33.

[3] Lihat kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah, hal 33, jilid 2

[4] Lihat kitab al-Hujjah fiy Bayaani al-Muhajjah wa Syarhi ‘Aqiidati ‘Ahli as-Sunnah 1/511. Kami kutip dari kitab at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah, hal 33, jilid 2

Referensi

Al-Qur-an digital dan terjemahannya
at-Tasbih fiy al-Kitab was Sunnah wa ar-Raddu ‘ala Mafaahim al-Khathi’ah Fiyhi oleh Dr. Muhammad ibn Ishaq, jilid 2, diterbitkan oleh Maktabah Daar al-Minhaaj, Riyadh.

Penulis: Fachriy Aboe Syazwiena

Artikel Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengenal Jenis Dzikir

Ada pelajaran yang amat menarik dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib, juga kitab beliau lainnya yaitu Madarijus Salikin dan Jala-ul Afham dibahas mengenai berbagai jenis dzikir. Dari situ kita dapat melihat bahwa dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir seperti tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) saja. Ternyata dzikir itu lebih luas dari itu. Mengingat-ingat nikmat Allah juga termasuk dzikir. Begitu pula mengingat perintah Allah sehingga seseorang segera menjalankan perintah tersebut, itu juga termasuk dzikir. Selengkapnya silakan simak ulasan berikut yang kami sarikan dari penjelasan beliau rahimahullah.

Dzikir itu ada tiga jenis:

Jenis Pertama:

Dzikir dengan mengingat nama dan sifat Allah serta memuji, mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.

Dzikir jenis ini ada dua macam:

Macam pertama: Sekedar menyanjung Allah seperti mengucapkan “subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar”, “subhanallah wa bihamdih”, “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.

Dzikir dari macam pertama ini yang utama adalah apabila dzikir tersebut lebih mencakup banyak sanjungan dan lebih umum seperti ucapan “subhanallah ‘adada kholqih” (Maha suci Allah sebanyak jumlah makhluk-Nya). Ucapan dzikir ini lebih afdhol dari ucapan “subhanallah” saja.

Macam kedua: Menyebut konsekuensi dari nama dan sifat Allah atau sekedar menceritakan tentang Allah. Contohnya adalah seperti mengatakan, “Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan hamba-Nya”, “Allah Maha Melihat segala gerakan hamba-Nya, “tidak mungkin perbuatan hamba yang samar dari  penglihatan Allah”, “Allah Maha menyayangi hamba-Nya”, “Allah kuasa atas segala sesuatu”, “Allah sangat bahagia dengan taubat hamba-Nya.”

Dan sebaik-baik dzikir jenis ini adalah dengan memuji Allah sesuai dengan yang Allah puji pada diri-Nya dan memuji Allah sesuai dengan yang Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam memuji-Nya, yang di mana ini dilakukan tanpa menyelewengkan, tanpa menolak makna, tanpa menyerupakan atau tanpa memisalkan-Nya dengan makhluk.

Jenis Kedua:

Dzikir dengan mengingat perintah, larangan dan hukum Allah.

Dzikir jenis ini ada dua macam:

Macam pertama: Mengingat perintah dan larangan Allah, apa yang Allah cintai dan apa yang Allah murkai.

Macam kedua: Mengingat perintah Allah lantas segera menjalankannya dan mengingat larangan-Nya lantas segera menjauh darinya.

Jika kedua macam dzikir (pada jenis kedua ini) tergabung, maka itulah sebaik-baik dan semulia-mulianya dzikir. Dzikir seperti ini tentu lebih mendatangkan banyak faedah. Dzikir macam kedua (pada jenis kedua ini), itulah yang disebut fiqih akbar. Sedangkan dzikir macam pertama masih termasuk dzikir yang utama jika benar niatnya.

Jenis ketiga:

Dzikir dengan mengingat berbagai nikmat dan kebaikan yang Allah beri.

Dzikir dengan Hati dan Lisan

Dzikir bisa jadi dengan hati dan lisan. Dzikir semacam inilah yang merupakan seutama-utamanya dzikir.

Dzikir kadang pula dengan hati saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang kedua.

Dzikir kadang pula dengan lisan saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang ketiga.

Sebaik-baik dzikir adalah dengan hati dan lisan. Jika dzikir dengan hati saja, maka itu lebih baik dari dzikir yang hanya sekedar di lisan. Karena dzikir hati membuahkan ma’rifah, mahabbah (cinta), menimbulkan rasa malu, takut, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan dzikir yang hanya sekedar di lisan tidak membuahkan hal-hal tadi.

Pelajaran

Jika kita perhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim di atas, dapat kita simpulkan bahwa duduk di majelis ilmu yang membahas bagaimana mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya, bagaimana mengetahui secara detail hukum-hukum Allah berupa perintah dan larangan-Nya, itu semua termasuk dzikir. Bahkan jika sampai ilmu itu membuahkan seseorang bersegera taat pada Allah dan menjauhi larangan-Nya, itu bisa menjadi dzikir yang utama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai fiqih akbar. Namun jika sekedar mengilmuinya saja, itu pun sudah termasuk dzikir. Itu berarti bukan suatu hal yang sia-sia jika seseorang berlama-lama duduk di majelis ilmu untuk mendengarkan nasehat para ulama yang di mana di dalamnya dibahas hal yang lebih detail tentang Allah, dibahas pula berbagai perintah dan larangan-Nya. Ini sungguh merupakan dzikir yang amat utama.

Semoga Allah menganugerahkan pada kita semangat dan keistiqomahan untuk terus belajar dan tidak lalai dari dzikir pada-Nya.

Panggang-Gunung Kidul, 20 Jumadal Ula 1432 H (23/04/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

[VIDEO] Waktu Pagi Penuh Berkah

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa “Ya Allah berkahilah ummatku di pagi harinya“.

 

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc (pimred Muslim.Or.Id)

Subscribe untuk mendapatkan update video-video bermanfaat dari muslim.or.id pada channel Muslim.Or.Id di Youtube

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Buku Pegangan Sufi, Sarat Hadits-Hadits Palsu

Kemunculan firqah-firqah yang menggulirkan banyak perkara baru dalam agama (bid’ah-bid’ah), seperti golongan Sufi, telah mendatangkan fitnah dan ujian tersendiri terhadap keyakinan dan amaliah umat Islam. Fitnah ini salah satunya dalam bentuk ajakan mengagungkan Rasûlullâh hanya melalui ucapan-ucapan lisan saja, dengan mengesampingkan ajakan mengikuti perbuatan-perbuatan beliau. Dengan begitu, mereka telah berseberangan dengan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jalan para Sahabat yang mulia, para Khulafa Rasyidin dan ulama-ulama setelah mereka.

Saudaraku, ketahuilah, di antara landasan pokok kaum Sufi dan ciri khas mereka, adalah menyebarluaskan hadits-hadits lemah, palsu, dan cerita-cerita khayalan (khurafat) disertai mengamalkan kandungan-kandungannya. Landasan dasar mereka yang lain, mentashhih hadits-hadits palsu itu (menilai hadits shahih) melalui kasyf, manâmât (bisikan dan mimpi) yang menyelisihi kaedah Ulama Hadits dalam menilai satu hadits.

Bila diperhatikan, akan cukup sulit bagi Saudara untuk menjumpai dan mendengarkan hadits shahih dalam ceramah dan khutbah-khutbah golongan Sufi. Jarang sekali mereka menyampaikan hadits shahih. Kalaulah mengetengahkan hadits shahih, itu pun dengan memenggalnya dan dijadikan sebagai dalil dalam masalah yang tidak pada tempatnya. Pasalnya, tumpuan utama mereka pada hadits-hadits yang didustakan atas nama Rasûlullâh (hadits palsu), hadits-hadits gharib, dan cerita-cerita khurafat, yang semua ini ditonjolkan untul melegalkan keyakinan-keyakinan yang sesat, praktek syirik dan bid’ah-bid’ah.

Jumlah hadits-hadits dusta dan palsu yang di kalangan Sufi tidak terhitung, baik muncul karena kedangkalan ilmu mereka terhadap hadits maupun kesengajaan. Hadits-hadits dusta dan palsu ini disebarluaskan di tengah umat sampai mengakibatkan diikutinya hadits-hadits yang tertolak dan terbengkalainya hadits-hadits shahih. Pada dasarnya, mereka mengakui kurang menguasai hadits dan kitabt-kitabnya, perbedaan hadits shahih dengan hadits yang bermasalah. Siapa saja memperhatikan buku-buku rujuan penting mereka, akan menjumpai contoh-contoh tersebut dengan jelas sekali.

Tokoh Sufi kontemporer, ‘Abdullâh al-Ghimâri mengaku,” …buku-buku tentang maulid Nabi sarat dengan hadits-hadits palsu, namun telah menjadi akidah yang mengakar pada benak orang awam”.

Sungguh, hadits-hadits dusta sangat banyak (dalam buku-buku Sufi). Dalam konteks ini, ada sebagian orang yang ditokohkan dalam agama yang telah menyusun sebuah kitab berisi berbagai macam kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat yang mudah memperdayai orang-orang jahil. Meskipun si penulis kitab mungkin tidak punya niat untuk sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan orang itu mencintai beliau, mengagungkan beliau, namun ia melakukannya (menulis hadits-hadits dusta dalam kitabnya) lantaran tidak memiliki kemampuan menyeleksi hadits yang benar dan hadis palsu.

Kalangan Sufi telah menjadikan aktifias menekuni membaca buku Dalâil Khairât (petunjuk-petunjuk kebaikan-kebaikan) sebagai pengganti membaca al-Qur`ân. Padahal dalam buku ini terdapat kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Salaf, serta dipenuhi dengan hadits-hadits palsu dan dusta.

Begitu pula, buku pegangan lain berjudul Raudhul Rayâhîn, ar-Raudhul Fâiq, Majâlisu al-’Arâis dan kitab Maulid Ibni Hajr. Kalangan Sufi lebih menggemari membacari buku-buku yang berbahaya tesebut yang memuat keburukan, hadits palsu dan bid’ah yang disertai ajakan untuk menghidupkannya dengan memalsukan hadits-hadits untuk itu. Mereka tidak memperdulikan kitab-kitab hadits standar yang menjadi landasan umat Islam umumnya, semisal Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, kitab Sunan, Muwaththa, Musnad dan kitab-kitab hadits lain yang menjadi perbendaharaan Islam dalam bidang hadits yang sarat dengan ajaran-ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saudaraku Muslim, jangan sampai engkau membaca buku-buku beracun lagi penuh dusta tersebut, juga jangan membelinya. Kewajiban kita adalah memegangi Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Ambillah dari sumber-sumbernya yang terstandar, yaitu kitab-kitab hadits yang telah popular seperti Shahîhain, kitab Sunan, Musnad-musnad, kitab Mushannaf, Muwatha dan kitab-kitab hadits lainnya yang sudah jelas menjadi rujukan umat. Kitab-kitab hadits ini sudah sangat memadai bagi kita, tanpa perlu melihat buku-buku penuh racun yang tersebar di kalangan Sufi.

Selain itu, masih ada kitab-kitab lain yang bermanfaat dalam bahasan ini, seperti Jalâul Afhâm fi ash-Shalâti was Salâmi ‘ala Khairil Anâm karya Imam Ibnul Qayyim, al-Adzkâr dan Riyâdhus Shâlihîn karya Imam Nawawi, al-Kalimu ath-Thayyibi karya Syaikhul Islam.

(Diangkat dari makalah Taqwîmu al-Mafâhîm al-Khâthi`ah ‘Indal Ghulâti wal Jufaati fi ad-Difâ’i ‘anin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, DR. Ali Musri, MA, hlm. 37-38. Disampaikan dalam ”Muktamar Internasional” dengan tema ”Nabi Rahmat, Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam” tanggal 2-4 Oktober 2010 di kota Riyadh, Saudi Arabia)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber Artikel : Abunamira.wordpress.com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger