Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Membaca Al Fatihah Dalam Sealat (1)

Written By sumatrars on Rabu, 19 Maret 2014 | Maret 19, 2014



Membaca Al Fatihah Dalam Sealat (1)

Fiqih dan Muamalah

Sudah kita ketahui bersama bahwa Al Fatihah adalah surat yang agung yang dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat dan tata caranya.

Hukum Membaca Al Fatihah

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ

“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.

Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)

Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:

في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ

“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).

Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:

  1. Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
  2. Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
  3. Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
  4. Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.” [selesai nukilan]

Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:

Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab”

sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).

Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an

Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).

Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)

Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena

  • Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
  • Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
  • Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.

Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.

Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:

كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب

“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).

Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Tarjih Pendapat

Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:

لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها

“mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)

Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:

هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ

“apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”

Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)

Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:

مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ

“barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”

(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).

Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).

Namun perlu kami tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.

  1. Shalat yang bacaannya dilirihkan, yaitu shalat zhuhur dan ashar
  2. Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shalat shubuh, maghrib dan isya

Dikutip dari Artikel Blog Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Nasehat Ulama Untuk Meninggalkan “Qiila wa Qaala” Di Internet

Written By sumatrars on Selasa, 18 Maret 2014 | Maret 18, 2014

Kategori : Nasehat Ulama, Soal dan Jawab

Penanya: wahai Syaikh, Apa nasehat anda bagi para pemuda yang menyibukkan diri dalam “al qiila wal qaal” di internet dan berbantah-bantahan?

Asy Syaikh: menyibukkan apa?

Penanya: menyibukkan diri dalam “al qiila wal qaal” di internet

Asy Syaikh: al qiila wal qaal ?

Penanya: ya

Asy Syaikh: nasehatku agar mereka mempelajari ilmu (agama) dan menyibukkan diri dengan ilmu (agama) sehingga ia mencapai kebaikan dan mengamalkannya, dan ia memberikan manfaat bagi manusia dengan ilmu itu, dan hendaknya ia meninggalkan al qiila wal qool yang tidak memberikan kepada mereka kebaikan, ia hanya memberikan mereka miudharat, ini nasehat saya bagi mereka.

Penanya: dan mereka menyibukkan diri berbantah-bantahan sedangkan mereka bukan ahlinya

Asy Syaikh: selamanya (tidak!), wajib atas mereka untuk memperdalam ilmu agama dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfat dan janganlah mereka menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mereka bukan ahlinya .

Penanya: Jazaakumullahhu khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan).

[Transkrip tanya jawab bersama guru tercinta Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad, ulama muhaddits kota Madinah, hafidzahullah ta'aala, setelah pelajaran mata kuliah kitab Sunan An-Nasaaiy yang disampaikan di Fakultas Syari'ah, Universitas Islam Madinah, Kerajaaan Arab Saudi. Tanggal rekaman: 2 Muharram 1435/ 05 November 2013]

Keterangan:

Makna al qiila wal qaal menurut para ulama:

Al Imam Malik rahimahullah mengatakan: ” qiila wa qal” memperbanyak ucapan dan menyebar berita yang mengkhawatirkan, seperti ucapan seseorang: “si fulan mengatakan (begini)”, “si fulan melakukan (ini)” dan ikut-ikutan dalam perkara yang tidak pantas.

Al Imam An Nawawiy rahimahullah berkata: “qiila wa qaal” adalah masuk campur dalam kabar-berita orang lain dan menghikayatkan sesuatu yang tidak penting dari keadaan-keadaan dan perbuatan mereka. (Syarah Shahih Muslim, pada hadits no. 3236) . Beliau juga berkata : makna “qiila wa qaal” adalah; menceritakan semua yang ia dengarkan, ia berkata: “katanya begini”, “kata si fulan begitu” dari perkara yang ia (sendiri) tidak mengetahui keabsahannya, tidak pula menyangkanya (demikian). Cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta, (tatkala) ia menceritakan semua yang ia dengarkan. (Syarah Riyadhus Shaalihin, Bab no. 41).

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “qiila wa qaal” maksudnya mengutip ucapan dan kebanyakan apa yang diucapkan oleh manusia dan ia banyak berkomentar dengannya. Dan tidak ada tujuannya melainkan membicarakan orang lain, “mereka bilang begini dan katanya begitu”. Apalagi jika perkara ini terkait kehormatan Ahli Ilmu(ulama) dan kehormatan penguasa, maka akan sangat dan sangat dibenci di sisi Allah (Syarah Riyadhus Shalihiin).

Berkata guru kami Asy Syaikh Rabi’ hafidzahullah : “qiila wa qaal” adalah masuk campur dalam kebathilan dan pada perkara yang tidak penting. (Mudzakkiroh Fii Al-Hadits An-Nabawiy, hal. 18).

Dikutip dari Artikel Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Jangan Meminta Kekuasaan

Kategori : Bahasan Utama

Inilah yang dinasehatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada ‘Abdurrahman bin Samurah, “Janganlah engkau meminta kekuasaan.” Apa masalahnya jika meminta kekuasaan atau gila kedudukan seperti yang kita saksikan saat ini pada para caleg?

Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652)

Imam Nawawi membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang mendesak untuk itu.”

Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah.” (Fathul Bari, 13: 124)

Beliau berkata pula, “Siapa saja yang tidak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka ia tidak akan diberi kemudahan untuk menjalankan kepemimpinannya. Permintaan untuk jadi pemimpin (dengan penuh tamak) seperti ini tidak perlu dipenuhi. Namun perlu diketahui bahwa setiap kepemimpinan tentu saja akan mengalami kesulitan. Karenanya jika tidak dapat pertolongan dari Allah, maka sulit menjalani kepemimpinan tersebut.” (Idem)

Al Muhallab berkata, “Meminta kepemimpinan di sini tidak dibolehkan ketika seseorang tidak punya kapabilitas di dalamnya. Termasuk pula tidak dibolehkan jika saat masuk dalam kekuasaan, ia malah terjerumus dalam larangan-larangan agama. Namun siapa saja yang berusaha tawadhu’ (rendah hati), maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Idem, 13: 125)

Ibnu At Tiin mengatakan, “Larangan meminta kekuasaan ini berlaku secara umum. Namun ada kasus tertentu seperti pada kisah Nabi Yusuf yang beliau masih meminta kekuasaan sebagaimana disebut dalam ayat,

اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir).” (QS. Yusuf: 55).

Begitu pula terdapat pada Nabi Sulaiman,

وَهَبْ لِي مُلْكًا

“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shad: 35).

Ibnu At Tiin berkata bahwa larangan meminta kekuasaan seperti itu berlaku untuk selain Nabi. (Idem)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang meminta kekuasaan, maka pertolongan Allah tidak bersamanya. Dalam kepemimpinannya tidak mendapatkan kecukupan (kemudahan) dari Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 104).

Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Muslim.Or.Id.

Referensi:

  • Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

  • Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat tahun 1432 H.

Disalin dari Artikel Blog Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Shalat Dengan Niat Mendapatkan Mobil Innova

Written By sumatrars on Senin, 17 Maret 2014 | Maret 17, 2014

Suatu amalan baik dan diterima tentu saja jika didasari ikhlas dan mutaba’ah, mengikuti contoh Rasulullah. Jika ibadah tersebut didasari niat hanya cari dunia (meraih hadiah mobil innova), tentu amalannya jadi sia-sia.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)

Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”

Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.

Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Dunia dan Mobil Innova Boleh Jadi Diperoleh, Namun di Akhirat?
Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,

بشر هذه الأمة بالسناء والرفعة والدين والتمكين في الأرض فمن عمل منهم عمل الآخرة للدنيا لم يكن له في الآخرة من نصيب
Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Berbagai Macam Niat dalam Beramal
  1. Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
  2. Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
  3. Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid karya Syaikh As Sa’di, 132-133)
Jadi, perbaikilah niat dalam beramal. Beramal hanya ingin cari dunia, sungguh sia-sia. Amalan shalat adalah amalan yang mulia, namun jadi rendah hanya karena niatannya yang ingin cari dunia.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Dikutip dari sumber Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
 
Artikel : http://alislam-sr.blogspot.com

















?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Gambaran Cinta Nabi Dahulu dan Sekarang

Orang yang berusaha menghidupkan sunnah dan membasmi bid’ah justeru dicap tidak cinta Rasul…! atau Wahabi …! Namun sebaliknya, mereka yang melestarikan berbagai bid’ah khurafat dengan kedok ‘Cinta Rasul’ justeru mengklaim dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah. Benar-benar aneh. Berikut adalah uraian berharga tentang gambaran cinta nabi yang disampaikan oleh Ustadz Sufyan Basweidan, MA, moga kita bisa ambil pelajaran berharga.

Sebagai seorang muslim, mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini merupakan konsekuensi dari kesaksian kita akan kerasulan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak? Sedang melalui beliau lah kita terbebas dari segudang warisan jahiliyah yang telah mengakar begitu lama. Kalau lah tidak karena hidayah Allah, kemudian karena pengorbanan beliau dalam mendakwahkan Islam, niscaya sampai hari ini kita masih terjerat dalam belenggu syirik dan jahiliyah.

Segala puji bagi-Mu ya Allah, atas hidayah dan taufiq yang Kau curahkan kepada kami… dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah padamu ya Rasulullah, atas setiap pengorbananmu demi menegakkan dien ini…

Sungguh, berbicara mengenai kepribadian beliau adalah suatu kenikmatan tersendiri… 

berkisah tentang pernak pernik kehidupan beliau benar-benar menimbulkan decak kagum dan membesarkan hati…

Beliau lah manusia pilihan yang lahir dari manusia-manusia terpilih. Berbekal hati sanubari yang disucikan dari segala noda dan dosa, beliau beranjak menjadi manusia terhebat sepanjang sejarah. Perilakunya sungguh luar biasa, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata… sorot wajahnya benar-benar mencerminkan seorang pemimpin agung yang amat welas kasih terhadap rakyatnya… siapa pun yang menatap wajah beliau pastilah jatuh cinta diliputi perasaan segan karena wibawanya yang demikian besar.

Singkatnya, beliaulah sosok insan kaamil sejati yang tak mungkin ada tandingannya. Maka pantaslah jika para sahabat benar-benar jatuh cinta kepada beliau. Mereka mencintai kekasihnya yang satu ini lebih dari orang tua, anak dan isteri mereka; bahkan lebih dari diri mereka sendiri!

Setiap kegembiraan yang beliau rasakan adalah kegembiraan bagi mereka, dan setiap kesedihan yang beliau rasakan merupakan kesedihan bagi mereka. Mereka ikut sakit tatkala beliau sakit, mereka kelaparan tatkala beliau kelaparan, dan mereka tak dapat tidur sebelum kedua mata beliau terpejam…

Dahulu, diriwayatkan dari Sayyidina ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, katanya: “Dahulu aku mempunyai seorang tetangga Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid, sebuah kabilah yang bermukim di dataran tinggi kota Madinah. Kami berdua senantiasa bergantian mengunjungi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. 

Kalau hari ini dia yang turun maka keesokannya gantian aku yang turun. Usai turun menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kukabarkan kepadanya apa-apa yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hari itu, baik itu berupa wahyu atau lainnya. Demikian pula halnya kalau ia yang turun, ia melakukan hal serupa.

Sebagai lelaki Quraisy, kami adalah orang yang memiliki supremasi terhadap istri-istri kami. Akan tetapi setiba kami di Madinah, kami dapati bahwa orang Anshar adalah orang yang kalah oleh istri-istri mereka. Akibatnya istri-istri kami mulai terpengaruh dengan tabiat wanita Anshar.

Pernah suatu ketika aku membentak istriku… tapi ia malah membantah. Aku pun jadi berang begitu tahu ia berani membantahku.

Mengapa kamu marah atas sikapku, padahal demi Allah, istri-istri Nabi saja berani membantah beliau…? Bahkan ada di antara mereka yang sampai meninggalkan beliau seharian ini hingga malam…” sanggah istriku.

Aku pun tercengang mendengarnya… “Benar-benar merugilah kalau sampai ada dari istri beliau yang berbuat demikian” gumamku.

Saat itu juga aku menyingsingkan gamisku dan bergegas menuju rumah Hafshah. Setibaku di rumahnya, kukatakan kepadanya:

Hai Hafshah, benarkah ada di antara kalian yang membikin kesal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seharian ini hingga malam?

Benar…” jawabnya.
Alangkah meruginya kamu kalau begitu… Apa kamu merasa aman dari murka Allah setelah kamu membikin kesal Rasul-Nya, hingga boleh jadi kamu celaka karenanya…? Jangan minta macam-macam kepada Nabi, dan jangan sekali-kali membantahnya atau meninggalkannya. Mintalah kepadaku apa yang kau inginkan dan jangan kamu terpengaruh oleh madumu, karena ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam -yakni Aisyah-”.

Konon ketika itu warga Madinah sedang ramai membicarakan isu santer bahwa Raja Ghassan tengah menyiapkan pasukan berkudanya untuk menyerbu Madinah.

Suatu ketika, tibalah giliran tetanggaku yang Anshari itu untuk turun menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Di petang harinya, ia mendatangiku sembari menggedor pintu rumahku keras-keras…“Hoi, apa kamu ada di dalam?” teriaknya.

Aku pun tersentak kaget dan bergegas keluar menemuinya… tanpa basa-basi, ia pun langsung memulai pembicaraan:

Wah, ada perkara besar yang barusan terjadi …!

Ada apa? Apa Ghassan telah tiba?” tanyaku.

Oo.. jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari itu… Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya!!” katanya.

Alangkah meruginya si Hafshah kalau begitu… aku telah menduga bahwa hal ini bakal terjadi…” gumamku…” (H.R. Bukhari no 5191).

Lihatlah, bagaimana kehidupan para sahabat sangat terpengaruh dengan rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi mereka, penyerbuan pasukan berkuda Raja Ghassan ke Madinah tidak ada apa-apanya, dibanding kesedihan mereka atas apa yang terjadi dengan rumah tangga kekasih mereka saat itu. Raut muka dan kondisi si Anshari tadi seakan mengatakan: “Biarlah Ghassan menyerbu Madinah dan merampas harta benda yang kami miliki, yang penting Rasulullah ceria kembali…

Dahulu, ketika sebagian kaum muslimin terpukul mundur dan meninggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud, ada seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah yang berdiri tegar dihadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melindungi beliau dengan perisainya…

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan: Konon Abu Thalhah adalah seorang pemanah ulung yang busurnya terkenal kuat, dan hari itu ia telah mematahkan dua atau tiga buah busurnya. Di sampingnya ada seorang lelaki yang membawa sejumlah anak panah, maka perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kepadanya:

Berikan semua anak panahmu kepada Abu Thalhah…”, sembari Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati pergerakan musuhnya.

Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, janganlah menampakkan dirimu kepada musuh agar engkau tak terkena panah… biarlah dadaku yang melindungi dadamu…!!” seru Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Subhaanallaah, betapa besar kecintaan mereka kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga nyawa pun menjadi murah demi keselamatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam … benar-benar gambaran kecintaan yang sejati.

Dahulu, ada seorang sahabat yang bernama Muhaiyishah bin Mas’ud Al Khazraji Al Anshari, julukannya Abu Sa’ad. Ia tergolong warga Madinah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusnya ke daerah Fadak untuk mengajak penduduknya masuk Islam. Ia termasuk salah seorang sahabat yang ikut serta dalam perang Uhud, Khandaq dan berbagai peperangan berikutnya. Ia memiliki saudara kandung yang lebih tua usianya, yaitu Huwaiyishah bin Mas’ud; akan tetapi Muhaiyishah lebih cerdas dan lebih afdhal dari saudaranya ini, bahkan ialah yang menjadi sebab keislaman saudaranya.

Ada sebuah kisah menakjubkan yang terjadi antara Muhaiyishah dan Huwaiyishah. Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam Kitab Al Maghazi dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang berkenaan dengan kisah pembunuhan seorang Yahudi keparat yang senantiasa menyakiti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melalui syair-syairnya, namanya Ka’ab ibnul Asyraf. Si Yahudi ini berusaha memprovokasi orang-orang Arab untuk memerangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Usai terbunuhnya Ka’ab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya: “Jika kalian berpapasan dengan orang Yahudi siapa pun di sana, maka bunuh saja!”.

Maka segeralah Muhaiyishah bin Mas’ud menghabisi Ibnu Sunainah, salah seorang saudagar Yahudi yang dahulu bergaul erat dan berjual beli dengannya. Ketika itu, Huwaiyishah bin Mas’ud belum masuk Islam dan ia lebih tua dari Muhaiyishah. Begitu ia tahu Muhaiyishah membunuh si Yahudi tadi, Huwaiyishah langsung memukul dan menghardiknya:

Hai musuh Allah, sampai hati kau membunuhnya?! Padahal demi Allah, sebagian lemak yang ada di perutmu adalah berasal dari hartanya!”, bentak Huwaiyishah.

Demi Allah, aku diperintahkan untuk membunuhnya oleh seseorang yang bila ia memerintahkanku untuk membunuhmu, niscaya akan kupenggal juga lehermu!” jawab Muhaiyishah tegas.

Huwaiyishah tertegun sejenak mendengarnya…
“Kalau begitu, agama yang menjadikanmu seperti ini benar-benar luar biasa…” gumam Huwaiyishah.
Maka Huwaiyishah pun menyatakan keislamannya, dan inilah awal keisalaman dirinya. Seketika itulah Muhaiyishah mengucapkan syair:

يلوم ابن أمي لو أمرت بقتله لطبقت ذفراه بأبيض قاضب

Ia mencelaku, padahal kalau disuruh membunuhnya, pastilah kutebaskan pedangku pada tengkuknya.

حسام كلون الملح أخلص صقله متى ما أصوبه فليس بكاذب

Pedang nan putih bak garam yang berkilau sinarnya, yang bila kuhunus maka tak akan lagi berdusta.

وما سرني أني قتلتك طائعا وأن لنا ما بين بصرى ومأرب

Aku tak suka bila membunuhmu karena taat kepadanya, diganti dengan apa yang terdapat antara Ma’rib dan Bushra[2]

Wuiihh… benar-benar sulit dipercaya! Benar-benar kecintaan yang tiada tara… adakah di antara kita yang sanggup menirunya?

Alih-alih ingin seperti mereka, disuruh ikut sunnahnya saja setengah mati susahnya, apalagi disuruh seperti mereka? Mustahil rasanya…

Sekarang, cinta Rasul kebanyakan hanyalah slogan yang sulit dicari wujudnya di lapangan. Cinta Rasul sering kali diidentikkan dengan shalawatan, perayaan maulid, isra’ mi’raj, dan yang sejenisnya.

Sekarang, orang yang dianggap cinta Rasul ialah mereka yang mengagungkan beliau dengan bertawassul kepadanya dalam do’a. Atau mereka yang mengirimkan Al Fatehah kepada beliau, atau mereka yang menggelari beliau dengan gelar yang bermacam-macam: seperti Sayyidina, Habibina, dan lain-lain.

Sekarang, ‘Cinta Rasul’ merupakan judul kaset yang sering kita dengar di mana-mana… yang dinyanyikan oleh pria dan wanita, tua dan muda… semua merasa khusyuk ketika melantunkan kata-kata: Shalaatullaah salaamullaah… ‘alal habiibi Rasuulillaah…

Akan tetapi jangan tanya soal sunnah beliau kepada mereka… karena mereka akan menjawab bahwa yang mereka lakukan tadilah yang namanya sunnah.

Cinta Rasul kini telah berubah menjadi klaim yang diperebutkan setiap golongan. Cinta Rasul yang dahulu diwujudkan dengan ittiba’ kepadanya, kini semakin luas maknanya hingga mencakup bid’ah segala. Menurut mereka, perayaan maulid, isra’ mi’raj, shalawatan, dan yang sejenisnya merupakan perwujudan nyata akan kecintaan seseorang kepada Nabinya.

Sehingga otomatis bila ada orang yang mengingkari hal-hal semacam itu, serta-merta dituduhlah ia sebagai orang yang tidak cinta Rasul, atau wahhabi, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, mereka berusaha mencari ‘pembenaran’ –dan bukannya kebenaran– atas apa yang selama ini mereka lakukan. Mereka berusaha meyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini tidaklah bertentangan dengan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengumpulkan sebanyak mungkin ‘dalil’ (baca: syubhat) untuk melegitimasi praktik ‘sunnah’ (baca: bid’ah) mereka.

Memang zaman kita ini penuh dengan keanehan… orang yang berusaha menghidupkan sunnah dan membasmi bid’ah justeru dicap macam-macam; seperti tidak cinta Rasul…! atau wahhabi…! Namun sebaliknya, mereka yang melestarikan berbagai bid’ah khurafat dengan kedok “Cinta Rasul” justeru mengklaim dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.

Dikutip dari sumber Artikel Muslim.Or.Id

[1] Lihat Shahih Bukhari, hadits no 3811 & 4064; dan Shahih Muslim, hadits no: 1811.
[2] Lihat Al Istie’aab fi Ma’rifatil As-haab, 4/1463-1464, oleh Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Bar; Dalailun Nubuwwah 3/200, oleh Imam Al Baihaqy; Sirah Ibnu Hisyam, 3/326; dan yang lainnya.
Ma’rib adalah nama sebuah kota di Yaman, sedangkan Bushra adalah nama sebuah daerah di Syam.

Artikel :Blog Al Islam



Daftar Artikel
Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Menyoal Pacaran Islami

Written By sumatrars on Rabu, 05 Maret 2014 | Maret 05, 2014

Ditengah hingar bingar perayaan hari Valentine yang digandrungi banyak anak muda sekarang, terselip di dalamnya ajakan untuk berpacaran. Dari sini, sebagian pemuda-pemudi kaum muslimin terbetik dalam hatinya keinginan untuk berpacaran namun dengan model yang berbeda dengan ‘pacaran konvensional’ yang mereka istilahkan sebagai “pacaran islami”. Sebenarnya, bolehkah ber-”pacaran islami” itu?

Makna Pacaran Islami
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan bahwa, “sesuatu yang dinisbatkan kepada Islam artinya ia dia diajarkan oleh Islam atau memiliki landasan dari Islam”. Oleh karena itu, istilah ‘pacaran islami’ sendiri sejatinya tidak benar karena Islam tidak pernah mengajarkan pacaran dan tidak ada landasan pacaran Islami dalam syariat. Bahkan sebaliknya, ajaran Islam melarang kegiatan-kegiatan yang ada dalam pacaran, atau singkatnya, Islam melarang pacaran.
Pacar sendiri secara bahasa artinya,
Pacaran teman lawan jenis yang tetap dan mempunya hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih';
berpacaran v bercinta; berkasih-kasihan; (Sumber: KBBI)
Sehingga kita definisikan pacaran Islami adalah kegiatan bercintaan atau berkasih-kasihan yang sedemikian rupa dipoles sehingga terkesan sesuai dengan ajaran Islam. Dalam prakteknya, batasan pacaran Islami pun berbeda-beda menurut pelakunya. Diantara mereka ada yang beranggapan pacaran Islami itu adalah aktifitas pacaran selama tidak sampai zina, ada juga yang beranggapan ia adalah aktifitas pacaran selama tidak bersentuhan, atau pacaran selama tidak dua-duaan, dan yang lainnya. Insya Allah, akan kita bahas beberapa model “pacaran islami” yang banyak beredar.

Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Pacaran

‘Pacaran’ bukanlah istilah yang ada dalam khazanah Islam. Maka memang tidak ditemukan dalil yang bunyinya “janganlah kalian pacaran” atau “pacaran itu haram” atau semisalnya. Dan dalam kitab para ulama terdahulu pun tidak ada bab mengenai pacaran. Lalu mengapa kita bisa katakan Islam melarang pacaran? Karena jika kita melihat realita, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pacaran terdapat kegiatan-kegiatan atau hal-hal yang dilarang dalam Islam, yaitu:
1. Zina atau mendekatinya
Zina sudah jelas terlarang dalam Islam, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra’: 32)
As Sa’di menyatakan: “larangan mendekati zina lebih keras dari pada sekedar larangan berbuat zina, karena larangan mendekati zina juga mencakup seluruh hal yang menjadi pembuka peluang dan pemicu terjadinya zina” (Tafsir As Sa’di, 457). Maka ayat ini mencakup jima’ (hubungan seks), dan juga semua kegiatan percumbuan, bermesraan dan kegiatan seksual selain hubungan intim (jima’) yang dilakukan pasangan yang tidak halal.
Dan zina itu merupakan dosa besar, pezina yang muhshan dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يحل دم امرئ مسلم ، يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ، إلا بإحدى ثلاث : النفس بالنفس ، والثيب الزاني ، والمفارق لدينه التارك للجماعة
Seorang muslim yang bersyahadat tidak halal dibunuh, kecuali tiga jenis orang: ‘Pembunuh, orang yang sudah menikah lalu berzina, dan orang yang keluar dari Islam‘” (HR. Bukhari no. 6378, Muslim no. 1676).
Memang tidak semua yang berpacaran itu pasti berzina, namun tidak berlebihan jika kita katakan bahwa pacaran itu termasuk mendekati zina, karena dua orang sedang yang berkencan atau berpacaran untuk menuju ke zina hanya tinggal selangkah saja.
Dan perlu diketahui juga bahwa ada zina secara maknawi, yang pelakunya memang tidak dijatuhkan hukuman rajam atau cambuk namun tetap diancam dosa karena merupakan pengantar menuju zina hakiki. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه
sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al Bukhari 6243).
Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).
2. Bersentuhan dengan lawan jenis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya (bukan mahramnya)” (HR. Ar Ruyani dalam Musnad-nya, 2/227,dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1/447).
Hadits ini jelas melarang menyentuh wanita yang bukan mahram secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.
Imam Nawawi berkata: “Ash-hab kami (para ulama syafi’iyyah) berkata bahwa setiap yang diharamkan untuk dipandang maka haram menyentuhnya. Dan terkadang dibolehkan melihat (wanita ajnabiyah) namun haram menyentuhnya. Karena boleh memandang wanita ajnabiyah dalam berjual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tetap tidak boleh untuk menyentuh mereka dalam keadaan-keadaan tersebut” (Al Majmu’: 4/635).
Maka kegiatan bergandengan tangan, merangkul, membelai, wanita yang bukan mahram adalah haram hukumnya. Kegiatan-kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh orang yang berpacaran.
3. Berpandangan-pandangan dengan lawan jenis
Lelaki mukmin dan wanita mukminah diperintahkan oleh Allah untuk saling menundukkan pandangan, maka jika sengaja saling memandang malahmenyelisihi 180 derajat perintah Allah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (٣٠) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nur: 30-31).
Lelaki muslim dilarang memandang wanita yang tidak halal baginya dengan sengaja, baik dengan atau tanpa syahwat. Jika dengan syahwat atau untuk bernikmat-nikmat maka lebih terlarang lagi. Adapun jika tidak sengaja maka tidak masalah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu‘anhu berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
.“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku” (HR. Muslim no. 2159).
Beliau juga bersabda dalam hadits yang telah lalu:
فزنا العينِ النظرُ
zina mata adalah memandang
Adapun wanita muslimah, dilarang memandang lelaki dengan syahwat dan boleh memandang lelaki jika tanpa syahwat. Karena terdapat hadits dalamShahihain:
أن عائشة رضي الله عنها كانت تنظر إلى الحبشة وهم يلعبون ، وكان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يسترها عنهم
Aisyah Radhiallahu’anha pernah melihat orang-orang Habasyah bermain di masjid dan Nabi Shalallahu’alahi Wasallam membentangkan sutrah agar mereka tidak melihat ‘Aisyah“. (Muttafaqun ‘alaih)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “mengenai wanita yang memandang lelaki tanpa syahwat dan tanpa bernikmat-nikmat, sebatas apa yang di atas pusar dan di bawah paha, ini tidak mengapa. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan ‘Aisyah melihat orang-orang Habasyah. Karena para wanita itu juga selalu pergi ke pasar yang di dalamnya ada lelaki dan wanita. Mereka juga shalat di masjid bersama para lelaki sehingga bisa melihat para lelaki. Semua ini hukumnya boleh. Kecuali mengkhususkan diri dalam memandang sehingga terkadang menimbulkan fitnah atau syahwat atau berlezat-lezat, yang demikian barulah terlarang” (Fatawa Nurun ‘alad Darb, http://www.binbaz.org.sa/mat/11044).
Namun yang lebih utama adalah berusaha menundukkan pandangan sebagaimana diperintahkan dalam ayat. Nah, padahal dalam pacaran, hampir tidak mungkin tidak ada syahwat diantara kedua pasangan. Dan ketika saling memandang, hampir tidak mungkin mereka saling memandang tanpa ada syahwat. Andaipun tanpa syahwat, dan ini kecil kemungkinannya, maka tetap haram bagi si lelaki dan tidak utama bagi si wanita.
4. Khulwah
Khulwah maksudnya berdua-duaan antara wanita dan lelaki yang bukan mahram. Para ulama mengatakan, “yang dimaksud dengan khulwah yang terlarang adalah jika wanita berduaan dengan lelaki di suatu tempat yang aman dari hadirnya orang ketiga” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah).
Khulwah haram hukumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).
Imam An Nawawi berkata: “adapun jika lelaki ajnabi dan wanita ajnabiyah berduaan tanpa ada orang yang ketiga bersama mereka, hukumnya haram menurut ijma ulama. Demikian juga jika ada bersama mereka orang yang mereka berdua tidak malu kepadanya, semisal anak-anak kecil seumur dua atau tiga tahun, atau semisal mereka, maka adanya mereka sama dengan tidak adanya. Demikian juga jika para lelaki ajnabi berkumpul dengan para wanita ajnabiyyah di suatu tempat, maka hukumnya juga haram” (Syarh Shahih Muslim, 9/109).
Berduaan adalah hal yang hampir tidak bisa lepas dari yang namanya pacaran, bahkan terkadang orang yang berpacaran sengaja mencari tempat yang sepi dan tertutup dari pandangan orang lain. Ini jelas merupakan keharaman. Wallahul musta’an.
5. Wanita melembutkan suara
Wanita muslimah dilarang melembutkan dan merendahkan suaranya di depan lelaki yang bukan mahram, yang berpotensi menimbulkan sesuatu yang tidak baik di hati lelaki tersebut, berupa rasa kasmaran atau pun syahwat. Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
maka janganlah kamu menundukkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al Ahzab: 32)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “’janganlah kamu menundukkan suara‘, As Suddi dan para ulama yang lain menyatakan, maksudnya adalah melembut-lembutkan perkataan ketika berbicara dengan lelaki. Oleh karena itu Allah berfirman ‘sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya‘ maksudnya hatinya menjadi rusak” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409). Dan bisa jadi hal ini juga termasuk zina dengan lisan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Termasuk juga dalam ayat ini, cara berbicara yang terdengar menggemaskan, atau dengan intonasi tertentu, atau desahan atau hiasan-hiasan pembicaraan lain yang berpotensi membuat lelaki yang mendengarkan tergoda, timbul rasa suka, kasmaran atau timbul syahwat. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ini terjadi dalam pacaran.
6. Wanita safar tanpa mahram
Sebagaimana dilarang berduaan antara lelaki dengan wanita yang bukan mahram, juga diharamkan seorang wanita bersafar (bepergian jauh) dengan lelaki yang bukan mahram tanpa ditemani mahramnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تُسافِرُ المرأةُ ثلاثةَ أيامٍ إلا مع ذِي مَحْرَمٍ
seorang wanita tidak boleh bersafar tiga hari kecuali bersama mahramnya” (HR. Bukhari 1086, Muslim 1338)
Beliau juga bersabda:
لا يخلوَنَّ رجلٌ بامرأةٍ إلا ومعها ذو محرمٍ . ولا تسافرُ المرأةُ إلا مع ذي محرمٍ
Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya, dan tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).
Dan hal ini seringkali terjadi pada orang-orang yang berpacaran, mereka bersafar berduaan saja tanpa ditemani mahramnya.
7. Penyakit Al ‘Isyq
Dari semua hal yang di atas yang tidak kalah berbahaya dan bersifat destruktif dari pacaran adalah penyakit al isyq. Makna al isyq dalam Al Qamus Al Muhith:
عُجْبُ المُحِبِّ بمَحْبوبِه، أو إفْراطُ الحُبِّ، ويكونُ في عَفافٍ وفي دَعارةٍ، أو عَمَى الحِسِّ عن إدْراكِ عُيوبِهِ، أو مَرَضٌ وسْواسِيٌّ يَجْلُبُه إلى نَفْسِه بتَسْليطِ فِكْرِهِ على اسْتِحْسانِ بعضِ الصُّوَر
“kekaguman seorang pecinta pada orang yang dicintainya, atau terlalu berlebihan dalam mencinta, terkadang (kekaguman itu) pada kehormatan atau pada kemolekan, atau menjadi buta terhadap aib-aibnya, atau timbulnya kegelisahan yang timbul dalam jiwanya yang memenuhi pikirannya dengan gambaran-gambaran indah (tentang yang dicintainya)”.
Singkat kata, al ‘isqy adalah mabuk asmara; kasmaran; kesengsem (dalam bahasa Jawa). Al Isyq adalah penyakit, bahkan penyakit yang berbahaya. Ibnul Qayyim mengatakan: “ini (al isyq) adalah salah satu penyakit hati, penyakit ini berbeda dengan penyakit pada umumnya dari segi dzat, sebab dan obatnya. Jika penyakit ini sudah menjangkiti dan masuk di hati, sulit mencari obatnya dari para tabib dan sakitnya terasa berat bagi orang yang terjangkiti” (At Thibbun Nabawi, 199). Orang yang terjangkit al ‘isyq juga biasanya senantiasa membayangkan dan mengidam-idamkan pujaannya, padahal ini merupakan zina hati sebagaimana disebutka dalam hadits.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa betapa al isyq banyak menjerumuskan pria shalih menjadi pria bejat, wanita shalihah menjadi wanita bobrok. Betapa virus cinta ini membuat orang berani menerjang hal-hal yang diharamkan, berani melakukan hal-hal yang tabu dan malu untuk dilakukan, sampai-sampai ada pepatah “cinta itu buta”, buta hingga aturan agama pun tidak dilihatnya, juga pepatah “karena cinta, kotoran ayam rasanya coklat” sehingga yang buruk, yang memalukan yang membinasakan pun terasa indah bagi orang yang terjangkit al isyq.
Dari al isyq ini akan timbul perbuatan-perbuatan buruk lain yang bahkan bisa lebih parah dari poin-poin yang disebutkan di atas. Bukankah kita ingat kisah Nabi Yusuf yang ketampanannya membuat Zulaikha kasmaran? Ia tidak menahan padangan dan dalam hatinya tumbuh penyakit al isyq. Apa akibatnya? Ia mengajak Yusuf berzina.
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأى بُرْهَانَ رَبِّهِ ‏كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan zina) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS. Yusuf: 24).
Seorang yang kasmaran, akan selalu teringat si ‘dia’. Bahkan ketika beribadah pun ingat si ‘dia’, melakukan kebaikan pun demi si ‘dia’. Allah diduakan. Ibadah bukan karena Allah, dakwah pun tidak ikhlas, ikut taklim karena ada si ‘dia’, sibuk mengurus dakwah karena bertemu si ‘dia’. Tidak jarang gara-gara penyakit al isyq, seseorang datang ke dukun lalu berbuat kesyirikan, tidak jarang pula yang saling membunuh, atau bunuh diri. Wallahul musta’an.
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti kita terhadap hal ini, beliau bersabda:
ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ
Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) terhadap wanita” (HR. Al Bukhari 5096, Muslim 2740)
Beliau juga bersabda:
إن الدنيا حلوةٌ خضرةٌ . وإن اللهَ مستخلفُكم فيها . فينظرُ كيف تعملون . فاتقوا الدنيا واتقوا النساءَ . فإن أولَ فتنةِ بني إسرائيلَ كانت في النساءِ
Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah telah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Sehingga Allah melihat apa yang kalian perbuatan (disana). Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah (cobaan) dunia dan takutlah kalian terhadap fitnah (cobaan) wanita. Karena sesungguhnya fitnah (cobaan) pertama pada Bani Isra’il adalah cobaan wanita” (HR Muslim 2742)

Model-Model Pacaran Islami

1. Sebagaimana pacaran biasa, selama tidak zina
Sebagian pemuda-pemudi yang minim ilmu agama, menyangka bahwa hanya zina yang terlarang dalam etika berhubungan antara lelaki dan wanita. Sehingga mereka menganggap pacaran dengan model seperti pacaran biasa, sering berkencan, berduaan, intens berkomunikasi, berangkulan, bergandengan tangan, safar bersama, dan lainnya selama tidak sampai zina itu sudah Islami. Tentu saja ini anggapan yang keliru dan pacaran model ini terlarang karena mengandung hal-hal yang dilarang pada poin 2 – 7.
2. Sebagaimana pacaran biasa, tapi berkomitmen untuk tidak saling bersentuhan
Model pacaran seperti banyak berkembang diantara pemuda-pemudi muslim yang awam agama namun sudah sedikit memahami bahwa saling bersentuhan antara yang bukan mahram itu haram. Namun mereka tetap sering jalan bersama, sering berkencan, berduaan, safar bersama, dan komunikasi dengan sangat intens. Memang terkadang sang wanita suka mengingatkan sang lelaki untuk menunaikan shalat bahkan terkadang mereka berkencan di masjid. Mereka menganggap ini sudah Islami. Tentu yang seperti ini pun terlarang karena karena mengandung hal-hal yang dilarang pada poin 3 – 7.
3. Pacaran tanpa suka berduaan, tapi ditemani teman
Model pacaran jenis ini mirip dengan model nomor 2 hanya saja biasanya ketika berkencan mereka berdua ditemani temannya yang lain, yang bukan mahram juga. Mereka juga menjaga diri untuk tidak bersentuhan. Sayangnya pacaran model ini banyak ditemukan di beberapa pondok pesantren juga banyak ‘dipromosikan’ oleh film-film dan sinetron religi di bisokop dan televisi. Sampai-sampai kadang digambarkan ada ustadz lulusan timur tengah yang berilmu, kesengsem dengan murid wanitanya di majelis taklim, mereka saling berpandangan tersipu lalu berlanjut ke model pacaran yang seperti ini. Wallahul musta’an.
Orang yang berpacaran model ini pun tidak ubahnya dengan orang pacaran pada umumnya, mereka sering bertemu, mereka saling berpandangan, saling merayu, memberi perhatian, sang wanita melembutkan suara, Mereka menyangka asalkan tidak khulwah maka tidak mengapa. Padahal jika yang menemani adalah lelaki, maka haram sebagaimana yang dijelaskan An Nawawi. Jika yang menemani adalah wanita muslimah lain, maka tetap saja pacaran ini terlarang karena mengandung hal-hal pada poin 3, 5, 7 dan terkadang 6.
4. Tidak suka berduaan, namun intens berkomunikasi
Model pacaran seperti ini banyak terjadi di kalangan pemuda aktifis dakwah. Para ikhwah aktifis dakwah sejatinya dididik untuk membatasi diri dari para akhawatnya. Misalnya mereka menundukkan pandangan jika bertemu atau dibatasi hijab ketika rapat. Namun seringnya bertemu dan berinteraksi dalam aktifitas dakwah mereka memunculkan rasa-rasa yang tidak sehat. Pepatah jawa mengatakan ‘witing tresno jalaran soko kulino‘, timbulnya cinta karena sering (terbiasa) berinteraksi.
Tentu mereka tidak suka berkencan atau bahkan berduaan. Namun virus merah jambu senantiasa menjangkiti lewat komunikasi yang begitu intens. Terkadang itu terselip lewat untaian nasehat, mengingatkan ibadah, memberi semangat, bertanya kabar, bertanya agenda dakwah, baik via SMS, via telepon, surat, email, facebook atau lainnya. Ini adalah pacaran terselubung. Jangan kira bahwa ini sah-sah saja, sang akhwat jika sudah terjangkiti virus ini biasanya akan melembutkan suaranya kepada sang ikhwan. Baik secara lisan, maupun via bahasa-bahasa tulisannya yang ‘renyah’. Dan yang paling penting, dari pacaran model ini tetap muncul penyakit al isyq yang sangat berbahaya serta juga zina lisan dan hati.
5. Saling berjanji untuk menikah
Pacaran model ini mungkin berbeda dengan model-model sebelumnya. Namun juga banyak terjadi pada aktifis dakwah dan para pemuda-pemudi yang sebenarnya punya semangat dalam beragama. Dua sejoli yang melakukannya bisa jadi tidak bertemu, tidak suka berduaan, bahkan mungkin mereka membatasi komunikasi. Namun si ikhwan menjanjikan bahwa ia akan menikahi sang akhwat pada suatu masa, mungkin tahun depan, 5 tahun lagi, setelah lulus, setelah bekerja, atau lainnya. Walaupun andaikan tidak ada aktifitas fisik diantara mereka, minimal penyakit al isyq menjangkiti ditambah zina hati. Maka ini pun jenis pacaran yang terselubung dan hendaknya ditinggalkan.

Solusi Pacaran Islami

Jika ada pacaran yang Islami, maka itu hanya bisa terjadi setelah menikah. Karena menikah adalah solusi terbaik bagi orang yang hatinya bergejolak haus akan cinta, juga solusi bagi dua orang yang sudah terlanjur terjangkit penyakit al isqy. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya
Bagi yang sudah terlanjur pacaran, segeralah bertaubat, dan segeralah menikah. Dan kami tidak mengatakan bahwa hendaknya segera menikahi dengan sang pacar. Karena memilih pasangan yang benar adalah yang dapat mengantarkan anda kepada ridha Allah, belum tentu syarat itu dimiliki pacar anda yang sekarang. Carilah pasangan yang shalih dan shalihah. Jika belum mampu menikah maka segeralah bertaubat dan putuskan hubungan pacaran serta perbanyaklah berpuasa.
Syaikh Khalid bin Bulihid hafizhahullah menasehatkan pemuda yang terjangkiti penyakit isyq dengan beberapa hal:
  1. Menjaga shalat dengan khusyu dan penuh tadabbur, serta memperbanyak shalat sunnah
  2. Memperbanyak doa kepada Allah:yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinik, yaa mushorrifal quluub, shorrif qalbii ilaa thoo’atik wa thoo’ati rosuulik(wahai Dzat yang membolak-balik hati, kokohkan hatiku untuk menjalani agama-Mu, wahai Dzat yang mencondongkan hati, condongkanlah hatiku untuk menaati-Mu dan Rasul-Mu)
    karena ketika doa ini sudah dibiasakan dan anda merendahkan diri anda di hadapan Allah, maka Allah akan mencondongkan hati anda dalam keistiqomahan menjalankan agama-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
    كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
    Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS. Yusuf: 24)
  3. Menjauhkan diri dari hal-hal yang mengingatkan anda pada sang pacar, baik itu tempat, surat, mendengarkan suaranya, atau hal-hal lain yang mengembalikan memori anda sehingga rasa itu timbul kembali. Menjauhkan diri dari itu semua adalah dengan mengacuhkan semua itu, dan semakin sedikit hal-hal yang diingat dari sang pacar maka semakin sedikit pengaruh al isyq di hati.
  4. Memperbanyak tilawah Al Qur’an dan berdzikir. Juga memperbanyak tadabbur dan tafakkur. Karena jika hati disibukkan untuk mencintai Allah dan mengingat Allah, ia akan teralihkan cinta kepada makhluk dan dari bergantungnya hati kepada makhluk.
  5. Lebih banyak memperhatikan keadaan dunia dan keadaan di akhirat kelak, dan apa-apa yang Allah persiapkan untuk orang yang bersabar. Yaitu para penduduk surga dan nikmat-nikmat yang mereka dapatkan. Dengan memikirkan hal ini seorang hamba akan zuhud terhadap dunia dan ia akan menyadari bahwa hal-hal duniawi itu akan hilang dan berlalu tidak sebagaimana perkara akhirat. Maka tidak layak kita menyandarkan jiwa dan menggantungkan hati kepada hal-hal duniawi yang akan sirna itu.
  6. Saya nasehatkan kepada anda untuk bersungguh-sungguh mencari istri yang shalihah dalam beragama, cantik rupanya, bagus akhlaknya. Jika anda menemukannya maka mintalah pertolongan kepada Allah untuk menikahinya. Jangan sia-siakan masa muda anda, dan jangan bimbang untuk mengambil sikap ini. Pernikahan akan menghiasi hari-hari anda, memenuhi rasa haus anda akan kasih sayang dan melupakan masa lalu anda.
    (sumber: http://www.saaid.net/Doat/binbulihed/f/072.htm)
Semoga bermanfaat. Wabillahi At Taufiq Wa Sadaad
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Artikel :Blog Al Islam



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger