Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Agar Ziarah Kubur Tidak Membawa Murka

Written By sumatrars on Selasa, 16 April 2013 | April 16, 2013


AGAR ZIAROH KUBUR TIDAK MEMBAWA MURKA
Kategori: Aqidah

ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi 

Ketika pasukan Tatar menjajah Damaskus, banyak rakyat saat itu meminta bantuan kepada ahli kubur supaya lekas menghilangkan musibah tersebut, sehingga seorang penyair mereka mengatakan:

يَا خَائِفِيْنَ مِنَ التَّتَرْ      لُوْذُوْا بِقَبْرِ أَبِيْ عُمَرْ

عُوْذُوْا بِقَبْرِ أَبِيْ عُمَرْ      يُنْجِيْكُمْ مِنَ الضَّرَرْ

Wahai orang-orang yang takut dari Tatar
Berlindunglah ke kuburan Abu Umar
Niscaya dia menyelamatkanmu dari bahaya.[1]

Pembasan kita kali berusaha untuk mendudukkan sekelumit kisah di atas dan kisah tragis lainnya yang sering kita jumpai pada para penziarah kubur. Sebuah fenomena nyata yang sering kita dapati di kuburan; banyaknya para penziarah berdoa dan meminta kepada penghuni kubur, thowaf, ngalap berkah, perayaan haul, nyembelih hewan, membaca Al-Qur’an, tabur bunga dan seabrek masalah lainnya yang perlu kita kritisi dengan timbangan syari’at Islam.  Nabi sendiri pernah menegaskan:

فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا

Barang siapa yang hendak berziaroh (kubur), maka berziarahlah, dan jangan berkata- kata Hujron. (HR.Nasa’i dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal.277).

Imam Nawawi berkata: “Hujron adalah perkataan yang bathil’’[2] Syaikh al-Albani berkoementar: “Dan tidak diragukan lagi bahwa apa yang dilakukan mayoritas orang ketika ziarah kubur seperti berdo’a kepada sang mayit, minta pertolongan kepadanya, bertawassul dengan mereka, semua itu termasuk perkataan yang paling bathil.Maka wajib bagi setiap alim ulama untuk menjelaskan kepada manusia hukum yang sebenarnya, dan memberikan pemahaman ziarah kubur yang disyari’atkan dan tujuan ziaroh kubur tersebut [3]

Oleh karenanya, penulis pada kesempatan ini ingin mengulas secara ringkas tentang masalah ziarah kubur dan menfokuskan kepada beberapa kemunkaran yang biasa terjadi dengan harapan agar kita mewaspadainya dan tidak terjerumus di dalamnya, sebagaimana kata seorang penyair:

عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّ               شَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ

وَمَنْ لاَ يَعْرِفِ الشَّرَّ                مِنَ الْخَيْرِ يَقَعْ فِيْهِ

Aku mengetahui kejelekan bukan tuk kulakukan

 tetapi untuk kewaspadaan
Barangsiapa tidak mengenal kejelekan, niscaya dia akan jatuh di dalamnya[4].
Ziarah Kubur Disyari’atkan

Tidak diragukan lagi bahwa ziarah kubur merupakan amalan yang disyari’atkan dalam Islam. Nabi bersabda;

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا

Aku pernah melarang kalian berziaoh qubur, maka sekarang berziarahlah kalian ke kubur.  (HR.Muslim no.977).

            Bahkan sebagian ulama menukil adanya ijma’ (kesepakatan) tentang sunnahnya ziarah kubur,[5]sekalipun nukilan ijma’ ini tidak benar karena ternyata ada sebagian ulama seperti Ibnu Sirin dan Ibrahim an-Nakho’I yang tidak membolehkan ziarah kubur secara mutlak, kendatipun pendapat dua ulama ini lemah[6].

            Bagaimanapun, yang jelas pendapat yang kuat bahwa ziarah kubur adalah sunnah dan disyari’atkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Barangkali maksud orang yang menukil ijma’ adalah ketetapan hukum setelah mereka (Ibnu Sirin dan Ibrahim an-Nakho’i) dan sepertinya belum sampai kepada mereka bahwa larangan ziarah kubur telah terhapus”.[7]

Hikmah Ziarah Kubur
Hikmah ziarah ini ada dua macam:

1. Bagi orang yang berziarah

Yaitu untuk mengingat kematian dan akherat sekaligus menuai pahala. Hal ini mencakup ziarah ke kuburan muslim maupun kafir. Rosululloh bersabda:

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ  

Sesungguhnya aku pernah melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena itu akan mengingatkan kamu terhadap hari akhirat.  (HR. Ahmad: 1173 Dishohihkan oleh al- Albani dalam Silsilah Shohihah 2/545).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قََالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي, فَلَمْ يَأْذَنْ لِي, وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا, فَأَذِنَ لِي

Dari Abu Hurairah berkata: Rasululullah bersabda: Saya meminta izin kepada Robbku untuk memintakan ampun buat ibuku, tetapi Dia melarangku dan aku meminta izin kepadaNya untuk mengunjungi kubur ibuku, lalu Dia mengizinkanku.(HR. Muslim 1621).

2. Bagi mayit yang diziarahi

Yaitu untuk mendapatkan doa dari saudaranya muslim. Hal ini khusus untuk ziarah kuburan muslim saja

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ, فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ

Dari Abu Huroiroh, bahwasanya Nabi keluar menuju kuburan, lalu mengucapkan,’’Semoga keselamatan atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan orang- orang mukmin, sesungguhnya kami juga akan berjumpa dengan kalian kalau Alloh sudah menghendaki’’ (HR. Muslim no. 249)

            Ash-Shon’ani berkata setelah membawakan hadits-hadits ziarah kubur: “Semua hadits ini menunjukkan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah ziarah kubur yaitu untuk mengambil pelajaran. Apabila ziarah kubur kosong dari hikmah ini, maka bukanlah ziarah yang diinginkan oleh syari’at”.[8]

Macam-macam Ziarah Kubur

Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah memberkahimu- bahwa ziarah kubur terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Ziarah Syar’i, yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mendo’akan mayit dan mengingat kematian seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Kedua: Ziarah bid’ah, yaitu ziarah dengan tujuan untuk meminta kebutuhan kepada si mayit, meminta doa dan syafa’at kepadanya, atau bermaksud doa disana dengan keyakinan bahwa hal itu akan menjadikan doanya lekas terkabul.

Ziarah dengan tujuan seperti ini adalah bid’ah, tidak pernah disyari’atkan oleh Nabi dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, baik di kuburan Nabi atau kuburan lainnya.

Larangan-Larangan di Kuburan

Bagi para penziarah kubur agar terhindar dari petaka dan murka Allah, hendaknya mengilmui hal-hal yang dilarang agar dia terhindar dari murka. Di antara kemunkaran ketika di kuburan yang sering dilakukan oleh banyak kalangan adalah:

1. Berdoa Kepada Selain Allah

Sesungguhnya doa termasuk jenis ibadah yang hanya khusus diperuntukkan kepada Allah semata, sehingga manusia tidak diperkenankan untuk berdoa kecuali hanya kepadaNya semata, tidak boleh kepada selainNya walaupun dia seorang malaikat atau nabi yang terdekat.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ﴿٦٠﴾

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah padaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Ghofir: 60)

Rasulullah bersbda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Doa adalah ibadah. (HR. Timidzi 2969, Abu Dawud 1479 dan dishahihkan al-Albani)

Dari sini dapat kita ketahui kesalahan banyak para penziarah yang datang ke kuburan untuk meminta rizki lancar, cari jodoh, minta anak dan lain  sebagainya.

Kalau ada yang berkata: Kami bukan meminta semua itu kepada penghuni kubur, tetapi kami meminta kepada Allah dengan perantara mereka yang mendekatkan kami di sisi Allah. Kita katakan padanya: Saudaraku, tahukah anda bahwa syubhat yang sama juga dilontarkan oleh orang-orang musyrik dahulu, sebagaimana Allah ceritakan dalam Al-Qur’anNya:

أَلَا لِلَّـهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّـهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّـهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ ﴿٣﴾

Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS.Az-Zumar: 3)

            Inilah syubhat yang menjadi pegangang orang-orang musyrikin dahulu. Sekalipun demikian, Allah telah mengingkari perbuatan dan alasan mereka tersebut.

2. Menyembelih di Kuburan

            Kita jumpai pada sebagian masyarakat mereka menyembelih di kuburan, padahal hal ini bertentangan dengan syari’at, baik menyembelihnya untuk Allah apalagi apabila untuk penghuni kubur.

            Bila dia menyembelihnya untuk penghuni kubur, jelas ini merupakan kesyirikan dan sembilahannya tidak halal dimakan. Alloh berfiman:

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. al-Maidah: 3)

Rasululluah bersabda:

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

Allah melaknat orang menyembelih untuk selain Allah. (HR. Muslim 1978)

            Imam Nawawi berkata: “Adapun menyembelih untuk selain Allah, maksudnya adalah menyembelih dengan nama selain Allah seperti menyembelih untuk patung, salib, Musa, Isa, Ka’bah dan lain sebagainya. Semua itu hukumnya haram dan sembelihannya tidak halal, baik yang menyembelih adalah muslim atau nashrani atau yahudi, hal ini ditegaskan oleh Syafi’I dan disepakati oleh para sahabat kami (penganut madzhab syafi’i). Dan bila dalam sembelihan tersebut bertujuan pengagungan dan ibadah terhadap makhluk-makhluk tersebut selain Allah maka hal itu merupakan kekufuran, bila yang menyembelih adalah muslim maka setelah perbuatannya itu dia menjadi murtad”.[9]

            Dan bila sembelihannya untuk Allah, maka hukumnya juga haram karena hal ini menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Rasulullah bersabda:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ

Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam”. [10]

            Dalam Sunan Abu Dawud ada tambahan:

قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً

“Abdur Rozaq mengatakan: “Dahulu mereka (ahli jahiliyyah) menyembelih sapi atau kambing di sisi kuburan”.

            Imam Nawawi berkata: “Menyembelih di sisi kuburan hukumnya tercela”.[11]

3. Menjadikan Kuburan Tempat Perayaan

            Sering kita jumpai perayaan-perayaan Haul (ulang tahun kematian kyai atau wali) yang biasa diadakan di kuburan bukanlah termasuk ajaran Islam, bahkan bertentangan dengan Islam.[12] Rasulullah bersabda:

لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai ‘ied (perayaan) dan bersholawatlah kamu kepadaku karena sholawat itu akan sampai kepadaku dimana kamu berada.. (HR  Abu Dawud : 1746 dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihul jami’ no : 7226 ).

            Jika Rasululloh r melarang kuburannya dijadikan sebagai tempat hari raya, haul atau tempat kunjungan beramai- ramai, bagaimana dengan kuburan selainnya?!! Tentu saja dilarang juga.

4. Meninggikan dan Membangun Kuburan

Banyak kita jumpai kuburan-kuburan yang dibangun begitu megahnya, bahkan di sebagian tempat ada kuburan yang lebih megah dari masjid di sampingnya yang hanya terbangun dari kayu!!![13] Padahal banyak hadits yang menunjukkan bahwa membangun kubah-kubah di atas kuburan adalah dilarang dalam Islam:

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الأَسَدِيِّ قَالَ :  قَالَ لِيْ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ : أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Dari Abu Hayyaz al-Asadi berkata: “Ali bin Abi Thalib berkata padaku: Maukah saya mengutusmu seperti Rasulullah mengutusku? Jangan tinggalkan patung kecuali kamu menghancurkannya dan kuburan yang yang tinggi kecuali kamu meratakannya”. (HR. Muslim: 2239-2242)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Dari Jabir berkata: Rasulullah melarang kuburan dikapur, diduduki dan di bangun di atasnya”.

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kuburan tidak ditinggikan dari tanah dengan sangat tinggi, namun hanya ditinggikan seukuran satu hasta. Ini adalah madzhab Syafi’I dan yang sependapat dengannya”.

Kemudian beliau menukil ucapan Imam Syafi’i: “Imam Syafi’I berkata dalam Al-Umm: “Saya mendapati para imam di Mekkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan (di atas kuburan)”. Penghancuran ini dikuatkan oleh sabda Nabi: “Dan kuburan kecuali engkau meratakannya”.[14]

5. Ibadah di kuburan

Kita dapati para penziarah aktif melakukan beberapa amalan ibadah di kuburan, seperti I’tikaf, thowaf , sholat, membaca Al-Qur’an dan sebagainya, padahal hal ini bertentangan dengan syari’at. Rasululloh r  bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ  

Semoga Alloh melaknat orang Yahudi dan orang Nasroni , mereka menjadikan kuburan para nabiNya sebagai masjid (tempat sujud dan ibadah)’’ (HR Bukhori: 417).

Menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup:

Sholat di atas kubur
Sholat menghadap kubur
Membangun masjid di atas kubur dan sholat disana.
     Semua itu merupakan perbuatan haram dan dosa besar dengan kesepakatan ulama madzhab empat.[15]

Adapun membaca Al-Qur’an di kuburan, maka pendapat yang benar juga bahwa hal itu tidak disyari’atkan, tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Di antara dalil lainnya adalah hadits Nabi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya Syetan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqoroh.(HR. Muslim 1300)

            Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan untuk membaca Al-Qur’an di rumah dan melarang menjadikan rumah sebagai kuburan yang tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya.[16]

Bahkan dalam riwayat Muslim 1619 ketika Aisyah bertanya kepada Nabi: Apa yang saya katakan pada mereka (ahli kubur) wahai Rasululullah Nabi tidak mengajarkan kepada Aisyah agar membaca Al-Qur’an. Tetapi doa dan salam saja. Seandainya hal itu disyari’atkan, tentu Nabi tidak akan menyembunyikan kepada kekasihnya.

Dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa membaca Al-Qur’an di kuburan merupakan suatu kebid’ahan sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad dalam suatu riwayat.[17]

Wahai saudaraku muslim, peganglah erat-erat sunnah Nabimu dan waspadalah dari perkara bid’ah dalam agama, sekalipun dianggap baik oleh kebanyakan manusia, karena setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana ditegaskan oleh Nabi.[18]

6. Ngalap Berkah

            Sering kita jumpai ara penziarah kubur mengusap-ngusap nisan kuburan dan kadang menciuminya, bahkan berebutan sehingga kadang membuat nisan kuburan nyaris rusak!! Semua itu dengan alasan “ngalap berkah”.

            Sesungguhnya Tabarruk atau yang biasa disebut dengan ngalap berkah ada yang disyari’atkan yaitu tabarruk dengan hal-hal yang disyari’atkan seperti Al-Qur’an, air zam-zam, bulan ramadhan dan sebagainya. Adapun tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyari’atkan maka tidak boleh, seperti tabarruk dengan pohon, kuburan dan lain sebagainya.[19]

            Imam Nawawi berkata: “Barangsiapa yang terbesit dalam hatinya bahwa mengusap-ngusap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya, karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syari’at. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!”.[20]

            Al-Ghozali juga berkata: “Sesungguhnya mengusap-ngusap dan menciumi kuburan merupakan adapt istiadat kaum Yahudi dan Nashoro”.[21]        

7. Wisata Spiritual

            Sering kita dapati bus-bus “ziarah religius” dalam rangka ziarah ke kuburan para wali atau kyai ternama, seakan sudah menjadi ritual keagamaan yang tak terpisahkan dari masyarakat. Lebih-lebih pada bulan-bulan tertentu semisal menjelang ramadhan dan idhul fithri atau bertepatan dengan peringatan haul.

Wisata seperti ini bertentangan dengan larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ, وَمَسْجِدِيْ  هَذَا, وَالْمَسْجِدِ اْلأقْصَى

Janganlah mengdakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil harom, Masjidku ini (masjid Nabawi) dan masjid Aqsha”[22])      

Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan Abu Hurairah, iabarkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya kepadaku: “Dari mana kamu? Jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu kesana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”

            Ini merupakandalil yang sangat jelas bahwa para sahabat memahami hadits ini dengan keumumannya. Hal ini juga dikuatkan dengan tidak adanya penukilan dari seorang sahabatpun bahwa mereka mengadakan perjalanan ke kuburan siapapun. Semoga Allah merahmatiorang yang mengatakan:

وَكُلُّ خَيْرٍ فِى اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ

وَكُلُّ شَرٍّ فِى ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ  

Setiap kebaikan adalah dengan mengikuti kaum salaf.

            Dan setiap kejelekan adalah dengan mengikuti kaum khalaf.[23]

            Demikian penjelasan ringkas tentang beberapa kemunkaran kubur[24] yang biasa kita jumpai di sekitar kita. Sebenarnya masih ada lagi kemunkaran lainnya, namun semoga penjelasan singkat di atas bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam.

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Dikutip dari sumber Artikel: Abunamirah.wordpress.com
-----------------------------------------------------------------

[1] Lihat Istighasyah fi Raddi ‘Alal Bakri 2/631-6333.
[2] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 5/301.
[3] Ahkamul Jana’iz hal.228.
[4] Diwan Abu Firas al-Hamdani 350.
[5] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, an-Nawawi 5/285, Syarh Al-Kabir Ibnu Qudamah 1/585.
[6] Ash-Shorimul Munki, Ibnu Abdil Hadi hlm. 327. Lihat juga al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 3/225.
[7] Fathul Bari 3/148.
[8]  Subulus Salam 2/162.
[9] Syarh Shahih Muslim 13/205.
[10] HR. Abu Dawud 3222, Ahmad 3/197, Abdur Razaq dalam al-Mushonnaf 6690, al-Baihaqi 4/57, al-Baghowi dalam Syarh Sunnah 5/461 dan dishohihkan Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hlm. 203.
[11] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 5/290.
[12]  Lihat buku Kupas Tuntas Masalah Peringatan Haul oleh Imron AM.
[13] Lihat buku Imam Syafi’I Menggugat Syirik hlm. 122 oleh Ustadz Abdullah Zaen.
[14] Syarah Shahih Muslim 7/40-41. Lihat pula Al-Umm oleh asy-Syafi’I 1/463.
[15] Lihat Tahdzir Sajid oleh al-Albani hlm. 29-48.
[16]  Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar 1/685.
[17] Syarh Ihya’ oleh az-Zabidi 2/285.
[18] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 50. Lihat juga Ahkamul Janaiz hal. 241-242
[19] Lihat masalah tabarruk secara luas dan bagus dalam kitab “At-Tabarruk Anwa’uhu waa Ahkamuhu” oleh DR. Nashir bin Abdirrahman al-Judai’.
[20] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 7/275.
[21] Ihya’ Ulumuddin 1/254.
[22])  HR. Bukhari No. 1189 dan Muslim No. 827.
[23] Silisah Adh-Dho’ifah al-Albani 1/124. Lihat pula buku Ziarah Wali Songo oleh al-Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali.
[24]  Lihat pembahasannya lebih luas dalam Syifa’ Shudur fi Ziyarah Al-Masyahid wal Qubur oleh Mar’I al-Karmi,Ahkamul Jana’iz oleh al-Albani, Ahkamul Maqobir DR. Abdullah as-Sahyibani dan Bida’ul Qubur oleh Shalih al-‘Ushaimi.


Artikel :Blog Al Islam




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Dakwah Rasulullah Secara Rahasia

Written By sumatrars on Senin, 15 April 2013 | April 15, 2013

Dakwah Rasulullah Secara Rahasia
Sirah Nabawi
Kategori: Fiqih

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mulai menyambut Allah dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala. Tetapi dakwah Nabi ini dilakukan secara rahasia untuk menghindari tindakkan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan paganismenya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menampakkan dakwah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.


Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘Anhu, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan anak angkatnya, Abu Bakar bin Abi Qufahah, Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.

Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekkah seraya bersembunyi dari pandangan orang-orang Quraisy.

Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilih rumah salah seorang dari mereka, yaitu rumah Al Arqam bin Abi Al Arqam, sebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahapan ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam.

Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.


Beberapa Ibrah

1. Sebab Sirriyah pada permulaan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Tidak diragukan lagi, bahwa kerahasiaan dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selama tahun-tahunpertama ini bukan karena kekhawatiran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dirinya. Sebab, ketika beliau dibebani dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah: “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikanlah peringatan, “beliau sadar, bahwa dirinya adalah utusan Allah kepada manusia. Karena itu beliau yakin bahwa Allah yang mengutus dan membebaninya dengan tugas dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau Allah memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama, niscaya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan mengulurkan sedetikpun, sekalipun harus menghadapi resiko kematian.

Tetapi Allah memberikan ilham kepadanya, dari ilham kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah semacam wahyu kepadanya, agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan tersembunyi, dan agar tidak menyampaikan keculai kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar melakukan perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah. Tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakal kepada Allah semata, dan tidak boleh dianggap sebagai faktor-faktor yang paling menentukan. Sebab hal ini akan merusak prinsip keimanan kepada Allah, di samping bertentangan dengan tabiat dakwah kepada Islam.

Dari sini diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahapan ini merupakan Siyasah syari’ah (kebijaksanaan) darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya dari Allah sebagai seorang Nabi.

Berdasarkan hal itu, maka para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boleh menggunakan keluwesan dalam cara berdakwah, dari segi Sirriyah dan Jariyah atau kelemahlembutan dan kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa di mana mereka hidup. Yakni keluwesan yang ditentukan oleh syari’at Islam berdasarkan kepada realitas Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan, selama tetap mempertimbangkan kemashlahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang diambilnya.

Oleh karena itu Jumhur Fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslim sedikit atau lemahposisinya, sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oleh para musuhnya tanpa kesalahanvapapun bila para musuh itu telah bersepakat akan membunuh mereka, maka dalam keadaan seperti ini harus didahulukan kemashlahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa, karena kemashlahatan menjaga agama dalam kasus seperti ini belum dapat dipastikan.

Al ’Izz bin Abdus Salam menyatakan keharaman melakukan jihad (perang) dalam kondisi seperti ini:

“Apabila tidak terjadi kerugian, maka wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan), karena (perlawanan dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa, di samping menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan seperti ini menjadi mafsadah (kerugian) semata, tidak mengandung maslahat.”

Saya berkata: “Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari sepi lahiriyah saja. Akan tetapi pada hakekatnya juga merupakan kemaslahatan agama. Sebab kemaslahatan agama (dalam situasi seperti ini) memerlukan keselamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka dapat melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak, maka kehancuran mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri, dan pemberian peluang kepada orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.

Singkatnya, wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila tindakan menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwah Islamiyah. Sebaliknya tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan dengan cara terang-terangan dan akan memberikan faidah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orangorang yang dzalim dan memusuhi dakwah, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan pertahanan. Juga tidak boleh berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukannya.”

2. Orang-orang yang Pertama Masuk Islam dan Hikmahnya.

Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam para marhalah (tahapan) ini kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang fakir, lemah dan kaum budak. Apa hikmah dari kenyataan ini? Apa rahasia tegakknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang terbentuk dari orang-orang seperti mereka ini?

Jawabannya, bahwa fenomena ini merupakan hasil alamiah dari dakwah para Nabi pada tahapannya yang pertama. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya karena orang-orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil mereka?

“Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja….” (QS Hud: 27)

Tidakkah Anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang rendah para pengikut Musa ‘Alaihis Salam sebagai orang-orang yang tertindas sampai Allah menyebutkan mereka setelah menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya?

“Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah kami beri berkah padanya.” (QS Al A’raf: 37)

Tidakkah Anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak nabi Shaleh, dan hanya orang-orang tertindas di antara mereka yang mau beriman kepadanya, hingga Allah mengatakan tentang mereka di dalam firman-Nya:

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu, bahwa Shalih diutus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?” Mereka menjawab,”Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shalih diutus untuk menyampaikannya.” Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak percaya kepada yang kamu imani itu.” (QS Al A’raf: 75-76)

Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah ialah menolak kekuasaan dan pemerintahan manusia, dan kembali kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah semata. Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan “ketuhanan” orang-orang yang mengaku sebagai “tuhan”. Dan kedaulatan orang-orang yang mengaku berdaulat. Dan terutama sekali, sesuai dengan keadaan orang-orang yang tertindas dan diperbudak. Sehingga reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah semata datang terutama dari orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Sementara orang-orang yang tertindas menyambut dengan baik.

Hakekat ini nampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum, komandan tentara Persia pada perang Al Qadisiyah, dan Rabi’ bin Amir, seorang prajurit biasa di jajaran tentara Sa’d bin Abi Waqqash. Rustum berkata kepadanya: “Apa yang mendorongkalian memerangi kami dan masuk ke negeri kami?” Rabi’ bin Amir berkata: “Kami datang untuk mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah semata.”

Kemudian melihat barisan manusia di kanan dan kiri Rustum tunduk dan ruku’ kepada Rustum, Rubi’ berkata dengan penuh keheranan,”Selama ini kami mendengar tentang kalian hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yng lebih bodoh dari kalian. Kami kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dengan lainnya. Aku mengira bahwa kalian semua sederajat sebagaimana kami. Akan tetapi lebih baik dari apa yang kalian perbuat jika kalian jelaskan kepadaku bahwa sebagian kalian menjadi tuhan bagi sebagian yang lain.”

Mendengar ucapan Rubi’ ini orang-orang yang tertindas antara mereka salingberpandangan seraya berguman, “Demi Allah, orang Arab ini benar.” Tetapi bagi para pemimpn, ucapan Rubi’ ini ibarat geledek yang menyambut mereka, sehingga slah seorang di antara mereka berkata: “Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para budak kami.”

Tetapi ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan dan kekuasaan para tiran. Sebab baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sam-sama berkewajiban mengimani Allah semata, dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kebenaran apa yang disampaikan dari Rabb-Nya. Kaum elite dan para tokoh tidak tunduk dan mengikuti Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpina mereka. Contoh yang paling nyata adalah pamannya, Abu Thalib. Sedangkan kaum tertindas dan lemah dengan mudah mau menerimannya dan mengikuti Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak dihalangi oleh sesuatu apapun.

Di samping bahwa keimanan kepada Uluhiyah Allah akan menumbuhkan rasa izzah (wibawa) pada diri seseorang, dan menghapuskan rasa gentar kepada kekuatan selain dari kekuatan-Nya.

Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah ini, pada waktu yang sama, memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan. Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oleh para musuh Islam di masa sekarang. Ketika mereka mengatakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.

Seandainya demikian, hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak hanya berjumlah empat puluh orang lelaki dan wanita. Dan kebanyakan mereka adalah kaum fakir, tertindas dan budak. Bahkan ada yang berasal dari negeri asing, yaitu Shuhaub Ar Rumi dan Bilal Al Habasyi.

Pada pembahasan mendatang akan Anda ketahui bahwa lingkungan Arab itu sendirilah yang justru memaksa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa pengikutnya berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyiah. Ini semua karena kebencian lingkungan tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai nasionalis Arab.

Dikutip Dari Sumber Artikel: Fimadani.com



Artikel :Blog Al Islam




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Ucapan Ash Shalaatu Khairum Minan Naum

Ucapan “Ash Shalaatu Khoirum Minan Naum”
Kategori: Fiqh dan Muamalah

Alhamdulillah, Shalawat dan Salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga akhir jaman.

Sebagian kaum muslimin di negara kita mengingkari sunnah at-tatswib pada adzan subuh. Padalah at-tatswib merupakan amal yang disyariatkan. Tulisan berikut ini merupakan beberapa nukilan dari para ulama tentang masalah at-tatswib dan jawaban atas syubhat-syubhat mereka yang mengingkari at-tatswib dan menganggapnya sebagai bid’ah.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata, “Disunnahkan pada adzan subuh mengucapkan “Ash-Shalatu khairum minan naum” dua kali setelah mengucapkan, “Hayya ‘alal falah”ini pendapat Ibnu Umar, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Malik, Ats-Tsauri, Al Auzai, Ishaq, Abu Tsaur dan As-Syafi’i sebagaimana yang valid darinya.”[1]

Dalilnya adalah hadis Abu Mahdzurah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sunnah adzan.” Kemudian beliau menyebutkannya. Hingga beliau bersabda setelah ucapan “hayya ‘alal falah.”,

«فإن كان صلاة الصبح قلت : الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله»

“Pada shalat subuh, engkau mengucapkan, “Ash-Shalatu khairum minan naum, ash-shalatu khairum minan naum, Allahu akbar, Allahu akbar.”[2]

Diriwayatkan dari Bilal, ia berkata:

«أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أثوب في الفجر ونهاني أن أثوب في العشاء»

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk melakukan tatswib pada shalat fajar dan melarangnya pada shalat isya.”[3]

Asy-Syairazy –rahimahullah- berkata, “Dan pada adzan subuh ada tambahan padanya (adzan), yaitu setelah “hayya ‘alal falah” mengucapkan, “ash-shalatu khairum minan naum”

An-Nawawi berkata dalam Syarahnya, “Adapun tatswib, yang shahih padanya ada dua riwayat; yang shahih yang disebutkan oleh pengarang dan jumhur bahwa ia sunnah dengan dasar hadis Abu Mahdzurah.

Dari Anas bin Malik berkata, “Bagian dari sunnah adalah seorang muadzin berkata pada adzan fajar, “hayya ‘alal falah” kemudian berkata, “ash-shalatu khairum minan naum”,Allahu akbar, Allahu akbar.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, Ad-Daruquthny, Al Baihaqy. Al baihaqy berkata, “sanadnya shahih”[4]

Para fukaha sepakat atas tatswib, yaitu tambahan pada adzan shalat fajar setelah al falah, yaitu, “ash-shalatu khairum minan naum” dua kali, mengamalkan yang telah valid dari Bilal, juga dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Mahdzurah, “Pada shalat subuh, engkau mengucapkan, “Ash-Shalatu khairum minan naum, ash-shalatu khairum minan naum, Allahu akbar, Allahu akbar.”[5]

Dari nukilan-nukilan diatas jelaslah bahwa para ulama menyatakan at-tatswib merupakan sunnah adzan yang hanya dilakukan pada shalat subuh, dan tidak boleh dilakukan pada selain shalat subuh.

Meluruskan Pemahaman

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Sebagian kaum muslimin di zaman ini ada yang menyangka bahwa  adzan yang diucapkan padanya dua kalimat ini (at-tatswib) adalah adzan sebelum fajar. Syubhat mereka dalam hal ini adalah bahwa dalam sebagian riwayat hadis terdapat lafadz:

«إذا أذَّنت الأوَّلَ لصلاة الصُّبْحِ فقل: الصلاة خيرٌ من النَّوم»

Jika engkau adzan yang pertama untuk shalat subuh, maka ucapkanlah, “ash-shalatu khairum minan naum.”[6]

Dengan hadis ini mereka menyangka bahwa at-tatswib untuk adzan di akhir malam. Karena mereka menamainya dengan adzan awal. Dan mereka berkata bahwa at-tatswib pada adzan setelah masuk waktu subuh sebagai bid’ah.

Kita katakan: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau adzan yang pertama untuk shalat subuh.”, maka di sana disebutkan, “untuk shalat subuh”. Sebagaimana diketahui bahwa adzan pada akhir malam itu bukanlah untuk shalat subuh, akan tetapi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah adalah, “Untuk membangunkan orang yang tidur.”[7] Adapun shalat subuh, tidak dilakukan adzan untuknya melainkan setelah terbit fajar. Jika adzan dilakukan sebelumnya, maka tidaklah disebut adzan untuk shalat subuh. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika shalat telah datang, maka adzanlah salah seorang diantara kalian.” Dan diketahui juga bahwa shalat tidak datang kecuali setelah masuk waktunya.

Kemudian tinggal tersisa masalah pada sabda Nabi, “Jika engkau adzan yang pertama”. Maka kita katakan, hal itu tidak bermasalah. Karena adzan secara bahasa adalah i’lam (pemberitahuan), dan iqamat termasuk i’lam. Maka adzan subuh setelah masuk waktunya disebut adzan awal. Hal ini sebagaimana telah datang secara jelas dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah tentang shalat Nabi pada malam hari, “Beliau biasa tidur pada awal malam, dan menghidupkan akhirnya. Jika beliau ada keperluan kepada istrinya, maka beliau menyelesaikannya lalu beliau tidur. Dan ketika panggilan (adzan) yang pertama beliau bangun dan mandi. Jika beliau tidak junub maka beliau wudhu sebagaimana seseorang wudhu untuk shalat. Kemudian shalat dua rakaat.[8]

Maksud dari perkataan Aisyah, “panggilan yang pertama” adalah adzan fajar tanpa keraguan lagi. Disebut pertama karena iqamat (sebagai panggilan yang kedua). Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Antara dua adzan ada shalat.”[9]Maksud dua adzan adalah adzan dan iqamat. Maka, selesailah permasalahan lafadz “adzan pertama” dan tatswib dilakukan pada adzan saat masuk subuh.

Mereka juga mengatakan bahwa “ash-shalatu khairum minan naum” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sebelum waktu subuh karena shalat yang dimaksud adalah shalat tahajjud, bukan shalat fardhu. Karena tidak ada perbandingan keutamaan antara shalat fardhu dan tidur. Dan khairiyyah (perbandingan dalam kebaikan) adalah dalam rangka untuk memotivasi. Hal ini lah juga yang menguatkan bahwa yang dimaksud dengan adzan (awal) itu adalah adzan pada akhir malam.

Kita katakan: bahwa anggapan ini disebabkan karena kekeliruan yang pertama. Khairiyyah terkadang digunakan untuk sesuatu yang paling wajib. Sebagaimana firman Allah, “(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Ash-Shaff [61]: 11)

Allah menyebutkan bahwa iman dan jihad itu khair (lebih baik), maksudnya lebih baik bagi kalian dari segala hal yang melenakan kalian berupa perdagangan kalian. Khairiyyah disini antara yang wajib dan yang selainnya.

Begitu juga dalam ayat lain Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al Jumu’ah [62]: 9)

Maksudnya adalah lebih baik dari jual beli. Dan diketahui bahwa menghadiri shalat jumat ke mesjid hukumnya wajib. Walau demikian Allah berfirman, “Yang demikian itu lebih baik bagimu.” Dengan demikian, jika melakukan at-tatswib pada adzan sebelum subuh, maka kita katakan, hal itu disyariatkan.”[10]

Wallahu ‘alam, wa shallallahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad.

Dikutip dari sumber Artikel: Muslim.or.Id dan Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc

[1] Al Mughny: vol. 2, hal. 61
[2] HR Abu Dawud: 500, Ahmad: 15379, Ibnu Hibban: 1682, Al Baihaqy: 1831, Dishahihkan Al Albany dalam “Misykat al Mashabih” no. 645
[3] HR Ibnu Majah: 715, Ahmad: 231914, Didhaifkan Al Albany dalam “Irwa al Ghalil” no. 235
[4] Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab: vol. 3, hal. 99-100
[5] Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu, vol. 1, hal. 543
[6] HR Abdurrazaq (1821), Ahmad (3/408), Abu Dawud, Kitab Ash-Shalatu, Bab Kaifa Al Adzan, no. (501), An-Nasa`I, Kitab Al Adzan, Bab Adzan fis Safar (2/7), no. (632) dari Abu Mahdzurah [Muhaqqiq Syarh Al Mumti’]
[7] HR Bukhari (621), Muslim (1093) Dari Hadis Ibnu Mas’ud [Idem]
[8] HR Bukhari (1146), Muslim (739)
[9] HR Bukhari (627), Muslim (838) Dari hadis Abdullah bin Buraidah
[10] As Syarh Al Mumti’ alaa Zaad Al Mustaqni’, vol. 2, hal, 52

Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di Blog Al Islam.blogspot.com dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikel





Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca :) Rules!! 1. Berkomentar Harus Nyambung Dengan Artikel. Komentar Yang Tidak Jelas, Atau Hanya Bilang Nice Info Atau Sejenisnya. Akan Saya Hapus. 2. Gunakan Bahasa Yang Sopan! Jangan Gunakan Bahasa Kaskus. Gan, Ane, Juragan Atau Yang Lainnya. Lebih Baik Gunakan Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar / Bahasa Inggris (Jika Bisa) :v 3. Saya Menerima Masukan Apapun Dari Anda. :)
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

SENI DALAM BERBAKTI KEPADA ORANGTUA

Written By sumatrars on Selasa, 09 April 2013 | April 09, 2013

SENI DALAM BERBAKTI KEPADA ORANGTUA


  Kategori: KELUARGA MUSLIM

Bagi yang belum pernah merasakan nikmat dan indahnya berbakti kepada orangtua
Bagi yang belum maksimal berbakti kepada mereka

Ketauhilah...bahwa ternyata dalam usaha untuk melaksanakan bakti terdapat seni!
Seni bagaimana bertutur kata yang baik...mencari kata-kata yang tidak menyakiti orangtua.
Seni bagaimana membuat orangtua selalu tersenyum bahkan kalau bisa tertawa riang gembira.
Seni bagaimana menahan rasa ingin makanan dan minuman yang tersedia karena dikira orangtua juga menginginkannya.

 Seni bagaimana berusaha mencari makanan dan minuman yang diinginkan oleh orangtua, meskipun terkadang harus kepanasan, kehujanan.

Seni bagaimana lebih mendahulukan mereka dibandingkan anak dan istri tanpa menelantarkan anak dan istri.
Seni bagaimana menjaga perasaan orangtua.

Seni bagaimana bersikap tawadhu' di depan orangtua.

Seni ketika menafkahi orangtua, bagaimana kita harus lebih beriman kepada janji Allah Ta'ala dalam hal memberikan nafkah, meskipun terkadang kita dalam keadaan sulit dan kepepet.

Seni bagaimana agar orangtua tidak malu menerima pemberian kita, anaknya.

Dari sinilah akhirnya, semoga kita lebih memahami:

1. Kenapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh seseorang lebih mendahulukan berbakti kepada orangtuanya dibandingkan berjihad ( sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari)

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ ).

Artinya: "Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata; "Pernah seseorang mendatangi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam lalu ia minta izin untuk berjihad, Lalu Beliau bertanya: "Apakah kedua orangtua masih hidup?", orang itu menjawab:"Iya", beliau bersabda: "Berjihadlah dalam mengurus keduanya." HR. Bukahri.

2. Kenapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan seseorang untuk tetap diam bersama ibunya, karena pada kedua kaki ibunya terdapat surga

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ، أَنَّ جَاهِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فَجِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ. قَالَ: «أَلَكَ وَالِدَةٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «اذْهَبْ فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ عِنْدَ رِجْلَيْهَا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ.

Artinya: "Mu'awiyah bin Jahimah meriwayatkan bahwa Jhimah radhiyallahu 'anhu pernah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: "Sungguh aku ingin berperang, dan aku datang meminta petunjuk kepada engkau?", beliau bersabda: "Apakah kamu memiliki ibu?", ia menjawab: "Iya", beliau bersabda: "Pergilah dan tinggallah bersamanya, karena sesungguhnya surga pada kedua kakinya." HR. Al Hakim, beliau berkata: "Hadits ini adalah yang shahih sanadnya dan belum disebutkan oleh kedua imam (Yaitu Imam Bukhari dan Muslim).

3. Kenapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan seorang pemuda yang telah membuat ibunya menangis untuk kembali membuatnya tertawa.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ( أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِي وَجْهَ اللَّهِ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَيَّ لَيَبْكِيَانِ قَالَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا ).

Artinya: "Abdullah bin 'Amr berkata: "Seseorang pernah mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku datang ingin berjihad bersama, aku berharap wajah Allah dan kehidupan ahirat, dan aku telah datang dalam keadaan kedua orangtuaku benar-benar menangis?", beliau menjawab: "Kalau begitu, kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka berdua menangis." HR. Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasai.

Sobat...

Sungguh pemandangan yang terindah, yang sangat sulit dilupakan bagi seorang anak shalih. semoga Allah Ta'ala membantu kita mewujudkannya. Allahumma amin.

Sumber Artikel : Dakwah Sunnah.com




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca :) Rules!! 1. Berkomentar Harus Nyambung Dengan Artikel. Komentar Yang Tidak Jelas, Atau Hanya Bilang Nice Info Atau Sejenisnya. Akan Saya Hapus. 2. Gunakan Bahasa Yang Sopan! Jangan Gunakan Bahasa Kaskus. Gan, Ane, Juragan Atau Yang Lainnya. Lebih Baik Gunakan Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar / Bahasa Inggris (Jika Bisa) :v 3. Saya Menerima Masukan Apapun Dari Anda. :)
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fiqih: Seputar Hukum Memakai Cincin

Written By sumatrars on Selasa, 26 Maret 2013 | Maret 26, 2013

SEPUTAR HUKUM MEMAKAI CINCIN

Larangan bagi lelaki untuk memakai cincin di jari tengah dan telunjuk, cincin/jam tangan dari polesan emas, dan cincin dari besi)

Berikut ini beberapa permasalahan seputar hukum memakai cincin :


PERTAMA : Hukum memakai cincin.

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu berkata :


اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَجَعَلَ فُصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ فَاتَّخَذَهُ النَّاسُ فَرَمَى بِهِ وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ أَوْ فِضَّةٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin dari emas, beliau menjadikan mata cincinnya bagian dalam ke arah telapak tangan, maka orang-orangpun memakai cincin. Lalu Nabi membuang cincin tersebut dan memakai cincin dari perak” (HR Al-Bukhari no 5865)

Ibnu Umar juga berkata :


اتخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم خاتما من ورق وكان في يده ثم كان بعد في يد أبي بكر ثم كان بعد في يد عمر ثم كان بعد في يد عثمان حتى وقع بعد في بئر أريس نقشه محمد رسول الله

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin dari perak, cincin tersebut berada di tangan Nabi, lalu setelah itu berpindah ke tangan Abu Bakar, setelah itu berpindah ke tangan Umar, setelah itu berpindah ke tangan Utsman, hingga akhirnya cincin tersebut jatuh di sumur Ariis. Cincin tersebut terpahatkan Muhammad Rasulullah” (HR Al-Bukhari no 5873)

Anas bin Maalik radhiallahu ‘anhu berkata :


لما أراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يكتب إلى الروم قيل له إنهم لن يقرءوا كتابك إذا لم يكن مختوما فاتخذ خاتما من فضة ونقشه محمد رسول الله

“Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis surat kepada Romawi, maka dikatakan kepada beliau : “Sesungguhnya mereka (kaum Romawi) tidak akan membaca tulisanmu jika tidak distempel”. Maka Nabipun memakai cincin dari perak yang terpahat “Muhammad Rasulullah” (HR Al-Bukhari no 5875)

Para ulama telah berselisih pendapat, apakah memakai cincin hukumnya sunnah ataukah hanya sekedar mubah (diperbolehkan)?. Sebagian ulama berpendapat bahwa memakai cincin hukumnya sunnah secara mutlak. Sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah bagi para raja dan sultan yang membutuhkan stempel cincin sebagaimana kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, adapun selain para raja dan sultan maka hukumnya hanyalah mubah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menggunakan cincin tersebut untuk berhias, akan tetapi karena ada keperluan. Dan sebagian ulama lagi memandang hukumnya makruh bagi selain raja dan sulton, terlebih lagi jika diniatkan untuk berhias.

Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) berkata :

“Yang merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan ulama terdahulu dan yang sekarang yaitu bolehnya memakai cincin perak bagi sultan dan juga yang selainnya. Dan tatkala Imam Malik mengetahui sebagian orang memandang makruh hal ini maka beliaupun menyebutkan dalam kitab Muwattho’ beliau…dari Sodaqoh bin Yasaar ia berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id ibn Al-Musayyib tentang memakai cincin, maka beliau berkata : Pakailah dan kabarkan kepada orang-orang bahwasanya aku telah berfatwa kepadamu akan hal ini”…

Tatkala sampai kepada Imam Ahmad tentang hal ini (yaitu bahwasanya memakai cincin bagi selain sultan hukumnya makruh, maka Imam Ahmad pun terheran” (At-Tamhiid 17/101)

Pendapat yang hati lebih condong kepadanya adalah sunnahnya memakai cincin secara mutlak. Dalilnya adalah meskipun sebab Nabi memakai cincin adalah karena untuk menstempeli surat-surat yang akan beliau kirim kepada para pemimpin Romawi, Persia, dan lain-lain, akan tetapi dzohir dari hadits Ibnu Umar di atas bahwasanya para sahabat juga ikut memakai cincin karena mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal para sahabat bukanlah para sulton, dan mereka tidak membutuhkan cincin untuk stempel. Wallahu a’lam bis showab.

KEDUA : Ditangan yang mana dan jari yang mana memakai cincin?

Sebagian ulama berpendapat akan disunnahkan memakai cincin di tangan kiri, dan sebagian yang lain berpendapat di tangan kanan. Dan pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan dibolehkan di kanan atau di kiri.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Semua hadits-hadits tersebut  (yang menyebutkan Nabi menggunakan cincin di tangan kiri dan juga hadits-hadits yang menyebutkan Nabi menggunakan cincin di tangan kanan-pen) sanadnya shahih” (Zaadul Ma’aad 1/139).

Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Yang benar adalah sunnah menggunakan cincin di tangan kanan dan juga di tangan kiri” (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/110).

Diantara hadits-hadits tersebut adalah :

Anas bin Malik berkata :


كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلىَ الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

“Cincin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini –Anas mengisyaratkan ke jari kelingking dari tangan kirinya” (HR Muslim no 2095)

Anas juga berkata :


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya” (HR Muslim no 2094)

(lihat pembahasan tentang permasalahan ini di http://islamqa.info/ar/ref/139540)

Hadits Anas di atas juga menunjukkan bahwa disunnahkan untuk memakai cincin pada jari kelingking.

KETIGA : Bolehkah memakai cincin di jari tengah dan telunjuk?

Telah lalu bahwasanya sunnah bagi lelaki untuk memakai cincin pada jari kelingking, demikian pula ia dibolehkan memakai cincin pada jari manis, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun memakai cincin pada jari telunjuk dan jari tengah maka ada larangan yang datang. Ali bin Abi Tholib radiallahu ‘anhu berkata :


نَهَانِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي أُصْبُعَيَّ هَذِهِ أَوْ هَذِهِ قَال : فأومأ إلى الوسطى والتي تليها

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk memakai cincin di kedua jariku ini atau ini”. Ali mengisyaratkan kepada jari tengah dan yang selanjutnya (yaitu jari telunjuk).” (HR Muslim no 2078)

Para ulama berselisih pendapat tentang larangan pada hadits ini apakah larangan tahrim (haram) ataukah hanyalah larangan makruh??. Para ulama juga sepakat bahwa larangan ini hanya berlaku bagi kaum lelaki, adapun para wanita bebas untuk memakai cincin di jari mana saja, karena para wanita dibolehkan untuk berhias.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :


وأجمع المسلمون على أن السنة جعل خاتم الرجل فى الخنصر وأما المرأة فانها تتخذ خواتيم فى أصابع قالوا والحكمة فى كونه فى الخنصر أنه أبعد من الامتهان فيما يتعاطى باليد لكونه طرفا ولأنه لايشغل اليد عما تتناوله من أشغالها بخلاف غير الخنصر ويكره للرجل جعله فى الوسطى والتى تليها لهذا الحديث وهى كراهة تنزيه وأما التختم فى اليد اليمنى أو اليسرى فقد جاء فيه هذان الحديثان وهما صحيحان

“Kaum muslimin telah berijmak akan sunnahnya lelaki memakai cincin di jari kelingking, adapun wanita maka boleh memakai cincin-cincin di jari-jari mereka. Mereka berkata hikmahnya memakai cincin di jari kelingking karena lebih jauh dari pengotoran cincin karena penggunaan tangan, karena jari kelingking letaknya di ujung, dan juga jari kelingking tidak mengganggu aktivitas tangan. Hal ini berbeda dengan jari-jari yang lainnya.

Dan dimakruhkan bagi seorang lelaki untuk memakai cincin di jari tengah dan juga jari yang setelahnya (jari telunjuk), dan hukumnya adalah makruh tanzih. Adapun memakai cincin di tangan kanan atau tangan kiri maka telah datang dua hadits ini, dan keduanya shahih” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/71)

KEEMPAT : Diharamkan bagi lelaki memakai segala bentuk perhiasan yang terbuat dari emas
Telah jelas dalam hadist Ibnu Umar di atas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuang cincin emasnya, karena cincin emas haram dipakai oleh lelaki. Bahkan bukan hanya cincin, segala perhiasan yang terbuat dari emas dilarang dipakai oleh lelaki.


عن عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أنَّ النَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ حَرِيرًا فَجَعَلَهُ فِي يَمِينِهِ ، وَأَخَذَ ذَهَبًا فَجَعَلَهُ فِي شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : ( إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي)

“Dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kain sutra lalu meletakkannya di tangan kanan beliau, dan mengambil emas lalu beliau letakan di tangan kiri beliau, lalu beliau berkata : “Kedua perkara ini haram bagi kaum lelaki dari umatku” (HR Abu Dawud no 4057, An-Nasaai no 5144, dan Ibnu Maajah no 3595, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Bahkan para ulama menyebutkan bahwa cincin yang ada polesan emasnya pun tidak boleh digunakan oleh lelaki.

An-Nawawi rahimahullah berkata :


وأما خاتم الذهب فهو حرام على الرجل بالاجماع وكذا لو كان بعضه ذهبا وبعضه فضة حتى قال أصحابنا لو كانت سن الخاتم ذهبا أو كان مموها بذهب يسير فهو حرام لعموم الحديث … ان هذين حرام على ذكور أمتى حل لإناثها

“Adapun cincin emas maka hukumnya haram bagi lelaki menurut kesepakatan (ijmak para ulama), demikian pula jika sebagian cincin tersebut emas dan sebagiannya perak. Bahkan para ashaab (para ulama syafi’iyah) berkata jika seandainya mata cincinnya terbuat dari emas atau dipoles dengan sedikit emas maka hukumnya juga haram, berdasarkan keumuman hadits….”Sesungguhnya kedua perkara ini (kain sutra dan emas) haram bagi kaum lelaki dari umatku dan halal bagi kaum wanitanya” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/32)

Karenanya para ulama memfatwakan bahwa jam tangan yang terdapat padanya  emas maka tidak boleh digunakan oleh lelaki.

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata :


الساعة المطلية بالذهب للنساء لا بأس بها، وأما للرجال فحرام

“Jam yang dipoles dengan emas boleh bagi wanita, adapun bagi para lelaki maka haram” (Majmuu’ Al-Fataawa Syaikh Utsaimin 11/62)

(Lihat juga Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah di http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&BookID=3&PageID=9372&back=true)

KELIMA : Bolehkah memakai cincin dari besi dan tembaga?

Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-’Aash bahwasanya


رَأَى عَلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَأَلْقَاهُ وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَقَالَ هَذَا شَرٌّ هَذَا حِلْيَةُ أَهْلِ النَّارِ فَأَلْقَاهُ فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ فَسَكَتَ عَنْهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat salah seorang sahabat memakai cincin dari emas, maka Nabipun berpaling darinya, lalu sahabat tersebut pun membuang cincin tersebut, lalu memakai cincin dari besi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ini lebih buruk, ini adalah perhiasan penduduk neraka”. 
Maka sahabat tersebut pun membuang cincin besi dan memakai cincin perak. 

Dan Nabi mendiamkannya” (HR Ahmad 6518, Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no 1021,  dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dan para pentahqiq Musnad Ahmad) 
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa cincin besi merupakan perhiasan penduduk neraka, ini merupakan ‘illah (sebab) pengharaman penggunaan cincin besi. Dan kita ketahui bahwasanya para penghuni neraka diikat dengan rantai dan belenggu, dan yang kita ketahui biasanya rantai dan belenggu terbuat dari besi (lihat ‘Aunul Ma’buud 11/190). 





Allah juga berfirman :




وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ

“Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi” (QS Al-Haaj : 21)

Dan dari sini juga bisa kita pahami bahwasanya larangan memakai cincin besi mencakup laki-laki dan perempuan, karena keduanya dituntut untuk tidak menyerupai penduduk neraka.

Dari sini juga kita pahami bahwasanya jika cincin tersebut tidak terbuat dari besi murni maka tidaklah mengapa (lihat Fathul Baari 10/323).

Sebagian ulama juga mengharamkan cincin yang terbuat dari tembaga karena tembaga juga merupakan perhiasan penduduk neraka. Allah berfirman :

فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ

“Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka” (QS Al-Haaj : 19)

Sa’id bin Jubair menafsirkan pakaian dari api tersebut dengan نُحَاس”tembaga yang dipanaskan” (Lihat Tafsir At-Thobari 18/591 dan Tafsir Ibnu Katsir 5/406)

Demikian juga firman Allah

سَرَابِيلُهُمْ مِنْ قَطِرَانٍ وَتَغْشَى

“Pakaian mereka adalah dari qothiroon” (QS Ibrahim : 50)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa menafsirkan qothiroon dengan nuhaas “tembaga yang panas” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/522 dan Ad-Dur Al-Mantsuur 8/581)

Catatan : Adapun kisah seorang sahabat yang hendak menikahi seorang wanita lantas ia tidak memiliki harta yang bisa dijadikan mahar, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ “Carilah (untuk bayar mahar-pen) meskipun sebuah cincin dari besi” (HR Al-Bukhari no 5135), maka kisah ini tidak bisa ditentangkan dengan hadits di atas, karena beberapa sisi :

-         Hadits tentang mahar ini bukanlah nash yang tegas akan bolehnya memakai cincin besi, karena bisa jadi yang dimaksud oleh Nabi adalah agar sang wanita memanfaatkan harga cincin besi tersebut (lihat Fathul Baari 10/323)

-         Dan jika kita menempuh metode tarjiih maka kita mendahulukan hadits larangan memakai cincin besi karena adanya kaidah bahwa “Larangan didahulukan dari pada pembolehan”, karena hukum bolehnya memakai cincin besi bersandar kepada hukum asal yaitu bolehnya. Dan hukum haramnya pengharaman cincin besi adalah hukumnya yang menunjukkan adanya perubahan, maka dalam tarjiih, perubahan hukum didahulukan daripada hukum asal.

KESIMPULAN :

-         Memakai cincin hukumnya sunnah (minimal hukumnya mubah dan tidak makruh)
-         Para lelaki tidak boleh menggunakan cincin dari emas atau yang ada campuran emasnya atau polesan emas, dan boleh menggunakan cincin dari perak dan juga batu-batu mulia dan permata. (Lihat fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah dihttp://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&BookID=3&PageID=9376)

-         Bagi wanita boleh memakai cincin dari emas dan perak di jari mana saja, karena para wanita dituntut untuk berhias

-         Tidak boleh menggunakan cincin dari besi baik lelaki maupun wanita, karena itu merupakan perhiasan penduduk neraka.

-         Disunnahkan bagi lelaki memakai cincin di jari kelingking baik di tangan kanan atau di tangan kiri.

-         Dibolehkan juga bagi lelaki untuk memakai cincin di jari manis, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Hanya diharamkan (atau dimakruhkan menurut sebagian ulama) jika menggunakan cincin di jari telunjuk dan jari tengah

Masih banyak hukum-hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan cincin, silahkan baca di (http://www.saaid.net/Doat/yahia/59.htm)

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 17-04-1434 H / 27 Februari 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja http://www.firanda.com

Dikup dari Artikel :http://abunamira.wordpress.com

Arikel : Al Islam






Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Manhaj: Bid'ah Hakiki dan Bid'ah Idhafiy

Written By sumatrars on Selasa, 19 Februari 2013 | Februari 19, 2013

 Bid’ah Hakiki Dan Bid’ah Idhafiy
Kategori: Bahasan Utama, Manhaj

الأصل في العبادات الحظرالا ما ورد عن الشارع تشريعه

al-ashlu fil ‘ibaadati al-hazhru, illaa maa warada ‘anisy syaari’i tasyrii’uhu

“Hukum asal suatu ibadah adalah terlarang, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut disyari’atkan”

Seorang yang pernah belajar ilmu agama, pasti memahami kaidah di atas, khususnya seorang yang belajar kaedah fikih. Berbicara masalah dunia saja membutuhkan ilmu, dan yang berbicara bukanlah sembarang orang, namun harus yang ahli di bidangnya. Terlebih lagi masalah akhirat yang dibicarakan, tentu tidak sembarang orang yang bisa angkat suara.

Sebagian kaum muslimin, ‘alergi’ dengan kata bid’ah. Terkadang mereka langsung antipati jika seorang da’i yang menyampaikan nasehat, dan isi nasehat itu terkait dengan bid’ah. Namun ketahuilah wahai saudara kami seiman, istilah tersebut telah Nabi shallallahu ‘alahi wasallam gunakan sejak dulu. Beliau bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

…berhati-hatilah kalian dengan perkara yang muhdatsat (perkara yang di ada-adakan), karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, At-Tirmidzi berkata, “Hadist Hasan Shahih.”)

Perkara yang muhdats di sini, bukanlah terkait dalam masalah dunia, namun terbatas dalam masalah agama saja. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mukiminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat perkara baru (أَحْدَثَ) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan dari ajarannya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalil lain bahwa ‘kreasi’ (membuat perkara baru) itu hanya boleh dalam masalah dunia saja, bukan masalah agama, berdasarkan sabda Nabi

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

…kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi mengatakan ‘urusan dunia kalian’, namun tidak mengatakan ‘hukum urusan dunia kalian’ Karena untuk masalah dunia, Nabi menyerahkan pada umatnya, namun untuk hukum perkara dunia, hanya Nabi lah yang lebih tahu.
Misalnya dalam hal memelihara jenggot. Urusan jenggot kenapa bisa tumbuh, manusia lebih tahu akan hal itu. Namun urusan hukum memelihara jenggot, Nabi lah yang lebih tahu.

Apa itu Bid’ah Hakiki dan Bid’ah Idhafiy?

Bid’ah hakiki adalah setiap ibadah yang sama sekali tidak pernah Allah dan Rasul-Nya syari’atkan dalam bentuk apa pun. Seperti bacaan doa-doa, dzikir-dzikir, dan shalawat untuk Nabi, yang sama sekali tidak pernah ada asalnya dari syari’at.

Contoh lainnnya adalah adzan yang dilakukan saat shalat ‘idul fithri dan ‘idul adha, adzan pada shalat istisqa (minta hujan). Dan masih banyak lagi, contoh perkara-perkara yang tidak pernah ada tuntunannya yang termasuk di dalam kategori bid’ah hakiki. Termasuk dalam bid’ah hakiki misalnya seseorang yang melakukan sujud ketika hendak keluar masjid setalah melakukan shalat wajib atapun shalat sunnah. Jadi intinya, apabila terdapat suatu amalan yang tidak pernah Allah dan Rasul-Nya tuntunkan, maka hal itu termasuk bid’ah hakiki.

Adapun bid’ah idhafiy adalah bid’ah karena mengubah apa yang telah Allah dan Rasul-Nya syari’atkan. Misalnya dalam dzikir yang dilakukan setelah shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang.

Pada asalnya dzikir setelah shalat jama’ah adalah suatu hal yang dituntunkan. Namun tata caranya menyimpang dari ajaran Allah dan Rasuln-Nya, yang seharusnya dilakukan sendiri-sendiri, tapi dilakukan secara bersama-sama.

Dalam kasus ini, pengubahan tata cara ibadah yang pada awalnya dituntunkan, termasuk dalam bid’ah idhafiy. Karena di satu sisi dzikir setelah shalat jama’ah adalah sunnah, namun di sisi lain adalah bid’ah jika dilakukan secara berjama’ah.

Dan dalam waktu dekat ini, sebagian kaum muslimin ada yang bersemangat dalam merayakan hari kelahiran Rasulullah, yang disebut dengan maulid Nabi. Namun yang patut disayangkan, apa yang mereka lakukan bukanlah termasuk sunnah. Bahkan suatu ajaran yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah ajarkan. Maka, perhatikanlah kaedah fikih di awal tulisan, apakah perayaan maulid Nabi itu kita anggap suatu ibadah apa bukan? Jika ibadah, apakah ada dalil yang mensyari’atkannya?

Hendaknya setiap muslim semangat dalam menjalankan amalan sunnah, dan berhati-hati dengan amalan yang tidak ada tuntunannya. Benarlah perkataan sebagian salaf,

الاقتصاد في السنة أحسن من الاجتهاد في البدعة

Sederhana dalam amalan sunnah lebih baik daripada bersemangat dalam melakukan bid’ah”.
Wallahu’alam.

Catatan: Muslim.Or.Id banyak mengambil faedah dari kitab Jam’ul Mahshul fii Syarhi Risalati ibni Sa’di fil Ushul hal. 124-126, karya Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan

Sumber Dari Artikel Muslim.Or.Id




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Pengajian Online Dan Live Bersama Para Ulama


Pengajian Online Dan Live Bersama Para Ulama

Kategori: Pengajian
Dizaman internet ini, sudah banyak dibuka pengajian online yang diampu oleh para ulama sunnah, yang bisa diikuti secara live (langsung; bukan rekaman). Kebanyakan pengajian tersebut pun materinya terprogram dan tersusun rapi sehingga bagi penuntut ilmu yang ingin mulazamah (mengikuti secara rutin) online bisa lebih mendapatkan faidah dibanding pengajian yang sifatnya tematik per pertemuan.
Berikut ini beberapa link pengajian live online yang kami kumpulkan
1. Web Maktabah Ath Thaybah Al Atsariyyah
URL: http://maktaiba.net/index.html
Pengajar:
  1. Asy Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, dari Masjid An Nabawi
  2. Asy Syaikh DR. Shalih Sindi, dari Masjid Ghamamah, Madinah
  3. Asy Syaikh Ubaid Al Jabiri, dari Masjid Dzunnurain
  4. Asy Syaikh DR. Muhammad Al Hajili, dari Masjid Dzunnurain
  5. Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari, dari Masjid Dzunnurain
2. Web At Ta’shil Al’Ilmi
URL: http://attasseel-alelmi.com/index.php/live
Pengajar:
  1. Asy Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
  2. Asy Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al Abbad
  3. Asy Syaikh Haitsam Sarhan
3. Web Ulama Yaman
URL: http://www.olamayemen.net/default_ar.aspx?id=216&Name=البث_المباشر
Pengajar:
  1. Asy Syaikh Bamusa, dari Darul Hadits di Al Hadidah
  2. Asy Syaikh Al Wushabi, dari Darul Hadits di Al Hadidah
  3. Asy Syaikh As Salimi,dari Darul Hadits di Dzimmar
  4. Asy Syaikh Al Bura’i, dari Darul Hadits di Habisy
  5. Asy Syaikh Muhammad Al Imam, dari Darul Hadits di Ma’bar
4. Web Manabir Al Ilmi Al Islamiyah
URL: http://www.manaberalelm.com/live/
Pengajar:
  1. Asy Syaikh DR. Sa’ad bin Sa’id Al Hijri
  2. Asy Syaikh DR. Abdurrahman bin Abdil Aziz Al’Aql
  3. Asy Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili
  4. Asy Syaikh Abdurrahman Ali Ad Dakhil
  5. Asy Syaikh Rajih bin Sulthan
5. Web Islam Light
URL: http://islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=318&Itemid=410
Pengajar:
  1. Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak
  2. Asy Syaikh Khalid bin Ali Al Musyaiqih
  3. Asy Syaikh Abdul Karim bin Abdillah Al Khudhair
  4. Asy Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan
  5. Asy Syaikh Abdurrahman bin Shalih Al Mahmud
  6. Asy Syaikh Yusuf bin Abdillah Al Ahmad
  7. Asy Syaikh Sa’ad bin Abdil ‘Aziz Al Humaid
  8. Asy Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdil Latif
  9. Asy Syaikh Jammaz bin Abdirrahman Al Jammaz
6. Web Pribadi Syaikh Khalid Al Muslih
URL: http://www.almosleh.com
Pengajar: Asy Syaikh Khalid Al Muslih
7. Web Pribadi Syaikh Shalih Fauzan
URL: http://alfawzan.af.org.sa/livecast
Pengajar: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan
8. Web Pribadi Syaikh Wahid Abdussalam bin Bali
URL: http://www.waheedbaly.com/amr/
Pengajar: Asy Syaikh Wahid Abdussalam bin Bali
9. Web Pribadi Syaikh Masyhur Hasan Salman
URL: http://www.mashhoor.net/
Pengajar: Asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
10. Web Forum Sahab
URL: http://www.sahab.net/Live/
Pengajar: Asy Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi
11. Web Al Minhaj (Markaz Imam Al Albani di Yordania)
URL: http://www.almenhaj.net/alive.php
Pengajar:
  1. Asy Syaikh DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr
  2. Asy Syaikh DR. Ashim Al Qaryuti
  3. Asy Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi
  4. Asy Syaikh DR. Ziyad Salim Al ‘Ibadi
  5. Asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
  6. Asy Syaikh Husain bin ‘Audah Al ‘Awa’isyah
  7. Asy Syaikh Akram bin Muhammad Ziyadah
  8. Asy Syaikh Abu Islam Shalih Thaha
  9. Asy Syaikh Fathi Sulthan Al Mushili
12. Web Al Bashirah New York
URL: http://www.albaseerah.org/schedule.php
Pengajar:
  1. Asy Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh
  2. Asy Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi
  3. Asy Syaikh Abdurahim Al ‘Ajlan
  4. Asy Syaikh Al Hudzaifi
  5. Asy Syaikh Shalih Ath Thalib
  6. Asy Syaikh Abdul ‘Aziz Al Falih
  7. Asy Syaikh Shalih As Suhaimi
  8. Asy Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al Abbad
  9. Asy Syaikh Abdullah Al Jarbu
  10. Asy Syaikh Khalid Ar Raddadi
  11. Asy Syaikh Abdussalam As Suhaimi
  12. Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al ‘Aqil
  13. Asy Syaikh Wasi’ullah Abbas
  14. Asy Syaikh Abdul Majid Muhammad As Subayyil
  15. Asy Syaikh Fahad Al Fuhaid
  16. Asy Syaikh Shalih As Sadhan
  17. Asy Syaikh Ahmad Al Munayyi
  18. Asy Syaikh Hisyah Abdul Malik Alu Asy Syaikh
  19. Asy Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani
  20. Asy Syaikh Shalah Muhammad Alu Asy Syaikh
13. Radio Rodja
URL: http://radiorodja.com
Pengajar:
  1. Asy Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al Abbad
  2. Asy Syaikh DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr
 14. Web Pribadi Syaikh Shalih Al ‘Ushaimi
URL: http://www.j-eman.com/index.php?option=com_content&view=article&id=99&Itemid=243
Pengajar: Asy Syaikh Shalih bin Abdillah Al ‘Ushaimi
15. Web LiveIslam
URL: http://liveislam.net/
Pengajar:
  1. Asy Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili
  2. Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy Syaikh
  3. Asy Syaikh Nashir Al ‘Aql
  4. Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak
  5. Asy Syaikh Musthafa Al ‘Adawi
  6. Asy Syaikh Ahmad Hathib
  7. Asy Syaikh Sami bin Muhammad Ash Shuqair
  8. Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Ibrahim Al Qasim
  9. Asy Syaikh Muhammad bin Ali Asy Syinqithi
  10. Asy Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan
  11. Asy Syaikh Sa’ad bin ‘Atiq Al ‘Atiq
  12. Asy Syaikh Ibrahim bin Ahmad Al ‘Afifi
  13. Asy Syaikh Khalid bin Sa’ad Al Khasylan
  14. Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah As Suwaidan
  15. Asy Syaikh Abdul Karim bin ‘Audh As Sulmi
  16. Dll.
Cara Mengikuti Pengajian Live
Setiap web di atas memiliki peraturan dan media yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan pengajian online dan live. Namun secara garis besar, beberapa poin berikut mewakili semua web tersebut:
  1. Pengajian dalam bahasa arab, beberapa memang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Radio Rodja) dan bahasa Inggris (Al Bashirah)
  2. Setiap pengajian di atas memiliki jadwal pengajian masing-masing, silakan lihat jadwal tersebut pada setiap web.
  3. Waktu yang tercantum di jadwal bukan waktu Indonesia, melainkan waktu timur tengah.
  4. Pastikan browser anda sudah terinstall plugin flash player atau real player. Karena player yang digunakan umumnya membutuhkan salah satu atau kedua plugin tersebut.
  5. Sebagian juga membutuhkan software real player terinstall di komputer anda.
  6. Untuk mengikuti pengajian, cukup kunjungi alamat URL disediakan, lalu umumnya anda cukup meng-klik tombol play pada player yang tersedia atau klik link yang membawa anda ke halaman tempat player berada atau link yang akan menjalankan aplikasi realplayer.
Selamat belajar.

Sumber : Artikel Muslim.Or.Id





Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger