BLOG AL ISLAM
Diberdayakan oleh Blogger.
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
twitter
Live Traffic
Latest Post
September 01, 2012
Caran Memasang Qur'an Online
Written By sumatrars on Sabtu, 01 September 2012 | September 01, 2012
Caran Memasang Qur'an Online
Cara memasang Al-Qur’an Online kedalam Blog kita.Tentu disamping bisa menjadi daya tarik pengunjung, motivasi yang paling utama adalah sebagai Syiar Islam. Pengunjung akan terbantu dengan adanya Al-Qur’an Online ini, karena bisa belajar membaca, mencari terjemah, mendengarkan tartil dll.Sumber dari Sumber Al-Quran Online langsung dari situs http://www.alquran-indonesia.com, jadi selama situs tersebut masih exist maka kita masih bisa memasang kedalam Blog kita.
Cara Memasang Al-Qur'an Online Pada Blog :
Sobat dapat ganti yang tulisan Kode warna Hajau dan warna biru sesuaikan pada
blog posting atau gadget sobat.
Cara memasang Al-Qur’an Online kedalam Blog kita.Tentu disamping bisa menjadi daya tarik pengunjung, motivasi yang paling utama adalah sebagai Syiar Islam. Pengunjung akan terbantu dengan adanya Al-Qur’an Online ini, karena bisa belajar membaca, mencari terjemah, mendengarkan tartil dll.Sumber dari Sumber Al-Quran Online langsung dari situs http://www.alquran-indonesia.com, jadi selama situs tersebut masih exist maka kita masih bisa memasang kedalam Blog kita.
Cara Memasang Al-Qur'an Online Pada Blog :
- Login ke blogger
- Pilih Rancangan kemudian Tambah Gadget
- Pilih HTML/JavaScript
- Masukan kode HTML di bawah ini
<iframe style="overflow: auto; background-attachment: scroll;
background-repeat: no-repeat; background-position: left top; text-align:
left; border: 1px solid #cccccc; -moz-border-radius:
8px 8px 8px 8px; padding: 10px; width:
850px;
height: 900px;" src="http://m.alquran-indonesia.com/mquran/index.php/quran"
frameborder="0"> </iframe>
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Agustus 31, 2012
Sumber Blog Ibnu Majjah
Adab Berbicara
Written By sumatrars on Jumat, 31 Agustus 2012 | Agustus 31, 2012
Adab Berbicara
Pengantar:
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, kemudian shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan sahabatnya serta yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari yang dijanjikan. Dalam kehidupan ini sebagai makluk sosial manusia tidak akan pernah lepas dari berkomunikasi, satu dengan yang lainnya. Terkadang untuk suatu keperluan dan terkadang juga sekadar basa-basi. Tapi, kadangkala adab dalam bercakap-cakap ini diabaikan, sehingga tidak sedikit membuat kesal dan tersinggung lawan bicaranya. Karena itu, inilah eBook yang menjelaskan beberapa etika yang perlu diperhatikan agar percakapan kita menjadi berfaedah dan penuh dengan hikmah, selamat menyimak…Back to Top
Download:Etika Bercakap-cakap
atauBack to Top
Sumber Blog Ibnu Majjah
Copyright © 2012 http://alislam-sr.blogspot.com. All rights reserved.
Revised: .
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Agustus 29, 2012
Qur'an Taubat dan Istighfar
Written By sumatrars on Rabu, 29 Agustus 2012 | Agustus 29, 2012
Perbedaan Taubat dan Istighfar
by Muhammad Abduh Tuasikal
Kita selalu butuh akan ampunan Allah karena kita adalah hamba yang tidak
bisa lepas dari dosa. Dosa ini bisa gugur dengan taubat dan ucapan istighfar.
Terlihat kedua amalan ini sama. Namun ada sedikit perbedaan mendasar yang
perlu dipahami. Taubat lebih sempurna dan di dalamnya terdapat istighfar.
Namun istighfar yang sempurna adalah jika diiringi dengan taubat.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz –rahimahullah-
menjelaskan,
Taubat berarti,
الندم على الماضي والإقلاع منه والعزيمة أن لا يعود فيه
“Menyesali (dosa) yang telah lalu, kembali melakukan ketaatan dan bertekad
untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi.” Inilah yang disebut taubat.
Sedangkan istighfar bisa jadi terdapat taubat di dalamnya dan bisa jadi
hanya sekedar ucapan di lisan. Ucapan istighfar seperti “Allahummaghfirlii”
(Ya Allah, ampunilah aku) atau “Astaghfirullah” (Ya Allah, aku
memohon ampun pada-Mu).
Adapun taubat itu sendiri dilakukan dengan menyesali dosa, berhenti dari
maksiat dan bertekad tidak akan mengulanginya. Ini disebut taubat, kadang
pula disebut istighfar. Istighfar yang bermanfaat adalah yang diiringi
dengan penyesalan, berhenti dari dosa dan bertekad tidak akan mengulangi
dosa tersebut lagi. Inilah yang kadang disebut istighfar dan kadang pula
disebut taubat. Sebagaimana hal ini diisyaratkan dalam firman Allah
Ta’ala,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا
اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا
اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ , أُولَئِكَ
جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun (beristighfar)
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan
surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS.
Ali Imran: 135-136).
Yang dimaksud istighfar pada ayat di atas adalah menyesal dan tidak terus
menerus berbuat dosa. Ia mengucapkan ‘Allahummaghfirlli,
astaghfirullah’ (Ya Allah, ampunilah aku. Ya Allah, aku memohon ampun
pada-Mu), lalu disertai dengan menyesali dosa dan Allah mengetahui hal itu
dari hatinya tanpa terus menerus berbuat dosa bahkan disertai tekad untuk
meninggalkan dosa tersebut. Jadi, jika seseorang ‘astaghfir’ atau ‘Allahummaghfir
lii’ dan dimaksudkan untuk taubat yaitu disertai penyesalan, kembali
taat dan bertekad tidak akan mengulangi dosa lagi, inilah taubat yang benar.
[Sumber
Mawqi’ Syaikh Ibnu Baz]
Ya Allah, terimalah taubat kami dan tutupilah setiap dosa kami dengan
istighfar.
Selepas shalat Shubuh @ Dammam, KSA, Jum’at-20 Jumadats Tsaniyah 1433 H
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Oleh
Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
Agustus 29, 2012
Qur'an Memahami Syirik
Salah Dalam Memahami Syirikby Yulian Purnama |
Syirik sudah kita pahami bersama adalah sejelek-jeleknya dosa. Namun
sebagian orang keliru dalam memahami syirik, dikira syirik hanyalah bentuk
penyembahan terhadap berhala atau meyakini ada pencipta selain Allah.
Padahal syirik tidak terbatas pada itu saja. Dan sekali lagi syirik yang
kita bahas bukanlah yang artinya ‘meri’ dalam bahasa Jawa atau
artinya iri. Namun yang dibahas, syirik adalah bentuk peribadahan pada
selain Allah.
Beberapa kekeliruan dalam memahami
syirik:
Pertama: Syirik dianggap hanyalah bentuk penyembahan
terhadap berhala. Sedangkan bentuk beribadah pada wali, orang sholih atau
pada kuburan, maka bukanlah syirik. Bentuk peribadahan yang ada hanyalah
tawassul, meminta syafa’at atau semacam itu. Sehingga syirik hanyalah bentuk
peribadahan pada berhala.
Bantahan: Bentuk peribadahan kepada berhala adalah di
antara jenis syirik. Syirik adalah meminta pada selain Allah baik dari
berhala maupun selainnya. Dan sesembahan orang musyrik bermacam-macam, tidak
hanya berhala. Sesembahan mereka ada berupa berhala. Ada yang berupa
matahari dan rembulan. Ada yang berupa setan, juga ada yang berupa pohon dan
batu. Ada pula yang menyembah malaikat. Ada pula yang menyembah wali dan
orang sholih. Jadi sekali lagi bukan hanya terbatas pada penyembahan pada
berhala saja.
Dalil bahwasanya sesembahan orang musyrik bukan hanya berhala namun beraneka
ragam, sebagaimana dalil berikut.
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا
تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari
dan bulan.” (QS. Fushshilat: 37). Ini menunjukkan bahwa ada orang
musyrik yang menyembah matahari dan rembulan.
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ
أَرْبَابًا
“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para
nabi sebagai tuhan.” (QS. Ali Imran: 80). Dalil yang disebut di sini
menunjukkan bahwa ada orang musyrik yang menyembah malaikat dan nabi.
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ
اتَّخِذُونِي وَأُمِّي إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا
يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ
عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ
أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah
kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan
maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak
mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".”(QS. Al Maidah: 116). Ini juga
dalil bahwa Nabi juga ada yang disembah.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” (QS. Al Isro’: 57).
Orang sholih pun ada yang disembah dan ini termasuk kesyirikan.
أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan
al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak
perempuan Allah)” (QS. An Najm: 19-20). Dalil ini juga menunjukkan
pohon dan batu ada yang disembah.
Kedua: Yang dianggap syirik adalah jika meyakini bahwa ada
pencipta selain Allah, ada yang memberi rizki selain Allah dan ada yang
mengatur alam semesta selain Allah. Jadi dianggap seseorang disebut
bertauhid jika meyakini bahwa tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur
alam semesta selain Allah.
Bantahan: Keyakinan seperti ini benar. Namun seseorang
disebut musyrik (berbuat syirik) di masa silam bukanlah karena keyakinan di
atas. Mereka tidak disebut musyrik karena tidak meyakini perkara rububiyah
di atas. Mereka sama sekali tidak meyakini bahwa berhala itu dapat mencipta,
memberi rizki, dapat menghidupkan atau mematikan. Berhala-berhala tadi hanya
dijadikan perantara dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan
mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi
Allah".” (QS. Yunus: 18). Orang-orang musyrik tidaklah mengatakan bahwa
berhala-berhala tadi menciptakan mereka atau memberi rizki pada mereka,
namun yang mereka yakini, berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafa’at
kepada mereka di sisi Allah dan menjadi perantara pada Allah. Ini adalah
keyakinan sesat, yaitu hanya membatasi syirik pada tauhid rububiyah saja
ketika tidak meyakini Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki. Bahkan
sejelek-jelek syirik adalah syirik dalam hal uluhiyah yaitu memalingkan satu
jenis ibadah kepada selain Allah. Inilah syirik yang telah diperingatkan
dengan keras dan menjadi misi utama para rasul diutus, serta menjadi sebab
disyari’atkannya jihad. Sedangkan keyakinan bahwa berhala itu bisa mencipta
dan memberi rizki hampir-hampir jarang ditemui, yang diyakini adalah
berhala-berhala tadi dijadikan perantara dan pemberi syafa’at di sisi Allah.
Ketiga: Yang disebut syirik adalah dalam tauhid hakimiyah
yaitu ketika tidak berhukum dengan hukum Allah.
Bantahan: Ini memang di antara jenis syirik karena
pensyariatan hukum hanya menjadi wewenang Allah. Namun syirik bukan hanya
dibatasi dalam hal ini. Bahkan syirik lebih umum dari itu. Syirik terdapat
dalam do’a, tumbal sembelihan pada selain Allah, nadzar pada selain Allah,
dan istighotsah pada selain Allah. Jika dikhususkan pada tauhid hakimiyah
saja, maka itu keliru.
Jadi, Syirik adalah …
Jika kita merenungkan Al Qur’an yang disebut syirik adalah memalingkan
ibadah pada selain Allah. Dalilnya sebagaimana dalam beberapa ayat berikut,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan
mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi
Allah".” (QS. Yunus: 18).
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ
“Katakanlah: " Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain
Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di
bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit
dan bumi” (QS. Saba’: 22). Dalil ini menunjukkan syirik dalam do’a
karena dipalingkannya do’a pada selain Allah.
Dalil berikut pula menunjukkan bahwa tumbal sembelihan hanya boleh untuk
Allah,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah” (QS. Al
Kautsar: 2)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ (163)
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)".” (QS. Al An’am: 162-163). Sembelihan
dan shalat kepada selain Allah termasuk syirik dan syirik itu sendiri
beraneka ragam macamnya.
Kaedah yang benar dalam memahami
syirik:
Syirik adalah memalingkan salah satu ibadah kepada selain Allah. Orang yang
memalingkannya disebut musyrik.
Wallahu waliyyut taufiq.
(*) Dikembangkan dari tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan
bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- dalam kitab “Durus fii
Syarh Nawaqidhil Islam”, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1425 H, hal.
41-43.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artike Oleh Muslim.Or.Id
Sumber Artike Oleh Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
fiqih dan muamalah,
index
Agustus 29, 2012
Penulis: Ustadz Armen Halim Naro رحمه الله
Adab-adab Imam dalam Sholat Berjama’ah
atau
Tulisan Terkait:
Lihat eBook-eBook dibawah kategori Sholat
Adab Imam dalam Sholat Berjama’ah
Adab Imam dalam Sholat Berjama’ah
Nama eBook: Adab-adab Imam dalam Sholat Berjama’ahPenulis: Ustadz Armen Halim Naro رحمه الله
Segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam, Sholawat dan salam bagi Rasulullah صلى
الله عليه وسلم, kepada keluarganya, sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan
baik hingga hari yang dijanjikan, Amma ba’du:
Imam Sholat
dalam Islam sangatlah diperhatikan, karena Imam adalah ikutan makmum dan tidak
boleh menyelisihinya, Sebab itu seorang imam sholat seharusnya adalah orang
terbaik dari segi kedudukan dan ilmu agamanya dalam masyarakat.
Namun fenomena
yang terjadi adalah banyaknya imam yang tidak mengerti adab-adab dan hukum-hukum
yang berkaitan dengan sholat, sholat jama’ah apatah lagi persoalan Islam secara
umum. Untuk itu perlulah kiranya para Imam untuk mempelajari berbagai adab-adab
dalam sholat berjama’ah dan memprakteknya untuk kesempurnaan sholat berjama’ah
tersebut.
eBook ini
berisi adab-adab imam yang dimaksud, penulis berusaha menjelaskan adab-adab
tersebut dengan singkat dan jelas, kami berdoa semoga kiranya Allah memperbaiki
keadaan kita kaum muslimin, amin….
Download:Adab-adab Imam dalam Sholat Berjama’ah
atau
Tulisan Terkait:
Lihat eBook-eBook dibawah kategori Sholat
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Agustus 26, 2012
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah.
Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam:
“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai,
…” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim
baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari
perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api
neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)
Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin / di ulang Oleh : Rachmat Machmud
Sumber Artikel Oleh: www.muslim.or.id
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah.
Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam:
“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …”
(Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi).
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia
maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan
maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah
hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu
dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)
Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin / di ulang Oleh : Rachmat Machmud
Sumber Artikel Oleh: www.muslim.or.id
Bulan Syawal Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Written By sumatrars on Minggu, 26 Agustus 2012 | Agustus 26, 2012
Artikel Kali ini Kegiatan Umat Muslim di Bulan Syawal.
Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin / di ulang Oleh : Rachmat Machmud
Sumber Artikel Oleh: www.muslim.or.id
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah.
Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam:
“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …”
(Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi).
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia
maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan
maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah
hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu
dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)
Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan
Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan
yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal,
maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari
Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti
berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh
lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul
Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh
Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi
madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu
puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari
raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu
‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata,
“Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut:
Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian
makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim
8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut
langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan
tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih
mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah
pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik
di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama
adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang
anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka
berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam
hadits tersebut terdapat lafadz
ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang
waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia
ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah
mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib
daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab
rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa
yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya
terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban
kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada
puasa sunnah Syawal”. Pendapat
ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh
Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit
hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan
sunnah Nabi Muhammad
Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin / di ulang Oleh : Rachmat Machmud
Sumber Artikel Oleh:
www.muslim.or.id
Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin / di ulang Oleh : Rachmat Machmud
Sumber Artikel Oleh: www.muslim.or.id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Agustus 25, 2012
Mencari Ketenaran, Benci Tenar / Popularitas
Written By sumatrars on Sabtu, 25 Agustus 2012 | Agustus 25, 2012
Kategori : Akhlaq dan Nasehat
Kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar.
Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)
Ibnul Mubarak mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)
Daud Ath Tha’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal shalih.
Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)
Ibrahim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (LihatTa’thirul Anfas, hal. 286)
Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarak. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.
Catatan penting yang perlu diperhatikan:
Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
Sumber Artikel Oleh: Muslim.Or.Id
Kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar.
Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)
Ibnul Mubarak mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)
Daud Ath Tha’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal shalih.
Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)
Ibrahim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (LihatTa’thirul Anfas, hal. 286)
Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarak. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.
Catatan penting yang perlu diperhatikan:
Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
Sumber Artikel Oleh: Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Agustus 25, 2012
Kobarkan Semangat Ramadhan
Alhamdulillah wa shalatu wa salaam ‘alaa Rasulillah. Amma ba’du.
Pembaca rahimahullah, mungkin masih segar dalam ingatan kita, betapa kaum muslimin bersemangat mengisi hari-hari di Bulan Ramadhan dengan berbagai aktifitas ibadah. Mungkin masih belum hilang dari memori kita, kegembiraan dan kenikmatan saat menyantap menu buka puasa. Mungkin masih terbayang dalam angan kita, keasyikan ketika melantunkan bacaan Al Qur’an di Bulan Ramadhan. Mungkin juga masih terpatri di benak kita indahnya menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat malam.
Kini, waktu-waktu tersebut telah berlalu. Demikianlah sunnatulah, yang datang pasti akan berlalau, ada awal pasti ada akhir. Hari-hari Ramadhan telah meninggalkan kita. Bulan yang penuh berkah telah berlalu. Maka bagi orang-orang yang mengisinya dengan amalan ketaatan hendaknya bersyukur kepada Allah, dan bagi yang menyiakan-nyiakannya hendaknya segera menyesal dan bertaubat kepada Allah.
Pembaca yang budiman, kewajiban puasa Ramadhan baru saja kita laksanakan. Namun dengan berakhirnya Ramadhan, bukan berarti seorang mukmin terputus dari ibadah puasa. Syariat puasa tetap diperintahkan di luar Bulan Ramadahan. Diriwayatkan dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
Selain itu juga disunnahkan untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menjaga puasa Senin dan
Kamis”
Begitu juga puasa-puasa sunnah yang lainnya seprti puasa Daud, puasa ‘Arafah, dan puasa ‘Asura (10 Muharram).
Pembaca yang budiman, malam-malam Ramadhan yang kita isi dengan shalat tarawih telah berlalu. Namun ibadah shalat malam tetap dianjurkan untuk rutin dikerjakan pada setiap malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sebaik-baik shalat setelah ahalat wajib adalah shalat malam “ (H.R
Muslim)
Lihatlah contoh Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dirirwayatkan dari Al Mughirah bin Syu’bah, dia berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh-sungguh dalam melakukan shalat malam sehingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Pada saat hal ini dtanyakan, beliau menjawab:
“Bukankah seharusnya akau menjadi hamba yang banyak bersyukur? “ (H.
R Bukhari).
Pembaca yang budiman, hari-hari di Bulan Ramadhan yang banyak kita isi dengan membaca Al Qura’an telah berlalu. Namun demikian, bukan berarti kita meninggalkan membaca Al Qura’an di luar bulan Ramadhan. Rasulullah shallallu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memperbanyak membaca Al Qur’an tidak hanya di Bulan Ramadhan saja. Beliau shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Bacalah Al Qur’an! Sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat senbagai
pemberi syafa’at bagi pembacanya“ (H.R Muslim).
Perhatikan pahala yang dijanjikan oleh Nabi kita bagi orang yang membaca Al Qur’an dalam hadits berikut :
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka ia mendapat
satu kebaikan. Dan satu kebaikan akan dibalas sebanyak sepuluh kali lipat”
(H.R Tirmidzi)
Pembaca yang budiman, mungkin sudah banyak harta yang sudah kita sedekahkan di Bulan Ramadhan. Kini masa itu telah lewat. Namun demikian, bukan berarti kita berhenti dalam memberikan sedekah. Kita tetap diperintahkan untuk memperbanyak sedekah meskipun di luar Bulan Ramadhan. Perhatikan janji dari Allah Ta’ala dalam ayat berikut :
“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik
laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka
pahala yang banyak “ (Al Hadid :18).
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda :
“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air dapat memadamkan api “
(H.R Tirmidzi)
Pembaca yang budiman, di Bulan Ramadhan banyak majelis ilmu yang bisa kita hadiri. Ada kultum ba’da subuh, kultum menjelang tarawih, kajian jelang buka puasa, dan majelis pengajian yang lainnya. Seiring berakhirnya Bulan Ramadhan, bukan berarti berakhir pula kegiatan kita menuntut ilmu. Ketahuilah saudaraku, menuntu ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Menurut ilmu adalah kewajiban setiap muslim “ (H.R Ibnu Majah)
Kebutuhan kita akan ilmu sangatlah urgen, melebihi kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Dengan berilmu, seseorang akan mendapatkan banyak kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan
memahamkan baginya ilmu agama” (H.R Bukhari dan Muslim)
Pembaca yang budiman, berakhirnya Bulan Ramadhan bukan berarti berakhir pula aktifitas-aktifitas ibadah kita. Mestinya kita tetap semangat dalam mengisi hari-hari kita dengan ibadah kepada Allah seperti pada hari-hari Ramadhan. Memang Ramadhan tahun ini telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan pernah berakhir sebelum maut datang menjemput. Allah Ta’ala berfitman :
“Dan beribadahlah kepada Rabb-mu sampai datang kepadamu al yaqin (ajal)”
( Al Hijr :99)
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya dan janganlah kalian meninggal melainkan dalam keadaan beragama
Islam “ (Ali ‘Imran:102)
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan adanya batas waktu tertentu untuk selesai beramal, kecualai dengan datangnya kematian.
Semoga Allah Ta’ala menerima amalan- amalan kita di Bulan Ramadhan. Kita juga berdoa semoga Allah senantiasa memberikan taufik kepada kita untuk senantiasa bersemangat dalam melakasanakan ibadah selepas Ramadhan. Wallahul musta’an.
Semoga ini menjadi renungan bagi kita semua.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimush shaalihat.
Referensi : Majaalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dengan beberapa tambahan.
Sumber Artikel Oleh: Muslim.Or.Id
Pembaca rahimahullah, mungkin masih segar dalam ingatan kita, betapa kaum muslimin bersemangat mengisi hari-hari di Bulan Ramadhan dengan berbagai aktifitas ibadah. Mungkin masih belum hilang dari memori kita, kegembiraan dan kenikmatan saat menyantap menu buka puasa. Mungkin masih terbayang dalam angan kita, keasyikan ketika melantunkan bacaan Al Qur’an di Bulan Ramadhan. Mungkin juga masih terpatri di benak kita indahnya menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat malam.
Kini, waktu-waktu tersebut telah berlalu. Demikianlah sunnatulah, yang datang pasti akan berlalau, ada awal pasti ada akhir. Hari-hari Ramadhan telah meninggalkan kita. Bulan yang penuh berkah telah berlalu. Maka bagi orang-orang yang mengisinya dengan amalan ketaatan hendaknya bersyukur kepada Allah, dan bagi yang menyiakan-nyiakannya hendaknya segera menyesal dan bertaubat kepada Allah.
Pembaca yang budiman, kewajiban puasa Ramadhan baru saja kita laksanakan. Namun dengan berakhirnya Ramadhan, bukan berarti seorang mukmin terputus dari ibadah puasa. Syariat puasa tetap diperintahkan di luar Bulan Ramadahan. Diriwayatkan dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من صامَ رمضانَ ثم أتْبَعه
ستاً من شوالٍ كان كصيام الدهر
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu dilanjutkan dengan puasa enam hari
di Bulan Syawal, maka seolah-olah dia berpuasa setahun penuh” (H.R Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
ثلاث من كل شهر ورمضان إلى
رمضان فهذا صيام الدهر كله
“Puasa tiga hari dalam setiap bulan (Hijriyah), serta Ramadhan ke
Ramadhan, semua itu seolah- olah berpuasa sethaun penuh” (H.R Muslim)Selain itu juga disunnahkan untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كانَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يتَحَرَّى صيامَ الاثنين والخميس
Begitu juga puasa-puasa sunnah yang lainnya seprti puasa Daud, puasa ‘Arafah, dan puasa ‘Asura (10 Muharram).
Pembaca yang budiman, malam-malam Ramadhan yang kita isi dengan shalat tarawih telah berlalu. Namun ibadah shalat malam tetap dianjurkan untuk rutin dikerjakan pada setiap malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أفضلُ الصلاةِ بعد الفريضة
صلاة الليل
Lihatlah contoh Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dirirwayatkan dari Al Mughirah bin Syu’bah, dia berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh-sungguh dalam melakukan shalat malam sehingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Pada saat hal ini dtanyakan, beliau menjawab:
أفَلاَ أكونُ عبداً
شكوراً؟
Pembaca yang budiman, hari-hari di Bulan Ramadhan yang banyak kita isi dengan membaca Al Qura’an telah berlalu. Namun demikian, bukan berarti kita meninggalkan membaca Al Qura’an di luar bulan Ramadhan. Rasulullah shallallu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memperbanyak membaca Al Qur’an tidak hanya di Bulan Ramadhan saja. Beliau shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقْرَؤوا القُرآنَ
فإنه يأتي يومَ القيامةِ شفيعاً لأصحابهِ
Perhatikan pahala yang dijanjikan oleh Nabi kita bagi orang yang membaca Al Qur’an dalam hadits berikut :
من قَرأ حرفاً من
كتاب الله فَلَهُ به حَسَنَةٌ، والحسنَةُ بعشْر أمْثالها
Pembaca yang budiman, mungkin sudah banyak harta yang sudah kita sedekahkan di Bulan Ramadhan. Kini masa itu telah lewat. Namun demikian, bukan berarti kita berhenti dalam memberikan sedekah. Kita tetap diperintahkan untuk memperbanyak sedekah meskipun di luar Bulan Ramadhan. Perhatikan janji dari Allah Ta’ala dalam ayat berikut :
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ
وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ
وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda :
والصدقة تطفىء الخطيئة كما تطفىء الماء
النار
Pembaca yang budiman, di Bulan Ramadhan banyak majelis ilmu yang bisa kita hadiri. Ada kultum ba’da subuh, kultum menjelang tarawih, kajian jelang buka puasa, dan majelis pengajian yang lainnya. Seiring berakhirnya Bulan Ramadhan, bukan berarti berakhir pula kegiatan kita menuntut ilmu. Ketahuilah saudaraku, menuntu ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Kebutuhan kita akan ilmu sangatlah urgen, melebihi kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Dengan berilmu, seseorang akan mendapatkan banyak kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Pembaca yang budiman, berakhirnya Bulan Ramadhan bukan berarti berakhir pula aktifitas-aktifitas ibadah kita. Mestinya kita tetap semangat dalam mengisi hari-hari kita dengan ibadah kepada Allah seperti pada hari-hari Ramadhan. Memang Ramadhan tahun ini telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan pernah berakhir sebelum maut datang menjemput. Allah Ta’ala berfitman :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى
يَأْتِيَكَ الْيَقِين
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إذا مات العبدُ انقطعَ عملُه
“ Jika seorang hamba meninggal, maka terputuslah amalnya “Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan adanya batas waktu tertentu untuk selesai beramal, kecualai dengan datangnya kematian.
Semoga Allah Ta’ala menerima amalan- amalan kita di Bulan Ramadhan. Kita juga berdoa semoga Allah senantiasa memberikan taufik kepada kita untuk senantiasa bersemangat dalam melakasanakan ibadah selepas Ramadhan. Wallahul musta’an.
Semoga ini menjadi renungan bagi kita semua.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimush shaalihat.
Referensi : Majaalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dengan beberapa tambahan.
Sumber Artikel Oleh: Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM
BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...