BLOG AL ISLAM
Diberdayakan oleh Blogger.
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
twitter
Live Traffic
Latest Post
Agustus 14, 2012
Stop Makan Ketika Adzan Shubuh Berkumandang
Written By sumatrars on Selasa, 14 Agustus 2012 | Agustus 14, 2012
Stop Makan Ketika Adzan Shubuh Berkumandang
Sebagian ada yang meyakini bahwa masih diperkenankan untuk makan atau minum meskipun telah diteriakkan adzan. Dalil yang digunakan adalah beberapa hadits yang dianggap mereka shahih. Namun ada dalil shorih (tegas) dari Al Qur’an yang masih membolehkan makan hingga masuk fajar shodiq. Artinya, setelah fajar shodiq tidak diperkenankan untuk makan atau minum sama sekali. Bagaimana mengkompromikan kedua macam dalil yang ada? Lalu apakah dalil yang membicarakan hal tersebut shahih?
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok
terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut
hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud no. 2350).
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.
Hukum status hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 433/ 510), Abu Daud (2350), Ad Daruquthni dalam sunannya (2/ 165), Al Hakim dalam Mustadrok (1/ 203) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur:
Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.
Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya tsiqoh (terpercaya) selain Muhammad bin ‘Amr. Dia adalah shoduq (jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri mengatakan bahwa jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi Abu Hatim tidak menjelaskan sebab kenapa disebutdho’if.
Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:
1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin Salamah.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang disebutkan sebelumnya dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata, “Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits ‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di antara hadits yang dho’if.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 423): telah berkata pada kami Ghossan (Ibnu Ar Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin Salamah.
Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam keshahihan hadits.
Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah).
Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218), di mana beliau berkata:
“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan
sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar.
Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul
fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad)
di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan
kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih
ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk
adzan pertama sehingga sinkronlah antara hadits-hadits yang ada.” (Sunan Al
Baihaqi, 4/ 218).
Hadits Shahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Bilal biasanya mengumandangkan
adzan di waktu malam (belum terbit fajar shubuh). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi
Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga
terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Kata “حَتَّى”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,
“Jika fajar terbit dan di dalam mulut terdapat makanan, maka muntahkanlah.
Jika makanan tersebut dimuntahkan, maka puasanya sah. Jika terus ditelan,
batallah puasanya. ” (Al Majmu’, 6: 308).
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,
“Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada di
mulutnya, maka muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut
ikut tertelan setelah ia mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal.
Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar
dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan
dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat beberapa hadits yang semakna
dengannya.”
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).
Atsar Sahabat yang Menuai Kritikan
Ada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/ 348) dari jalur Ibnu
Luhai’ah dari Abu Az Zubair bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Jabir
mengenai seseorang yang ingin puasa sedangkan bejana masih ada di tangannya
untuk dia minum lalu ia mendengar adzan. Maka Jabir pun berkata: Pernah kami
membicarakan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun
bersabda, “Minumlah.”
Hadits ini dho’if karena alasan Ibnu Luhai’ah.
Begitu pula riwayat lain yang menuai kritikan,
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir (2/ 175) dari jalur Al Husain bin Waqid dari Abu
Gholib dari Abu Umamah, ia berkata, “Iqomah shalat telah dikumandangkan dan
bejana masih berada di tangan ‘Umar. Lantas ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah,
bolehkah aku meminumnya?” “Iya, minumlah”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad Daruquthni dan Al Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu Gholib –sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban. Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih (baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170).
Ibnu Hajar telah meringkas mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib (664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur), namun kadang keliru.”
Kesimpulan
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS.
Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan
makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Dan
terbitnya fajar shubuh diikuti dengan adzan shubuh dengan sepakat ulama
sebagaimana kata Ibnu Taimiyah dalam Ikhtiyarot. Hadits tersebut
menyelisihi hadits,
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau
tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari
no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Adzan Ibnu Ummi Maktum adalah akhir dari bolehnya makan dan minum, setelah itu tidak diperkenankan lagi. Oleh karenanya, jumhur (mayoritas) ulama tidak mengamalkan hadits yang membolehkan makan dan minum setelah terdengar adzan shubuh.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As
Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu
Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan
bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia
menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum
ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat
empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.” (Hasyiyah
Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)
Namun sayang seribu sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak mengetahui penjelasan ini dan malah seringnya meneruskan makan dan minum ketika telah terdengar adzan karena menganggap demikianlah yang dimaksud dalam hadits.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Sumber tulisan:
@ APO Bengkel, Jayapura, Papua, 3 Ramadhan 1433 H
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Sebagian ada yang meyakini bahwa masih diperkenankan untuk makan atau minum meskipun telah diteriakkan adzan. Dalil yang digunakan adalah beberapa hadits yang dianggap mereka shahih. Namun ada dalil shorih (tegas) dari Al Qur’an yang masih membolehkan makan hingga masuk fajar shodiq. Artinya, setelah fajar shodiq tidak diperkenankan untuk makan atau minum sama sekali. Bagaimana mengkompromikan kedua macam dalil yang ada? Lalu apakah dalil yang membicarakan hal tersebut shahih?
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ
يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.
Hukum status hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 433/ 510), Abu Daud (2350), Ad Daruquthni dalam sunannya (2/ 165), Al Hakim dalam Mustadrok (1/ 203) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur:
Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.
Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya tsiqoh (terpercaya) selain Muhammad bin ‘Amr. Dia adalah shoduq (jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri mengatakan bahwa jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi Abu Hatim tidak menjelaskan sebab kenapa disebutdho’if.
Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:
1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
“Dan muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar.”Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin Salamah.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang disebutkan sebelumnya dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata, “Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits ‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di antara hadits yang dho’if.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 423): telah berkata pada kami Ghossan (Ibnu Ar Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin Salamah.
Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam keshahihan hadits.
Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah).
Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218), di mana beliau berkata:
وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ مَحْمُولٌ عِنْدَ
عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ -صلى الله عليه وسلم- عَلِمَ أَنَّ
الْمُنَادِىَ كَانَ يُنَادِى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ
قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَوْلُ الرَّاوِى وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ
يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خَبَرًا مُنْقَطِعًا مِمَّنْ
دُونَ أَبِى هُرَيْرَةَ أَوْ يَكُونَ خَبَرًا عَنِ الأَذَانِ الثَّانِى وَقَوْلُ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- :« إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ
عَلَى يَدِهِ ». خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا
Hadits Shahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ
بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « كُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ
الْفَجْرُ »
Kata “حَتَّى”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,
إذا طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه فان لفظه صح صومه فان ابتلعه افطر
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,
أن من طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه ويتم
صومه فان ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه وهذا لا خلاف فيه ودليله حديث ابن عمر
وعائشة رضي الله عنهم أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ” ان بلالا يؤذن بليل
فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم ” رواه البخاري ومسلم وفى الصحيح أحاديث
بمعناه
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).
Atsar Sahabat yang Menuai Kritikan
أخرجه أحمد 3/348 من طريق ابن لهيعة، عن
أبي الزبير قال : سألت جابراً عن الرجل يريد الصيام ، والإناء على يده ليشرب منه ،
فيسمع النداء ؟ قال جابر : كنا نتحدث أن النبي –صلى الله عليه وسلم- قال : ليشرب ”
.
Hadits ini dho’if karena alasan Ibnu Luhai’ah.
Begitu pula riwayat lain yang menuai kritikan,
أخرجه ابن جرير 2/175 من طريق الحسين بن
واقد، عن أبي غالب، عن أبي أمامة قال : أقيمت الصلاة والإناء في يد عمر ،قال :
أشربها يا رسول الله ؟ قال : نعم ، فشربها “.
Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad Daruquthni dan Al Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu Gholib –sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban. Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih (baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170).
Ibnu Hajar telah meringkas mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib (664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur), namun kadang keliru.”
Kesimpulan
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ،
فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Adzan Ibnu Ummi Maktum adalah akhir dari bolehnya makan dan minum, setelah itu tidak diperkenankan lagi. Oleh karenanya, jumhur (mayoritas) ulama tidak mengamalkan hadits yang membolehkan makan dan minum setelah terdengar adzan shubuh.
Ibnul Qayyim rahimahullah
Namun sayang seribu sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak mengetahui penjelasan ini dan malah seringnya meneruskan makan dan minum ketika telah terdengar adzan karena menganggap demikianlah yang dimaksud dalam hadits.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Sumber tulisan:
- Fathul ‘Aziz, Syaikh ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim, hal. 107-109.
- Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202.
-
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/
showthread.php?t=3188
@ APO Bengkel, Jayapura, Papua, 3 Ramadhan 1433 H
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Ramadhan-22:
Tidur Saat Puasa Adalah Ibadah?
Banyak orang yang ketika menjalankan ibadah puasa mereka menghabiskan waktu
dengan tidur, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini dan apakah benar
tidur ketika puasa itu adalah ibadah?
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Agustus 14, 2012
Hukum Makan Ketika Adzan Shubuh
Kategori : Bahasan Utama
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok
terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut
hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”[1]
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS.
Al Baqarah: 187).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.[2]
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan
dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan
Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok,
pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan
hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
“Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al Hakim
Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits
ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh
Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka
mayoritas ulama memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits
tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu
masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh.
Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits
tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan
adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah
seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di
tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini
jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini,
sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As
Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu
Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan
bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia
menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum
ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat
empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang
ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin
waktu shubuh telah masuk.”
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih
ragu-ragu.”
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku
melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya
pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab,
“Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih
diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan ,
“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi
orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada
pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya
membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengata kan, “Tidak
diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal
shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian,
maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat
dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit
fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah
berhenti makan ketika itu.”[8]
Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahillad zi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1431 H (30/08/2010)
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى
يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.[2]
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى
يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك
الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس
قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال:
رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال
الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا
تنفق السنن مع القرآن
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengata
Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahillad
Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1431 H (30/08/2010)
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
bahasan utama,
index,
puasa,
ramadhan
Agustus 14, 2012
Nasehat Dalam Menyikapi Para Da’i Sufiyyah
Nasehat Dalam Menyikapi Para Da’i Sufiyyah
Penanya dari Al Jazair berkata, masjid-masjid di daerah kami banyak terdapat imam-imam sufiyah yang berpandangan bahwa salafiyah itu sesat. Mereka berpegang teguh pada syaikh-syaikh sufiyah di sini, sampai-sampai mereka takut terhadap syaikh-syaikhnya sebagaimana takutnya mereka kepada Allah, bahkan lebih. Mereka tidak menerima dalil, sebagaimana syaikh-syaikh mereka juga begitu. Bagaimana bermuamalah dengan mereka dan bagaimana menasehati mereka?
Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam* hafizhahullah menjawab:
Mereka ini umumnya merupakan pembesarnya para penentang dakwah sunnah. Namun jangan tinggalkan mereka secara total. Sampaikan nasehatmu, lalu kepada Allah lah kita bergantung.
Namun, sikap yang diharapkan dari ahlussunnah, hendaknya mereka menyebarkan dakwah sunnah dengan hikmah… dengan hikmah… Karena dakwah ahlussunnah itu ketika orang memahaminya, ia akan merasa puas. Karena ia membuat dada lapang, hati tenang, mensucikan jiwa, menerangkan akal, memberikan keyakinan yang kokoh bagi orang yang menerimanya, bihamdillah. Tidak akan tersisa pada dirinya keraguan, syubhat, kebingungan terhadap ajaran-ajaran dakwah yang lain. Bahkan sebagaimana kami katakan, ia akan yakin dengan keyakinan yang kokoh. Jika orang mengenal dakwah ahlussunnah sedikit-demi-sedikit, ia akan meninggalkan tasawuf, rafidhah, hizbiyah, sebagaimana yang telah banyak terjadi, bihamdillah, di berbagai tempat yang tersebar dakwah ahlussunnah.
Ketahuilah aku mengajak kepada ikhwah ahlussunnah untuk bersemangat membangun masjid-masjid sunnah. Yaitu untuk menegakkan dakwah, menegakkan sunnah, mendidik umat dan menghidupkan perkara-perkara yang selayaknya dihidupkan. Masjid yang dibangun oleh ahlussunnah dan dikelola oleh ahlussunnah adalah sebab terbesar dalam penyebaran sunnah, bi idznillah rabbil ‘alamin. Tentunya dengan menerapkan sikap hikmah dan sabar terhadap para da’i sufiyah atau selain mereka. Juga sebisa mungkin bersikap lemah-lembut terhadap masyarakat, sehingga mereka sedikit-demi-sedikit mendekati sunnah.
Kita memohon kepada Allah semoga Ia memudahkan kepada kita jalan hidayah dan menghindarkan kita dari jalan kesesatan. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
[Ditranskrip dari : http://www.olamayemen.net/ Default_ar.aspx?ID=6763]
* Beliau adalah salah seorang ulama dari negeri Yaman, murid senior dari Asy Syaikh Al Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Penanya dari Al Jazair berkata, masjid-masjid di daerah kami banyak terdapat imam-imam sufiyah yang berpandangan bahwa salafiyah itu sesat. Mereka berpegang teguh pada syaikh-syaikh sufiyah di sini, sampai-sampai mereka takut terhadap syaikh-syaikhnya sebagaimana takutnya mereka kepada Allah, bahkan lebih. Mereka tidak menerima dalil, sebagaimana syaikh-syaikh mereka juga begitu. Bagaimana bermuamalah dengan mereka dan bagaimana menasehati mereka?
Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam* hafizhahullah menjawab:
Mereka ini umumnya merupakan pembesarnya para penentang dakwah sunnah. Namun jangan tinggalkan mereka secara total. Sampaikan nasehatmu, lalu kepada Allah lah kita bergantung.
Namun, sikap yang diharapkan dari ahlussunnah, hendaknya mereka menyebarkan dakwah sunnah dengan hikmah… dengan hikmah… Karena dakwah ahlussunnah itu ketika orang memahaminya, ia akan merasa puas. Karena ia membuat dada lapang, hati tenang, mensucikan jiwa, menerangkan akal, memberikan keyakinan yang kokoh bagi orang yang menerimanya, bihamdillah. Tidak akan tersisa pada dirinya keraguan, syubhat, kebingungan terhadap ajaran-ajaran dakwah yang lain. Bahkan sebagaimana kami katakan, ia akan yakin dengan keyakinan yang kokoh. Jika orang mengenal dakwah ahlussunnah sedikit-demi-sedikit, ia akan meninggalkan tasawuf, rafidhah, hizbiyah, sebagaimana yang telah banyak terjadi, bihamdillah, di berbagai tempat yang tersebar dakwah ahlussunnah.
Ketahuilah aku mengajak kepada ikhwah ahlussunnah untuk bersemangat membangun masjid-masjid sunnah. Yaitu untuk menegakkan dakwah, menegakkan sunnah, mendidik umat dan menghidupkan perkara-perkara yang selayaknya dihidupkan. Masjid yang dibangun oleh ahlussunnah dan dikelola oleh ahlussunnah adalah sebab terbesar dalam penyebaran sunnah, bi idznillah rabbil ‘alamin. Tentunya dengan menerapkan sikap hikmah dan sabar terhadap para da’i sufiyah atau selain mereka. Juga sebisa mungkin bersikap lemah-lembut terhadap masyarakat, sehingga mereka sedikit-demi-sedikit mendekati sunnah.
Kita memohon kepada Allah semoga Ia memudahkan kepada kita jalan hidayah dan menghindarkan kita dari jalan kesesatan. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
[Ditranskrip dari : http://www.olamayemen.net/
* Beliau adalah salah seorang ulama dari negeri Yaman, murid senior dari Asy Syaikh Al Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
index,
nasehat ulama
Agustus 14, 2012
Dihembuskan Berbagai Keraguan Di Bulan Ramadhan
Kategori : Bahasan Utama
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh kebaikan, keberkahan, dan penuh ibadah dengan berbagai macam amal keta’atan. Berbagai peristiwa penting dalam sejarah islam terjadi di bulan ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh kebaikan, keberkahan, dan penuh ibadah dengan berbagai macam amal keta’atan. Berbagai peristiwa penting dalam sejarah islam terjadi di bulan ini.
-
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)..” (QS. Al-Baqarah: 185)
-
Di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu malam lailatul qadr. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Lailatul al-qadr itu lebih baik daripada seribu bulan” (QS. Al-Qadr: 3)
-
Allah mewajibkan puasa di bulan ramadhan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan shalat tarawih di bulan ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa mengerjakan qiyam ramadhan atas dasar iman dan mengarapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)
-
Di dalamnya terjadi perang yang besar, yaitu perang badar pada hari pembeda dimana Allah membedakan antara yang haq dan yang batil.
-
Di dalamnya terjadi pembebasan yang agung, yaitu pembebasan kota Mekkah yang mulia (Fathul Makkah).
Karena itu, kita harus memahami kedudukan bulan yang agung
ini dan menyibukkan diri dengan berbagai amal keta’atan seperti puasa, shalat
tarawih, tilawah al-qur’an, dan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menyibukkan diri beliau dengan berbagai amal keta’atan tersebut.
Namun, di zaman kita sekarang banyak orang yang lalai dari hal ini.
-
Sebagian orang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang kebanyakannya hanya membuang-buang waktu seperti menonton acara-acara drama, lawakan, pertandingan-pertandingan, dan acara-acara hiburan lainnya.
-
Sebagian orang, mereka menyibukkan diri dengan makanan dan minuman. Alih-alih menjadikan ramadhan sebagai bulan untuk berpuasa dan shalat, mereka justru menjadikan ramadhan sebagai bulan untuk makan, minum, dan begadang. Mereka begadang semalaman dan tidur seharian di siang hari. Mereka juga meninggalkan shalat wajib dan menyianyiakannya dari waktunya yang telah ditentukan.
-
Sebagian yang lain, mereka menyibukkan diri dan membuat orang lain sibuk dengan keragu-raguan dan perdebatan tentang awal masuknya bulan ramadhan dan jumlah bilangan raka’at shalat tarawih dengan mengkait-kaitkan dalil-dalil yang ada dalam masalah tersebut. Diantaranya:
-
Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan tentang metode ru’yatul hilal. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan metode tersebut sebagai pedoman dalam menentukan awal dan akhir dari bulan ramadhan dimana Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi oleh awan, maka sempurnakanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari & Muslim).
Maka disana ada orang yang berupaya menghilangkan tuntunan Nabi untuk mengamalkan metode ru’yatul hilal dan menggantinya dengan metode hisab falaki. Ada juga orang yang berupaya mengkaitkan metode ru’yatul hilal dengan metode hisab. Jika hasil dari metode ru’yatul hilal tidak sesuai dengan metode hisab maka menurut mereka hasil metode ru’yatul hilal tersebut tidak teranggap. Dan pada hari ini [yaitu pada hari saat beliau ceramah –Pent] tersebar selebaran-selebaran yang isinya menyebutkan bahwasanya tidak mungkin melihat hilal pada malam jum’at. Demikianlah mereka menetapkan suatu hal di masa depan padahal tidak ada yang mengetahui tentang masa depan kecuali Allah. Betapa seringnya mereka mengeluarkan perkataan semacam ini dan pada kenyataanya yang terjadi adalah berbeda dengan apa yang mereka katakan, yaitu bahwa melihat hilal pada malam hari itu sangat mungkin dilakukan. Hal itu dikarenakan yang namanya melihat biasanya tidak tercampuri oleh keragu-raguan. Dan orang yang melihat tidaklah sama dengan orang yang mendengar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “…Mereka (orang-orang kafir) melihat dengan mata kepala mereka sendiri (seakan-akan) jumlah kaum muslimin dua kali lipat jumlah mereka” (QS. Al-‘Imran: 13).
Sedangkan metode hisab adalah metode buatan manusia yang tentunya punya kekurangan dan sangat dimungkinkan untuk terjadi kesalahan. Dan ibadah kita seluruhnya dibangun diatas metode melihat, melihat hilal [untuk mengetahui awal dan akhir bulan ramadhan –Pent.], melihat terbitnya fajar, melihat tergelincirnya matahari, melihat panjang bayangan benda sama dengan panjang aslinya, melihat tenggelamnya matahari, melihat hilangnya warna kemerah-merahan di langit untuk mengetahui waktu-waktu shalat yang lima waktu. -
Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan tentang waktu subuh dan waktu memulai puasa. Allah Ta’ala berfirman tentang kedua waktu tersebut (yang artinya): “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..” [QS. Al-Baqarah: 187]. Dari ayat ini jelaslah bahwa waktu subuh sekaligus waktu awal dimulainya puasa diketahui dengan cara melihat yang tidak ada celah bagi keragu-raguan untuk masuk ke dalamnya. Dan jika hasil metode hisab menyelisihi metode ru’yah (melihat hilal –Pent.) maka hasil metode hisab tidak teranggap.
-
Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan tentang disyari’atkannya shalat tarawih. Padahal telah disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat tarawih mengimami para sahabatnya pada malam hari kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir shalat tarawih akan diwajibkan atas mereka. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang mereka yang mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri sampai sahabat Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu, pada masa kekhalifahannya beliau mengumpulkan mereka dan menjadikan mereka berjama’ah dengan satu imam untuk menghilangkan ketakutan yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
-
Sebagian orang ada yang memunculkan keragu-raguan berkenaan dengan jumlah raka’at shalat tarawih dan mereka ingin membatasinya dengan jumlah tertentu saja. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat tarawih di bulan ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadist ini beliau tidak membatasi jumlah raka’at shalat tarawih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Barangsiapa yang sholat bersama imam sampai imam selesei akan dicatat untuknya (pahala –Pent) shalat sepanjang malam” (HR. Abu dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Dalam hadist ini beliau juga tidak membatasi jumlah raka’atnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mememotivasi para sahabatnya untuk mengerjakan shalat tarawih tanpa beliau membatasi jumlah raka’atnya. Hal yang dituntut dalam shalat tarawih adalah kesempurnaan shalatnya bukan jumlah raka’atnya.
-
Sebagian orang yang lain merasa ragu berkenaan dengan shalat tahajjud di akhir malam pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir bulan ramadhan yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya (HR. Muslim). Dalam hadist yang lain disebutkan, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’ -Pent), menghidupkan malam-malam tersebut, dan membangunkan keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan juga dijelaskan dalam hadist-hadist lainnya serta riwayat-riwayat yang shahih dari para ulama salaf dimana mereka bersungguh-sungguh dalam mengerjakan shalat malam dan memanjangkan bacaan sholat mereka pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
-
Demikianlah apa yang ingin aku (Syaikh Shalih Fauzan
hafidzahullah) jelaskan seputar permasalahan-permasalahan ini dengan
harapan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan mereka kepada
kebenaran. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga beliau, dan para sahabat beliau.
[Alhamdulillahi bini’matihi tatimmushalihat –Pent]
Sumber: http://www.alfawzan. af.org.sa/node/14028
Sumber Artikel
Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
bahasan utama,
index,
puasa,
ramadhan
Agustus 14, 2012
Batasan Minimal Lama I’tikaf
Kategori : Bahasan Utama
I’tikaf berarti berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah. Dengan beri’tikaf, seseorang akan konsentrasi melakukan ibadah pada Allah. Dirinya akan lebih banyak mengintrospeksi diri kala bersendirian. Demikianlah salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di akhir-akhir Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari, terdapat hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.”
Lalu berapa lama waktu i’tikaf? Berapa lama minimalnya sehingga bisa disebut i’tikaf yang sah?
Perselisihan Para Ulama
Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhah). Imam Al Haramain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf”.
Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haramain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arafah. Imam Al Haramain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid”.
Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shaidalani dan Imam Al Haramain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.
Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (6: 513)[1].
Pendapat Jumhur Ulama
Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhah, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.
Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir” (Lihat Al Majmu’ 6: 489).
Alasan jumhur ulama:
Mengenai hadits Ibnu ‘Umar di mana ayahnya (‘Umar bin Al Khattab) berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Aku dahulu pernag bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama
satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, ‘Tunaikanlah nadzarmu’”
(Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini” (Al Muhalla, 5: 180).
Dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah:
“Jika ada yang beralasan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf kurang dari sepuluh hari. Ibnu Hazm menjawab, “Iya betul. Namun Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang jika kita melakukan i’tikaf kurang dari itu. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf di selain masjid Nabawi. Seharusnya di selain masjid Nabawi tidak diperkenankan untuk i’tikaf. Rasul pun tidaklah pernah i’tikaf selain Ramadhan dan Syawal. Seharusnya selain dua bulan tersebut dilarang pula beri’tikaf. i’tikaf adalah suatu amalan kebajikan maka janganlah dilarang kecuali dengan nash (dalil) yang tegas yang menunjukkan larangan” (Al Muhalla, 5: 180).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata pula, “Kami katakan bahwa beri’tikaf selama sepuluh hari itu boleh-boleh saja. Namun menyatakan tidak bolehnya beri’tikaf kurang dari sepuluh hari itu butuh dalil. Padahal Allah hanya menyebutkan secara mutlak dalam ayat (yang artinya), “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Allah tidak membatasi i’tikaf dalam ayat ini dengan batasan waktu tertentu. Dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak. Dan tidak boleh membuat batasan kecuali dengan dalil” (Al Muhalla, 3: 642).
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya (15: 441) berkata, “I’tikaf adalah berdiam di masjid dalam rangka melakukan ketaatan pada Allah Ta’ala baik berdiam lama atau sebentar. Karena tidak ada dalil dalam hal ini sejauh yang kuketahui yang menunjukkan batasan waktu minimal baik dalil yang menyatakan sehari, dua hari atau lebih dari itu. I’tikaf adalah ibadah yang disyari’atkan. Jika seseorang berniatan untuk bernadzar, maka i’tikaf yang dinadzarkan menjadi wajib. I’tikaf itu sama antara laki-laki dan perempuan.”
Kesimpulan Pendapat
Al Mardawi rahimahullah mengataka n, “Waktu minimal dikatakan
i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut
berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat)” (Al Inshaf, 6: 17).
Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Dan moga dari penjelasan ini terjawab pula pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Shalihin, Dusun Warak, Desa Girisekar, Panggang-Gunung Kidul
Sabtu, 22 Ramadhan 1433 H
—
[1] Lihat penjelasan Syaikh Kholid Mushlih di sini.
—
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
I’tikaf berarti berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah. Dengan beri’tikaf, seseorang akan konsentrasi melakukan ibadah pada Allah. Dirinya akan lebih banyak mengintrospeksi diri kala bersendirian. Demikianlah salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di akhir-akhir Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari, terdapat hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.”
Lalu berapa lama waktu i’tikaf? Berapa lama minimalnya sehingga bisa disebut i’tikaf yang sah?
Perselisihan Para Ulama
Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhah). Imam Al Haramain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf”.
Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haramain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arafah. Imam Al Haramain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid”.
Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shaidalani dan Imam Al Haramain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.
Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (6: 513)[1].
Pendapat Jumhur Ulama
Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhah, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.
Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir” (Lihat Al Majmu’ 6: 489).
Alasan jumhur ulama:
- I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa
jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan
khusus yang membatasi waktu minimal i’tikaf.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqamah (berdiam). Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu” (Al Muhalla, 5: 179). - Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu
‘anhu bahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf”
Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (5: 179). Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya. - Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Mengenai hadits Ibnu ‘Umar di mana ayahnya (‘Umar bin Al Khattab) berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
»
Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini” (Al Muhalla, 5: 180).
Dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah:
“Jika ada yang beralasan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf kurang dari sepuluh hari. Ibnu Hazm menjawab, “Iya betul. Namun Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang jika kita melakukan i’tikaf kurang dari itu. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf di selain masjid Nabawi. Seharusnya di selain masjid Nabawi tidak diperkenankan untuk i’tikaf. Rasul pun tidaklah pernah i’tikaf selain Ramadhan dan Syawal. Seharusnya selain dua bulan tersebut dilarang pula beri’tikaf. i’tikaf adalah suatu amalan kebajikan maka janganlah dilarang kecuali dengan nash (dalil) yang tegas yang menunjukkan larangan” (Al Muhalla, 5: 180).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata pula, “Kami katakan bahwa beri’tikaf selama sepuluh hari itu boleh-boleh saja. Namun menyatakan tidak bolehnya beri’tikaf kurang dari sepuluh hari itu butuh dalil. Padahal Allah hanya menyebutkan secara mutlak dalam ayat (yang artinya), “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Allah tidak membatasi i’tikaf dalam ayat ini dengan batasan waktu tertentu. Dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak. Dan tidak boleh membuat batasan kecuali dengan dalil” (Al Muhalla, 3: 642).
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya (15: 441) berkata, “I’tikaf adalah berdiam di masjid dalam rangka melakukan ketaatan pada Allah Ta’ala baik berdiam lama atau sebentar. Karena tidak ada dalil dalam hal ini sejauh yang kuketahui yang menunjukkan batasan waktu minimal baik dalil yang menyatakan sehari, dua hari atau lebih dari itu. I’tikaf adalah ibadah yang disyari’atkan. Jika seseorang berniatan untuk bernadzar, maka i’tikaf yang dinadzarkan menjadi wajib. I’tikaf itu sama antara laki-laki dan perempuan.”
Kesimpulan Pendapat
Al Mardawi rahimahullah mengataka
Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Dan moga dari penjelasan ini terjawab pula pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Shalihin, Dusun Warak, Desa Girisekar, Panggang-Gunung Kidul
Sabtu, 22 Ramadhan 1433 H
—
[1] Lihat penjelasan Syaikh Kholid Mushlih di sini.
—
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
bahasan utama,
index,
puasa,
ramadhan
Agustus 14, 2012
7 Keistimewaan Lailatul Qadar
7 Keistimewaan Lailatul Qadar
Setiap muslim pasti menginginkan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Malam ini hanya dijumpai setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.
Edisi kali ini kita akan melihat keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya.
1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.
2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
Allah Ta’ala berfirman,
An Nakha’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.
3. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan
Allah Ta’ala berfirman,
Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.
4. Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.
5. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
6. Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.
Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.
7. Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Fathul Bari, 4: 251)[1]
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunung Kidul, 19 Ramadhan 1433 H
[1] Bahasan ini termotivasi dari tulisan Syaikh Sholih Al Munajjid pada Fatwa Al Islam Sual wa Jawab.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Setiap muslim pasti menginginkan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Malam ini hanya dijumpai setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.
Edisi kali ini kita akan melihat keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya.
1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.
2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar:
3).An Nakha’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.
3. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.
4. Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ
فِيهَا
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al
Qadar: 4)Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.
5. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr:
5)yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
6. Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad
Dukhan: 4).Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.
Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.
7. Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman
dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhari no. 1901)Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Fathul Bari, 4: 251)[1]
Ya Allah, mudahkanlah kami meraih keistimewaan Lailatul
Qadar dengan bisa mengisi hari-hari terakhir kami di bulan Ramadhan dengan
amalan shalih.
Aamin Yaa Mujibas Saa-ilin.
[1] Bahasan ini termotivasi dari tulisan Syaikh Sholih Al Munajjid pada Fatwa Al Islam Sual wa Jawab.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Agustus 14, 2012
Lailatul Qadar itu ada hanya sekali dalam setahun, dan hanya khusus
terdapat di bulan Ramadhan-nya serta hanya ada di sepuluh malam terakhirnya,
tepatnya hanya satu hari saja dan tidak akan pernah berpindah harinya. Namun,
tidak ada satu orang manusia pun yang tahu lailatul qadar jatuh di malam
yang mana dari sepuluh malam tersebut. Yang diketahui hanyalah bahwa ia
jatuh di malam ganjil.
Andaikata Ramadhan itu 29 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari
sepuluh malam terakhir adalah malam ke-20. Sehingga, lailatul qadar
dimungkinkan jatuh pada malam ke-20, atau ke-22, atau ke-24, atau ke-26,
atau ke-28. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.
Andaikata Ramadhan itu 30 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.
[Sampai di sini perkataan Ibnu Hazm]
Kita semua tahu bahwa penentuan 1 Syawal atau penentuan berapa hari bulan Ramadhan itu ditentukan di akhir Ramadhan dengan ru’yatul hilal. Dengan kata lain, di tengah bulan Ramadhan kita belum tahu apakah bulan Ramadhan itu 29 atau 30 hari. Jika demikian, maka probabilitas jatuhnya lailatul qadar adalah sama di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Dengan kata lain, di malam tanggal genap pun bisa jadi saat itu lailatul qadar, berdasarkan penjelasan Ibnu Hazm di atas. Oleh karena itu, barangsiapa yang bertekad untuk mendapatkan lailatul qadar hendaknya mencari di sepuluh malam terakhir baik malam ganjil maupun genap.
Wallahu’alam.
—
Penulis: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Kumpulan Artikel Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal
- Haruskah Orang Tua Meminta Izin kepada Anak?
- Memburu Lailatul Qadar Di Malam Tanggal Genap
- Indahnya Sabar
- Kumpulan Artikel Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal
Pembaca mulia, di masa ini tentu sudah tidak asing bagi kita cerita mengenai
sikap pembangkangan anak terhadap orang tua. Di antara sikap pembangkangan
anak adalah anak tidak pernah meminta izin kepada orang tua ketika akan
mengambil barang milik orang tua, atau anak melakukan suatu kegiatan tanpa
izin orang tua. Jika Anda adalah orang tua, tentu hati Anda akan terasa
sakit apabila anak yang diharapkan akan tulus mencurahkan bakti dan kasih
sayangnya pada Anda, tetapi ia malah membangkang, tidak menuruti perintah
Anda, bahkan sering berdusta kepada Anda.
Namun, terkadang sebagian orang
tua –mudah-mudahan kita terlindung darinya- tidak menyadari bahwa
di antara sebab pembangkangan anaknya itu adalah perilaku orang tua sendiri
yang memberikan contoh yang buruk bagi anak .
Maka, untuk para orang tua…
Janganlah Engkau berharap anakmu menjadi pemuda yang menghormati dirimu…
Sementara kau pun tidak menghargai anakmu…
Tidakkah kau tahu bahwa
dengan kebiasaan yang dibiasakan ayah mereka[1]
Perhatikanlah di antara contoh pendidikan Nabi dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu di bawah ini.
Berilah Anak Penjelasan, Jika Kau Memang Harus Mengambil Sesuatu Darinya
Jika sebelumnya dijelaskan bahwa orangtua hendaknya meminta izin kepada anak, ini bukan berarti orang tua tidak boleh mengambil sesuatu milik anak jika memang ada hal syar’i yang mendorongnya untuk itu. Namun, orangtua hendaknya bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima anak. Jangan sampai ia hanya menonjolkan umurnya yang tua, kekuasaan dan kegarangannya semata karena bisa jadi hal itu malah membuat anak menuruti perintahnya karena “murni” takut padanya. Inilah di antara sebab pembangkangan anak di kala mereka nanti mulai dewasa. Di saat umur anak semakin dewasa, ia semakin merasa memiliki kekuatan sehingga berani melawan.
Maka, Renungkanlah Sikap Nabi terhadap cucunya ini
Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang anak kecil yang sangat dicintai Nabi, apalagi ia adalah cucu beliau. Namun, kecintaan beliau tidak menghalanginya untuk memberikan pendidikan yang tegas kepada Al-Hasan. Perhatikanlah ketegasan beliau dalam hadits berikut ini.
Tidakkah kita ingat pula bahwa dalam kesempatan lain, Nabi juga pernah menahan tangan seorang anak laki-laki dan wanita dari makanan, lalu beliau menjelaskan alasan mengapa harus melakukan demikian?
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
Berikanlah Penjelasan Pula Di Saat Ingin Melarang
Demikianlah “secuplik” adab yang diajarkan Nabi kepada kita. Mudah-mudahan, kita semua diberi taufik untuk meneladani Nabi dalam setiap yang beliau ajarkan.
Ba’da maghrib, 14 Februari 2010
di Masjid Al-Ashri
—
Penulis: Ginanjar Indrajati B.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
[1] مجمع الحكم و الأمتال, via software المكتبة الشاملة, tanpa halaman.
[2] الجامع الصحيح المختصر, karya محمد بن إسماعيل أبو عبدالله البخاري الجعفي, cet. دار ابن كثير ، اليمامة – بيروت, jilid II, halaman 865, hadits nomor 2224
[3] فقه تربية الأبناء و طائفة من نصائح الأطباء, karya الشيخ مصطفى بن العدوي, cet دار ابن رجب لنشر و التوزيع, 1423 / 2002 M., hal. 103
[4] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, hadits nomor 1069.
[5] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, jilid III, hal. 1597 hadits nomor 2017. Berikut ini lafadz aslinya
Maka, untuk para orang tua…
Janganlah Engkau berharap anakmu menjadi pemuda yang menghormati dirimu…
Sementara kau pun tidak menghargai anakmu…
Tidakkah kau tahu bahwa
وينشَأُ ناشئُ الفتيانِ منا … على
ما كان عوَّدَه أبوه
Para pemuda di antara kami tumbuh…dengan kebiasaan yang dibiasakan ayah mereka[1]
Perhatikanlah di antara contoh pendidikan Nabi dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu di bawah ini.
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat contoh teladan dari Nabi bahwa hendaknya orang yang tua umurnya pun meminta izin kepada seorang anak kecil ketika akan mengambil sesuatu milik anak tersebut. Ini tidak hanya akan menimbulkan kesan di hati anak, tetapi sekaligus menanamkan adab islami pada dirinya. Oleh karena itu, Syaikh Musthafa bin Al-Adawi (الشيخ مصطفى بن العدوي) hafizhahullah berkata,أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بشراب فشرب منه وعن يمينه غلام وعن يساره الأشياخ فقال للغلام ( أتأذن لي أن أعطي هؤلاء ) . فقال الغلام والله يا رسول الله لا أوثر بنصيبي منك أحدا . قال فتله رسول الله صلى الله عليه وسلم في يده“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minuman, lalu beliau pun meminumnya. Di sebelah kanan beliau ada anak kecil, sedangkan di sebelah kiri beliau terdapat para syaikh (orang-orang tua). Beliau berkata kepada anak kecil tersebut, “Apakah Engkau mengizinkanku untuk memberikan ini kepada mereka?” Anak itu berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah mengorbankan bagiankudarimu kepada seorang pun!” (Sahl bin Sa’ad) berkata, “Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meletakkan air itu di tangan anak tersebut”.
(H.R Bukhari)[2]
ففي هذا إشعار للغلام بالاهتمام به
من ناحية, و تعليمه لآدب الإسلمية من ناحية أخرى
Sikap tersebut memberikan isyarat (dalam cara pendidikan orang tua) akan
adanya “perhatian” orang tua kepada anak dari satu sisi,
dan “pengajaran adab islami” di sisi yang lain.[3]Berilah Anak Penjelasan, Jika Kau Memang Harus Mengambil Sesuatu Darinya
Jika sebelumnya dijelaskan bahwa orangtua hendaknya meminta izin kepada anak, ini bukan berarti orang tua tidak boleh mengambil sesuatu milik anak jika memang ada hal syar’i yang mendorongnya untuk itu. Namun, orangtua hendaknya bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima anak. Jangan sampai ia hanya menonjolkan umurnya yang tua, kekuasaan dan kegarangannya semata karena bisa jadi hal itu malah membuat anak menuruti perintahnya karena “murni” takut padanya. Inilah di antara sebab pembangkangan anak di kala mereka nanti mulai dewasa. Di saat umur anak semakin dewasa, ia semakin merasa memiliki kekuatan sehingga berani melawan.
Maka, Renungkanlah Sikap Nabi terhadap cucunya ini
Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang anak kecil yang sangat dicintai Nabi, apalagi ia adalah cucu beliau. Namun, kecintaan beliau tidak menghalanginya untuk memberikan pendidikan yang tegas kepada Al-Hasan. Perhatikanlah ketegasan beliau dalam hadits berikut ini.
Perhatikanlah hadits di atas, Nabi tidak hanya melarang Al-Hasan mengambil kurma sedekah, tetapi memberikan alasan mengapa tidak boleh mengambilnya. Beliau menjelaskan bahwa keluarga Nabi memiliki kekhususan yang tidak dimiliki kaum muslimin yang lain, yaitu keluarga Nabi tidak boleh menerima sedekah.أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟“Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulut. Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata,“Eh.. Eh.. Ayo buang! Tidakkah Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?””
(H.R. Muslim)[4]
Tidakkah kita ingat pula bahwa dalam kesempatan lain, Nabi juga pernah menahan tangan seorang anak laki-laki dan wanita dari makanan, lalu beliau menjelaskan alasan mengapa harus melakukan demikian?
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
“Jika kami menghadiri sebuah jamuan makan bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kami tidak akan meletakkan tangan kami pada makanan kecuali jika Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memulainya.Maka, Nabi menjelaskan alasan beliau menahan tangan keduanya, yaitu karena setiap orang yang akan makan tetapi tidak menyebut nama Allah, ia akan disertai setan, yaitu setan akan turut memakan makanannya itu.
Pada suatu kesempatan, kami menghadiri jamuan makan bersama beliau, kemudian datanglah seorang anak wanita seakan-akan dia didorong sehingga meletakkan tangannya pada makanan. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya.
Selanjutnya, datanglah seorang Arab Badui, seakan-akan dia didorong lalu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salllam mengambil tangannya dan bersabda,
“Sesungguhnya setan akan memakan makanan yang tidak disebutkan padanya nama Allah, dan sesungguhnnya dia (setan) mendorong anak wanita ini agar dia bisa makan, lalu aku memegang tangannya. Kemudian, dia (setan) mendorong seorang Arab Badui agar dia bisa makan, lalu aku pun mengambil tangannya.” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangannya (tangan setan) ada pada tanganku beserta tangannya.” [5]
Berikanlah Penjelasan Pula Di Saat Ingin Melarang
- Kemudian, di samping harus mampu menjelaskan alasan dalam mengambil atau menahan sesuatu milik anak, hendaknya orang tua juga mampu menjelaskan alasan ketika akan melarang sesuatu pada anak. Misalnya, ketika orang tua melarang anak yang ingin ikut kegiatan di sekolahnya yang terdapat unsur maksiat, seperti pentas musik, acara ulang tahun kawan, drum band, cheerleader, makrab, lomba menggambar makhluk bernyawa, dan berbagai pelanggaran syariat lainnya, orang tua harus bisa menjelaskan alasan dari sisi syari’at, tidak hanya melarang semata. Di sinilah kita bisa merasakan pentingnya ilmu. Ini harus didahulukan karena menanamkan ketundukan anak terhadap aturan syariat merupakan hal yang paling pokok. Jangan sampai anak hanya patuh karena takut kepada orang tua, atau karena ada alsan logis yang sesuai dengan akal, tetapi di hati anak tidak ada rasa takut sama sekali kepada Allah. Dalam kondisi seperti ini, anak pun akan bermaksiat kembali di kala orang tua tidak melihat mereka, atau anak tahu alasan logisnya tetapi ia pun tetap melaksanakannya. Maka, banyak sekali kita temui anak-anak yang mulai coba-coba menggunakan narkotika, mereka sebenarnya tahu “secara logis” itu berbahaya bagi tubuh mereka. Akan tetapi, karena tidak ada rasa takut kepada Allahta’ala, mereka pun hanya takut ketahuan orang tua. Maka, jika orang tua tidak melihatnya, mereka kembali menggunakan narkotika tersebut, tanpa merasa bahwa Allah melihatnya.
- Kami tidak mengatakan bahwa jangan beri penjelasan logis, tetapi dalil semata. Bukan! Bukan itu yang dimaksud. Bahkan, kami katakan, “Setelah mampu menjelaskan dari sisi syari’at, orang tua hendaknya dapat pula melarang anak dengan memberikan alasan logis, sesuai dengan batas daya tangkap anak.” Contoh yang paling sederhana, orang tua dapat memberikan alasan logis mengapa ia melarang anak menggunakan narkotika, yaitu karena narkotika bisa menimbulkan kecanduan dan merusak kesehatan badan. Namun, kalau hanya “alasan logis”, tanpa disertai alasan syar’i, niscaya bibit-bibit keshalihan anak tidak akan mucul dalam diri anak. Wallahu a’lam
Demikianlah “secuplik” adab yang diajarkan Nabi kepada kita. Mudah-mudahan, kita semua diberi taufik untuk meneladani Nabi dalam setiap yang beliau ajarkan.
Ba’da maghrib, 14 Februari 2010
di Masjid Al-Ashri
—
Penulis: Ginanjar Indrajati B.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
[1] مجمع الحكم و الأمتال, via software المكتبة الشاملة, tanpa halaman.
[2] الجامع الصحيح المختصر, karya محمد بن إسماعيل أبو عبدالله البخاري الجعفي, cet. دار ابن كثير ، اليمامة – بيروت, jilid II, halaman 865, hadits nomor 2224
[3] فقه تربية الأبناء و طائفة من نصائح الأطباء, karya الشيخ مصطفى بن العدوي, cet دار ابن رجب لنشر و التوزيع, 1423 / 2002 M., hal. 103
[4] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, hadits nomor 1069.
[5] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, jilid III, hal. 1597 hadits nomor 2017. Berikut ini lafadz aslinya
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو
كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن خيثمة عن أبي حذيفة عن حذيفة قال
: كنا إذا حضرنا مع النبي صلى الله
عليه وسلم طعاما لم نضع أيدينا حتى يبدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم فيضع يده
وإنا حضرنا معه مرة طعاما فجاءت جارية كأنها تدفع فذهبت لتضع يدها في الطعام
فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بيدها ثم جاء أعرابي كأنما يدفع فأخذ بيده
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( إن الشيطان يستحل الطعام أن لا يذكر اسم
الله عليه وإنه جاء بهذه الجارية ليستحل بها فأخذت بيدها فجاء بهذا الأعرابي
ليستحل به فأخذت بيده والذي نفسي بيده إن يده في يدي مع يدها
Dalam kitab Al Muhalla, Ibnu Hazm Al Andalusi berkata:
ليلة القدر واحدة في العام في كل عام، في شهر رمضان خاصة، في العشر الاواخر
خاصة، في ليلة واحدة بعينها لا تنتقل أبدا إلا انه لا يدرى أحد من الناس أي
ليلة هي من العشر المذكور؟ إلا انها في وتر منه ولا بد،
فان كان الشهر تسعا وعشرين فأول
العشر الاواخر بلا شك ليلة عشرين منه، فهى إما ليلة عشرين، وإما ليلة اثنين
وعشرين، وإما ليلة أربع وعشرين، واما ليلة ست وعشرين، واما ليلة ثمان وعشرين،
لان هذه هي الاوتار من العشر الاواخر
، وان كان الشهر ثلاثين فأول الشعر
الاواخر بلا شك ليلة احدى وعشرين، فهى إما ليلة احدى وعشرين، واما ليلة ثلاث
وعشرين، واما ليلة خمس وعشرين، واما ليلة سبع وعشرين، واما ليلة تسع وعشرين،
لان هذه هي أوتار العشر بلاشك
Andaikata Ramadhan itu 30 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.
[Sampai di sini perkataan Ibnu Hazm]
Kita semua tahu bahwa penentuan 1 Syawal atau penentuan berapa hari bulan Ramadhan itu ditentukan di akhir Ramadhan dengan ru’yatul hilal. Dengan kata lain, di tengah bulan Ramadhan kita belum tahu apakah bulan Ramadhan itu 29 atau 30 hari. Jika demikian, maka probabilitas jatuhnya lailatul qadar adalah sama di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Dengan kata lain, di malam tanggal genap pun bisa jadi saat itu lailatul qadar, berdasarkan penjelasan Ibnu Hazm di atas. Oleh karena itu, barangsiapa yang bertekad untuk mendapatkan lailatul qadar hendaknya mencari di sepuluh malam terakhir baik malam ganjil maupun genap.
Wallahu’alam.
—
Penulis: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Posted: 08 Aug 2012 08:11 PM PDT
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakekat
kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim [3/7]). Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata,“ Sabar
adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim[3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat
dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir.
Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada
makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim [3/7])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar
secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada
nabi-Nya (yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa
kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama
mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas
ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan
kepada-Nya. …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134]
software Maktabah asy-Syamilah)
Macam-Macam Sabar
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar
yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah
‘azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada
Allah ‘azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa
menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi
perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi
takdir yang terasa menyakitkan…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 279)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “ Sesungguhnya
Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah,
sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan,“Maka
sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar
darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala
kesempurnaan.” (Fath al-Bari [11/344]).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan
kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya
merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan
cabangnya. Karena pada hakekatnya iman itu secara keseluruhan merupakan
kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya serta
untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar
dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karena sesungguhnya
agama ini berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah
dan rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dan [3]
menjauhi larangan-larangan keduanya…” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 105-106)
Sabar merupakan akhlak para rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan tersebut, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. al-An’am: 34)
Sabar membuahkan kebahagiaan hidup
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami
berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR.
Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad
dalam az-Zuhd dengan sanad sahih, lihat Fath al-Bari [11/342]
cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Sabar penopang keimanan
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim[9/241])
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar adalah
separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalamal-Hilyah dan al-Baihaqi
dalam az-Zuhd, lihat Fath al-Bari [1/62] dan [11/342]).
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar
bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap
maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya
[31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal atsar
ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535], lihat Shahih
wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah).
Sabar penepis fitnah
Dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR. Muslim [223], lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…
Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat
ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan
kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman
(yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan
senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini
menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan itulah akan bisa
dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam
firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan
saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling
menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat,
sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk
mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dariadh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang
disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal.
669)
Sabar membuahkan hidayah bagi hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir menukil keterangan al-A’masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Hikmah dibalik musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220])
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)
Setelah kita mengetahui betapa indahnya sabar, maka sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai pilar kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-gerik anggota badan kita?
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
Macam-Macam Sabar
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
Sabar merupakan akhlak para rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan tersebut, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. al-An’am: 34)
Sabar membuahkan kebahagiaan hidup
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu
Sabar penopang keimanan
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim[9/241])
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu
Sabar penepis fitnah
Dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR. Muslim [223], lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul Qayyim rahimahullah
Sabar membuahkan hidayah bagi hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir menukil keterangan al-A’masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Hikmah dibalik musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220])
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)
Setelah kita mengetahui betapa indahnya sabar, maka sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai pilar kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-gerik anggota badan kita?
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Posted: 08 Aug 2012 05:30 PM PDT
Berikut ini kami ringkaskan kumpulan artikel yang membahas Zakat Fitri,
Lebaran Dan Puasa Syawwal dari
muslim.or.id. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dalam
menghadapi Hari Raya ‘Idul Fitri 1432 H, hari dimana kaum muslimin berbuka
setelah sebulan penuh berpuasa. Semoga dapat dilalui sesuai dengan tuntunan
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga kebiasaan tahun yang disebut
mudik, yang biasanya menempuh perjalanan jauh untuk sampai di kampung
halaman, ada beberapa tuntunan dan adab yang semestinya diketahui oleh
setiap muslim. Selamat menyimak.
I’tikaf
I’tikaf
- Semakin Semangat Ibadah di Akhir Ramadhan
- Menanti Malam 1000 Bulan
- Lailatul Qadar
- Lailatul Qadar dan I’tikaf
- Memburu Lailatul Qadar Di Malam Tanggal Genap
- Fiqih Ringkas I’tikaf (1)
- Fiqih Ringkas I’tikaf (2)
- Fiqih Ringkas I’tikaf (3)
- Fiqih Ringkas I’tikaf (4)
- Masjid Yang Paling Utama Untuk I’tikaf
- Petunjuk Nabi dalam I’tikaf, Zakat Fithroh, dan Berhari Raya
- Seputar Zakat Fithri
- Zakat Fithri Menggunakan Uang?
- Fatwa Ramadhan: Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fitri dengan Uang?
- Bingkisan Istimewa Menjelang Idul Fithri
- Soal Jawab Ramadhan-11: Makna Zakat Fitri
- Soal Jawab Ramadhan-13: Hukum Zakat dan Fidyah Dengan Uang
- Perpisahan dengan Bulan Ramadhan
- Agar Perjalanan Anda Penuh Makna
- Bekal Safar: Kutitipkan Mereka Kepada-Mu, Ya Allah…
- Serial Mudik 1: Tips Persiapan Safar
- Serial Mudik 2: Tips Ketika Safar
- Serial Mudik 3: Tips Kembali dari Safar
- Serial Mudik 4: Beberapa Keringanan Ketika Safar
- Mudik Lebaran Penuh Berkah
- Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah
- Berhari Raya Dengan Siapa?
- Jika Saudi Arabia Sudah Melihat Hilal
- Soal Jawab: Tuntunan Berhari Raya dan Takbiran
- Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha
- Bimbingan Idul Fitri
- 8 Kemungkaran di Hari Raya
- Bolehkah Mengkhususkan Momen Lebaran Untuk Mengunjungi Kerabat?
- Momen Lebaran, Kesempatan Mempraktekan Akhlak Karimah
- Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu
- Nasihat dari Bumi Perantauan Kepada Sanak Saudaraku di Kampung Halaman (1)
- Nasihat dari Bumi Perantauan Kepada Sanak Saudaraku di Kampung Halaman (2)
- Nasihat dari Bumi Perantauan Kepada Sanak Saudaraku di Kampung Halaman (3)
- Amalan Setelah Ramadhan (1)
- Amalan Setelah Ramadhan (2)
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM
Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama yang kelak a...