BLOG AL ISLAM
Diberdayakan oleh Blogger.
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
twitter
Live Traffic
Latest Post
Tampilkan postingan dengan label akhlaq dan nasehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label akhlaq dan nasehat. Tampilkan semua postingan
Oktober 30, 2012
Baca Selengkapnya
Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Terima kasih.....
E T I K A BERCAKAP-CAKAP
Written By sumatrars on Selasa, 30 Oktober 2012 | Oktober 30, 2012
Adab Berbicara
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, kemudian shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan sahabatnya serta yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari yang dijanjikan.
Dalam kehidupan ini sebagai makluk sosial manusia tidak akan pernah lepas dari berkomunikasi, satu dengan yang lainnya. Terkadang untuk suatu keperluan dan terkadang juga sekadar basa-basi. Tapi, kadangkala adab dalam bercakap-cakap ini diabaikan, sehingga tidak sedikit membuat kesal dan tersinggung lawan bicaranya.
Karena itu, inilah eBook yang menjelaskan beberapa etika yang perlu diperhatikan agar percakapan kita menjadi berfaedah dan penuh dengan hikmah, selamat menyimak…
Baca Selengkapnya
Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Terima kasih.....
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Oktober 30, 2012
Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Terima kasih.....
Iman - Malu adalah Identitas Muslim
Malu adalah Identitas Muslim
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah,
sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW
bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu
ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut
dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran.
Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang
berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar
malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu
tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah
antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana
nafsu lebih mendominasi tanpa akal.
Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi.
Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya.
Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.
Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita.
Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis
di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan
tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan
penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.
Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan
agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa
yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan
sebaliknya tontonan menjadi tuntunan.
Penting untuk dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci
Allah SWT bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan
kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya
seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya
malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang
manusiapun yang mengetahui perbuatannya.
Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memilika rasa malu yang kuat, sehingga
rasa malu itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali
bisikan-bisikan buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada
Allah untuk berbuat yang semacam ini.”
Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik
oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak
berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya
diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.
Seorang siswa yang
tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah malu dalam bertanya. Kenapa harus
takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang dipelajari? Sebaliknya dia akan
malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek atau memberikan contekan juga.
Seorang Muslim akan
merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang tersuguh dalam bentuk gossip
dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi
yang masih mempuyai rasa malu.
Seorang pejabat merasa
malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan
amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya,
melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.
Seorang wanita merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak
memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang
harus dijaga sesuai aturan yang telah digariskan.
Seorang pengusaha merasa
malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah
berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.
Seorang penguasa merasa
malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang
dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT
bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil
dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam akherat tidak tersisa bab sekecil
apapun.
Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat
kecil maka bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih
besar.
Satu lagi, kalau malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan
melahirkan manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia
akan bersikap baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak
manusia, dia akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta
melakukan kejahatan kejam lainnya.
Rasa malu merupakan identitas bagi setiap Muslim.
Dari Zaid bin Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah
SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah
malu”. [HR Malik, di dalam Muwaththa' : 905]
Artinya, rasa malu merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap
Muslim.
Begitu hilang rasa malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang
Muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun tersembunyi.
Makanya, sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya
rasa malu.
Dari Abu Mas’ud, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa
yang didapati orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu
sudah tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]
Betul! Silahkan berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan
bersiaplah untuk menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita
jaga dan budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI
dalam memperjuangkan kebenaran.
Sumber : R,Chan
Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Terima kasih.....
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Oktober 22, 2012
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “
Takhrij hadits
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri Radhiallahu’anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al-Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.
Penjelasan hadits
Hadits yang mulia ini berisi wasiat berharga dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita semua dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Wasiat ini berhubungan dengan hubungan kita kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Setiap kita mesti akan berhubungan dengan sang pencipta kita dan ini dapat diwujudkan dengan benar hanya dengan takwa kepadaNya disetiap saat. Juga setiap kita akan berhubungan dengan diri sendiri sebagai insan yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka caranya adalah dengan mengiringi kesalahan dan dosa dengan taubat yang merupakan amalan sholih dan kebajikan yang dapat menghapus dosa kesalahan tersebut. Sehingga bila seorang berbuat dosa maka segera mengiringinya dengan taubat dan menambah amal kebaikan yang dapat menghapusnya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan” (Qs Hûd/11: 114).
Demikian juga kita tidak mungkin lepas dari masyarakat dan orang lain disekitar kita, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Sebab itu beliau n mewasiatkan dengan menjadikan akhlak mulia sebagai dasar dalam pergaulan ini. Bergaul dengan orang lain dengan akhlak mulia dapat dijabarkan oleh sabda beliau yang lainnya, yaitu sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam :
“Siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan masuk syurga maka hendaknya kematian menjemputkanya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaknya ia bergaul dengan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain bergaul dengannya” (HR Muslim).
Demikian indahnya wasiat ini, sehingga siapa yang ingin selamat dunia akherat maka hendaknya mengamalkan tiga wasiat Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam ini. Semoga kita dapat mewujudkannya!
Fawaid
Sumber Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Wasiat Rasulullah saw
Written By sumatrars on Senin, 22 Oktober 2012 | Oktober 22, 2012
Tiga Wasiat Penting Rasulullah
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ
جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ
اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا،
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “
Takhrij hadits
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri Radhiallahu’anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al-Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.
Penjelasan hadits
Hadits yang mulia ini berisi wasiat berharga dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita semua dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Wasiat ini berhubungan dengan hubungan kita kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Setiap kita mesti akan berhubungan dengan sang pencipta kita dan ini dapat diwujudkan dengan benar hanya dengan takwa kepadaNya disetiap saat. Juga setiap kita akan berhubungan dengan diri sendiri sebagai insan yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka caranya adalah dengan mengiringi kesalahan dan dosa dengan taubat yang merupakan amalan sholih dan kebajikan yang dapat menghapus dosa kesalahan tersebut. Sehingga bila seorang berbuat dosa maka segera mengiringinya dengan taubat dan menambah amal kebaikan yang dapat menghapusnya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan” (Qs Hûd/11: 114).
Demikian juga kita tidak mungkin lepas dari masyarakat dan orang lain disekitar kita, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Sebab itu beliau n mewasiatkan dengan menjadikan akhlak mulia sebagai dasar dalam pergaulan ini. Bergaul dengan orang lain dengan akhlak mulia dapat dijabarkan oleh sabda beliau yang lainnya, yaitu sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam :
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ
عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ
يُؤْتَى إِلَيْه
“Siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan masuk syurga maka hendaknya kematian menjemputkanya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaknya ia bergaul dengan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain bergaul dengannya” (HR Muslim).
Demikian indahnya wasiat ini, sehingga siapa yang ingin selamat dunia akherat maka hendaknya mengamalkan tiga wasiat Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam ini. Semoga kita dapat mewujudkannya!
Fawaid
- Takwa kepada Allah merupakan kewajiban setiap muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shaleh.
- Semangatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengarahkan umatnya kepada setiap kebaikan.
- Wajib bagi seseorang untuk memenuhi hak Allah dengan bertakwa kepada-Nya.
- Wajibnya bertakwa kepada Allah Ta’ala dimana pun seseorang berada. Yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya, baik saat bersama orang lain maupun ketika sendirian.
- Wasiat takwa adalah wasiat yang paling agung.
- Wajib seseorang memenuhi hak dirinya dengan bertobat dan berbuat kebajikan.
- Bersegera melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan menghapus keburukan.
- Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia dan Anjuran bergaul bersama manusia dengan akhlak yang baik.
- Akhlak yang baik termasuk dari kesempurnaan iman dan sifat orang-orang yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang lurus.
- Akhlak yang baik termasuk asas dari peradaban hidup manusia, sebagai sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta, dicintai Allah Ta’ala, dan diangkatnya derajat pada hari Kiamat.
- Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.
Sumber Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
hadits,
index
Oktober 06, 2012
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga
menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan
ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat
mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan
kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Dari Sumber Artike : Muslim.or.Id - Penulis : Ustadz Kolid Syamhudi, Lc.
Di salin / tulis ulang pada Blog ini : Rachmat Flimban.
Iman dan Taqwa Landasan Mencapai Kesuksesan
Written By sumatrars on Sabtu, 06 Oktober 2012 | Oktober 06, 2012
Kategori: Akhlaq
dan Nasehat
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat
syirik.; Sehingga
Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu
tujuan tertentu dalam firmanNya :أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya
untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) suurga atau neraka.Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:- I’tisham bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
- I’tisham billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan:
“Poros kebahagian duniawi dan ukhrawi ada pada i’tisham billahi dan i’tisham
bihablillah. Tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan
dua hal ini. Sedangkan i’tisham
bihablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan i’tisham billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan
mencapai (keridhaan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam
perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan
menunjukinya ke jalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. i’tisham
bihablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang i’tisham billahi memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab
keselamatannya di perjalanan” (Bada’i Al Tafasir Al Jaami’ Litafsir Imam Ibni Qayyim Al Jauziyah, karya Yasri Al Sayyid Muhammad, terbitan Dar Ibnul Jauzi 1/506-507).
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Dari Sumber Artike : Muslim.or.Id - Penulis : Ustadz Kolid Syamhudi, Lc.
Di salin / tulis ulang pada Blog ini : Rachmat Flimban.
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
Oktober 05, 2012
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Sumber Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Iman dan Taqwa Landasan Mencapai Kesuksesan
Written By sumatrars on Jumat, 05 Oktober 2012 | Oktober 05, 2012
Kategori : Akhlaq dan Nasehat
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk
bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن
رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُ
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan
manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik. Sehingga
Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang
belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu
tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ
تُرْجَعُونَ
“Maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main
saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya
untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak
dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung
dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan)
serta (mendapatkan) suurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional
dan proporsional dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir
seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa.
Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah
yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
- I’tisham bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
- I’tisham billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua
hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya
dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: “Poros kebahagian duniawi dan ukhrawi ada pada i’tisham
billahi dan i’tisham
bihablillah. Tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan
dua hal ini. Sedangkan i’tisham
bihablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan i’tisham
billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan
mencapai (keridhaan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan
menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam
perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua
hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan
menunjukinya ke jalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi
alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. i’tisham
bihablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang i’tisham
billahi memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab
keselamatannya di perjalanan” (Bada’i
Al Tafasir Al Jaami’ Litafsir Imam
Ibni Qayyim Al Jauziyah, karya Yasri Al Sayyid Muhammad, terbitan Dar Ibnul
Jauzi 1/506-507).
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga
menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan
ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat
mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan
kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan
tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan.
Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan
diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id | Sumber Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
September 07, 2012
Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi
Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012
Kesudahan Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi
ditulis oleh: Al-Ustadz
Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Para shahabat Nabi memiliki kedudukan demikian
tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Namun sungguh mengherankan, ada orang-orang
yang berani melecehkan mereka dan senantiasa berusaha mencari kelemahan mereka.
Orang-orang yang berani merendahkan para shahabat Nabi adalah orang-orang yang
tidak tahu diri, yang tidak tahu kapasitas dirinya. Di antara tanda-tanda
keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat, adalah kepekaannya untuk melihat
dan mengintrospeksi diri sebelum melihat dan mengoreksi orang lain. Dia akan
sangat mengerti tentang kapasitas dirinya sebelum mengerti kapasitas orang lain,
sehingga ketika mendengar sabda Rasulullah :
“Janganlah mencela para shahabatku, janganlah
mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah),
kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya
tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya
sebesar cakupan dua telapak tangan atau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3673
dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)
Maka dia akan berupaya menahan hatinya dari
berburuk sangka kepada para shahabat dan menahan lisannya dari mencela mereka.
Karena dia sadar, bukan kapasitasnya untuk membicarakan, menilai dan mengkritik
orang-orang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya n itu.
Namun di sisi lain, kita tak pernah lupa akan sejarah orang-orang yang tak tahu
diri. Orang-orang cebol (kerdil) yang ingin menggapai bintang di angkasa sambil
melolong dengan lolongan-lolongan keji, berkedok kebebasan dan sikap kritis.
Lolongan kaum orientalis kafir yang kemudian
dikemas dengan kemasan sok ilmiah oleh antek-antek mereka dari anak-anak kaum
muslimin untuk mengkritik para shahabat Rasulullah n. Dan ini bukanlah hal yang
baru dalam peradaban umat manusia. Lolongan tersebut sesungguhnya merupakan
kelanjutan dari lolongan kaum Syi’ah Rafidhah yang senantiasa berambisi
menghancurkan citra Rasulullah dan ajaran agama Islam yang dibawanya.
Al-Imam Malik bin Anas berkata : “Mereka itu
adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi, namun tidak mampu. Maka
mereka pun akhirnya mencela para shahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa
beliau adalah orang jahat. Karena, jika beliau itu orang baik niscaya para
shahabatnya adalah orang-orang yang baik pula.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala
Syatimir Rasul, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, hal. 580)
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Jika
engkau melihat siapa saja yang mencela seorang shahabat Rasulullah maka
ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Hal itu karena keyakinan kami bahwa
Rasulullah adalah haq, Al Qur`an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al
Qur`an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah. Tujuan mereka dalam
mencela para saksi kami (para shahabat) tidak lain adalah menghancurkan Al
Qur`an dan As Sunnah. Mereka sesungguhnya lebih pantas untuk dicela dan mereka
adalah orang-orang zindiq1.” (Al-Kifayah, hal.49)
Para pembaca,
Semua shahabat Rasulullah adalah orang-orang
baik dan adil, yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Allah telah memuji para shahabat Rasulullah di
dalam Al Qur`an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itupun telah terukir melalui lisan
Rasulullah, suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh seorangpun setelah
mereka. Semoga Allah menyayangi mereka dan menganugerahkan untuk mereka
kedudukan tertinggi di kalangan shiddiqin, syuhada` dan shalihin. Merekalah yang
menyampaikan ajaran Rasulullah kepada kita. Mereka menyaksikan turunnya wahyu
kepada Rasulullah, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang dimaukan
Rasulullah berupa perkara-perkara yang sifatnya umum maupun khusus, keharusan
dan bimbingan. Mereka mengerti Sunnah Rasulullah, baik yang kita ketahui ataupun
yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’,
ketajaman berfikir dan memahami suatu perkara (berdasarkan ilmu).
Pendapat-pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada
pendapat kita sendiri.” (Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Al-Baihaqi, 1/441)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Para shahabat
semuanya adil, baik yang terlibat dalam fitnah (pertempuran di antara mereka,
pen.) atau yang tidak terlibat di dalamnya, menurut ijma’ ulama yang
diperhitungkan kata-katanya.” (At-Taqrib ma’a Tadribirrawi, 2/190).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Menurut Ahlus
Sunnah wal Jamaah, semua shahabat itu adil, karena adanya pujian dari Allah di
dalam Al Qur`an dan (Rasulullah) di dalam Sunnahnya terhadap segala akhlak dan
perbuatan mereka, serta terhadap apa yang mereka korbankan berupa harta dan
nyawa bersama Rasulullah, dengan semata-mata mengharap pahala dan balasan yang
mulia di sisi Allah I.” (Al-Ba’its Al-Hatsits hal.154)
Al-Imam Ibnul Mulaqqin berkata: “Semua shahabat
Rasulullah n mempunyai kekhususan, yaitu tidak perlu ditanyakan tentang
keadilannya. Karena mereka telah mendapatkan rekomendasi di dalam Al Qur`an dan
As Sunnah serta ijma’ ulama yang diperhitungkan ucapannya.” (Al-Muqni’ fi Ulumil
Hadits, 2/492, dinukil dari Al-Inthishar Lish Shahbi Wal Aal, hal. 218)
Al-Imam Ibnul Atsir berkata: “Para shahabat
seperti para perawi lainnya dalam semua hal itu, kecuali dalam hal al-jarh wat
ta’dil (pujian dan kritikan), karena mereka semua adalah orang-orang yang adil,
dan tidak boleh dikritik. Hal ini karena Allah dan Rasul-Nya telah merekomendasi
dan memuji mereka…” (Usdul Ghabah 1/10, dinukil dari Al-Inthishar, hal. 222)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata:
“Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya semua shahabat adalah orang-orang yang adil,
dan tidaklah menyelisihi dalam hal ini kecuali orang-orang yang nyeleneh dari
kalangan ahlul bid’ah.” (Al-Ishabah, 1/10-11)
Asy-Syaikh Mahmud Muhammad Syakir berkata: “Bila
demikian agungnya keutamaan bershahabat dengan Rasulullah, maka seorang muslim
manakah yang mampu setelah ini untuk menjulurkan lisannya mencela seseorang dari
shahabat Muhammad Rasulullah ?! Dengan lisan manakah dia meminta udzur ketika
saling beragumentasi dihadapan Rabb mereka (di hari kiamat)?! Apa yang hendak
dia katakan saat telah tegak baginya hujjah dari Al Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya
?! Hendak lari kemanakah dia dari adzab Allah pada hari (kiamat) itu?!” (Majallah
Al-Muslimun, edisi 3 th. 1371 H, dinukil dari kitab Matha’in Sayyid Quthub fi
Ash-habi Rasulillah n,, hal. 11).
Maka dari itu, orang-orang yang sok menilai,
mengkritik dan mencela para shahabat, tak lain ibarat seekor kambing kerdil yang
berambisi (dengan tanduknya) menghancurkan batu besar yang sangat kokoh. Batu
itu pun tetap utuh tak bergeming, sedangkan si kambing kerdil menuai petaka.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Barangsiapa melakukannya (mencela shahabat,
pen.), maka wajib diberi pelajaran dan dihukum, tidak diberi ampun, bahkan terus
dihukum hingga bertaubat. Jika bertaubat maka diampuni, namun jika bersikukuh
dengannya maka terus dihukum dan dipenjara sampai mati atau rujuk (kembali
kepada kebenaran, red.).” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Al-Imam Malik bin Anas t berkata: “Barangsiapa
mencaci Nabi (n)maka (hukumannya) dibunuh, dan barangsiapa mencela para shahabat
maka diberi pelajaran.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 569)
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih t berkata: “Barangsiapa mencela para shahabat Nabi maka harus dihukum dan dipenjara.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih t berkata: “Barangsiapa mencela para shahabat Nabi maka harus dihukum dan dipenjara.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Dengan demikian, apakah para pencela shahabat
itu dikafirkan?
Para pembaca, berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash-Sharimul Maslul, hal. 586-587, maka dapatlah disarikan sebagai berikut:
1. Mencela shahabat, dengan diiringi pernyataan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau dialah yang sebenarnya sebagai nabi dan Malaikat Jibril telah keliru dengan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, atau menganggap bahwa Al Qur`an kurang sekian ayat dan ada yang disembunyikan dan lain sebagainya, maka tidak diragukan lagi kekafirannya, bahkan tidak diragukan pula kekafiran orang yang ragu akan kekafiran mereka.
2. Mencela shahabat namun tidak menjatuhkan keadilan dan agama mereka. Misalnya menyifati sebagian shahabat dengan kikir, pengecut, ilmunya sedikit, atau kurang zuhud dan lain sebagainya, maka yang seperti ini berhak diberi pelajaran/dihukum dan tidak dikafirkan.
3. Melaknat dan menjelek-jelekkan mereka dengan lafadz yang umum, maka masih diragukan apakah dikafirkan ataukah tidak, karena adanya kemungkinan antara laknat kemarahan dan laknat yang bersumber dari keyakinan.
4. Mencela shahabat sampai pada tingkatan meyakini bahwa mereka telah murtad sepeninggal Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang dari mereka saja, atau semua telah melakukan kefasikan (sepeninggal beliau), maka yang seperti ini tidak diragukan tentang kekafirannya.
Para pembaca, berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash-Sharimul Maslul, hal. 586-587, maka dapatlah disarikan sebagai berikut:
1. Mencela shahabat, dengan diiringi pernyataan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau dialah yang sebenarnya sebagai nabi dan Malaikat Jibril telah keliru dengan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, atau menganggap bahwa Al Qur`an kurang sekian ayat dan ada yang disembunyikan dan lain sebagainya, maka tidak diragukan lagi kekafirannya, bahkan tidak diragukan pula kekafiran orang yang ragu akan kekafiran mereka.
2. Mencela shahabat namun tidak menjatuhkan keadilan dan agama mereka. Misalnya menyifati sebagian shahabat dengan kikir, pengecut, ilmunya sedikit, atau kurang zuhud dan lain sebagainya, maka yang seperti ini berhak diberi pelajaran/dihukum dan tidak dikafirkan.
3. Melaknat dan menjelek-jelekkan mereka dengan lafadz yang umum, maka masih diragukan apakah dikafirkan ataukah tidak, karena adanya kemungkinan antara laknat kemarahan dan laknat yang bersumber dari keyakinan.
4. Mencela shahabat sampai pada tingkatan meyakini bahwa mereka telah murtad sepeninggal Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang dari mereka saja, atau semua telah melakukan kefasikan (sepeninggal beliau), maka yang seperti ini tidak diragukan tentang kekafirannya.
Akhir kata, demikianlah kesudahan buruk bagi
orang-orang yang mencela shahabat Rasulullah n. Semoga Allah I menjauhkan kita
dari akhlak tercela ini, dan tiada yang dapat kami ucapkan kecuali sebuah
harapan dari Allah I yang terukir dalam lantunan doa:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ
رَّحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang beriman bercokol pada hati kami,
Wahai Rabb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:
10)
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
1 Zindiq adalah orang yang menyembunyikan
kekafiran dan menampakkan keislaman. Asal-usul mereka adalah orang-orang yang
mengingkari hari kebangkitan dan meyakini reinkarnasi serta memiliki keyakinan
sebagaimana orang-orang Majusi.
diambil dari
asysyariah.com
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
September 07, 2012
Sayyid Qutb Pencela Shahabat
Sayyid Qutb Pencela Shahabat
ditulis oleh: Al-Ustadz
Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Abu Sa’id Al-Khudri z berkata: Nabi n bersabda:
“Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku.
Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud,
niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infaq satu mud salah seorang dari
mereka dan tidak pula setengahnya.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3673, Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2541,
oleh Al-Imam An-Nawawi diberi nama bab-nya Tahrimu Sabbish Shahabah g (Haramnya
mencela shahabat Nabi g), Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4658, Al-Imam
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3861, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/11,
54, 63.
Sabda Nabi n:
Sabda Nabi n:
“Seandainya salah seorang dari kalian
menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (menyamai) infaq
satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
menjelaskan bahwa apabila salah seorang dari
kalian menginfaqkan semisal gunung Uhud berupa emas, niscaya pahala infaqnya itu
tidak akan mencapai pahala dan keutamaan yang diperoleh shahabat dari infaq yang
mereka berikan berupa satu mud makanan atau setengahnya, karena infaq shahabat
itu disertai dengan keikhlasan yang lebih dan baiknya niat. Juga karena infaq
yang mereka keluarkan dalam keadaan mereka itu lebih membutuhkannya karena
keadaan mereka yang serba kekurangan, banyak kebutuhan dan kepentingan yang
darurat. (Aunul Ma‘bud, 12/269)
Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, infaq para
shahabat lebih utama karena infaq tersebut dikeluarkan pada saat darurat dan
keadaan yang sempit, berbeda halnya dengan infaq selain mereka. Juga infaq
mereka itu dikeluarkan untuk menolong dan melindungi Rasulullah, yang perkara
ini jelas tidak terjadi
sepeninggal Rasulullah. Demikian pula jihad mereka dan seluruh amalan
ketaatan mereka. Allah I telah berfirman:
“Tidaklah sama di antara kalian, orang yang
menginfaqkan hartanya dan berperang sebelum Al-Fathu1 dengan orang yang selain
mereka. Mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Allah daripada orang-orang
yang berinfaq dan berjihad setelah itu….” (Al-Hadid: 10)
Hal ini juga disertai dengan apa yang ada dalam
jiwa mereka berupa rasa kasih sayang, cinta, khusyu, tawadhu’, mengutamakan
orang lain (daripada diri mereka sendiri) dan jihad fi sabilillah dengan
sebenar-benarnya. Dan keutamaan/kemuliaan bersahabat dengan Rasulullah, walau
hanya sebentar tidak dapat diimbangi oleh satu amalan pun. Derajat ini tidak
dapat dicapai dengan sesuatu pun, dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan
qiyas. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada
siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Penjelasan Hadits
Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, maka Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun. Maka Rasulullah n menegur Khalid dengan sabda beliau di atas. Hadits di atas menunjukkan kepada kita semua tentang haramnya mencela para shahabat Nabi , sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebagai penamaan bab di dalam Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi .
Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, maka Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun. Maka Rasulullah n menegur Khalid dengan sabda beliau di atas. Hadits di atas menunjukkan kepada kita semua tentang haramnya mencela para shahabat Nabi , sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebagai penamaan bab di dalam Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi .
Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun
bagi kita untuk memperbolehkan pencelaan terhadap mereka. Karena apabila
larangan mencela ini ditujukan kepada shahabat yang belakangan masuk Islam
terhadap shahabat yang terdahulu dalam keimanan, sementara kedua-duanya memiliki
keutamaan shuhbah (bershahabat dengan Rasulullah ) kita dapati perkataan
Rasulullah n yang menunjukkan kejelekan pelakunya dan jeleknya hasil dari
perbuatan ini.
Dan bila sesama shahabat saja dilarang saling
mencela, lalu bagaimana kiranya bila yang mencela itu bukan shahabat? Atau malah
orang yang tidak mempunyai keutamaan sama sekali dari kalangan Zanadiqah (kelompok
zindiq), Rawafidh (Syi’ah), serta para pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah?
Kira-kira apa gerangan yang akan diucapkan dan dihukumkan Rasulullah terhadap
orang-orang tersebut, dan bagaimana besarnya sanksi serta ‘iqab (hukuman) beliau
n terhadap pelaku perbuatan tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengapa
Rasulullah melarang Khalid mencela shahabat-shahabat beliau sementara Khalid
juga termasuk shahabat beliau? Dan akhirnya beliau menyatakan demikian:
Hal ini karena Abdurrahman bin ‘Auf dan yang
semisalnya adalah termasuk As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali
masuk Islam) yang menjadi shahabat beliau n, di mana pada saat itu Khalid dan
semisalnya masih memusuhi beliau. Mereka, para As-Sabiqunal Awwalun,
menginfaqkan harta mereka dan berjihad sebelum Fathu (perjanjian Hudaibiyyah).
Dan mereka ini lebih tinggi derajatnya daripada shahabat yang berinfaq dan
berjihad setelah Fathu. Namun masing-masing Allah berikan kebaikan.
Sehingga shahabat seperti Abdurrahmanzdan
semisalnya memiliki kelebihan dalam hubungan persahabatannya dengan Rasulullah
yang tidak dimiliki oleh Khalidz dan shahabat semisalnya dari kalangan mereka
yang ber-Islam dan berperang setelah Fathu. Maka Rasulullah n pun melarang
mencela mereka yang bersahabat dengan Nabi sebelum Fathu.
Siapa saja yang sama sekali tidak pernah menjadi
shahabat Rasulullah, maka perbandingan dia dengan orang yang menjadi shahabat
Rasulullah seperti perbandingan Khalid dengan para shahabat yang terdahulu masuk
Islam, bahkan orang tersebut tidak ada kadarnya bila dibandingkan dengan
kemuliaan Khalid z dan para shahabatnya g.” (Ash-Asharimul Maslul `ala Syatimir
Rasul, hal. 576)
Al-Imam ‘Ali Al-Qari menyatakan sangat
dimungkinkan pembicaraan dalam hadits ini ditujukan untuk umat secara umum,
tidak dibatasi hanya shahabat yang berselisih tersebut. Yang dengan cahaya
nubuwwah, Rasulullah n mengetahui bahwa perbuatan semisal ini akan terjadi pada
ahlul bid‘ah. Maka beliaupun melarang mereka dengan hadits ini. (Tuhfatul
Ahwadzi, 10/246)
Keutamaan Shahabat tidak Bisa Dicapai oleh
Siapapun
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah meski hanya sebentar tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Tidak dapat dicapai derajat ini dengan sesuatu pun dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas, yang demikian itu merupakan keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah meski hanya sebentar tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Tidak dapat dicapai derajat ini dengan sesuatu pun dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas, yang demikian itu merupakan keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Sehingga apapun amalan yang dilakukan oleh
orang-orang yang datang setelah para shahabat, tidaklah dapat mencapai derajat
para shahabat dari sisi shuhbah (persahabatan) mereka dengan Rasulullah n dan
keutamaan mereka pernah bergaul dengan beliau, hadir di majelisnya, mendengarkan
wejangannya dan pengajarannya dalam waktu lama ataupun sebentar, apalagi
menyertai beliau dalam berjihad meninggikan kalimat Allah, menolong dakwah
beliau dengan pengorbanan jiwa dan harta.
Jelas keutamaan seperti ini tidak dapat diraih
oleh selain shahabat, sampai pun derajat shahabat yang paling rendah2 tidak akan
bisa diraih atau shahabat yang hanya sesaat melihat Nabi n, beriman kepada
beliau dan meninggal dalam keadaan beriman.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Janganlah kalian mencela
shahabat Muhammad . Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama
Nabi n lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)
Ibnu Mas‘ud berkata: “Sesungguhnya Allah melihat
ke hati-hati hamba-Nya, maka Allah dapatkan hati Muhammad adalah sebaik-baik
hati para hamba. Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan
risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati hamba setelah hati Muhammad, maka
Allah dapatkan hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba.
Allah pun menjadikan mereka sebagai penolong nabi-Nya, mereka berperang membela
agama-Nya. Apa yang dipandang oleh kaum muslimin (para shahabat) baik maka itu
baik di sisi Allah dan apa yang mereka pandang jelek maka itu jelek di sisi
Allah.” (Riwayat Ahmad, 1/380 dan atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Albani
dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 470)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras berkata: “Para
shahabat itu pantas untuk mendapatkan kecintaan dan pemuliaan karena keutamaan
mereka, terdepannya mereka dalam beriman dan kekhususan mereka menjadi shahabat
Rasulullah. Bersamaan dengan itu, mereka telah berbuat baik kepada umat ini
karena merekalah yang menyampaikan seluruh apa yang datang dari Rasul mereka.
Tidak sampai pada seseorang satu ilmu pun atau satu berita pun melainkan dengan
perantaraan para shahabat.” (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 166)
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi
setelah membawakan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah tentang
kedudukan dan keutamaan shahabat, beliau berkata: “Berita-berita yang semakna
dengan ini begitu luas, seluruhnya bercocokan dengan berita yang ada dalam nash
Al Qur`an. Semua itu mengandung konsekuensi kesucian shahabat dan kepastian
tentang kebaikan serta kebersihan mereka. Sehingga tidak ada seorang pun dari
mereka yang membutuhkan pengakuan dari satu makhluk pun berkenaan tentang
kebaikan mereka ketika Allah I telah menetapkan hal tersebut terhadap mereka
karena Dia jua-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam batin mereka.”
Beliau juga mengatakan: “Seandainya tidak
datang satu keterangan dari Allah dan Rasul-Nya tentang para shahabat dari apa
yang telah kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami dan hadapi berupa
hijrah, jihad, menolong agama Allah dan Rasul-Nya, pengorbanan darah dan harta (untuk
membela agama Allah, pen.), membunuh bapak dan anak-anak mereka (yang masih
kafir ketika berhadapan di medan laga, pen.), saling menasehati dalam agama,
kekuatan iman dan yakin, cukuplah semua itu sebagai kepastian tentang kelurusan
mereka dan untuk meyakini kesucian mereka. Mereka itu lebih utama selama-lamanya
dari seluruh orang yang dianggap baik dan seluruh orang yang disucikan, dari
kalangan orang-orang yang datang setelah mereka.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah
hal. 48-49)
Hukum Mencela Shahabat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Mencela shahabat Rasulullah n adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Mencela shahabat Rasulullah n adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Mencela shahabat g
adalah haram, termasuk perkara keji (buruk) yang diharamkan, baik yang dicela
itu dari kalangan shahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama
muslimin, pen.) ataupun selain mereka, karena mereka itu berijtihad dalam
peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam perkara-perkara yang terjadi.”
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mencela salah seorang shahabat termasuk perbuatan
maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Abu Zur‘ah berkata: “Apabila engkau melihat
seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah n, maka ketahuilah orang itu
adalah zindiq. Karena keberadaan Rasulullah n itu haq di sisi kita, demikian
pula Al Qur`an. Dan hanya para shahabat Nabi saja yang menyampaikan Al Qur`an
dan Sunnah-sunnah beliau kepada kita. Sementara para zindiq tersebut ingin
mencacati persaksian kita terhadap mereka -para shahabat- agar mereka dapat
membatilkan Al Qur`an dan As Sunnah yang kita ambil dari para shahabat beliau n.
Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacatkan keberadaannya, mereka
itulah para zindiq.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 49)
Adapun bentuk sanksi ataupun ‘iqab yang
diberikan bagi orang yang mencela shahabat, diperselisihkan para ulama. Ada yang
menvonis harus dibunuh, ada yang tidak. Jumhur ulama sendiri berpandangan orang
yang berbuat demikian diberi hukuman ta`zir3 dan tidak dibunuh. Sementara
sebagian Malikiyyah berpendapat orang itu dibunuh. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Al-Imam Ahmad berpendapat orang yang mencela
salah seorang dari shahabat Rasulullah , baik dari kalangan ahlul bait ataupun
selain mereka, maka hukumannya dengan dipukul keras, dan beliau tawaqquf4 dalam
masalah membunuh dan mengkafirkan orang yang berbuat demikian. Ada yang
berpendapat bahwa siapa yang melakukan hal itu maka ia harus diberikan “pelajaran”,
dihukum dan diminta bertaubat. Bila ia bertaubat maka diterima taubatnya, namun
bila ia mengulangi maka diberikan hukuman dan dipenjara selama-lamanya sampai
mati atau bertaubat.
Demikian dihikayatkan hal ini oleh Al-Imam Ahmad
dari ahlul ilmi yang pernah beliau jumpai. Dan Al-Kirmani menghikayatkannya dari
Al-Imam Ahmad, Ishaq, Al-Humaidi, Sa’id bin Manshur dan selain mereka.
Al-Harits bin ‘Utbah berkata: “Didatangkan ke
hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsmanz.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya: “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi. Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”
Al-Imam Malik berkata: “Siapa yang mencerca Nabi n maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Semua atsar kami nukilkan dari kitab Ash-Sharimul Maslul, hal. 567, 568, 569, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya: “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi. Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”
Al-Imam Malik berkata: “Siapa yang mencerca Nabi n maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Semua atsar kami nukilkan dari kitab Ash-Sharimul Maslul, hal. 567, 568, 569, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebagai kesimpulannya, mencela shahabat itu ada
tiga macam:
Pertama: mencela para shahabat Nabi n dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi n yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dalam Al Qur`an Allah I berfirman:
Pertama: mencela para shahabat Nabi n dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi n yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dalam Al Qur`an Allah I berfirman:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan
untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)
Sementara sebaik-baik umat ini adalah generasi
pertamanya (generasi para shahabat). Namun dengan adanya celaan yang ditujukan
kepada generasi pertama ini berarti mayoritas mereka para shahabat Nabi n adalah
orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat
dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.
Kedua: mencela shahabat dengan
melaknat dan menjelekkan mereka. Maka ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi,
yang satu mengkafirkan pelakunya, adapun yang lain menyatakan pelakunya tidak
kafir tapi ia harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertaubat dari apa
yang diucapkannya.
Ketiga: mencela shahabat dengan
perkara yang tidak berkaitan dengan agama mereka seperti mengatakan mereka
penakut atau pelit. Maka pelakunya tidak dikafirkan namun diberi hukuman ta`zir
yang bisa membuat dia jera dari perbuatannya. (Ash-Sharimul Maslul hal.
586-587, Syarh Lum‘atil I‘tiqad, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)
Sosok Sayyid Quthb sebagai Pencela Shahabat
Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulianya kedudukan para shahabat dengan persaksian Allah I dan Rasul-Nya n sehingga tidak boleh mengarahkan celaan kepada mereka, bahkan wajib bagi kita untuk tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan maka kesalahan itu terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka. Bila salah seorang dari mereka punya satu dosa maka ia mungkin sudah bertaubat dari dosa tersebut, atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang dengan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah dengan keutamaannya terdahulu masuk Islam atau dengan syafaat Nabi n dan para shahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau n, atau ia telah ditimpa ujian dan cobaan ketika di dunia yang dengan itu akan menjadi kaffarah bagi dosanya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya, hal. 175)
Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulianya kedudukan para shahabat dengan persaksian Allah I dan Rasul-Nya n sehingga tidak boleh mengarahkan celaan kepada mereka, bahkan wajib bagi kita untuk tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan maka kesalahan itu terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka. Bila salah seorang dari mereka punya satu dosa maka ia mungkin sudah bertaubat dari dosa tersebut, atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang dengan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah dengan keutamaannya terdahulu masuk Islam atau dengan syafaat Nabi n dan para shahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau n, atau ia telah ditimpa ujian dan cobaan ketika di dunia yang dengan itu akan menjadi kaffarah bagi dosanya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya, hal. 175)
Namun lihatlah seorang yang bernama Sayyid
Quthub yang mencela para shahabat Nabi n, buta mata hatinya dari melihat
keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh para shahabat, sehingga dengan berani
dan lancangnya Sayyid mencerca dan mencela mereka. Di antara cercaan Sayyid
kepada para shahabat Rasulullah n, sebagaimana yang dapat kami sebutkan berikut
ini:
1. Ia menjelekkan shahabat yang mulia, menantu Rasulullah n yang digelari Dzun Nuraini (karena pernah mempersunting dua putri beliau n) Amirul Mukminin ‘Utsman z, dengan tidak menganggap masa kekhilafahannya. Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk: “Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakar dan ‘Umar c, -pen.) dan sesungguhnya masa ‘Utsman merupakan celah di antara keduanya.” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah, hal. 206)
1. Ia menjelekkan shahabat yang mulia, menantu Rasulullah n yang digelari Dzun Nuraini (karena pernah mempersunting dua putri beliau n) Amirul Mukminin ‘Utsman z, dengan tidak menganggap masa kekhilafahannya. Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk: “Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakar dan ‘Umar c, -pen.) dan sesungguhnya masa ‘Utsman merupakan celah di antara keduanya.” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah, hal. 206)
Ia menuduh bahwa gambaran tentang hakikat hukum
Islam mengalami perubahan pada masa pemerintah ‘Utsman. Ia berkata: “Sungguh
termasuk aspek yang buruk, ‘Utsman menemui masa khilafahnya dalam keadaan ia
telah tua renta, lemah semangatnya untuk meneguhkan Islam dan lemah keinginannya
untuk menyumbat makar Marwan dan makar Umayyah yang datang dari belakangnya.” (hal.
186)
Dituduhnya pula ‘Utsman dengan tuduhan dusta
bahwa beliau tidak baik pengaturannya dalam masalah harta kaum muslimin,
mengutamakan keluarganya untuk memimpin manusia dengan pernyataannya: “Utsman
rahimahullah memahami bahwa keberadaannya sebagai imam menganugerahkannya
kebebasan dalam mengatur harta kaum muslimin, ia bebas memberi dan
menghadiahkan. Sehingga di kebanyakan kesempatan ia memberikan harta tersebut
kepada orang yang dijadikannya sebagai pimpinan dalam perpolitikan. Bila tidak
demikian, maka dalam perkara apa engkau menjadi imam/ pimpinan? Sebagaimana
‘Utsman dianugerahi kebebasan untuk membawa Bani Mu’ith dan Bani Umayyah dari
kalangan kerabatnya untuk memimpin manusia, dan di kalangan keluarganya ini ada
Al-Hakam (ibnul ‘Ash) yang pernah diusir oleh Rasulullah. Hal itu
semata-mata dilakukannya karena ia menganggap bahwa termasuk kewajibannya adalah
memuliakan keluarganya, berbuat baik pada mereka dan menjaga/ memperhatikan
mereka.” (hal. 186)
Sebagaimana ia menuduh ‘Utsman telah menyimpang
dari ruh Islam dengan pernyataannya: “Sungguh para shahabat (ketika itu)
memandang bahwa (apa yang terjadi di masa ‘Utsman) merupakan penyimpangan dari
ruh Islam, maka mereka pun saling memanggil kembali ke Madinah untuk
menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah (yakni ‘Utsman z,,,, pen) dari
ujian. Sementara khalifah dalam ketuaan dan kerentaannya tidak dapat menguasai
perkaranya dari Marwan. Sungguh termasuk perkara yang sulit bagi kita untuk
menjelekkan ruh Islam pada diri ‘Utsman, namun termasuk perkara yang sulit juga
bagi kita untuk memaafkannya dari kesalahan, yang kesalahannya ini bertemu
dengan kejelekan dalam kepemimpinan khilafahnya, sementara dia adalah orang tua
yang tidak berdaya yang diliputi oleh keburukan Umayyah.” (hal. 187)5
Bahkan Sayyid Quthb ini memuji pemberontakan
yang dilakukan terhadap Khalifah ‘Utsman dengan menyatakan: “Pada akhirnya
meletuslah pemberontakan terhadap ‘Utsman. Tercampurlah dalam pemberontakan itu
Al-Haq dengan Al-Bathil, kebaikan dengan kejelekan. Namun orang yang melihat
perkara dengan mata Islam dan merasakan perkara dengan ruh Islam, mau tidak mau
akan menetapkan bahwa pemberontakan itu dalam keumumannya lebih dekat kepada ruh
Islam dan mengarah pada ruh Islam daripada tindakan ‘Utsman, atau lebih lembut
dan halus daripada tindakan Marwan dan Bani Umayyah yang ada di belakangnya.”
(hal. 189)6
2. Orang ini tidak berhenti sampai di situ, ia
juga mencela para shahabat Muhajirin dan Anshar dari kalangan Ahli Badr,
Bai’atur Ridhwan dan ahlu syura. Ia berkata: “Sungguh termasuk perkara yang
sudah menjadi kodrat bahwasanya orang-orang yang mencari manfaat ini tidaklah
ridha terhadap ‘Ali z dan mereka tidak rela dengan syariat persamaan hak (yang
ia maksudkan adalah kaum Muhajirin, -pen.) Demikian pula orang-orang yang
melanggar keutamaan dan menginginkan monopoli (yang dimaksudkannya adalah kaum
Anshar, –pen.). Mereka ini pun pada akhirnya bergabung dengan kelompok yang
lain, kelompok Umayyah, di mana di dalamnya mereka bisa mencari muka untuk
memenuhi ambisi mereka.” (hal. 193).
3. Ia menukil berita dusta dan mengada-ada yang
disandarkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah kepada para shahabat Rasulullah n.
Sayyid berkata: “Cukuplah bagi kami untuk menampilkan contoh kemewahan yang
sangat yang dibawakan oleh Al-Mas’udi7 (seorang Syi’ah yang hasad kepada para
shahabat Rasulullah n,, pen). Al-Mas’udi berkata: “Pada masa ‘Utsman, para
shahabat mengumpulkan sawah ladang dan harta. ‘Utsman pada hari terbunuhnya,
didapatkan dalam simpanan hartanya ada sekitar 150 ribu dinar dan ribuan dirham.
Sementara nilai sawah ladangnya yang ada di Wadi Al-Qura, Hunain dan selainnya
sekitar 100 ribu dinar. Dia juga meninggalkan unta dan kuda yang banyak. Adapun
Az-Zubair, harta peninggalannya setelah wafatnya mencapai harga 50 ribu dinar
dan ia meninggalkan 1.000 ekor kuda dan 1.000 budak perempuan. Adapun Thalhah
maka hasil buminya dari negeri Iraq mencapai 1.000 dinar setiap hari dan dari
Nahiyatus Sarah lebih banyak lagi. Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf di tempat
pertambatannya ada 1.000 ekor kuda, ia juga punya 1.000 ekor unta, 10 ribu ekor
kambing, dan seperempat dari peninggalan hartanya setelah wafatnya mencapai 84
ribu. Lain lagi Zaid bin Tsabit, ia meninggalkan emas dan perak yang bisa
memecahkan kapak-kapak. Di samping itu ia juga meninggalkan harta yang lain dan
sawah ladang. Az-Zubair membangun rumahnya di Bashrah, juga di Mesir, Kufah dan
Iskandariyah. Thalhah juga demikian, ia membangun rumahnya di Kufah dan
memperindah rumahnya di Madinah dengan membangunnya dengan kapur, batu bata dan
pohon jati. Sa’d bin Abi Waqqash membangun rumahnya di ‘Aqiq, meninggikan atap/tiangnya
dan meluaskan halamannya…” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah hal. 209-210) dan
seterusnya dari ucapan Syi’i yang penuh kedustaan.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Orang
yang memikirkan dengan mendetail tindakan-tindakan Sayyid Quthub dan tata
caranya serta mengetahui madzhabnya niscaya akan tahu bahwa Sayyid Quthub ini
seorang pencela, sehingga ‘Umar z pun akan terkena celaannya, karena sepanjang
hidupnya ‘Umar melebihkan (sebagian muslimin) dalam pemberian. Melebihkan satu
dari yang lain yang dijalankan oleh ‘Umar ini, merupakan kezaliman dalam
pandangan Sayyid Quthub. Hanya saja ia meninggalkan cercaan kepada ‘Umar sebagai
penyamaran dari satu sisi dan agar bisa menjalankan doktrin sosialis pada sisi
yang lain. Orang yang memikirkan dengan teliti dan memahami ucapan Sayyid Quthub
akan tahu bahwa ia mengharuskan pemerintah/ penguasa untuk merampas/ mengambil
dengan paksa harta-harta umat dan membaginya dengan cara sosialis-marxis.”8
4. Ia mencela Mu’awiyah dan ‘Amr ibnul ‘Ash c,
dan bersikap ghuluw terhadap ‘Ali z. Ia berkata dalam kitabnya Kutub wa
Syakhshiyyat (hal. 242-243): “Mu’awiyah dan temannya yang bernama ‘Amr tidaklah
mengalahkan ‘Ali dikarenakan keduanya lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh
jiwa-jiwa manusia dan lebih memahami untuk bertindak dengan tindakan yang
bermanfaat yang sesuai sikon daripada ‘Ali. Akan tetapi mereka berdua bisa
memerangi dan mengalahkan ‘Ali dikarenakan bebasnya mereka menggunakan setiap
kotoran dan makar, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam memilih
sarana-sarana bergumul. Tatkala Mu’awiyah dan temannya ini cenderung kepada
dusta, tipu daya, nifaq, sogok menyogok dan jual beli hak/ kehormatan, ‘Ali pun
tidak dapat turun mengikuti mereka ke derajat yang paling rendah ini. Maka
tidaklah heran keduanya sukses sedangkan ‘Ali gagal, namun kegagalan itu lebih
mulia dari seluruh kesuksesan.”9
Masih banyak lagi cercaan, tuduhan dan dugaan
jelek yang dilemparkan Sayyid Quthub terhadap para shahabat Rasulullah n. Namun
pemaparan di atas cukuplah sebagai gambaran bagi kaum muslimin akan kejahatan
Sayyid Quthub terhadap para shahabat .
Asy-Syaikh Rabi‘ hafizhahullah berkata:
“Demikianlah Sayyid Quthub mengarahkan cercaan yang zalim dan tuduhan yang penuh
dosa kepada para shahabat tanpa hujjah, bukti, petunjuk dan ilmu serta tanpa
sumber terpercaya kecuali sekedar khayalannya yang tumbuh dari aqidah
sosialisnya yang ghuluw dan kecuali dari racun-racun yang diminumnya sampai puas
dari sumber-sumber Rafidhah dan pengajaran-pengajaran orang-orang sosialis.” (Adhwa’u
Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min
‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah )
Dan tentunya akan lebih adil kalau kita juga melihat bagaimana aqidah Sayyid dan pemikirannya, agar menjadi jelas bagi kita siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para shahabat mulia yang dicercanya?
Dan tentunya akan lebih adil kalau kita juga melihat bagaimana aqidah Sayyid dan pemikirannya, agar menjadi jelas bagi kita siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para shahabat mulia yang dicercanya?
1. Aqidah wihdatul wujud dan hululiyyah Dalam
kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur`an (6/4003-4004) tentang tafsir surat Al-Ikhlas,
ia berkata: “Sesungguhnya alam ini adalah kesatuan wujud. Tidak ada di sana
hakikat kecuali hakikat-Nya. Dan tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali
wujud-Nya. Maka seluruh wujud yang lain hanyalah bersandar wujudnya kepada Wujud
yang hakiki itu.” Ucapannya ini, jelas sekali menunjukkan pemahaman wihdatul
wujud.
Demikian pula ucapannya: “Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia itu merasakan penderitaan dalam menjalani kenyataan hidup, namun bersamaan dengan itu mereka mestinya merasakan bahwasanya tidak ada hakikat kecuali Allah dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela aqidah Nirwana10 yang dianut oleh pemeluk Hindu Budha.11
Demikian pula ucapannya: “Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia itu merasakan penderitaan dalam menjalani kenyataan hidup, namun bersamaan dengan itu mereka mestinya merasakan bahwasanya tidak ada hakikat kecuali Allah dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela aqidah Nirwana10 yang dianut oleh pemeluk Hindu Budha.11
2. Meremehkan dakwah para rasul yang hanya
berpusat pada larangan beribadah kepada berhala (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114),
sementara ia sendiri tidak mengingkari kesyirikan yang dilakukan di
kuburan-kuburan12.
3. Menolak sifat-sifat Allah I sebagaimana kelompok bid‘ah Jahmiyyah, seperti ketika ia menolak sifat istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya di saat menafsirkan surat Yunus ayat 1 (Fi Zhilalil Qur`an, 3/1762-1763). Ia menganggap sifat-sifat Allah itu hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya.13
3. Menolak sifat-sifat Allah I sebagaimana kelompok bid‘ah Jahmiyyah, seperti ketika ia menolak sifat istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya di saat menafsirkan surat Yunus ayat 1 (Fi Zhilalil Qur`an, 3/1762-1763). Ia menganggap sifat-sifat Allah itu hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya.13
4. Menganggap Al Qur`an itu bukan kalamullah
tetapi makhluk, dalam Fi Zhilalil Qur`an (5/2715): “Akan tetapi mereka tidak
kuasa untuk menyusun satu surat pun yang semisal kitab Al Qur`an ini karena
kitab ini adalah buatan Allah bukan buatan manusia.”14
5. Mencela Nabiyullah Musa u dalam kitabnya
At-Tashwirul Fanni fil Qur`an (hal. 200-204) bahwa Nabi Musa adalah seorang
pemimpin yang membela ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatik golongan/suku), seorang
yang emosional tidak sabaran, tidak memiliki ketenangan. Ia berjanji tidak akan
menjadi penolong orang-orang yang berbuat dosa, namun perbuatannya menyelisihi
janjinya dengan membantu seseorang dari kaumnya yang berkelahi dengan seseorang
dari kaum Fir’aun, ia meminta kepada Allah dengan permintaan yang tidak
pantas.15
6. Seorang sufi yang ghuluw dan berbahaya dengan pernyataannya: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, (aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu dan bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu”, dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an.
6. Seorang sufi yang ghuluw dan berbahaya dengan pernyataannya: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, (aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu dan bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu”, dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an.
Pemikiran seperti ini disebutkan oleh sebagian
Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pemikiran seorang zindiq.16
Dan masih banyak lagi model penyimpangan orang ini, namun beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub. Namun ternyata dengan kebobrokan dan borok menjijikkan yang ada padanya, tidaklah membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para shahabat yang mulia.
Dan masih banyak lagi model penyimpangan orang ini, namun beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub. Namun ternyata dengan kebobrokan dan borok menjijikkan yang ada padanya, tidaklah membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para shahabat yang mulia.
Mungkin sekelompok manusia akan menyalahkan kita,
karena kita menjelekkan Sayyid Quthub pencela shahabat Nabi . Sementara katanya,
dia adalah seorang yang punya banyak jasa terhadap Islam, dia gugur sebagai
syahid, dia begini, dia begitu dan seterusnya dari sederet pujian untuk si
Sayyid. Lalu orang itu memberikan pembelaan terhadap Sayyid Quthub karena
ghirahnya terhadap tokoh nyeleneh dan bebal17 ini. Maka kita katakan kepadanya
sebagaimana ucapan Asy-Syaikh Rabi’18 hafizhahullah: “Wahai sekalian muslimin,
di mana ghirah kalian terhadap aqidah Islamiyyah (yang dirusak oleh orang
seperti Sayyid Quthub)? Di mana ghirah kalian terhadap tokoh-tokoh umat ini (para
shahabat Rasulullah n yang dicela oleh Sayyid Quthub)? Di mana sikap kalian bila
dibandingkan dengan sikap salaful ummah terhadap orang yang mencela shahabat
Rasulullah n? Dan sampai kapan kalian sabar menanggung kezaliman, kelaliman dan
penganiayaan ini?”
Wallahul musta’an.
Wallahul musta’an.
1 Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan
kata Al-Fathu di sini. Mayoritas ulama menafsirkan dengan pembukaan kota Makkah.
Adapun Asy-Sya’bi dan yang lain menafsirkan dengan
Perjanjian Hudaibiyah.
2 Para shahabat itu memang berbeda-beda derajat,
keutamaan dan kemuliaannya, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq lebih utama dari
shahabat-shahabat yang lain, kemudian setelahnya para Al-Khulafa` Ar-Rasyidun
yang lain, dan seterusnya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah beserta syarahnya, hal.
167-169)
3 Ta‘zir adalah hukuman yang tidak dapat
dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya
pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan
dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya
secara umum. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/254)
4 Mendiamkan, tidak memberikan pendapat
5 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
pasal ke-14 Ramyu ‘Utsman bil inhiraf ‘an ruhil Islam
6 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
pasal ke-15 Sayyid Quthb yara anna ats-tsaurah al-lati qadaha Ibnu Saba` Al-Yahudi
aqrabu ila ruhil islam min ‘Utsman bin ‘Affan.
7 Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Bila
pembaca merujuk pada kitab Al-Mas‘udi niscaya akan mengetahui bahwa Al-Mas‘udi
membawakan kedustaan ini untuk mencela shahabat-shahabat besar tersebut.” (Adhwa`
Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min
Utsman wa mu‘dhamis shahabah
8 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa
Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
9 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa
Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
10 Nirwana maknanya selamat, yakni selamatnya
ruh yang terus menerus mengalami perbaikan di tengah peredaran dan perputarannya
dalam menitis ke tubuh-tubuh manusia. Ketika telah selamat, ruh ini tidak butuh
lagi untuk menitis karena ia telah selamat dari perjalanan tersebut dan telah
menyatu dengan Sang Pencipta. Ia telah meninggalkan jasad di alam materi dan
masuk ke alam yang kekal abadi. Derajat Nirwana atau tercapainya keselamatan itu
merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan bagi penganut Hindu dan Budha.
11 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb
wa Fikrihi, pasal ke-9 Qaul Sayyid Quthub bi ‘aqidah wihdatul wujud wal hulul
wal jabr, karya Asy-Syaikh Rabi‘ Al-Madkhali, Al-’Awashim Mimma fi Kutub Sayyid
Quthb minal Qawashim pasal ke-5, karya Asy-Syaikh Rabi’ dan makalah Asy-Syaikh
Rabi’ berjudul: Qaul Sayyid Quthb bi ‘Aqidah Wihdatul Wujud wal Hulul wal Jabr
wa Difa‘uhu ‘an-Aqidah An-Nirfana Al-Hindukiyyah Al-Budziyyah
12 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb
wa Fikrihi, pasal ke-6 Asy-syirku wa ‘ibadatul awtsan ‘inda Sayyid waman sara
nahjihii
13 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb
wa Fikrihi pasal ke-10 Ghuluw Sayyid fi ta‘thil sifatillah kama huwa sya’nu
Jahmiyyah dan Makalah Asy-Syaikh Rabi‘ berjudul: Min Ushuli Sayyid Quthub Al-Bathilah
Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafis Shalih
14 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb
wa Fikrihi pasal ke-8 Qaulu Sayyid bi khalqil Qur’an wa anna kalamillahi
‘ibaratun anil iradah
15 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb
wa Fikrihi pasal pertama Adabu Sayyid ma‘a rasulillah dan kalimillah Musa
‘alaihis shalatu wa sallam
16 Makalah Syaikh Rabi‘: Min Ushuli Sayyid Quthb
Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafish Shalih
17 Dikatakan demikian karena telah dinasehati
oleh Asy-Syaikh Mahmud Syakir agar tidak mencela shahabat, namun Sayyid malah
membenarkan perbuatannya mencela shahabat. (Muqaddimah cetakan kedua kitab
Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah)
18 Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha‘in
Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
Sumber dari :
http://www.salafy.or.id
Diambil dari:
asysyariah.com
Di sebarkan oleh :
Blog Al Islam
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Label:
akhlaq dan nasehat,
index
FATWA ULAMA MELURUSKAN KATA "SAYYIDINA"
FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH www.soaldanjawab.wordpress.com MELURUSKAN KATA "SAYYIDINA" Soal: Apakah bersholawat denga...