?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Malu adalah Identitas Muslim
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah,
sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW
bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu
ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut
dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran.
Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang
berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar
malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu
tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah
antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana
nafsu lebih mendominasi tanpa akal.
Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi.
Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya.
Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.
Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita.
Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis
di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan
tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan
penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.
Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan
agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa
yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan
sebaliknya tontonan menjadi tuntunan.
Penting untuk dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci
Allah SWT bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan
kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya
seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya
malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang
manusiapun yang mengetahui perbuatannya.
Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memilika rasa malu yang kuat, sehingga
rasa malu itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali
bisikan-bisikan buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada
Allah untuk berbuat yang semacam ini.”
Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik
oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak
berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya
diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.
Seorang siswa yang
tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah malu dalam bertanya. Kenapa harus
takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang dipelajari? Sebaliknya dia akan
malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek atau memberikan contekan juga.
Seorang Muslim akan
merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang tersuguh dalam bentuk gossip
dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi
yang masih mempuyai rasa malu.
Seorang pejabat merasa
malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan
amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya,
melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.
Seorang wanita merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak
memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang
harus dijaga sesuai aturan yang telah digariskan.
Seorang pengusaha merasa
malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah
berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.
Seorang penguasa merasa
malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang
dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT
bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil
dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam akherat tidak tersisa bab sekecil
apapun.
Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat
kecil maka bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih
besar.
Satu lagi, kalau malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan
melahirkan manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia
akan bersikap baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak
manusia, dia akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta
melakukan kejahatan kejam lainnya.
Rasa malu merupakan identitas bagi setiap Muslim.
Dari Zaid bin Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah
SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah
malu”. [HR Malik, di dalam Muwaththa' : 905]
Artinya, rasa malu merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap
Muslim.
Begitu hilang rasa malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang
Muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun tersembunyi.
Makanya, sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya
rasa malu.
Dari Abu Mas’ud, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa
yang didapati orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu
sudah tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]
Betul! Silahkan berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan
bersiaplah untuk menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita
jaga dan budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI
dalam memperjuangkan kebenaran.
Sumber : R,Chan
Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Terima kasih.....
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar