Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label fatwa ulama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fatwa ulama. Tampilkan semua postingan

Menjawab Tuduhan-Tuduhan Dusta Terhadap Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab

Written By sumatrars on Senin, 21 Juli 2014 | Juli 21, 2014

Labels :Aqidah, Fawa Ulama

Oleh Ustadz Firanda Andirja, MA

Membela harkat dan martabat sesama Muslim merupakan ibadah ysng sangat mulia. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa membela kehormatan saudaranya maka Allah akan membela wajahnya dari api neraka pada hari Kiamat.[1]

Terlebih lagi jika yang dibela adalah harkat dan martabat Ulama yang memiliki jasa sangat besar bagi kaum Muslimin sekelas Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab, seorang tokoh dan pejuang dakwah yang bermadzhab Hanbali. Berkat jasa beliau maka berdirilah Kerajaan Arab Saudi yang aman dan tenang, dan merupakan satu-satunya negara yang menerapkan hukum dan syariat Islam.

Dan sejak dahulu hingga saat ini banyak dusta yang disebarluaskan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ini. Orang-orang yang berakal sehat, tentu, tatkala membaca dusta-dusta itu bakal mempertanyakan kebenarannya, karena tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sangat tidak mendasar dan penuh kedustaan.

Berikut diantara tuduhan-tudahan yang diarahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab. Semoga menjadi pencerahan bagi kita dan para penentang-penentangnya.

Pertama: Kaum Wahhabi Dituduh Sebagai Khawarij?

Tahukah Anda, siapakah Khawarij itu? Khawarij adalah suatu sekte sesat yang menggambarkan momok haus darah, hobi menumpahkan darah kaum Muslimin. Apakah hakikat sekte sesat ini? Sehingga, apakah benar kaum Salafi Wahhabi adalah Khawarij yang haus darah kaum Muslimin?

Para Ulama yang menulis khusus tentang firqah-firqah Islam telah menyebutkan secara spesifik tentang aqidah Khawarij.

Abul-Hasan al-Asy’ari (wafat 330 H) berkata tentang perkara yang mengumpulkan kelompok-kelompok Khawarij :

Kelompok-kelompok Khawarij bersepakat dalam hal pengkafiran Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu karena beliau menyerahkan hukum[2] dan mereka (kelompok-kelompok Khawarij) berselisih, apakah kekufurannya tersebut merupakan kesyirikan ataukah bukan?

Mereka bersepakat bahwa seluruh dosa besar merupakan kekufuran, kecuali kelompok an-Najdat[3] karena kelompok an-Najdat tidak mengatakan demikian.

Mereka bersepakat bahwasanya Allah Ta’ala mengadzab para pelaku dosa besar yang abadi, kecuali kelompok an-Najdat, para pengikut Najdah (bin ‘Amir).[4]

Abdul-Qahir al-Baghdadi (wafat 429 H) berkata: Para Ulama telah berselisih tentang perkara apakah yang mengumpulkan (disepakati) oleh kelompok-kelompok Khawarij yang beragam sekte-sektenya.

Al-Ka’bi dalam kitab Maqalat-nya menyebutkan bahwa yang mengumpulkan seluruh sekte-sekte Khawarij adalah mengkafirkan Ali Radhiyallahu anhu, Utsman Radhiyallahu anhu, dan dua hakim, para peserta perang Jamal, dan seluruh yang ridha dengan penyerahan hukum kepada dua hakim, dan juga pengkafiran karena pelanggaran dosa, dan wajibnya khuruj (memberontak) kepada pemimpin yang zhalim.

Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari berkata, “Yang menyebabkan mereka berkumpul adalah pengkafiran (terhadap) Ali, Utsman, para peserta perang Jamal, dan hakim, dan siapa saja yang ridha terhadap penyerahan hukum kepada dua hakim, atau membenarkan kedua hakim tersebut, atau salah satu dari keduanya, dan memberontak kepada penguasa yang zhalim”.

Yang benar adalah yang disebutkan oleh Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari dari mereka (Khawarij). Al-Ka’bi telah keliru tatkala menyebutkan bahwa Khawarij bersepakat tentang kafirnya pelaku dosa, karena sekte Khawarij an-Najdat tidak mengkafikan orang-orang yang melakukan dosa dari orang-orang yang sepakat dengan mereka.[5]

Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata,”Barangsiapa yang sepakat dengan Khawarij dalam hal mengingkari penyerahan hukum (kepada dua hakim), dan mengkafirkan para pelaku dosa besar, serta pendapat (boleh) memberontak kepada para penguasa yang zhalim, dan para pelaku dosa besar kekal di neraka, para penguasa boleh saja dari selain Quraisy, maka dia adalah Khawarij, meskipun ia menyelisihi Khawarij pada perkara-perkara yang lain yang diperselisihkan oleh kaum Muslimin. Dan jika ia menyelisihi mereka pada perkara-perkara yang kami sebutkan, maka ia bukanlah Khawarij”[6].

Asy-Syahristani (wafat 548 H) berkata, “Barang siapa yang memberontak kepada penguasa yang sah yang telah disepakati oleh jama’ah maka (ia) dinamakan khariji, sama saja apakah bentuk pemberontakan tersebut pada zaman para Sahabat, yaitu memberontak kepada para Khulafaur-Rasyidin, atau pemberontakan terjadi setelah itu, yaitu memberontak kepada para tabi’in yang mengikuti para Sahabat dengan baik, dan juga memberontak kepada para penguasa di sepanjang zaman …. dan Wa’idiyah termasuk dalam Khawarij; dan merekalah yang menyatakan kafirnya pelaku dosa besar dan kekal di neraka”.[7]

Dari penjelasan para ulama ahli sekte-sekte Khawarij di atas, maka dapat diketahui ada beberapa aqidah yang khusus dan merupakan ciri khas sekte-sekte Khawarij yang disepakati oleh seluruh sekte-sekte Khawarij. Aqidah-aqidah tersebut adalah: Pertama, mengkafirkan Ali dan dua hakim, yaitu Abu Musa al-‘Asy’ari dan ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu an huma. Kedua, mengkafirkan para pelaku dosa besar, kecuali sekte an-Najdat yang tidak berpendapat demikian. Ketiga, mewajibkan memberontak kepada penguasa yang zhalim.

Inilah aqidah khusus yang disepakati oleh seluruh sekte Khawarij. Tiga aqidah inilah yang telah dilakukan oleh Khawarij yang muncul pertama kali pada zaman Ali bin Abi Thalib, (1) mereka telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib serta sebagian sahabat, dan (2) sebab mereka mengkafirkan karena mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah terjerumus dalam dosa besar yaitu berhukum kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (karena Ali menyerahkan hukum kepada dua hakim), dan barang siapa yang terjerumus dalam dosa besar menjadi kafir menurut mereka, (3) sehingga jadilah mereka memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah bahwasanya barangsiapa memiliki aqidah ini (sepakat dengan Khawarij dalam aqidah ini) meskipun ia menyelisihi Khawarij dalam hal-hal yang lain maka ia adalah (tetaplah sebagai) seorang Khawarij. Adapun jika ia menyelisihi aqidah-aqidah khusus Khawarij ini, maka ia bukanlah Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm di atas.

Dengan meninjau kesimpulan di atas, maka marilah kita renungkan tentang kelompok Salafi Wahhabi, apakah mereka beraqidah sebagaimana aqidah sekte Khawarij?

Apakah mereka yang disebut Salafi Wahhabi mengkafirkan Ali, Mu’awiyyah, Aisyah, ‘Amr bin al-‘Ash, dan para Sahabat yang ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin? Ataukah mereka yang justru menjunjung tinggi para Sahabat tersebut, dan membela mereka habis-habisan, terutama Sahabat Mu’awiyyah dan Ummul-Mukminin Aisyah yang telah dikafirkan oleh kaum sekte sesat Syi’ah?

Apakah kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan seorang Muslim hanya dikarenakan satu dosa besar yang dilakukan olehnya? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang getol membantah pemahaman takfiriyin yang hobi mengkafirkan pemerintah? Apakah pernah didapati kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan orang yang berzina, mencuri, atau membunuh orang lain? Kalaupun kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan, maka yang mereka kafirkan adalah orang yang dinyatakan kafir oleh al-Qur’an dan Sunnah, dan itu pun setelah ditegakkan hujjah dan penjelasan kepadanya.

Apakah kaum Salafi Wahhabi menyerukan untuk memberontak keada pemerintah? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang senantiasa menyeru untuk taat kepada pemerintah? Barangsiapa yang mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh para da’i Salafi, maka ia akan memahami bahwasanya kaum Salafi sangat memerangi sikap oposisi kepada pemerintah.

Kedua, Kaum Wahhabi Di tuduh Telah Mengkafirkan Kaum Muslimin
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab dituduh mengkafirkan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengikutinya.

Ini merupakan tuduhan dusta yang telah beliau bantah dalam tulisan-tulisannya. Sebagai bukti nyata, Kerajaan Arab Saudi yang meneruskan dakwah beliau ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang berjuta-juta datang setiap tahunnya. Jika para jama’ah haji dianggap kafir dan musyrik, tentu mereka adalah najis dan tidak boleh menginjak tanah Haram di Mekkah. Bahkan kenyataannya Kerajaan Arab Saudi justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama’ah haji. Kaum Wahhabi adalah kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.

Syaikh Abdul-Lathif bin Abdirrahman Alu Syaikh berkata:

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab termasuk orang yang paling menjaga dan menahan diri menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan penghuni kubur atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya adanya orang yang mengingatkannya”.[8]

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata:

Permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf (dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan kekafiran, maka dikatakan: ‘Barangsiapa yang mengatakan perkataan ini maka ia kafir’, akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka tidak duhukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang menjadi kafir karena meninggalkan hujjah tersebut”.[9]

Beliau juga berkata: “Adalah kedustaan, seperti perkataan mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijrah kepada kami, kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang; dan kedustaan seperti ini banyak dan dilakukan secara terus-menerus. Semua ini adalah kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya.

Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada pada Abdul-Qadir, dan berhala yang ada di kuburan Ahmad al-Baidawi dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak berhijrah kepada kami, atau tidak mengkafirkan, dan tidak berperang? Maka suci Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan kedustaan besar”.[10]

Beliau juga berkata: “Adapun takfir (pengkafiran), maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasulullah, kemudian setelah ia mengetahui agam Rasul (tetapi) lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul; maka orang inilah yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –al-hamdulillah- tidak seperti ini”.[11]

Berikut Keyakinan Kaum Wahhabi Tentang Takfir (Pengkafiran).

Pertama, Kaum Salafi Wahhabi memandang bahwa takfir (pengkafiran) merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu pengkafiran harus dibangun berdasarkan dalil syar’i.

Kedua, Kaum Salafi Wahhabi hanya mengkafirkan dengan perkara-perkara yang merupakan Ijma’ ulama.

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata saat beliau ditanya:

Atas (landasan) apa ia berperang? Alpa yang menyebabkan seseorang dikafirkan?”, maka beliau menjawab:

Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan/tidak melaksanakannya karena lalai, maka kami –meskipun kmi memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang menginggalkan keempat rukun karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasan kepadanya jika ia telah tahu dan tetap mengingkari”.[12]

Ketiga, Kaum Salafi Wahhabi memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlaq, seperti halnya perkataan para ulama “barang siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk maka ia kafir”, akan tetapi tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Qur’an makhluk lantas kita kafirkan.

Keempat, Kaum Salafi Wahhabi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan, baru masuk Islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dan lain-lain).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

Tidak seorang pun boleh mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin meskipun ia keliru atau bersalah hingga ditegakkan hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara yakin Islamnya tegak maka tidaklah Islam tersebut hilang darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat”.[13]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:

Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena penerapan vonis tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya halangan-halangan”.[14]

Ketiga, Kaum Wahhabi Dituduh Memiliki Aqidah Tajsim Dan Tasybih
Tajsim dan tasybih yang merupakan kekufuran adalah jika kita mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan kita, wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti wajah kita, penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti ilmu kita dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kekuatan kita.[15]

Imam at-Tirmidzi rahimahullah dengan menukil perkataan Imam Ishaq bin Rahuyah, beliau berkata: Ishaq bin Ibrahim berkata: Hanyalah merupakan tasybih jika ia berkata ‘tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan (manusia) atau pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran (manusia)’. Jika ia berkata ‘pendengaran (Allah Subhanahu wa Ta’ala) seperti pendengaran (makhluk)’,maka inilah tasybih.

Adapun jika ia berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Tangan, pendengaran, dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ia tidak mengatakan bagaimananya serta tidak mengatakan bahwasanya pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran (makhluk), maka hal ini bukanlah tasybih. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.[16]

Al-Imam Ahmad berkata,”Barangsiapa yang berkata ‘Penglihatan Allah seperti penglihatanku dan tangan Allah seperti tanganku, serta kaki Allah seperti kakiku’, maka ia telah mentasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya”.[17]

Karenanya menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat ilmu, qudrah, penglihatan, pendengaran, berbicara akan tetapi tidak sama dengan ilmu manusia, qudrah manusia, penglihatan dan pembicaraan manusia; maka demikian ini bukan tasybih atau tajsim, bahkan ini adalah tauhid kepada Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi sifat-sifat tersebut maha tinggi dan tidak akan sama dengan sifat-sifat makhluk.

Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. [asy-Syura/42:11].

Perhatikanlah dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, sehingga penglihatan dan pendengaran Allah tidak seperti penglihatan dan pendengaran manusia atau makhluk.

Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tentang sifat-sifat Allah dibangun di atas mensifati Allah sesuai dengan apa yang Allah sifatkan tentang diri-Nya dalam al-Qur’an atau melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya tanpa adanya (1) tahrif dan (2) ta’thil serta tanpa (3) takyif dan (4) tamtsil.[18]

Secara bahasa, tahrif adalah merubah atau mengganti,[19] dan secara terminologi, tahrif –yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah- adalah merubah lafal-lafal nash yang berkaitan dengan sifat Allah atau merubah makna dari lafal-lafal tersebut.[20] Sedangkan ta’thil, secara terminologi adalah menolak sifat-sifat Allah yang datang dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik menolak sebagian sifat (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Asya’irah dan all-Maturidiyah) ataupun menolak seluruh sifat Allah (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum al-Jahmiyah dan al-Mu’tazilah). Adapun takyif, secara terminologi adalah membagaimanakan sifat-sifat Allah, seperti menyatakan bahwa sifat Allah begini dan begitu tanpa dalil, dan tanpa menyamakan dengan makhluk.[21] Dan tamtsil, secara terminologi adalah mengvisualkan sifat Allah dengan menyamakan sifat Allah seperti sifat makhluk, seperti menyatakan bahwa tangan Allah sama seperti tangan manusia, turunnya Allah sama seperti turunnya manusia, penglihatan Allah seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.[22]

Aqidah inilah yang disepakati oleh para Imam Salaf umat ini. Ibnu Abdil-Bar rahimahullah (salah seorang ulama besar madzhab Maliki, wafat tahun 463 H) telah menukil Ijma’ (konsensus) Ahlus-Sunnah terkait aqidah ini. Beliau rahimahullah berkata dalam kitabnya yang sangat mashur, at-Tamhid Lima fi al-Muwattha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid: “Ahlus-Sunnah Ijma’ (berkonsensus) dalam menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat tersebut. Adapun ahlul-bid’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, demikian juga kaum Khawarij seluruhnya mengingkari sifat-sifat Allah pada makna hakikatnya, dan mereka menyangka bahwasanya barang siapa yang menetapkan sifat-sifat tersebut maka ia adalah musyabbih. Mereka ini di sisi para penetap sifat-sifat Allah adalah para penolak Allah yang disembah. Dan al-haq (kebenaran) pada apa yang dikatakan oleh mereka yang berbicara sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, dan mereka adalah para imam Jama’ah, al-hamdulillah”.[23]

Sebagaimana hal ini juga telah disebutkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan tentang sifat tangan kanan Allah, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanannya, lalu Allah mentarbiyahnya (mengembangkannya) untuk salah seorang dari kalian sebagaimana salah seorang dari kalian mengembangkan kuda kecilnya. Sampai-sampai sesuap makanan sungguh-sungguh menjadi seperti gunung Uhud’”.[24]

Setelah meriwayatkan hadits ini, kemudian at-Tirmidzi berkata:

Telah berkata lebih dari satu dari kalangan ahli ilmu tentang hadits ini dan riwayat-riwayat hadits yang lain tentang sifat-sifat Allah, dan turunnya Allah setiap malam ke langit dunia; mereka berkata, telah tetap riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah dan diimani, tidak dikhayalkan, serta tidak dikatakan bagaimananya sifat-sifat tersebut”.[25]

Demikianlah diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullah bin al-Mubarak, bahwasanya mereka berkata tentang hadits-hadits ini: “Tetapkan hadits-hadits tersebut tanpa menggambarkannya”. Dan demikianlah perkataan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka berkata bahwasanya hal ini adalah tasybih.

Terdapat lebih dari satu tempat dalam al-Qur’an bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang tangan, pendengaran, dan penglihatan. Kaum Jahmiyah mentakwil ayat-ayat ini dan menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsir para ahli ilmu. Jahmiyah berkata:

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya”, dan Jahmiyah berkata,”Makna tangan di sini adalah kekuatan”[26].

Menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana lahiriahnya tanpa mentasybih dengan sifat-sifat makhluk merupakan aqidah para imam empat madzhab.

Imam Abu Hanifah berkata:

Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam al-Qur’an. Apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an berupa penyebutan tentang wajah, tangan, dan jiwa maka itu adalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa menggambarkannya. Dan tidak dikatakan sesungguhnya tangannya adalah qudrah (kemampuan)-Nya atau nikmat-Nya, karena hal ini menolak sifat, dan ini adalah perkataan para penolak taqdir dan kaum Mu’tazilah; akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa membagaimanakannya. Kemarahan-Nya dan keridhaan-Nya adalah dua sifat yang termasuk sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menggambarkannya”.[27]

Imam Malik rahimahullah tatkala ditanya tentang bagaimanakah istiwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka beliau berkata:

Istawa diketahui (maknanya), dan bagaimananya tidak bisa dipikirkan, dan mengimaninya adalah wajib, serta bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”.[28]

Ibnu Qudamah rahimahullah meriwayatkan atsar dari Imam Syafii rahimahullah, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: Yunus bin ‘Abdil-A’la berkata, aku mendengar Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafii, tatkala ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang diimani oleh asy-Syafii, maka asy-Syafii berkata:

Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya; tidak boleh seorang pun dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah tegak hujjah kepadanya untuk menolaknya karena al-Qur’an telah menurunkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, dan telah sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nama-nama dan sifat-sifat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh para perawi yang adil (tsiqah/terpercaya).

Jika seseorang menyelisihinya setelah tetapnya hujjah kepadanya maka ia kafir; adapun sebelum tegaknya hujjah maka ia mendapat udzur karena kejahilan, karena ilmu tentang hal ini (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa diketahui dengan akal, atau dengan pemikiran, dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang jahil (tidak tahu), kecuali setelah sampai kabar tentang hal tersebut kepadnya. Kami menetapkan sifat-sifat ini dan kami menolak tasybih dari sifat-sifat tersebut sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolak tasybih dari diri-Nya.[29]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya, Dzam at-Takwil, halm.20:

Abu Bakr al-Marwazi berkata:

Dan telah mengabarkan kepadaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada mereka, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan ‘sesungguhnya Allah Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia’, dan ‘sesungguhnya Allah Ta’la dilihat’, dan ‘sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal ini”, maka Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasulullah adalah benar jika datang dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan Rasul-Nya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya batasan

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

(tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat).

Orang-orang yang mensifati (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya dari-Nya. Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak melampuinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya karena celaan”.

Demikianlah aqidah empat Imam madzhab Ahlus-Sunnah, bahwasanya mereka menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih, akan tetapi mereka menafikan tasybih dan penyamaan dengan sifat-sifat makhluk. Mereka menetapkan sifat tangan Allah Ta’ala akan tetapi tidak seperti tangan makhluk; demikian pula wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak seperti penglihatan dan pendengaran makhluk.

Meskipun Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka menyerahkan hakikat bagaimana sifat-sifat tersebut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Karena akal dan ilmu manusia tidak akan mampu menangkap bagaimananya hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

Ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya [Thaha/20:110].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

Madzhab Salaf –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka- menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperlakukan sifat-sifat tersebut sebagaimana zhahirnya (lahiriyahnya) dan menafikan bagaimananya hakikat sifat-sifat tersebut. Karena pembiaraan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah cabang dari pembicaraan tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan penetapan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menetapkan adanya wujudnya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan menetapkan bagaimananya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka demikian pula penetapan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah madzhab para Salaf seluruhnya”.[30]

Hal ini berbeda dengan musyabbihah yang menggambarkannya sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk.

Kaum Mu’atthilah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada di antara mereka yang menolak sebagian sifat, seperti kaum Asya’irah dan Maturidiah. Juga ada di antara mereka yang menolak seluruh sifat, seperti kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah.

Mereka menganggap penetapan setiap sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala berkonsekwensi telah mentasybih (menyerupakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluknya. Padahal menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk sama-sama memiliki pendengaran dan penglihatan bukanlah tasybih atau tajsim yang merupakan kekufuran. Hanya saja yang merupakan kekufuran, ialah jika kita menyatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan dan pendengaran manusia –sebagaimana telah lalu penjelasannya. Bahkan hingga Jahmiyah dan Mu’tazilah (yang menolak seluruh sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) menamakan Asya’irah sebagai musyabbihah karena telah menetapkan sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara tuduhan Mu’tazilah (para penolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah menuduh Ahlus-Sunnah sebagai mujassim dan musyabbih. Hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh para Ulama Salaf.

Abu Zur’ah ar-Razi (wafat 264 H) berkata:

“Mu’atthilah (para penolak sifat yang mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla), yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensifati diri-Nya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya, dan mereka (Mu’atthilah) mendustakan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah tentang sifat-sifat, lalu mereka mentakwilnya dengan pemikiran mereka yang terbalik agar sesuai dengan keyakinan mereka yang sesat, lalu mereka menisbahkan para perawi hadits-hadits tersebut kepada tasybih. Maka barang siapa yang menisbahkan orang-orang yang mensifati Rabb mereka –Tabaraka wa Ta’ala- dengan sifat-sifat –yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati dirinya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa tamtsil dan tasybih- kepada tasybih maka ia adalah seorang mu’atthil yang menafikan sifat. Dan mereka (para mu’atthil) diketahui dengan sikap mereka yang menisbahkan para penetap sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tasybih. Demikianlah yang para Ulama katakan, di antaranya Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H) dan Waki’ bin al-Jarah (wafat 197 H)”.[31]

Ishaq bin Rahuyah (wafat 238 H) berkata: “Tanda Jahm (bin Shafwan) dan para sahabatnya –yang gemar berdusta- adalah mereka menuduh Ahlu Sunnah wal-Jama’ah bahwsanya mereka adalah musyabbihah. Bahkan justru merekalah (Jahm dan pengikutnya) adalah mu’atthilah”.[32]

Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi asy-Syafii (wafat 219 H) berkata:

“Apa yang diucapkan oleh al-Qur’an dan hadits, seperti:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ

Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. [al-Ma-idah/5:64].

Dan seperti:

وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. [az-Zumar/39:67].

Dan yang semisal ayat-ayat ini dalam al-Qur’an dan hadits, maka kami tidak menambahkannya dan kami tidak menafsirkannya (dengan takwil-takwil), dan kami berhenti dimana berhenti al-Qur’an dan al-Hadits, dan kami berkata:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(yaitu)Tuhan yang Maha Pemurah, yang ada di atas ‘Arsy. ([Thaha/20:5].

Dan barang siapa yang menyangka selain dari ini maka ia adalah mu’atthil Jahmiah.[33]
Inilah kaum yang telah jauh-jauh diperingatkan oleh para imam kaum Muslimin akan bahaya mereka.

Keempat, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan untuk bershalawat. Salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi kaum Wahhabi, yaitu Imam Ibnul-Qayyim (murid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjudul

جَلاَءُ الأَفْهَامِ فِي فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلَى خَيْرِ الأَنَامِ

Adapun yang dilarang adalah shalawat-shalawat bid’ah yang berisi makna-makna menyimpang. Seperti halnya shalawat Fatih yang dipopulerkan Thariqah at-Tijaniyah –yang menurut anggapan mereka- keutamaan membaca shalawat ini sekali saja seperti mengkhatamkan al-Qur’an 6000 kali.

Kelima, Kaum Wahhabi Dituduh Membenci Ahlul-Bait (Keluarga Nabi)
Tuduhan ini merupakan kedustaan –karena- bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab telah memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama Ahlul-Bait. Diantara nama anak beliau adalah Hasan, Husain, Ali, Ibrahim, Abdullah, Abdulaziz, Fathimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci, akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.

Keenam, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Ziarah Kubur
Ini juga merupakan tuduhan dusta, malah justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan ziarah kubur yang merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur yang di dalamnya terdapat praktek (amaliyah) perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti meminta atau beristighatsah kepada mayat penghuni kubur, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketujuh, Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab Dituduh Mengaku Sebagai Nabi
Ini merupakan kedustaan yang amat kelewat batas dan pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau. Subhanallah, sedemikian keji Dahlan menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab mengaku sebagai seorang nabi. Padahal, sungguh terlalu banyak perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab yang tegas menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, penutup para Nabi.

Di antara perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ialah:

Manusia mengetahui bahwasanya tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan kita begitu saja, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul kepada kita. Rasul yang pertama adalah Nuh, dan yang terakhir adalah Muhammad ‘alihimus-sallam. Dari para rasul tersebut kita memperoleh Rasul yang terakhir dan yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita adalah umat yang terakhir”.[34]

Syaikh juga berkata:

Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihis-Sallam, dan yang terakhir adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia adalah penutup para Nabi, tidak ada lagi Nabi setelahnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Bukanlah Muhammad adalah ayah salah seorang dari kalian akan tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi.”[35]

Syaikh juga mengkafirkan orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula yang membenarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dihukumi kafir oleh Syaikh. Beliau berkata:

Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia telah kafir setelah Islamnya… atau mengaku sebagai nabi, atau membenarkan orang yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[36]

Beliau juga berkata:

Mereka, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah –padahal Banu Hanifah telah masuk Islam pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mereka bersaksi bahwsanya tidak sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala dan bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasulullah, mereka mengumandangkan adzan dan mereka shalat”.

Jika ada yang berkata:

Akan tetapi Bani Hanifah (dikafirkan dan diperangi, karena) mereka mengatakan bahwa Musailamah adalah nabi”, maka katakanlah: “Inilah yang dimaksud, jika seseorang yang mengangkat seseorang hingga derajat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(maka ia) menjadi kafir, halal darah dan hartanya, serta tidak bermanfaat dua kalimat syahadatnya dan juga shalatnya, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengangkat Samson, atau Yusuf, atau sahabat, atau nabi ke derajat Allah Ta’ala penguasa langit dan bumi?”[37]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR at-Tirmidzi, no. 1931. Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani.
[2]. Yaitu kepada dua hakim,Pen.
[3]. Salah satu firqah dari pecahan firqah-firqah Khawarij, yaitu merupakan pengikut seseorang yang bernama Najdah bin ‘Amir,Pen.
[4]. Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Cet. Al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut, 1/167-168.
[5]. Al-Farqu Baina al-Firaq, Cet. Maktabah Muhammad Ali Subaih, Mesir,hlm.73.
[6]. Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, tahqiq: Dr. Abdurrahim ‘Umairoh, Daar al-Jail, Beirut, 2/270.
[7]. Al-Milal wa an-Nihal, Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, Cet. Ke-3, 1/132.
[8]. Minhaj at-Ta’sis,hlm.98
[9]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/432-433.
[10]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/104.
[11]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/73.
[12]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/102, lihat juga 11/317.
[13]. Majmu’ al-Fatawa,12/466.
[14]. Majmu’ al-Fatawa,12/498.
[15]. Lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahiwiyah (hlm.53), Dar at-Ta’arud (4/145), dan Maqalat at-Tasybih wa Mauqif Ahlis-Sunnah minha (1/79).
[16]. Lihat Sunan at-Tirmidzi (3/42) kitab az-Zakat, Bab: Ma Ja a fi Fadhl ash-Shadaqah, dibawah hadits no.662.
[17]. Diriwayatkan oleh al-Khallal dengan sanadnya dalam kitabnya, as-Sunnah sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar at-Ta’arud (2/32), dan Ibnul-Qayyim dalam ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hlm. 162.
[18]. Lihat al-Aqidah al-Washithiyyah, syarah Khalil Harras, halm. 47-48.
[19]. Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah (2/42) dan Lisanul-‘Arab (10/387).
[20]. Lihat ash-Shawa’iq al-Mursalah,1/215-216.
[21]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala, halm.206.
[22]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala,hlm.202.
[23]. At-Tamhid, 7/145.
[24]. Lihat HR at-Tirmidzi, no.662.
[25]. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/41.
[26]. Demikian penjelasan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/42.
[27]. Lihat Syarh al-Fiqh al-Akbar, karya Syaikh Abu al-Muntah Ahmad bin Muhammad al-Hanafi (halm. 120-122), dan juga asy-Syarh al-Muyassar li al-Fiqh al-Akbar, karya al-Khamis (hlm.42).
[28]. Atsar perkataan Imam Malik ini shahih dari banyak jalan. Silahkan melihat takhrij atsar ini secara detail dalam buku al-Atsar al-Masyhur ‘an al-Imam Malik fi Sifat al-Istiwa, karya Syaikh Abdur-Razzaq al-‘Abbad, hlm.35-51.
[29]. Kitab Itsbat Sifat all-‘Uluw, karya Ibnu Qudamah (hlm. 181) dan juga dalam kitab beliau, Dzam at-Ta’wil, hlm.21.
[30]. Majmu’ al-Fatawa,4/6-7.
[31]. Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah,1/187 dan 1/196-197.
[32]. Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah,2/588.
[33]. Dzam at-Takwil,1/24.
[34]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/168.
[35]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/135.
[36]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/88.
[37]. Kasyf asy-Syubuhat,halm.32.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3936/slash/0/menjawab-tuduhan-tuduhan-dusta-terhadap-dakwah-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab/


Copied from the source article: Abunamira.wordpress.com

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama: Niat Puasa, Sekali Untuk Sebulan Atau Setiap Hari?

Labels :Bahasan Utama, bulan puasa, Fatwa Ulama, fikih puasa, niat, Puasa, Ramadhan

Posted: 21 Juli 2014 M / 23 Ramadhan 1435 H

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:
Saya terkadang berpuasa tanpa meniatkannya ketika memulainya. Apakah niat itu harus setiap hari ataukah cukup sekali dalam sebulan?

Jawab:
Puasa dan amalan ibadah lainnya harus disertai dengan niat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

setiap amal itu disertai niat, dan setiap amal itu tergantung pada niatnya
dalam riwayat lain:

لا عمل إلا بنية

tidak ada amal kecuali dengan niat
maka puasa wajib disertai niat di malam hari. Wajib bagi orang yang berpuasa untuk berniat sebelum terbit fajar puasa di hari itu.

Soal:
Jika fajar sudah terbit, dan saya belum meniatkan diri untuk berpuasa kecuali setelah terbit fajar, bagaimana status puasa saya?

Jawab:
Wajib baginya meng-qadha puasa pada hari tersebut dimana ia berpuasa tanpa meniatkan diri untuk berpuasa. Dan niat puasa Ramadhan itu setiap hari. Karena puasa pada setiap harinya itu masing-masingnya adalah ibadah tersendiri yang membutuhkan niat sendiri. Maka hendaknya meniatkan diri untuk puasa setiap hari pada malamnya.

Jika fajar sudah terbit dan belum meniatkan diri untuk berpuasa sebagaimana yang dilakukan penanya, maka puasanya tidak dianggap sebagai puasa Ramadhan. Maka wajib baginya untuk meng-qadha 1 hari. Baik itu karena ia meninggalkan niat karena sengaja atau karena lupa. Namun jika ia sudah berniat di malam hari namun setelah itu dia lupa atau dia tersibukkan dengan sesuatu, lalu niatnya tadi hilang atau luntur, namun sebenarnya ia sudah berniat sebelumnya, maka hal-hal tadi tidak berpengaruh pada keabsahan niat, selama ia telah benar-benar meniatkan sebelumnya.

Jadi hal-hal ringan yang melunturkan niat tidak berpengaruh pada keabsahan niat, dan puasanya tetap sah. Kecuali jika orang tadi meniatkan diri dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya ia berniat untuk tidak berpuasa pada hari itu. Jika demikian maka ia butuh untuk memperbaharui niat pada malam tersebut (sebelum terbit fajar).

***

Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, 2/389-390, Asy Syamilah

Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama: Apakah Benar Rasulullah Diciptakan Dari Cahaya?

Written By sumatrars on Rabu, 28 Mei 2014 | Mei 28, 2014

Category  : Fatwa Ulama, Soal Jawab

hadits palsu, Nur Muhammad

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:

Kami mendengar sebagian khatib Jum’at di tempat kami bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam itu diciptakan dari cahaya. Bukan dari tanah sebagaimana manusia yang lain. Apakah perkataan ini benar?

Jawab:

Ini adalah perkataan yang batil dan tidak memiliki landasan. Allah menciptakan Nabi kita Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana menciptakan manusia yang lain yaitu dari air yang hina (air mani). Yaitu dari air mani ayahnya, Abdullah, dan ibunya, Aminah. Sebagaimana firman Allah Jalla Wa ‘Alaa dalam Al Qur’an yang mulia:

ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِن سُلَالَةٍ مِّن مَّاء مَّهِينٍ

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)” (QS. As Sajdah: 8)

Dan Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam juga termasuk keturunan Nabi Adam, dan semua keturunan Nabi Adam itu dari saripati air yang hina (air mani).

Adapun orang yang berpandangan bahwa Nabi diciptakan dari cahaya, mereka tidak memiliki landasan, melainkan hadits palsu yang dusta lagi batil yang tidak ada asalnya. Sebagian mereka mengklaim hadits tersebut ada di Musnad Ahmad dari sahabat Jabir, namun yang benar hadits ini tidak ada asalnya. Sebagian mereka mengklaim hadits tersebut ada di Mushannaf Abdurrazaq, namun yang benar hadits ini tidak ada asalnya.

Kecuali, jika dikatakan bahwa Allah menjadikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai cahaya bagi manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepada beliau berupa petunjuk dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang tersucikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan” (QS. Al Maidah: 15)

Cahaya yang dimaksud di sini adalah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana firman-Nya di ayat yang lain:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا

Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi” (QS. Al Ahzab: 45-46).

As Siraajul Muniir di sini maksudnya cahaya karena Allah memberikan Nabi wahyu yang agung yaitu Al Qur’anul Karim dan As Sunnah. Karena Allah memberi pencerahan kepada jalan petunjuk dengan kedua hal tersebut dan Allah menjelaskan dengan keduanya langkah menuju jalan yang lurus, dan dengan keduanya pula Allah memberikan petunjuk kepada umat kepada kebaikan. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah cahaya dan datang dengan cahaya, namun bukan berarti beliau diciptakan dari cahaya.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/46095

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

Artikel :Blog Al Islam


 

Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ramadhan: Masuk Islam Di Siang Hari Bulan Ramadhan, Bagaimana Puasanya?

Written By sumatrars on Rabu, 16 April 2014 | April 16, 2014

Category  : Fatwa Ulama

Beberapa waktu yang lalu ada berita seorang artis yang masuk Islam. Alhamdulillah ia masuk Islam di Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Semoga istiqamah dan Allah memberikan banyak berkah dan kebaikan. Berikut fatwa terkait hal ini.

Pertanyaan diajukan kepada syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “jika seorang kafir masuk Islam di siang hari Ramadhan. Apakah ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa harinya?”

Beliau menjawab:

Iya, dia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) di sisa hari saat ia masuk Islam. Karena ia telah menjadi orang yang wajib berpuasa. Hal ini jika tidak ada penghalang untuk puasa, jika ada maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari. Misalnya jika seorang wanita baru suci dari haid pada siang hari Ramadhan maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari.

Demikian juga jika orang yang sakit yang tidak berpuasa sembuh di siang hari Ramadhan, maka ia tidak wajib menahan diri karena hari tersebut ia dibolehkan tidak berpuasa padahal statusnya ia adalah orang yang wajib puasa atau seorang muslim (yang wajib berpuasa).

Berbeda halnya dengan mereka yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan, maka ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) dan tidak wajib meng-qadha. Adapaun mereka seperti orang sakit dan haid maka tidak wajib menahan diri akan tetapi wajib meng-qadha.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19/97, Asy Syamilah)

Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ramadhan: Lebih Utama Umrah Di Bulan Ramadhan Atau Dzulqa’dah?

Category  : Fatwa Ulama

Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih

Soal:

Mana yang lebih utama, umrah di bulan Ramadhan atau di bulan Dzulqa’dah?

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan seluruh sahabatnya, amma ba’du

Umrah di bulan Ramadhan ada dalam sebuah hadits dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang wanita,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah di bulan Ramadhan pahalanya seperti ibadah haji”

dalam riwayat lain disebutkan,

حَجَّةً مَعِي

“(pahalanya seperti) haji bersamaku”

Maka keutamaan Umrah di bulan Ramadhan terlihat jelas dari perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ketika beliau mengatakan, “pahalanya seperti haji”. Berdasarkan hadits tersebut para ulama berkesimpulan bahwa pahala umrah Ramadhan sama seperti haji, bagi semua yang berumrah di bulan Ramadhan.

Namun sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini khusus untuk wanita yang menjadi sebab datangnya hadits ini. Ketika Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tak berhaji bersamaku?” yang kemudian dijawab karena kurangnya fasilitas, sehingga suaminya bisa berhaji bersama Rasulullah, sedangkan wanita ini tetap tinggal di rumahnya untuk mengurusi urusan rumah tangganya.

Maka kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Apabila nanti datang bulan Ramadhan, maka berumrahlah, karena umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji”.

Sebagian ulama berpendapat bahwa keutamaan ini khusus untuk wanita ini saja. Di antaranya perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dapat dipahami dari perkataan beliau bahwa ini hanya khusus untuk wanita ini. Akan tetapi pendapat sebagian besar para ulama dan para ahli hadits bahwa keutamaan itu bukan hanya khusus untuk wanita tersebut akan tetapi untuk semua orang yang berumrah pada bulan Ramadhan.

Oleh karenanya Imam Bukhari menempatkan hadits ini pada ‘Bab: Umrah Di Bulan Ramadhan‘. Adapun Imam Muslim menempatkannya pada ‘Bab: Keutamaan Umrah Di Bulan Ramadhan’. Penempatan bab yang diberikan oleh Imam Bukhari menunjukkan penjelasan beliau mengenai hal itu, demikian juga penempatan bab oleh Imam Muslim. Sehingga, para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih secara umum menyebutkan bahwa keutamaan umrah di bulan Ramadhan ini berlaku untuk semua yang berumrah, bukan hanya khusus untuk wanita yang disebutkan dalam hadits.

Ini yang terkait dengan umrah di bulan Ramadhan dan keutamaannya. Pertama, apakah ada keutamannya? Ya, pahalanya seperti ibadah haji. Kedua apakah itu umum atau khusus untuk orang tertentu? Maka itu umum untuk semua yang berumrah, dalilnya adalah keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji.

Adapun perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah dalam rangka menjelaskan kesalahan sebagian orang yang umrah berulang-ulang, masuk Mekkah kemudian keluar lagi kemudian masuk lagi dan seterusnya, sehingga umrah-umrah berulang tidak termasuk dalam sabda Nabi “pahalanya sama seperti ibadah haji”.

Kemudian yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa perkara ini adalah masalah pahalanya. Kalau ada yang bertanya, “bagaimana mungkin sama seperti haji? Padahal amalan yang dilakukan saat haji lebih banyak?”. Maka ini sebagaimana sabda Rasul tentang surat Al Ikhlas yang sekali membacanya sebanding dengan 1/3 al Quran, padahal hanya 4 ayat saja. Maka yang disamakan adalah pahalanya, walaupun pada ibadah haji lebih banyak aktivitasnya dan kesulitannya.

Adapun yang terkait dengan mana yang lebih utama umrah di bulan ramadhan atau umrah di bulan Dzulqa’dah. Maka yang perlu diketahui adalah tidak ada satupun penjelasan dari Nabi yang menjelaskan keutamaan umrah di bulan Dzulqa’dah . Akan tetapi yang ada adalah sebuah fakta bahwa umrah yang Nabi lakukan selalu dilaksanakan di bulan Dzulqa’dah. Oleh karena itu, ketika Allah selalu memilihkan bulan Dzulqa’dah sebagai waktu umrah Nabi, terjadi perselisihan antara para ulama mana yang lebih utama, umrah di bulan Ramadhan atau di bulan Dzulqa’dah. Karena Nabi selalu melakukan umrah di bulan Dzulqa’dah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa keutamaan umrah di bulan Ramadhan itu lebih kuat. Adapun Umrah di bulan Dzulqa’dah, tidak ada dalil yang menjelaskan keutamaannya kecuali keutamaan menyesuaikan diri dengan perbuatan Nabi. Umrah di bulan Ramadhan ada dalil yang menyebutkan keutamaannya, tidak seperti umrah di bulan Dzulqa’dah walaupun umrah di bulan Dzulqa’dah pun adalah sebuah ibadah yang utama. Sehinga umrah dibulan Ramadhan sesuai dengan sunnah yang Rasulullah ucapkan.

Keutamaan umrah di bulan Ramadhan adalah setara pahalanya dengan pahala ibadah haji, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun Umrah di bulan Dzul Qo’dah keutamaannya adalah mencocoki apa yang dilakukan Nabi, karena Nabi setiap berumrah selalu dilakukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi pendapat sebagian besar ulama Fikih maupun Hadits adalah bahwa umrah di bulan Ramadhan itu lebih utama.

Satu hal yang perlu diperhatikan juga, yang mengherankan adalah apa yang dilakukan sebagian orang setelah dia mendengar pendapat salah seorang alim atau guru atau Syaikh, kemudian jika dikatakan kepadanya bahwa masalah ini ada beberapa pendapat, maka dia katakan, “Si Fulan yang berpendapat berbeda itu, begini dan begitu”. Wahai saudaraku, perkaranya luas dan bukan sebagai sarana untuk mentahdzir orang dalam masalah ini. Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menyebutkan masalah ini, beliau mengatakan bahwa ini adalah pilihan, siapa yang memiliki ilmu yang lebih dalam tentang masalah ini, maka hendaknya dia memberi faidah kepada kami. Lihat bagaimana ulama bersikap dalam masalah khilaf seperti ini. Jangan engkau jadikan pendapat seorang Syaikh atau seorang Alim dalam masalah yang diperselisihkan seperti ini, menjadi pemisah dan pemecah belah antara manusia. Ini adalah masalah pilihan, kalau pendapat yang engkau ambil itu adalah pendapat seorang Alim, maka di sana juga ada ulama lain yang berpendapat beda. Sehingga sepatutnya kita bersikap dalam masalah seperti ini dengan baik, lembut dan tenang. Jangan sampai seseorang ta’ashub dengan pendapat yang sudah jelas ada perselisihan yang kuat di antara ulama tentang hal itu.

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama: Membuang Sampah Sembarangan

Written By sumatrars on Jumat, 21 Februari 2014 | Februari 21, 2014

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih (IslamWeb.Net)

Soal:

Apakah diharamkan membuang sampah-sampah ringan di jalan? Maksud saya, jika salah seorang dari kita minum jus di jalan, apakah boleh membuang botol kosongnya di jalan? Atau selain minuman, misalnya biskuit atau es krim.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد

Seorang muslim dituntut oleh syariat untuk bersungguh-sungguh menjaga kebersihan jalan. Hendaknya tidak membuang sampah-sampah kecuali pada tempat untuk membuang sampah. Karena syariat Islam itu mengajak umat untuk berlaku bersih. Dalam hadits dikatakan:

الإيمان بضع وسبعون شعبة، فأعلاها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق

Iman itu 70 dan sekian cabang, yang paling tinggi adalah kalimat Laa Ilaaha Illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan” (Muttafaqun ‘alaih)

Namun saya tidak mengetahui faktor yang menghasilkan hukum haram dari perbuatan yang anda sebutkan, yaitu membuang sampah di jalan, selama itu tidak menimbulkan bahaya. Semisal membuang sampah gelas atau semisalnya. Yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya untuk orang lain. Jika kasusnya demikian, maka terdapat sisi larangannya yaitu membuat gangguan bagi orang lain. Dalil atas hal ini adalah keumuman sabda NabiShallallahu’alaihi Wasallam:

لا ضرر ولا ضرار

Janganlah memulai memberikan bahaya pada orang lain, jangan pula membalas memberi bahaya” (HR. Malik secara mursal).

Wallahu a’am

Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=158583

Soal:

Saya dengar dari teman saya bahwa tidak boleh membuang sampah pada malam hari, namun ia tidak punya dalil atas pernyataan tersebut. Apakah ini sekedar ikut-ikut adat kebiasaan saja (di Qatar)? Perlu diketahui teman saya tadi bermadzhab Hanafi.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:

Islam mengajak untuk berperilaku bersih dan mengajak untuk menyingkirkan kotoran dan sampah. Syariat tidak membatasi waktu untuk hal itu, sebatas yang saya tahu. At Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan  dari Sa’id bin Musayyab, Nabi bersabda:

إن الله طيب يحب الطيب، نظيف يحب النظافة، كريم يحب الكرم، جواد يحب الجود، فنظفوا أفنيتكم وساحاتكم ولا تشبهوا باليهود

Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai yang baik, Allah itu bersih dan mencintai kebersihan, Allah itu Maha Pemberi dan mencintai sifat suka memberi, Allah itu Maha Pemurah dan menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan terasmu, janganlah meniru orang Yahudi

Juga diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

طهروا أفنيتكم، فإن اليهود لا تطهر أفنيتها

Bersihkanlah halaman rumahmu karena sesungguhnya orang Yahudi itu biasanya tidak membersihkan halaman rumahnya

Simak kembali fatwa nomor 32475.

Dan kami tidak setuju atas apa yang telah kami telaah, yaitu pembatasan waktu tertentu untuk membuang sampah. Dalam hal ini tidak ada larangan secara syar’i untuk membuang sampah di tempat khusus pembuangan sampah kapan saja. Wallahu’alam.

Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=115683

Memang benar bahwa dalam syariat tidak ada larangan khusus membuang sampah sembarangan, namun hukumnya akan menjadi haram jika menimbulkan bahaya sebagaimana diterangkan oleh Syaikh di atas. Kalau di negara kita, membuang sampah bisa menimbulkan bahaya apalagi jika dibuang di tempat-tempat umum yang mengganggu orang banyak atau di tempat yang menyebabkan tergenangnya air. Dalam keadaan seperti itu dapat dihukumi bahwa membuang sampah itu terlarang karena dapat menimbulkan banjir, penyakit, dll. Simak paparan ketua MUI, KH Amidhan, pada video berikut ini.

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Fatwa Ulama: Bolehlah Shalat Di Gereja Ketika Tidak Ada Masjid?

Di sebagian negara kafir, tempat untuk shalat agak susah ditemukan. Yang sering ditemukan adalah gereja. Apakah boleh seorang muslim shalat di gereja?

Fatwa Syaikh Prof. DR. Khalid Al-Muslih hafizhahullah

Soal:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, apa hukum shalat di gereja jika tidak dijumpai masjid atau tempat (yang layak) untuk shalat? Apakah berdosa shalat di situ? Apakah shalat diterima?

Jawab:

Telah dinukil ijma ulama bahwa orang yang shalat di gereja pada tempat yang suci (tidak terdapat najis) maka hukumnya boleh dan shalatnya sah. Ijma ini dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab At Tamhid (5/229). Namun yang benar, pada masalah ini terdapat khilaf (tidak ada ijma’) dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: makruh shalat di gereja karena di dalamnya ada patung

Pendapat ini dinukil dari Umar dan Ibnu Abbas dan pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah, Imam Malik, mazhab Syafi’iyyah, Hambali . Alasannya, karena di gereja terdapat patung (atau gambar makhluk hidup).

Pendapat kedua: boleh shalat di gereja.

Ini adalah pendapat Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Ast-Sya’bi. Merupakan mazhab Hanabilah. Dengan syarat tidak ada patung (atau gambar makhluk hidup) di dalamnya.

Pendapat ketiga: haram shalat di gereja karena merupakan tempatnya setan-setan.

Shalat di gereja merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka. Ini adalah pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah.

Dan pendapat yang lebih kuat yaitu di makruhkan shalat di gereja jika ada patung-patung. Jika tidak ada patung maka hukumnya mubah. Akan tetapi tidak boleh bagi seseorang meninggalkan shalat di Masjid dengan maksud ingin shalat di gereja, karena ini tidak boleh. Maka yang wajib, jika menemukan masjid hendaknya shalat di sana dan janganlah berpaling ke yang lain. Allah Ta’ala berfirman,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (QS. Annur: 36)

Sumber: Almosleh.com

Penerjemaah: : dr. Raehanul Bahraen

SumberArtikel : Muslim.or.id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Imam Syafii - SIKAP IMAM SYAFI’I TERHADAP ORANG YANG MENGUTAMAKAN SYAIR DARIPADA AL-QUR’AN

SIKAP IMAM SYAFI’I TERHADAP ORANG YANG MENGUTAMAKAN SYAIR DARIPADA AL-QUR’AN

Sebagai kelanjutan dari serial Mengenal Aqidah Imam Syafi’i Lebih Dekat pada pembahasan kali ini kita angkat topik “Celaan Imam Syafi’i رحمه الله terhadap orang yang mengutamakan lantunan syair-syair zuhud dari membaca dan memahami Al-Qur’an” 

Pada zaman sekarang banyak sekali bentuk metode ibadah yang dibuat-buat oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan duniawi. Tanpa memperhatikan tentang kaidah-kaidah yang diterangkan oleh syariat. Bahkan sesuatu yang maksiat dijadikan ibadah.

قال الإمام الشافعي رحمه الله تعالى : تركت بالعراق شيئا يقال له : "التغيير" أحدثته الزنادقة يصدون الناس عن القرآن


 Berkata Imam Syafi’i رحمه الله, “Aku tinggalkan sesuatu di Baghdad yang disebut “At Tahgbiir“, hal tersebut dilakukan orang-orang zindiq untuk melalaikan manusia dari Al-Qur’an.”[1]



Menurut para ulama “At-Tahgbiir” adalah berzikir atau melantunkan sya’ir-sya’ir zuhud dengan suara merdu, hal ini kebiasaan orang-orang sufi.[2]

 Ditanah air banyak kita dapatkan hal-hal seperti ini, kadang-kadang dalam membaca Al-Qur’an atau salawat didendangkan dengan irama-irama nyanyi dangdut atau yang seumpanya. Waktunya kadang-kadang sebelum adzan atau setelah adzan. Bahkan ada sebuah acara yang yang mereka sebut dubaan atau terbangan, disitu mereka melantunkan syair-syair yang di iringi gendang-gendang, isi syair-syiar tersebut kadang-kadang dicampuri kesyirikan, mereka berkumpul untuk melakukannya setelah shalat Isya’ sampai larut malam. Mereka menganggap hal tersebut sebuah ibadah yang utama untuk dilakukan. Pesertanya biasanya kebanyakan orang-orang yang sering kali tidak shalat, kalaupun shalat tidak pernah berjamaah. Apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i bahwa mereka melalaikan manusia dari Al-Qur’an sangat nyata. Termasuk juga yang telah melaikan sebagian orang dimasa sekarang kesenangan kepada nasyid-nasyid. Jiwa mereka sulit untuk tersentuh dengan Al-Qur’an tetapi lebih tersentuh dengan lagu-lagu.

Imam Syafi’i menghukum mereka sebagai orang-orang zindiq.

Para ulama menjelaskan istilah zindiq sering digunakan untuk orang-orang munafik.[3]


Demikian sekilas tentang keyakinan Imam Syafi’i.

 Keyakinan yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم. 
Keyakinan yang wajib diimani oleh setiap orang yang mengaku sebagai muslim.
Wallahu A’lam, washalallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك

Penulis Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel http://www.dzikra.com/ dimuat ulang di www.soaldanjawab.wordpress.com serta www.ibnumajjah.wordpress.com


[1]  Diriwayatkan Al Khaalal dalam Al Amru bil Ma’ruuf: 107, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah: 9/147, Ibnul Jauzy dala Talbiis Ibliis: 282-283.
[2] Lihat Al Fahrasat karangan Ibnu Nadim: 445.
[3]  Lihat perkataan Ibnu Mubaarak dalam Al Ibaanah Al Kubra: 2/703


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger