BLOG AL ISLAM
Kontributor
Cari Blog Ini
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
▼
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
Live Traffic
Bahasan Utama,Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah
Written By sumatrars on Kamis, 08 Januari 2015 | Januari 08, 2015
Raihlah Enam Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah
Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Suatu fenomena yang menyedihkan, banyak di antara kaum muslimin yang masih asing dengan kalender mereka sendiri, bukan hanya orang awamnya, namun juga thalabatul ‘ilmi (penuntut ilmu agama) di antara mereka. Padahal di dalam penggunaan kalender Hijriyyah terdapat banyak barakah dan keuntungan. Sayangnya, banyak dari kaum muslimin tidak mengetahui keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kalender Hijriyyah dalam kesehariannya. Nah, berikut enam keuntungan yang bakal Anda dapatkan jika Anda menggunakan kalender Hijriyyah,
-
Menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Ketauhilah,berkalender Hijriyyah merupakan perintah Allah, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”(QS. Al-Baqarah: 189).
Sisi pendalilan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda mulai dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya hilal dimulailah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Dengan demikian, hilal-hilal itu sebagai patokan waktu dalam kehidupan manusia dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qamariy (berdasarkan peredaran bulan) karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa berkalender Hijriyyah merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له
“Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul Fithri). Maka apabila (pandangan) kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh“(HR. Al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762).
Sisi pendalilan
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.
Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata,
“Aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ (kesepakatan) sahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Istikhdamut Tarikhil Miladi,http://www.dorar.net/art/223).
-
Berpegang Teguh Dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ Sahabat
Berkalender Hijriyyah merupakan bentuk berpegang teguh dengan Sunah Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ sahabat, mengapa?
Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya,
“Bab Penanggalan. Darimana mereka menentukan penanggalan?”
عن سهل بن سعد قال ما عدوا من مبعث النبي صلى الله عليه وسلم ولا من وفاته ما عدوا إلا من مقدمه المدينة
“Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Mereka (para Sahabat) tidaklah menghitung (penanggalan) berdasarkan saat diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula berdasarkan wafat beliau, namun hanyalah berdasarkan awal tahun masuknya beliau ke kota Madinah (Hijrah)”.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang sejarah asal pencanangan kalender Hijriyyah, bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ditegur oleh Abu Musa radhiallahu ‘anhu ketika menulis surat tanpa tanggal lalu Umar pun memerintahkan orang-orang untuk membuat penanggalan dengan dasar hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka pun melakukannya (http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7151&idto=7154&bk_no=52&ID=2186).
Berarti nampak dari penjelasan di atas, bahwa pencetus kalender Hijriyyah adalah salah satu dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dan diikuti oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum tanpa ada penentangan sedikit pun, ini menandakan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara mereka.
-
Berkalender Hijriyyah Berarti Memudahkan Kita Mengetahui Waktu-Waktu Ibadah
Banyak waktu-waktu ibadah yang ditentukan dengan kalender Hijriyyah, misalnya tentang ibadah haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).
-
Berkalender Hijriyyah artinya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelisihi musyrikin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum memerintahkan kita untuk menyelisihi perkara yang menjadi ciri khas kaum musyrikin, beliau bersabda,
خالفوا المشركين
“Selisihilah kaum musyrikin!” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sedangkan nashara serta romawi sebagai biang kerok munculnya kalender masehi adalah bagian dari kaum musyrikin. Maka, kita dituntut untuk menyelisihi mereka dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka (diantaranya dalam masalah berkalender masehi) (baca Tahukah Anda 5 Rahasia dibalik kalender masehi?).
-
Berkalender Hijriyyah Menunjukkan Keterikatan Diri Kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
Hal ini karena dasar perhitungan kalender Hijriyyah adalah berdasarkan hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga membuat setiap orang yang berpenanggalan dengan kalender ini akan mengingat hjrah dan perjuangan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengingatkan pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum muslimin di masa lalu. Selanjutnya diharapkan setiap muslim yang berkalender dengannya akan bisa mengambil suri tauladan dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. -
Berkalender Hijriyyah Artinya Mengibarkan Bendera Syi’ar Umat Islam dan Simbol Kekokohan Jati Diri Mereka
Umat Islam bukan umat pengekor. Umat Islam adalah pemimpin dunia. Khalifatun fil ardh, maka tentunya tidak pantas kalau mengambil simbol kuffar dengan penanggalan masehi. Bahkan seorang muslim diperintahkan untuk memiliki jati diri yang khas.
Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wa sallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Riba Biang Keladi Kemacetan
Written By sumatrars on Senin, 05 Januari 2015 | Januari 05, 2015
Tahu tidak, biang keladi kemacetan di kota-kota besar di tanah air adalah riba. Kenapa bisa?
Bisa saja. Karena sekarang kredit leasing semakin merajalela. Jika kredit semakin dipermudah, berarti kendaraan bermotor semakin banyak di jalan-jalan. Kita lihat sendiri bagaimana jumlah motor dan mobil yang semakin meningkat belakangan ini. Bisa terjadikan peningkatan yang sangat dahsyat dikarenakan kredit semakin dipermudah. Coba bayangkan dengan uang satu juta, seseorang sudah bisa bawa pulang motor. Dengan DP 25 juta-an, mobil Avanza sudah bisa di tangan.
Itu semua yang mengakibatkan kemacetan. Jadi biang keladi sebenarnya adalah pada kredit leasing. Leasing saat inilah yang tak lepas dari riba.
Leasing yang Tak Lepas dari Riba
Pembelian mobil atau motor melalui jasa leasing atau jasa bank, mungkin jika kita saksikan seperti terjadi jual beli. Padahal kenyataannya yang terjadi adalah utang piutang.
Buktinya apa?
Yang sebenarnya terjadi adalah customer memesan kendaraan pada dealer dengan cara pembayaran tertunda. Karena pembayaran demikian, maka pihak dealer yang tidak ingin uang berputar lama bekerja sama dengan pihak leasing. Pembayaran secara cash dilakukan oleh pihak leasing pada dealer. Selanjutnya pelunasan pembayaran dari customer diteruskan pada pihak leasing.
Hakekat transaksi yang terjadi antara leasing dan konsumen bukanlah jual beli. Namun pihak leasing mengutangkan lantas mengambil untung dari utang piutang tersebut. Padahal para ulama telah sepakati bahwa setiap utang piutang yang di dalamnya ditarik keuntungan atau manfaat, maka itu adalah riba.
Misalnya ingin mendapatkan motor vario 17 juta rupiah secara cash. Namun cicilan lewat leasing atau bank menjadi 22 juta rupiah. Hakekat yang terjadi adalah 17 juta rupiah dipinjamkan dari pihak leasing atau bank dan 22 juta rupiah itulah total cicilannya. Keuntungan tersebutlah yang disebut riba.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Kenapa tidak bisa dikatakan jual beli?
Karena pihak leasing tidak memiliki kendaraan. Yang memiliki barang adalah pihak dealer yang langsung dijual pada pihak konsumen. Kalau dikatakan pihak leasing yang menjual tidaklah benar karena kendaraan tersebut tidak berpindah tangan pada pihak leasing. Pihak leasing pun bisa melanggar hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Riba Hanya Mengundang Murka Allah
Bukan hanya dampak dari menyebarnya kredit leasing yang dihukumi riba ini pada kemacetan jalan. Namun lebih daripada itu, tersebarnya riba semakin mengundang murka Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kita dengan yang halal dan menjauhkan kita dari yang haram.
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Allahumak-finii bi
halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak
[Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram,
dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu] (HR.
Tirmidzi no. 3563, hasan kata Syaikh Al Albani)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Cara Melakukan Puasa Asyura
Written By sumatrars on Rabu, 19 November 2014 | November 19, 2014
Transcribed on : 29 Oktober 2014
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
VideoSyiah.Com, Mengupas Bahaya Ajaran Syiah
Transcribed on : 30 Oktober 2014
Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah, kali ini kita review website yang bermanfaat bagi kaum Muslimin, yaitu VideoSyiah.Com. Sebagaimana namanya, website ini mengumpulkan berbagai video yang membuktikan kesesatan ajaran Syiah terutama Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Itsna Asyariyah. Ada 100 lebih video yang diunggah ke website ini yang memberikan pencerahan kepada umat mengenai hakekat ajaran Syi’ah. Tentu agar umat terhindar dari pemahaman sesat tersebut.
Diantaranya video yang diunggah oleh videosyiah.com, ada yang membuktikan bahwa kaum Syi’ah memiliki syahadat yang berbeda dengan syahadat kaum Muslimin:
Simak: videosyiah.com/_view/1O4
Ada juga video ceramah ulama Syi’ah yang jelas-jelas mengajak orang untuk menuhankan Ali bin Abi Thalib serta menyembah kuburan:
Simak: videosyiah.com/_view/1Nr
Juga diungkap mengenai praktek taqiyah, yaitu berdusta yang dianggap ibadah oleh kaum Syiah:
Simak: videosyiah.com/_view/1Nx
Dan masih banyak lagi.
Sebagian video di website ini memang berbahasa Inggris atau berbahasa Arab, namun jangan khawatir, ada subtitle bahasa Indonesia di dalamnya. Anda juga bisa mengunduh video-video tersebut ke komputer anda, atau cukup memainkannya di website ini.
Tidak hanya video yang disediakan di website ini, ada pula ratusan referensi berformat PDF yang juga berisi bukti serta penjelasan kesesatan ajaran Syi’ah. Bahkan juga terdapat scan perkataan para ulama Syi’ah yang dengan sendirinya membongkar kebobrokan agama Syi’ah ini.
Selain itu, videosyiah.com juga menampilkan beberapa fatwa MUI dan surat ketetapan Departemen Agama tentang kesesatan ajaran Syi’ah. Diantaranya:
-
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, dalam Rapat Kerja Nasional 7 Maret 1984 M di Jakarta
-
Fatwa tahun 2012 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012
-
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun 2013 menerbitkan buku yang menjelaskan kesesatan ajaran Syi’ah dengan judul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di indonesia”
Dan masih banyak lagi yang bisa kita explore dari website yang bermanfaat ini. Semoga Allah memberi ganjaran kepada pembuatnya dan semoga menjadi sebab hidayah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar terhindar dari kesesatan, terutama kesesatan ajaran Syi’ah.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Hadits Tentang Haji (02): Pakaian Ihram
Written By sumatrars on Kamis, 21 Agustus 2014 | Agustus 21, 2014
Related categories : Bahasan Utama, Haji, ihram, umrah
Transcribed : 20 Agust 2014, 20 Syawal 1435 H
Bagaimana bentuk pakaian yang digunakan oleh orang yang berhaji atau umrah saat berihram? Apakah ada bentuk pakaian tertentu dan larangan dari pakaian tertentu?
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ »
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh orang yang sedang berihram (haji atau umrah, -pen)?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengenakan kemeja, sorban, celana panjang kopiah dan sepatu, kecuali bagi yang tidak mendapatkan sandal, maka dia boleh mengenakan sepatu. Hendaknya dia potong sepatunya tersebut hingga di bawah kedua mata kakinya. Hendaknya dia tidak memakai pakaian yang diberi za’faran dan wars (sejenis wewangian, -pen).” (HR. Bukhari no. 1542)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan,
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
“Hendaknya wanita yang sedang berihram tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.” (HR. Bukhari no. 1838).
Larangan ketika haji ada tiga macam: (1) Larangan khusus pada laki-laki, (2) larangan khusus pada perempuan, (3) larangan pada laki-laki dan perempuan, inilah yang lebih banyak.
Larangan yang khusus bagi laki-laki: mengenakan pakaian al makhith yang membentuk lekuk tubuh dan berjahit, maksudnya seperti kemeja, kaos dalam, celana dalam, celana pendek maupun celana panjang. Juga laki-laki dilarang menutup kepala dengan topi dan pecis saat berihram.
Pakaian Ihram Saat Haji dan Umrah
Begitu juga larangan yang khusus bagi laki-laki adalah memakai sepatu dari bahan apa pun. Namun jika tidak mendapati sepatu, maka sepatu yang ada dipotong sampai bagian mata kaki terbuka, sehingga sepatu tersebut beralih menjadi sendal. Akan tetapi, untuk hal ini hanya masa di awal-awal pensyariatan, setelah itu jadi terhapus. Yang ada saat ini adalah diperintahkan untuk menggunakan sendal saat ihram.
Larangan yang ditujukan pada laki-laki dan perempuan: memakai wewangian atau parfum. Namun tetap yang sedang berihram diperkenankan untuk bersih-bersih (mandi). Namun ketika telah berniat ihram, maka tidak boleh lagi menggunakan wewangian seperti minyak misk dan lainnya. Akan tetapi sesuatu yang berbau wangi, namun tidak digunakan untuk tujuan wewangian, maka tidaklah mengapa digunakan.
Larangan yang khusus bagi perempuan: terlarang memakai penutup wajah kecuali jika ada laki-laki bukan mahram, ia sengaja menutupi khimarnya tidaklah masalah. Begitu pula wanita dilarang mengenakan sarung tangan.
Namun wanita masih diizinkan menggunakan baju warna apa pun itu, baik putih, kuning, merah, atau hijau dan dari bahan apa pun. Yang tidak dibolehkan adalah jika pakaian tersebut diberi wewangian.
Demikian penjelasan singkat dari hadits yang dibahas di atas mengenai pakaian ihram saat haji dan umrah. Moga bermanfaat.
Referensi:
Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3
| |
Daftar Artikel
Hadits Tentang Haji (01): Masalah Miqat bagi yang Berhaji
Written By sumatrars on Minggu, 17 Agustus 2014 | Agustus 17, 2014
Category : Bahasan Utama, Haji, miqat, umrah
Transcribed : 16 Aug 2014, 20 Syawal 1435 H
Masalah miqat bagi yang
berhaji wajib dipahami. Seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk
panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap.
Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para
ulama. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ
الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ
الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ
، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ
حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk
Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.”
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk
masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati
kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah
haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka
miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga
dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
« يُهِلُّ أَهْلُ
الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ
نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ » “Penduduk Madinah
hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan
penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).” Abdullah menuturkan bahwa
ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no.
130 dan Muslim no. 13). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud
no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, وَمُهَلُّ أَهْلِ
الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ “Penduduk masyriq (dari
arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Tempat Miqat Miqat makaniyah yaitu
tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:
(1) Dzul Hulaifah (sekarang
dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.
(2) Al Juhfah, miqat
penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah). (3) Qarnul Manazil (sekarang
dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed. (4) Yalamlam (sekarang
dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman. (5) Dzatu ‘Irqin (sekarang
dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur
jazirah). miqat_haji_01 Masuk Daerah Miqat Harus
Berihram Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ
أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ “Miqat-miqat tersebut
sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang
lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun
ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang
melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram.
Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar
ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram. Seperti misalnya penduduk
Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul
Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat
penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan. Sebagaimana dibolehkan
pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah
yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah. Melewati Miqat Tanpa
Berihram Kata Syaikh As Sa’di
rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia
harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang
teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh
Umdatil Ahkam, hal. 389). Contoh penduduk Indonesia
yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat
ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia
terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke
miqat. Apakah itu Berlaku Bagi
yang Mau Berhaji dan Umrah Saja? Menurut pendapat yang
lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena
berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat
adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk
berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para
ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan
berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390.
Bagi yang Berada di Dalam
Daerah Miqat dan Berada di Makkah Bagi penduduk Jeddah
misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika
mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka
mulai safar, bisa dari rumah mereka. Syaikh As Sa’di
mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk
umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.”
(Idem). Jika ada yang berkata,
“Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh
akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka
diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak
diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di
tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf
di Arafah.” (Idem). Semoga bermanfaat, hanya
Allah yang memberi taufik. Referensi:
Syarh ‘Umdatil Ahkam,
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama,
tahun 1431 H. Rewritten by :
Rachmat Machmud end Republished by :
Redaction Duta Asri Palem 3
|
Berdagang Setelah Shalat Jumat
Written By sumatrars on Jumat, 15 Agustus 2014 | Agustus 15, 2014
15 August 2014, 19 Syawal 1435 H
Setelah menunaikan shalat Jumat diperintahkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari rezeki. Apakah berarti dianjurkan berdagang setelah shalat Jumat atau apa maksudnya?
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika azan Jum’at berarti haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Adapun setelah shalat Jumat disebutkan (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan jual beli pada hari Jumat setelah shalat Jumat, moga Allah memberkahinya sebanyak 70 kali.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 278).
Kata Ibnu Katsir, ‘Arok bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika selesai shalat Jumat ia berdiri di pintu masjid lalu ia berkata, “Ya Allah, aku memenuhi panggilanmu, aku telah memenuhi kewajibanku dengan menjalankan shalat, aku pun menyebar di muka bumi sebagaimana yang engkau perintahkan kepadaku, oleh karenanya berilah rezeki padaku dari karunia-Mu, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. (Idem)
Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Setelah shalat Jumat bertebarlah di muka bumi untuk berdagang dan memenuhi berbagai hajat lainnya untuk memenuhi penghidupan dunia. Raihlah karunia Allah, yaitu rezeki Allah yang di mana rezeki tersebut berbeda-beda satu dan lainnya. Raihlah keuntungan dari muamalah dan berbagai pekerjaan.” (Fathul Qodir, 5: 302).
Namun ketika berdagang tersebut jangan sampai lalai dari dzikir pada Allah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata bahwa yang dimaksud adalah jika kalian telah selesai shalat Jumat carilah rezeki dan berdaganglah. Namun karena berdagang itu kemungkinan besar membuat seseorang lalai dari dzikir maka Allah ingatkan untuk banyak berdzikir yaitu “banyaklah berdzikir pada Allah”. Berdzikirlah ketika berdiri, saat duduk, saat berbaring supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung. Karena ingatlah bahwa banyak berdzikir pada Allah sebab datangnya keberuntungan. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 863).
Perintah dalam ayat di atas cuma menunjukkan kebolehan bukan perintah wajib atau sunnah. Maksudnya adalah jika kalian telah selesai dari shalat Jumat maka bertebarlah di muka bumi untuk berdagang dan memenuhi kebutuhan kalian. Raihlah rezeki Allah. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa maksud mencari karunia Allah adalah tuntutlah ilmu setelah menunaikan shalat Jumat. Ada pula yang memaksudkan lakukanlah shalat sunnah. Ibnu ‘Abbas menafsirkan, “Setelah shalat Jumat diperintahkan untuk memenuhi urusan dunia seperti mengunjungi orang sakit, menghadiri jenazah, dan mengunjungi saudara muslim lainnya karena Allah.” (Lihat Al Jami’ lii Ahkamil Qur’an karya Al Qurthubi, 9: 70).
Ibnu Taimiyah sendiri menyatakan bahwa raihlah karunia Allah dalam ayat di atas adalah raihlah ilmu dan pahala (setelah Shalat Jumat). (Majmu’atul Fatawa, 8: 524).
Semoga kita dapat memanfaatkan waktu berharga setelah shalat Jumat untuk meraih karunia dan rezeki Allah.
Article : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Metode Hisab Wujudul Hilal dan Imkanur Ru’yah
Written By sumatrars on Selasa, 22 Juli 2014 | Juli 22, 2014
Posted: 19 Jun 2014 02:05 AM PDT
Kita tahu bahwasanya dua organisasi besar di tanah air menggunakan metode hisab yang berbeda. Ada yang menggunakan metode hisab wujudul hilal dan ada yang menggunakan metode hisab imkanur ru’yah. Perbedaannya adalah metode wujudul hilal menganggap bahwa jika hilal (awal bulan) sudah ada, meskipun tidak nampak atau terlihat, maka tetap berpuasa keesokan harinya. Sedangkan metode imkanur ru’yah berpendapat bahwa adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang.
Metode kedua di atas itulah yang digunakan oleh pemerintah kita. Metode itulah yang ternyata lebih mendekati dalil. Karena dalam dalil disebutkan,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. ” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Dalil ini menunjukkan bahwa hilal harus terlihat dan bukan sekedar ada untuk menandakan mulai berpuasa. Kalau hilal itu ada namun tidak terlihat, maka tidak puasa keesokan harinya.
Mengenai kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut:
-
telah terjadi ijtimak (konjungsi),
-
ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
-
pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.
Atau pemahaman mudahnya, “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.”
Dari metode ini, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar dari pada NOL derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru. (Sumber: Kelemahan Metode Hisab & Metode Hisab dan Rukyat)
Berikut keterangan pakar hisab, T. Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN dan Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI) mengenai metode wujudul hilal:
Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama bukan perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya.
Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern).
Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari).
Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah.
NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah! (Sumber: Metode Hisab Wujudul Hilal ‘ala Muhammadiyah yang Sudah Usang)
Kita dapat simpulkan bahwa kelemahan metode hisab terletak saat menggunakan alat hitung yang tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab yang lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab mengakibatkan berbeda juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern atau kontemporer. Karena hasil yang berbeda dari berbagai metode, itu menunjukkan kelemahan cara manusia dibandingkan jika ditempuh cara yang telah digariskan Islam.
Cara Islam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga. Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan cara hisab hanyalah sebagai alat bantu saja untuk memperkirakan, bukan sebagai rujukan utama.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Copied from the source article: Muslim.Or.Id
Posted by : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Fatwa Ulama: Niat Puasa, Sekali Untuk Sebulan Atau Setiap Hari?
Written By sumatrars on Senin, 21 Juli 2014 | Juli 21, 2014
Posted: 21 Juli 2014 M / 23 Ramadhan 1435 H
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Soal:
Saya terkadang berpuasa tanpa meniatkannya ketika memulainya. Apakah niat itu
harus setiap hari ataukah cukup sekali dalam sebulan?
Jawab:
Puasa dan amalan ibadah lainnya harus disertai dengan niat. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“setiap amal itu
disertai niat, dan setiap amal itu tergantung pada niatnya”
dalam riwayat lain:
لا عمل إلا بنية
“tidak ada amal
kecuali dengan niat”
maka puasa wajib disertai niat di malam hari. Wajib bagi orang yang berpuasa
untuk berniat sebelum terbit fajar puasa di hari itu.
Soal:
Jika fajar sudah terbit, dan saya belum meniatkan diri untuk berpuasa kecuali
setelah terbit fajar, bagaimana status puasa saya?
Jawab:
Wajib baginya meng-qadha puasa pada hari tersebut dimana ia berpuasa tanpa
meniatkan diri untuk berpuasa. Dan niat puasa Ramadhan itu setiap hari. Karena
puasa pada setiap harinya itu masing-masingnya adalah ibadah tersendiri yang
membutuhkan niat sendiri. Maka hendaknya meniatkan diri untuk puasa setiap hari
pada malamnya.
Jika fajar sudah terbit dan belum meniatkan diri untuk berpuasa sebagaimana yang dilakukan penanya, maka puasanya tidak dianggap sebagai puasa Ramadhan. Maka wajib baginya untuk meng-qadha 1 hari. Baik itu karena ia meninggalkan niat karena sengaja atau karena lupa. Namun jika ia sudah berniat di malam hari namun setelah itu dia lupa atau dia tersibukkan dengan sesuatu, lalu niatnya tadi hilang atau luntur, namun sebenarnya ia sudah berniat sebelumnya, maka hal-hal tadi tidak berpengaruh pada keabsahan niat, selama ia telah benar-benar meniatkan sebelumnya.
Jadi hal-hal ringan yang melunturkan niat tidak berpengaruh pada keabsahan niat, dan puasanya tetap sah. Kecuali jika orang tadi meniatkan diri dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya ia berniat untuk tidak berpuasa pada hari itu. Jika demikian maka ia butuh untuk memperbaharui niat pada malam tersebut (sebelum terbit fajar).
***
Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, 2/389-390, Asy Syamilah
Copied from the source article: Muslim.Or.Id
Posted by : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...