BLOG AL ISLAM
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
▼
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
Live Traffic
Cara Melakukan Puasa Asyura
Written By sumatrars on Rabu, 19 November 2014 | November 19, 2014
Transcribed on : 29 Oktober 2014
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
VideoSyiah.Com, Mengupas Bahaya Ajaran Syiah
Transcribed on : 30 Oktober 2014
Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah, kali ini kita review website yang bermanfaat bagi kaum Muslimin, yaitu VideoSyiah.Com. Sebagaimana namanya, website ini mengumpulkan berbagai video yang membuktikan kesesatan ajaran Syiah terutama Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Itsna Asyariyah. Ada 100 lebih video yang diunggah ke website ini yang memberikan pencerahan kepada umat mengenai hakekat ajaran Syi’ah. Tentu agar umat terhindar dari pemahaman sesat tersebut.
Diantaranya video yang diunggah oleh videosyiah.com, ada yang membuktikan bahwa kaum Syi’ah memiliki syahadat yang berbeda dengan syahadat kaum Muslimin:
Simak: videosyiah.com/_view/1O4
Ada juga video ceramah ulama Syi’ah yang jelas-jelas mengajak orang untuk menuhankan Ali bin Abi Thalib serta menyembah kuburan:
Simak: videosyiah.com/_view/1Nr
Juga diungkap mengenai praktek taqiyah, yaitu berdusta yang dianggap ibadah oleh kaum Syiah:
Simak: videosyiah.com/_view/1Nx
Dan masih banyak lagi.
Sebagian video di website ini memang berbahasa Inggris atau berbahasa Arab, namun jangan khawatir, ada subtitle bahasa Indonesia di dalamnya. Anda juga bisa mengunduh video-video tersebut ke komputer anda, atau cukup memainkannya di website ini.
Tidak hanya video yang disediakan di website ini, ada pula ratusan referensi berformat PDF yang juga berisi bukti serta penjelasan kesesatan ajaran Syi’ah. Bahkan juga terdapat scan perkataan para ulama Syi’ah yang dengan sendirinya membongkar kebobrokan agama Syi’ah ini.
Selain itu, videosyiah.com juga menampilkan beberapa fatwa MUI dan surat ketetapan Departemen Agama tentang kesesatan ajaran Syi’ah. Diantaranya:
-
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, dalam Rapat Kerja Nasional 7 Maret 1984 M di Jakarta
-
Fatwa tahun 2012 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012
-
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun 2013 menerbitkan buku yang menjelaskan kesesatan ajaran Syi’ah dengan judul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di indonesia”
Dan masih banyak lagi yang bisa kita explore dari website yang bermanfaat ini. Semoga Allah memberi ganjaran kepada pembuatnya dan semoga menjadi sebab hidayah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar terhindar dari kesesatan, terutama kesesatan ajaran Syi’ah.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Hadits Tentang Haji (02): Pakaian Ihram
Written By sumatrars on Kamis, 21 Agustus 2014 | Agustus 21, 2014
Related categories : Bahasan Utama, Haji, ihram, umrah
Transcribed : 20 Agust 2014, 20 Syawal 1435 H
Bagaimana bentuk pakaian yang digunakan oleh orang yang berhaji atau umrah saat berihram? Apakah ada bentuk pakaian tertentu dan larangan dari pakaian tertentu?
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ »
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh orang yang sedang berihram (haji atau umrah, -pen)?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengenakan kemeja, sorban, celana panjang kopiah dan sepatu, kecuali bagi yang tidak mendapatkan sandal, maka dia boleh mengenakan sepatu. Hendaknya dia potong sepatunya tersebut hingga di bawah kedua mata kakinya. Hendaknya dia tidak memakai pakaian yang diberi za’faran dan wars (sejenis wewangian, -pen).” (HR. Bukhari no. 1542)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan,
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
“Hendaknya wanita yang sedang berihram tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.” (HR. Bukhari no. 1838).
Larangan ketika haji ada tiga macam: (1) Larangan khusus pada laki-laki, (2) larangan khusus pada perempuan, (3) larangan pada laki-laki dan perempuan, inilah yang lebih banyak.
Larangan yang khusus bagi laki-laki: mengenakan pakaian al makhith yang membentuk lekuk tubuh dan berjahit, maksudnya seperti kemeja, kaos dalam, celana dalam, celana pendek maupun celana panjang. Juga laki-laki dilarang menutup kepala dengan topi dan pecis saat berihram.
Pakaian Ihram Saat Haji dan Umrah
Begitu juga larangan yang khusus bagi laki-laki adalah memakai sepatu dari bahan apa pun. Namun jika tidak mendapati sepatu, maka sepatu yang ada dipotong sampai bagian mata kaki terbuka, sehingga sepatu tersebut beralih menjadi sendal. Akan tetapi, untuk hal ini hanya masa di awal-awal pensyariatan, setelah itu jadi terhapus. Yang ada saat ini adalah diperintahkan untuk menggunakan sendal saat ihram.
Larangan yang ditujukan pada laki-laki dan perempuan: memakai wewangian atau parfum. Namun tetap yang sedang berihram diperkenankan untuk bersih-bersih (mandi). Namun ketika telah berniat ihram, maka tidak boleh lagi menggunakan wewangian seperti minyak misk dan lainnya. Akan tetapi sesuatu yang berbau wangi, namun tidak digunakan untuk tujuan wewangian, maka tidaklah mengapa digunakan.
Larangan yang khusus bagi perempuan: terlarang memakai penutup wajah kecuali jika ada laki-laki bukan mahram, ia sengaja menutupi khimarnya tidaklah masalah. Begitu pula wanita dilarang mengenakan sarung tangan.
Namun wanita masih diizinkan menggunakan baju warna apa pun itu, baik putih, kuning, merah, atau hijau dan dari bahan apa pun. Yang tidak dibolehkan adalah jika pakaian tersebut diberi wewangian.
Demikian penjelasan singkat dari hadits yang dibahas di atas mengenai pakaian ihram saat haji dan umrah. Moga bermanfaat.
Referensi:
Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3
| |
Daftar Artikel
Hadits Tentang Haji (01): Masalah Miqat bagi yang Berhaji
Written By sumatrars on Minggu, 17 Agustus 2014 | Agustus 17, 2014
Category : Bahasan Utama, Haji, miqat, umrah
Transcribed : 16 Aug 2014, 20 Syawal 1435 H
Masalah miqat bagi yang
berhaji wajib dipahami. Seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk
panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap.
Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para
ulama. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ
الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ
الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ
، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ
حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk
Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.”
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk
masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati
kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah
haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka
miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga
dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
« يُهِلُّ أَهْلُ
الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ
نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ » “Penduduk Madinah
hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan
penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).” Abdullah menuturkan bahwa
ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no.
130 dan Muslim no. 13). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud
no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, وَمُهَلُّ أَهْلِ
الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ “Penduduk masyriq (dari
arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Tempat Miqat Miqat makaniyah yaitu
tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:
(1) Dzul Hulaifah (sekarang
dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.
(2) Al Juhfah, miqat
penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah). (3) Qarnul Manazil (sekarang
dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed. (4) Yalamlam (sekarang
dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman. (5) Dzatu ‘Irqin (sekarang
dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur
jazirah). miqat_haji_01 Masuk Daerah Miqat Harus
Berihram Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ
أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ “Miqat-miqat tersebut
sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang
lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun
ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang
melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram.
Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar
ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram. Seperti misalnya penduduk
Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul
Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat
penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan. Sebagaimana dibolehkan
pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah
yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah. Melewati Miqat Tanpa
Berihram Kata Syaikh As Sa’di
rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia
harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang
teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh
Umdatil Ahkam, hal. 389). Contoh penduduk Indonesia
yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat
ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia
terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke
miqat. Apakah itu Berlaku Bagi
yang Mau Berhaji dan Umrah Saja? Menurut pendapat yang
lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena
berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat
adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk
berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para
ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan
berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390.
Bagi yang Berada di Dalam
Daerah Miqat dan Berada di Makkah Bagi penduduk Jeddah
misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika
mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka
mulai safar, bisa dari rumah mereka. Syaikh As Sa’di
mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk
umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.”
(Idem). Jika ada yang berkata,
“Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh
akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka
diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak
diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di
tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf
di Arafah.” (Idem). Semoga bermanfaat, hanya
Allah yang memberi taufik. Referensi:
Syarh ‘Umdatil Ahkam,
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama,
tahun 1431 H. Rewritten by :
Rachmat Machmud end Republished by :
Redaction Duta Asri Palem 3
|
Berdagang Setelah Shalat Jumat
Written By sumatrars on Jumat, 15 Agustus 2014 | Agustus 15, 2014
15 August 2014, 19 Syawal 1435 H
Setelah menunaikan shalat Jumat diperintahkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari rezeki. Apakah berarti dianjurkan berdagang setelah shalat Jumat atau apa maksudnya?
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika azan Jum’at berarti haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Adapun setelah shalat Jumat disebutkan (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan jual beli pada hari Jumat setelah shalat Jumat, moga Allah memberkahinya sebanyak 70 kali.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 278).
Kata Ibnu Katsir, ‘Arok bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika selesai shalat Jumat ia berdiri di pintu masjid lalu ia berkata, “Ya Allah, aku memenuhi panggilanmu, aku telah memenuhi kewajibanku dengan menjalankan shalat, aku pun menyebar di muka bumi sebagaimana yang engkau perintahkan kepadaku, oleh karenanya berilah rezeki padaku dari karunia-Mu, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. (Idem)
Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Setelah shalat Jumat bertebarlah di muka bumi untuk berdagang dan memenuhi berbagai hajat lainnya untuk memenuhi penghidupan dunia. Raihlah karunia Allah, yaitu rezeki Allah yang di mana rezeki tersebut berbeda-beda satu dan lainnya. Raihlah keuntungan dari muamalah dan berbagai pekerjaan.” (Fathul Qodir, 5: 302).
Namun ketika berdagang tersebut jangan sampai lalai dari dzikir pada Allah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata bahwa yang dimaksud adalah jika kalian telah selesai shalat Jumat carilah rezeki dan berdaganglah. Namun karena berdagang itu kemungkinan besar membuat seseorang lalai dari dzikir maka Allah ingatkan untuk banyak berdzikir yaitu “banyaklah berdzikir pada Allah”. Berdzikirlah ketika berdiri, saat duduk, saat berbaring supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung. Karena ingatlah bahwa banyak berdzikir pada Allah sebab datangnya keberuntungan. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 863).
Perintah dalam ayat di atas cuma menunjukkan kebolehan bukan perintah wajib atau sunnah. Maksudnya adalah jika kalian telah selesai dari shalat Jumat maka bertebarlah di muka bumi untuk berdagang dan memenuhi kebutuhan kalian. Raihlah rezeki Allah. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa maksud mencari karunia Allah adalah tuntutlah ilmu setelah menunaikan shalat Jumat. Ada pula yang memaksudkan lakukanlah shalat sunnah. Ibnu ‘Abbas menafsirkan, “Setelah shalat Jumat diperintahkan untuk memenuhi urusan dunia seperti mengunjungi orang sakit, menghadiri jenazah, dan mengunjungi saudara muslim lainnya karena Allah.” (Lihat Al Jami’ lii Ahkamil Qur’an karya Al Qurthubi, 9: 70).
Ibnu Taimiyah sendiri menyatakan bahwa raihlah karunia Allah dalam ayat di atas adalah raihlah ilmu dan pahala (setelah Shalat Jumat). (Majmu’atul Fatawa, 8: 524).
Semoga kita dapat memanfaatkan waktu berharga setelah shalat Jumat untuk meraih karunia dan rezeki Allah.
Article : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Metode Hisab Wujudul Hilal dan Imkanur Ru’yah
Written By sumatrars on Selasa, 22 Juli 2014 | Juli 22, 2014
Posted: 19 Jun 2014 02:05 AM PDT
Kita tahu bahwasanya dua organisasi besar di tanah air menggunakan metode hisab yang berbeda. Ada yang menggunakan metode hisab wujudul hilal dan ada yang menggunakan metode hisab imkanur ru’yah. Perbedaannya adalah metode wujudul hilal menganggap bahwa jika hilal (awal bulan) sudah ada, meskipun tidak nampak atau terlihat, maka tetap berpuasa keesokan harinya. Sedangkan metode imkanur ru’yah berpendapat bahwa adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang.
Metode kedua di atas itulah yang digunakan oleh pemerintah kita. Metode itulah yang ternyata lebih mendekati dalil. Karena dalam dalil disebutkan,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. ” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Dalil ini menunjukkan bahwa hilal harus terlihat dan bukan sekedar ada untuk menandakan mulai berpuasa. Kalau hilal itu ada namun tidak terlihat, maka tidak puasa keesokan harinya.
Mengenai kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut:
-
telah terjadi ijtimak (konjungsi),
-
ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
-
pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.
Atau pemahaman mudahnya, “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.”
Dari metode ini, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar dari pada NOL derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru. (Sumber: Kelemahan Metode Hisab & Metode Hisab dan Rukyat)
Berikut keterangan pakar hisab, T. Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN dan Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI) mengenai metode wujudul hilal:
Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama bukan perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya.
Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern).
Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari).
Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah.
NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah! (Sumber: Metode Hisab Wujudul Hilal ‘ala Muhammadiyah yang Sudah Usang)
Kita dapat simpulkan bahwa kelemahan metode hisab terletak saat menggunakan alat hitung yang tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab yang lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab mengakibatkan berbeda juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern atau kontemporer. Karena hasil yang berbeda dari berbagai metode, itu menunjukkan kelemahan cara manusia dibandingkan jika ditempuh cara yang telah digariskan Islam.
Cara Islam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga. Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan cara hisab hanyalah sebagai alat bantu saja untuk memperkirakan, bukan sebagai rujukan utama.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Copied from the source article: Muslim.Or.Id
Posted by : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Fatwa Ulama: Niat Puasa, Sekali Untuk Sebulan Atau Setiap Hari?
Written By sumatrars on Senin, 21 Juli 2014 | Juli 21, 2014
Posted: 21 Juli 2014 M / 23 Ramadhan 1435 H
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Soal:
Saya terkadang berpuasa tanpa meniatkannya ketika memulainya. Apakah niat itu
harus setiap hari ataukah cukup sekali dalam sebulan?
Jawab:
Puasa dan amalan ibadah lainnya harus disertai dengan niat. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“setiap amal itu
disertai niat, dan setiap amal itu tergantung pada niatnya”
dalam riwayat lain:
لا عمل إلا بنية
“tidak ada amal
kecuali dengan niat”
maka puasa wajib disertai niat di malam hari. Wajib bagi orang yang berpuasa
untuk berniat sebelum terbit fajar puasa di hari itu.
Soal:
Jika fajar sudah terbit, dan saya belum meniatkan diri untuk berpuasa kecuali
setelah terbit fajar, bagaimana status puasa saya?
Jawab:
Wajib baginya meng-qadha puasa pada hari tersebut dimana ia berpuasa tanpa
meniatkan diri untuk berpuasa. Dan niat puasa Ramadhan itu setiap hari. Karena
puasa pada setiap harinya itu masing-masingnya adalah ibadah tersendiri yang
membutuhkan niat sendiri. Maka hendaknya meniatkan diri untuk puasa setiap hari
pada malamnya.
Jika fajar sudah terbit dan belum meniatkan diri untuk berpuasa sebagaimana yang dilakukan penanya, maka puasanya tidak dianggap sebagai puasa Ramadhan. Maka wajib baginya untuk meng-qadha 1 hari. Baik itu karena ia meninggalkan niat karena sengaja atau karena lupa. Namun jika ia sudah berniat di malam hari namun setelah itu dia lupa atau dia tersibukkan dengan sesuatu, lalu niatnya tadi hilang atau luntur, namun sebenarnya ia sudah berniat sebelumnya, maka hal-hal tadi tidak berpengaruh pada keabsahan niat, selama ia telah benar-benar meniatkan sebelumnya.
Jadi hal-hal ringan yang melunturkan niat tidak berpengaruh pada keabsahan niat, dan puasanya tetap sah. Kecuali jika orang tadi meniatkan diri dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya ia berniat untuk tidak berpuasa pada hari itu. Jika demikian maka ia butuh untuk memperbaharui niat pada malam tersebut (sebelum terbit fajar).
***
Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, 2/389-390, Asy Syamilah
Copied from the source article: Muslim.Or.Id
Posted by : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban
Written By sumatrars on Rabu, 16 Juli 2014 | Juli 16, 2014
Bulan Sya’ban adalah bulan yang ke-8 dalam penanggalan hijriyah. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Banyak hadits yang berbicara tentang keutamaan bulan Sya’ban. Akan tetapi, banyak juga hadits-hadits lemah (dha’if) yang disebarkan pada bulan ini yang berkaitan dengan bulan Sya’ban.
Kita harus berhati-hati dengan hadits lemah (dha’if), terlebih lagi jika hadits tersebut berhubungan dengan aqidah, amalan dan hukum dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama selainku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka sesungguhnya dia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka.”1
Oleh karena itu, penulis berusaha mengumpulkan beberapa hadits lemah tentang bulan Sya’ban dari beberapa tulisan ulama dan penuntut ilmu untuk bisa kita ambil faidah bersama-sama2.
Berikut ini sebagian hadits-hadits lemah tersebut:
Hadits ke-1: Penamaan bulan Sya’ban
إنما سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فيه خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.
-
“Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.”3
Hadits ke-2 , ke-3 dan ke-4: Keutamaan bulan Sya’ban
رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي.
-
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.”4
خِيرَةُ اللهِ مِنَ الشُّهُورِ شَهْرُ رَجَبٍ وَهُوَ شَهْرُ اللهِ، مَنْ عَظَّمَ شَهْرَ اللهِ رَجَبٍ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرَ اللهِ، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنَّاتِ النَّعِيمِ، وَأَوْجَبَ لَهُ رِضْوَانَهُ الْأَكْبَرَ، وَشَعْبَانُ شَهْرِي فَمَنْ عَظَّمَ شَهْرَ شَعْبَانَ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرِي، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرِي كُنْتُ لَهُ فَرَطًا وَذُخْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَشُهِرُ رَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِي…
-
“Sebaik-baik bulan adalah bulan Allah, (yaitu Rajab). Barang siapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka dia telah mengagungkan urusan Allah. Barang siapa yang mengagungkan urusan Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan pasti mendapatkan keridhaan-Nya yang paling besar. Bulan Sya’ban adalah bulanku. Barang siapa yang mengagungkan bulan Sya’ban maka dia telah mengagungkan urusanku. Barang siapa yang mengagungkan urusanku, maka saya akan menjadi pendahulunya dan simpanan kebaikannya di hari kiamat. Bulan Ramadhan adalah bulan umatku…”5
فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِه.
-
“Keutamaan bulan Rajab dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Al-Qur’an dari seluruh dzikir. Keutamaan bulan Sya’ban dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Muhammad dari seluruh nabi. Dan keutamaan bulan Ramadhan dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Allah dibanding dengan hamba-hamba-Nya.”6
Hadits ke-5, ke-6 dan ke-7: Puasa di bulan Sya’ban
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ-صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-يَصُوْمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَرُبَّما أخَّرَ ذلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهِ صَوْمُ السَّنَةِ فَيَصُوْم شَعْبَانَ.
-
“Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulan dan terkadang beliau mengakhirkan puasa tiga hari tersebut sampai setahun, kemudian beliau berpuasa di bulan Sya’ban.”7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Akan tetapi, yang diingkari pada hadits di atas adalah alasan mengapa beliau berpuasa Sya’ban.
عن أبي هريرة-رضي الله عنه- أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَصُمْ بَعْدَ رَمَضَانَ إِلَّا رَجَبٌ وَشَعْبَانُ
-
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa setelah bulan Ramadhan kecuali berpuasa di bulan Rajab dan Sya’ban saja.”8
Hadits ini jelas sekali bertentangan dengan hadits-hadits yang lain yang menunjukkan bahwa beliau biasa berpuasa Syawwal, Senin-Kamis dan lain-lain.
عن عَائِشَةَ ، قَالَتْ: … فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ: مَالِيْ أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ ، فَقَالَ:
يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ شَهْرٌ يَنْسَخُ لمِلَكِ اْلمَوْتِ مَنْ يَقْبِضُ ، فَأُحِبُّ أَنْ لَا يَنْسَخَ اسْمِيْ إِلَّا وَأَناَ صَائِمٌ.
-
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha … dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Mengapa saya melihat engkau paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ‘Ya ‘Aisyah! Sesungguhnya dia adalah bulan yang mana Malaikat Maut mencatat (nama-nama) orang yang akan dicabut (nyawanya), dan saya senang jika dicatat namaku dalam keadaaan saya sedang berpuasa.”9
Hadits ke-8: Puasa Nishfu Sya’ban (Pertengahan bulan Sya’ban)
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا
-
“Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.”10
Terdapat keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban, tetapi yang diingkari dalam hadits ini adalah penyebutan amalan khusus yang dikhususkan pada hari tersebut.
Hadits ke-9 sampai 16: Keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا , فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ.
-
“Sesungguhnya Allah turun pada malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit dunia dan mengampuni lebih dari jumlah bulu kambing suku Kalb.”11
Suku Kalb dulu terkenal memiliki banyak kambing peliharaan, sehingga mereka terkenal di negeri Arab. Penyebutan banyak hamba-hamba yang akan diampuni pada malam tersebut benar dan terdapat pada hadits yang shahih, yang diingkari pada hadits ini adalah jumlah khusus yang disebutkan.
خَمْسُ لَيالٍ لا تُرَدُّ فِيهِنَّ الدَّعْوَةُ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبانَ وَلَيْلَةُ الجُمُعَةِ وَلَيْلَةُ الفِطْرِ وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
-
“Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak pada malam-malam itu, yaitu: malam pertama di bulan Rajab, malam pertengahan di bulan Sya’ban, malam Jum’at, malam (idul) fitri dan malam sembelihan (idul-adha).”12
Yang diingkari dalam hadits ini dan berikutnya adalah penyebutan amalan khusus yang dikhususkan pada malam tersebut.مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, بَعَثَ اللهُ إِلَيْه مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَه .
-
“Barang siapa yang membaca di malam pertengahan di bulan Sya’ban seribu kali ‘Qul Huwallahu Ahad’, maka Allah akan mengutus kepadanya seratus ribu malaikat untuk memberi kabar gembira kepadanya.” 13
يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, قَضَى اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ الَّليْلَة
-
“Ya ‘Ali! Barang siapa yang shalat di malam pertengahan di bulan Sya’ban sebanyak seratus rakaat dengan membaca seribu ‘Qul Huwallahu Ahad’, maka Allah memenuhi seluruh hajatnya yang dia minta pada malam itu.”14
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الِعيْدِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْب.
-
“Barang siapa yang menghidupkan dua malam, yaitu: malam id dan malam pertengahan di bulan Sya’ban, maka hatinya tidak akan mati, dimana hati-hati manusia banyak yang mati.”15
مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثَلاَثَ مِئَةِ ركْعَةٍ ( فِيْ لَفْظٍ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً ) يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد شُفِّعَ فِيْ عَشْرَةٍ قَدْ اسْتَوْجَبُوْا النَّار.
-
“Barang siapa yang shalat di malam pertengahan di bulan Sya’ban sebanyak tiga ratus raka’at, (di dalam riwayat lain dua belas rakaat), dan dia membaca pada setiap rakaat tiga puluh kali ‘Qul Huwallah Ahad’, maka dia akan bisa memberi syafaat untuk sepuluh orang yang dipastikan masuk ke dalam neraka.”16
مَنْ أَحْيَا الليَالِيْ الخَمْس ؛ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّة: لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةَ النَّحْرِ، وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
-
“Barang siapa yang menghidupkan lima malam maka dia akan masuk surga, yaitu: malam tarwiyah (9 Dzul-hijjah), malam ‘Arafah, malam idul-adha, malam idul-fitri dan malam pertengahan di bulan Sya’ban.”17
إِذَا كَانَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ نَادَى مُنَادٍ : هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرُ لَهُ? هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ? فَلَا يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلَّا أُعْطِيَ إِلَّا زَاِنيَة بِفَرْجِهَا أَوْ مُشْرِك .
-
“Pada malam pertengahan di bulan Sya’ban seorang pemanggil menyeru, “Adakah orang yang meminta ampun, maka aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta, maka aku akan mengabulkannya? Tidak ada seorang pun yang meminta kecuali saya akan mengabulkannya kecuali pezina dan orang musyrik.”18
Yang diingkari dalam hadits ini adalah penyebutan lafaz pezina, karena terdapat lafaz yang shahih yang tidak diampuni pada malam tersebut adalah orang musyrik dan musyahin (orang yang memilki permusuhan dengan saudara seiman)
Hadits ke-17: Doa agar diberkahi di bulan Rajab dan Sya’ban dan disampaikan kepada bulan Ramadhan
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ .
-
“Ya Allah! Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami kepada bulan Ramadhan.”19
Yang diingkari pada hadits ini adalah penisbatannya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
DAFTAR PUSTAKA
-
Al-Fathu Al-Kabir fi Dhammizziyadah Ila Jami’ Ash-Shaghir. Jalaluddin As-Suyuthi. Beirut: Darul-Fikr.
-
Al-Manar Al-Munif fi Ash-Shahih wa Adh-Dha’if. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Al-Hanbali. Halab: Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyah.
-
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhaa As-Sayyi’ fil-Ummah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ar-Riyadh: Darul-Ma’arif.
-
Tabyiinul-‘Ajab bima Warada fi Rajab. Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
-
www.ahlalhdeeth.com
-
www.kalemasawaa.com
Footnotes
-
HR Al-Bukhari no. 1291 dari Al-Mughirah, Muslim dalam Muqaddimatush-shahih no. 4 dari Abu Hurairah dan yang lainnya.
-
Karena keterbatasan waktu, sebagian takhrij dan hukum hadits di catatan kaki, penulis hanya menukil dari sumber-sumber yang disebutkan pada daftar pustaka.
-
HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’ ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061.
-
HR Ibnu Abi Al-Fawaris dalam Al-Amali dan Al-Ashbahani dalam At-Targhib dari Hasan secara mursal. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 4400.
-
HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3532. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 6188.
-
HR Salafy Al-Hafizh, disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tabyiinul-‘Ajb bimaa Warada fi Fadhli Rajab. Beliau berkata, “Seluruh rijal sanad ini tsiqah kecuali As-Saqathi sesungguhnya dia Aafah. Dan sangat terkenal memalsukan hadits dan mengganti-ganti sanad serta tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dengan sanad hadits seperti ini kecuali dia.”
-
HR At-Thabrani dalam Al-Awsath no. 2098 dari ‘Aisyah. Beliau mengatakan, “Tidak diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila kecuali dengan sanad ini. ‘Amr meriwayatkannya sendirian darinya.” Saya katakan, “Abdurrahman bin Abi Laila dha’if.”
-
HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3522 dan dia berkata, “Dha’if.”
-
Awal dari hadits tersebut adalah hadits yang shahih diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Adapun tambahan hadits yang diberi garis bawah, maka tambahan tersebut munkar, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi dalam ‘Ilalul-Hadits no. 737.
-
HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132.
-
HR Tirmidzi no. 739 dan Ibnu Majah no. 1389. Syaikh Al-Albani men-dha’if-kannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
-
HR Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 1452.
-
Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Lisanul-Mizan (V/271).
-
Disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal. 50.
-
Disebutkan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (II/562).
-
Disebutkan di dalam kitab Al-Manar Al-Munif hal. 99 no. 177.
-
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dha’if At-Targhib no. 667, “Maudhu’.”
-
HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3555. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 7000.
-
HR At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 3939, Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3534. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4395.
Copied from the source article: Muslim.Or.Id
Posted by :Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...