Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Kelompok Sesat Murjiah, Pendangkal Keimanan Umat

Written By Rachmat.M.Flimban on Jumat, 22 Mei 2020 | Mei 22, 2020



KELOPOK SESAT MURJIAH, PENDANGKAL KEIMANAN UMAT

Munculnya kelompok-kelompok sesat dan para pengusungnya, merupakan petaka bagi kehidupan beragama umat manusia. Keberadaannya di tengah-tengah umat, ibarat duri dalam daging yang semakin lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yang digulirkan pun, kian hari kian mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari mereka. Tak pelak, dengan kemunculannya terburailah ikatan persatuan umat yang telah dirajut sebaik-baiknya oleh baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam.

Murjiah (مُرْجِئَة) Tergolong Kelompok Sesat

Di antara kelompok sesat yang telah menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya ialah kelompok Murjiah. Ia merupakan kelompok sempalan yang berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhatnya amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari umat. Dasar pijakannya adalah akal dan pengetahuan bahasa Arab yang dipahami sesuai dengan hawa nafsu mereka, layaknya kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta perkataan para sahabat dan tabiin. 

(Lihat Majmu’ Fatawa, 7/118)

Mengapa Disebut Murjiah?

Murjiah adalah nisbah pada irja` (إِرْجَاء), yang artinya mengakhirkan. 
Kelompok ini disebut dengan Murjiah karena dua hal:
  1. Mereka mengakhirkan (tidak memasukkan, pen.) amalan ke dalam definisi keimanan. (Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 113)
  2. Keyakinan mereka bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengakhirkan (membebaskan, pen.) azab atas (pelaku, pen.) kemaksiatan. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Imam Ibnul Atsir, 2/206)
Siapakah Pelopor Utama Murjiah?

Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:
  1. Ghailan ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyah yang dibunuh pada 105 H. (Lihat al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani hlm. 139)
  2. Hammad bin Abu Sulaiman al-Kufi. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311)
  3. Salim al-Afthas. (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 179)
Kapan Munculnya Murjiah?
Murjiah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul pada akhir-akhir abad pertama Hijriah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi, dari Syu’bah, dari Zubaid, ia berkata, ‘Ketika muncul kelompok Murjiah, aku mendatangi Abu Wail dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan akidah mereka (Murjiah), dan disampaikan (kepada Abu Wail) pada masa kemunculannya. Sementara itu, Abu Wail sendiri wafat pada 99 H, ada pula yang mengatakan pada 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.” (Fathul Bari 1/137)

Kelompok sesat Murjiah ini kemudian tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak, pen.). Mereka pun menjadi rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan. (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38)

Baca juga: Artilek Selanjutnya

Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal Khawarij, Kelompok Sesat Pertama dalam Islam

Sekte-Sekte Murjiah
Murjiah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte. Masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murjiah dan ada pula yang tidak.

Yang murni Murjiah antara lain:
  • Yunusiyah (pengikut Yunus bin ‘Aun an-Numairi),
  • Ubaidiyah (pengikut Ubaid al-Muktaib),
  • Ghassaniyah (pengikut Ghassan al-Kufi),
  • Tsaubaniyah (pengikut Abu Tsauban al-Murji’),
  • Tumaniyah (pengikut Abu Mu’adz at-Tumani),
  • dan Shalihiyah (pengikut Shalih bin Umar ash-Shalihi).
Adapun yang tidak murni Murjiah, antara lain:
  • Murjiah Fuqaha (Murjiah dari kalangan [sebagian] ahli fikih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman),
  • Murjiah Qadariyah (Murjiah dari kalangan kelompok pengingkar takdir, pengikut Ghailan ad-Dimasyqi),
  • Murjiah Jabriyah (Murjiah yang juga berakidah Jabriyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyah),
  • Murjiah Khawarij (sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikit pun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar),
  • Murjiah Karramiyah (Murjiah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah[1]). (Untuk lebih rinci, lihat Majmu’ Fatawa 7/543—550; al-Milal wan Nihal, hlm. 140—145; dan Firaq Mu’ashirah, 2/761)
Kesesatan Kelompok Murjiah
Secara garis besar, kesesatan Murjiah dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
  • Iman adalah keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murjiah Fuqaha)
  • Iman adalah pengetahuan/pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murjiah)
  • Iman adalah perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).[2]
Bantahan:
Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan, sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama salaf serta yang mengikuti jejak mereka.

Dalam Al-Qur’an, seringkali Allah subhanahu wa ta’ala menyebut amalan saleh sebagai ‘iman’. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah (semoga Allah menjaganya) berkata, “Seringkali Allah subhanahu wa ta’ala menyebut amalan salih dengan sebutan ‘iman’. Allah berfirman-Nya,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan kalian.” (al-Baqarah: 143)
Yang dimaksud dengan ‘keimanan kalian’ di sini adalah shalat kalian dengan menghadap Baitul Maqdis. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya dengan iman.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 19—20)

Adakalanya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan beberapa amalan saleh dalam Al-Qur’an sebagai ciri/tanda bagi orang-orang beriman. Ini sekaligus menjadi isyarat bahwa predikat mukmin tak bisa diraih hanya dengan keyakinan di hati dan ucapan di lisan, tetapi harus dibuktikan dengan amalan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ ٤ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ ٨ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمۡ يُحَافِظُونَ ٩

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (al-Mu`minun: 1—9)[3]
Dalam As-Sunnah, Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa amalan adalah bagian dari iman. Di antaranya ialah sabda beliau,

الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

“Iman itu mempunyai enam puluh sekian cabang. Cabangnya yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu (juga) cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 58, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa iman mempunyai cabang yang banyak jumlahnya. Ada yang berupa ucapan (amalan) lisan, seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yang berupa amalan tubuh, seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yang berupa amalan hati, seperti sifat malu.

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Buah Keimanan (bagian 2)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah mengganggu tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau lebih baik diam (kalau tidak bisa berkata yang baik, -pen.).” (HR. al-Bukhari no. 5672, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan tidak mengganggu tetangga, memuliakan tamu, dan bertutur kata dengan baik merupakan bagian dari keimanan.

Baca juga: Artikel Selanjutnya

Meraih Ridha Allah dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan lisannya, dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 78, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari iman.

Baca juga: Artikel Selanjutnya

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat

Adapun ijmak adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Merupakan ijmak (kesepakatan) para sahabat, tabiin, dan yang kami jumpai dari para ulama (dunia), bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan niat (keyakinan hati). Tidaklah mencukupi salah satu darinya tanpa sebagian yang lain.”[4] (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Adapun tiga versi hakikat keimanan yang ada pada kaum Murjiah, semuanya bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak. Bahkan, bertentangan dengan fitrah yang suci.
Hal ini bisa dibuktikan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
  • Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan keyakinan dalam hati dan perkataan lisan, tanpa beramal.
Apakah surga itu diraih dengan santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu, untuk apa kita diperintah melakukan shalat, zakat, puasa Ramadhan, haji, dan amalan saleh lainnya?!
  • Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/pengetahuan dalam hati saja 
Lantas apa bedanya iman kita dengan ‘iman’ sebagian orang-orang kafir?![5]
  • Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan perkataan lisan.
Kalau begitu, apa bedanya dengan iman kaum munafik yang dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala?!

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Mewaspadai Kaum Munafik

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, 
“Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Iman bukan sekadar perkataan dan amalan tanpa adanya keyakinan di hati. Sebab, yang demikian merupakan keimanan kaum munafik.
Iman bukan pula sebatas makrifat (wacana) tanpa ada perkataan dan amalan. Sebab, yang demikian merupakan ‘iman’ orang-orang kafir durjana…
Iman juga bukan hanya keyakinan hati belaka, atau perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Sebab, yang demikian merupakan iman Murjiah.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 19)

2. Iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang. Ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Jadi, suatu dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana suatu ketaatan juga tidak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala.[6]

Bantahan:
Pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama.

Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa iman dapat bertambah disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنًا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

 (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya manusia (orang-orang kafir Quraisy, -pen.) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Maka perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan menjawab, “Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 173)

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقًّاۚ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)

Baca juga: Artikel terkait
Jagalah Keimananmu

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ

"Adapun orang-orang yang beriman, maka (surah Al-Qur'an yang diturunkan Allah
tersebut menambahkan iman mereka, dalam keadaan mereka merasa gembira. ; (at-Tabah: 124)
لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ
“Agar keimanan mereka bertambah, di samping keimanan yang sudah ada pada mereka.” (al-Fath: 4)
وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنًا
“Dan supaya orang-orang yang beriman itu semakin bertambah keimanannya.” (al-Muddatstsir: 31)

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Dampak Keimanan dalam Kehidupan Seorang Muslim

Di dalam As-Sunnah, banyak juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antaranya adalah sabda beliau,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan lisannya, dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 78, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)

Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang, kecuali karena dia bisa kuat/bertambah.

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Adanya mukmin yang kuat dan mukmin yang lemah menunjukkan bahwa iman setiap orang berbeda-beda, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas (bertambah atau berkurang).

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Makna Hadits “Mukmin yang Kuat”

Adapun ijmak ulama, sebagaimana yang dikatakan Musa bin Harun al-Hammal,

“Telah mendiktekan (imla) kepada kami Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, ‘Tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa iman meliputi perkataan dan amalan,[7] bisa bertambah dan bisa berkurang. 

Hal itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yang sahih lagi pasti, serta pernyataan-pernyataan individu dari para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para tabiin, dan para ulama generasi setelah tabiin. Mereka semua bersepakat dan tak berselisih dalam hal ini.

Demikian pula pada masa al-Auza’i di Syam, Sufyan ats-Tsauri di Irak, Malik bin Anas di Hijaz, dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. (Pernyataan) mereka semua sama dengan kami, yaitu iman meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang’.”[8] (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Perkataan mereka (Murjiah) bahwa ‘dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala’,

merupakan perkataan batil dan sesat dari beberapa sisi. Di antaranya adalah:
  • Prinsip[9] yang dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama, sebagaimana yang telah disebutkan pada poin pertama. Dengan demikian, segala prinsip yang dibangun di atasnya pun menjadi batil.
  • Dalil-dalil tentang bisa bertambahnya iman sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa berkurangnya. Sebabm, sebelum iman itu bertambah, dia berkurang.[10] 
  • Para ulama bersepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dengan sebab kemaksiatan.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan,
“Ahli fikih dan hadits telah bersepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali berdasarkan niat. 
Demikian pula, iman bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan.” (at-Tamhid, 9/238)

Bahkan, Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Iman itu meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang. 
Barang siapa menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah, tetapi tidak bisa berkurang. Maka dari itu, berhati-hatilah darinya karena dia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’).” (asy-Syari’ah, hlm. 113)
  • Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala;
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan, dan memeranginya merupakan kekufuran.” (HR. al-Bukhari no. 48, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu)

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Baththah dengan sanadnya yang sampai kepada Mubarak bin Hassan, ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Salim al-Afthas (salah seorang pelopor Murjiah, -pen.),

‘Ada seseorang yang taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Ada pula seseorang yang bermaksiat kepada Allah dan tidak menaati-Nya. Kemudian keduanya meninggal dunia. Allah memasukkan seorang yang taat tersebut ke dalam jannah (surga) dan memasukkan si pelaku maksiat ke dalam neraka. Apakah antara keduanya ada perbedaan dalam hal keimanan?’

Dia (Salim al-Afthas) menjawab, ‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’

Akhirnya, kejadian ini kusampaikan kepada Atha’ (salah seorang imam tabiin, -pen.). Beliau berkata, ‘Tanyakan kepadanya, apakah iman itu sesuatu yang baik ataukah sesuatu yang buruk? Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِيَمِيزَ ٱللَّهُ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ وَيَجۡعَلَ ٱلۡخَبِيثَ بَعۡضَهُۥ عَلَىٰ بَعۡضٍ فَيَرۡكُمَهُۥ جَمِيعًا فَيَجۡعَلَهُۥ فِي جَهَنَّمَۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ

‘Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas yang lain, lalu semuanya Dia tumpuk dan Dia masukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.’ (al-Anfal: 37)

Lalu kutanyakan kepada mereka (Murjiah, pen.) apa yang disarankan oleh Atha’. Tak seorang pun dari mereka (kaum Murjiah) yang mampu menjawabnya.”[11] (Majmu’ Fatawa 7/180)

Penutup
Para pembaca yang mulia, dari pembahasan yang telah lewat, amatlah jelas bahaya kelompok sesat Murjiah ini. Prinsip-prinsipnya benar-benar mendangkalkan keimanan umat, membuat mereka malas beramal saleh dan bermudah-mudah melakukan kemaksiatan, dengan penuh keyakinan bahwa imannya sempurna dan dia aman dari azab Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga: Artikel Selanjutnya
Bahaya Laten Penyimpangan Akidah 

Tak mengherankan apabila Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Sungguh, fitnah (keburukan) Murjiah ini lebih aku khawatirkan terhadap umat daripada fitnah Azariqah (Khawarij).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, 3/1061)

Akhir kata, demikianlah yang dapat kami sajikan seputar kelompok Murjiah dan kesesesatannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Selanjutnya, para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kesesatan Murjiah berikut jawabannya, silakan merujuk

Sumber Redaksi 17/05/2020di Asy Syariah Edisi 031, Manhaji

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah Lahirnya Tahlilan di Pulau Jawa

Written By Rachmat.M.Flimban on Sabtu, 29 Juli 2017 | Juli 29, 2017

Sejarah Lahirnya Tahlilan di Pulau Jawa
By FADHIL ZA

” Kami mengemukakan tulisan ini hanya untuk bahan renungan fakta sejarah , bukan untuk bahan perdebatan salah dan benarnya amalan seseorang, silahkan kita beramal menurut keyakinan masing masing. Setiap diri akan bertanggung jawab dihadapan Allah atas apa yang dilakukannya”
Oleh Suhadi

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan. *1

Gambar Wali Songo
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga”.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni / aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan sudah tahunya sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah yg sudah jelas terang benderang saja yg kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ngada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Alloh dan RosulNya.
Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua.
Na’udzu billahi mindzalik
Penulis SUHADI
Daftar Literatur
  1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
  2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
  3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
  4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
  5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
  6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
  7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
Sumber : https://abuhafizh.wordpress.com
Dinukil dari Sumber Artikel; Fadhilza.com
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Keutamaan Mendoakan Kebaikan Sesama Muslim

Written By sumatrars on Minggu, 12 Februari 2017 | Februari 12, 2017

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِـمِثْل

Dari Abu ad-Darda' رضي الله عنه bahwa sesungguhnya Rasulullah  صلى الله عليه وسلم 

bersabda, "Do'a (kebaikan) seorang Muslim bagi saudaranya (sesama Muslim) di belakangnya (tanpa sepengetahuannya) adalah mustajab (dikabulkan oleh Allah), di atas kepalanya ada malaikat yang ditugaskan (dengan perintah Allah untuk urusan ini), setiap kali dia mendoakan kebaikan bagi saudaranya, maka malaikat yang ditugaskan itu berkata: "Amin (Ya Allah, kabulkanlah!) dan kamu juga akan mendapatkan (kebaikan) seperti itu". (HR. Muslim no. 2733).
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar mendoakan kebaikan bagi saudara kita seiman, baik satu orang maupun lebih, tanpa sepengetahuannya. Sebab, doa ini dijanjikan pengabulannya oleh Allah عزّوجلّ dan orang yang melakukannya akan mendapatkan kebaikan seperti yang ia doakan untuk saudaranya. Oleh karena itu, Imam Nawawi رحمه الله memberi judul hadits ini dengan bab 'Keutamaan mendoakan (kebaikan) bagi kaum Muslimin tanpa sepengetahuannya'. 
Beberapa mutiara faeidah yang dapat kita petik dari hadits ini: 
  • Keutamaan doa ini dikaitkan dengan mendoakan sesama Muslim tanpa sepengetahuannya karena ini akan lebih dekat kepada niat yang ikhlas.
  • Keutamaan ini berlaku ketika mendoakan saudara sesama Muslim tanpa sepengetahuannya, baik itu perorangan, atau sejumlah orang Muslim, dan bahkan untuk semua kaum Muslimin.
  • Makna ucapan malaikat, "Dan kamu juga akan mendapatkan (kebaikan) seperti itu" yaitu "Aku berdoa kepada Allah agar Dia memberimu kebaikan seperti yang kamu mintakan bagi orang lain".
  • Hadits ini juga menjadi dalil tentang adanya malaikat yang ditugaskan oleh Allah عزّوجلّ untuk urusan ini secara khusus.
  • Hadits ini juga menunjukkan bahwa malaikat hanyalah mengaminkan doa-doa kebaikan yang diucapkan oleh seorang hamba.
  • Para Ulama Salaf mempraktekkan kandungan hadits ini, sehingga salah seorang dari mereka ketika ingin berdoa untuk kebaikan dirinya, maka dia mengucapkan doa tersebut bagi saudaranya sesama Muslim, dengan harapan doa itu dikabulkan dan dia pun akan mendapatkan kebaikan yang serupa.[]
Disalin dari Majalah As-Sunnah (Baituna) Ed. 11 Th. XIX 1437H/2016M
Sumber: Artikel ibnumajjah.wordpress.com / Artikel; fimadani.com
Penulis Salinan; Rachmat.M.M.a

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Penjelasan Hadits “Mintalah Fatwa Pada Hatimu”

Hadits “Fatwa”
Nabi bersabda: "Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu, karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu". Bagaimana penjelasannya?
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
“Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa” (HR. Ahmad no.17545, Al Albani dalam Shahih At Targhib [1734] mengatakan: “hasan li ghairihi“).
Apa maksud “minta fatwa pada hati“? Kalau seseorang dalam hatinya merasa shalat itu tidak nyaman, sulit, capek, lalu akhirnya boleh tidak shalat? Kalau seorang wanita minta fatwa pada hatinya lalu hatinya mengatakan tidak usah pakai jilbab, lalu kemudian boleh tidak pakai jilbab? Apakah patokan benar-salah itu hati atau perasaan?
Demikianlah hadits ini jika dipahami serampangan akan menimbulkan pemahaman yang keliru.
Wajibnya mengikuti dalil, bukan perasaan
Ketika dihadapkan pada suatu pilihan antara benar dan salah, seorang Muslim wajib mengikuti dalil, bukan mengikuti perasaan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Qs. Muhammad: 33).
Ia juga berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (Qs. At Taghabun: 12).
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).
Ayat-ayat ini menegaskan wajibnya kita sebagai hamba Allah untuk mengikuti dalil, yaitu firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan kaum mu’minin dengan suatu perkara yang membuat iman menjadi sempurna, dan bisa mewujudkan kebahagiaan bagi mereka di dunia dan akhirat, yaitu: menaati Allah dan menaati Rasul-Nya dalam perkara-perkara pokok agama maupun dalam perkara cabangnya. Taat artinya menjalankan setiap apa yang diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang sesuai dengan tuntunannya dengan penuh keikhlasan dan pengikutan yang sempurna” (Taisir Karimirrahman, 789).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan, “sudah menjadi kewajiban bagi setiap hamba dalam agamanya untuk mengikuti firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan mengiktuti para Khulafa Ar Rasyidin yaitu para sahabat sepeninggal beliau, dan juga mengikuti para tabi’in yang mengikuti mereka dengan ihsan” (Fathu Rabbil Bariyyah, 7).
Penjelasan para ulama
Lalu bagaimana dengan hadits di atas? Apakah menunjukkan bahwa perasaan itu bisa menentukan benar dan salah? Kita lihat bagaimana para ulama menjelaskan hadits ini.
Para ulama menjelaskan bahwa hadits ini tidak berlaku pada semua orang dan semua keadaan, melainkan sebagai berikut:
1. Berlaku bagi orang yang shalih, bukan pelaku maksiat yang hatinya kotor
Orang yang shalih, yang hatinya bersih dan masih di atas fitrah, akan resah dan bimbang hatinya ketika berbuat dosa. Maka hadits ini berlaku bagi orang yang demikian, sehingga ketika orang yang sifatnya demikian melakukan sesuatu yang membuat hatinya resah dan bimbang, bisa jadi itu sebuah dosa.
Al Munawi mengatakan:
(استفت نفسك) المطمئنة الموهوبة نورا يفرق بين الحق والباطل والصدق والكذب إذ الخطاب لوابصة وهو يتصف بذلك
“‘mintalah fatwa pada hatimu‘, yaitu hati yang tenang dan hati yang dikaruniai cahaya, yang bisa membedakan yang haq dan yang batil, yang benar dan yang dusta. Oleh karena itu disini Nabi berbicara demikian kepada Wabishah yang memang memiliki sifat tersebut” (Faidhul Qadir, 1/495).
Wabishah bin Ma’bad bin Malik bin ‘Ubaid Al-‘Asadi radhiallahu’anhu, adalah seorang sahabat Nabi, generasi terbaik yang diridhai oleh Allah. Beliau juga dikenal ahli ibadah dan sangat wara’. Maka layaklah Nabi bersabda ‘mintalah fatwa pada hatimu‘ kepada beliau.
Ibnu Allan Asy Syafi’i mengatakan:
قال: استفت قلبك) أي اطلب الفتوى منه، وفيه إيماء إلى بقاء قلب المخاطب على أصل صفاء فطرته وعدم تدنسه بشىء من آفات الهوى الموقعة فيما لا يرضى، ثم بين نتيجة الاستفتاء وأن فيه بيان ما سأل عنه
“Sabda beliau ‘istafti qalbak‘, maknanya: mintalah fatwa pada hatimu. Ini merupakan isyarat tentang keadaan hati orang yang ajak bicara (Wabishah) bahwa hatinya masih suci di atas fitrah, belum terkotori oleh hawa nafsu terhadap sesuatu yang tidak diridhai Allah, lalu Nabi menjelaskan buah dari meminta fatwa dari hati yang demikian, dan bahwasanya di sana ada jawaban dari apa yang ia tanyakan” (Dalilul Falihin, 5/34).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
وهذا فيمن نفسه مطمئنة راضية بشرع الله. وأما أهل الفسوق والفجور فإنهم لا يترددون في الآثام، تجد الإنسان منهم يفعل المعصية منشرحاً بها صدره والعياذ بالله، لا يبالي بذلك، لكن صاحبَ الخير الذي وُفق للبر هو الذي يتردد الشيء في نفسه، ولا تطمئن إليه، ويحيك في صدره، فهذا هو الإثم
“Ini berlaku bagi orang yang jiwanya baik dan ridha terhadap syariat Allah. Adapun orang fasiq (yang gemar melanggar syariat Allah) dan fajir (ahli maksiat) mereka tidak bimbang dalam melakukan dosa. Engkau temui sebagian orang ketika melakukan maksiat mereka melakukannya dengan lapang dada, wal ‘iyyadzu billah. Maka ini tidak teranggap. Namun yang dimaksud di sini adalah pecinta kebaikan yang diberi taufik dalam kebaikan yang resah ketika melakukan kesalahan, hatinya tidak tenang, dan sesak dadanya, maka ketika itu, itulah dosa”(Syarah Riyadish Shalihin, 3/498-499).
Maka jika kita tahu bahwa diri kita masih sering melakukan maksiat, sering melanggar ajaran Allah, sering meremehkan ajaran agama, sering ragu terhadap kebenaran ajaran agama, jangan ikuti kata hati kita. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
إذا علمت أن في نفسك مرضاً من الوسواس والشك والتردد فيما أحل الله، فلا تلتفت لهذا، والنبي عليه الصلاة والسلام إنما يخاطب الناس، أو يتكلم على الوجه الذي ليس فيه أمراض، أي ليس في قلب صاحبه مرض
“Jika engkau mengetahui bahwa hatimu itu penuh penyakit, berupa was-was, ragu, dan bimbang terhadap apa yang Allah halalkan, maka jangan ikuti hatimu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di sini berbicara kepada orang yang di hatinya tidak ada penyakit hati”(Syarah Riyadish Shalihin, 3/499)
2. Berlaku bagi orang yang memiliki ilmu agama
Orang yang memiliki ilmu agama mengetahui yang halal dan yang haram. Mengetahui batasan-batasan Allah. Mengetahui hak-hak Allah dan hak-hak hamba. Maka dengan ilmu yang miliki tersebut tentu ia akan merasa tidak tenang jika melakukan sesuatu yang melanggar ajaran agama. Berbeda dengan orang yang jahil yang tidak paham agama, tidak paham hak-hak Allah dan hak-hak hamba, ketika melakukan kesalahan dan dosa ia merasa biasa saja atau bahkan merasa melakukan kebenaran.
Abul Abbas Dhiyauddin Al Qurthubi mengatakan:
استفت قلبك وإن أفتوك . لكن هذا إنما يصج ممن نوَّر الله قلبه بالعلم ، وزين جوارحه بالورع ، بحيث يجد للشبهة أثرًا في قلبه . كما يحكى عن كثير من سلف هذه الأمَّة
“‘mintalah fatwa pada hatimu, walaupun orang-orang memberimu fatwa‘. ini hanya berlaku bagi orang diberi cahaya oleh Allah berupa ilmu (agama). Dan menghiasi raganya dengan sifat wara’. Karena ketika ia menjumpai sebuah syubhat, itu akan mempengaruhi hatinya. Demikianlah yang terjadi pada kebanyakan para salaf umat ini” (Al Mufhim limaa Asykala min Talkhis Kitab Muslim, 14/114).
3. Berlaku pada perkara-perkara syubhat, bukan perkara yang sudah jelas hukumnya
Sebagaimana dijelaskan Abul Abbas Al Qurthubi di atas, hadits ini berlaku pada perkara-perkara yang syubhat, yang belum diketahui pasti oleh seseorang antara halal-haramnya, boleh-tidaknya. Bukan perkara-perkara yang sudah jelas hukumnya.
Oleh karena itu para ulama menggolongkan hadits ini sebagai hadits anjuran menjauhi syubhat. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad menjelaskan,
قوله: “والإثمُ ما حاك في نفسك وكرهت أن يطَّلع عليه الناس”، من الإثم ما يكون واضحاً جليًّا، ومنه ما يحوك في الصدر ولا تطمئنُّ إليه النفس، ويكره الإنسانُ أن يطَّلع عليه الناس؛ لأنَّه مِمَّا يُستحيا من فعله، فيخشى صاحبُه ألسنةَ الناس في نيلهم منه، وهو شبيه بما جاء في الأحاديث الثلاثة الماضية: “فمَن اتَّقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه”، و “دع ما يريبُك إلى ما لا يريبك”، و “إنَّ مِمَّا أدرك الناس من كلام النبوة الأولى إذا لم تستح فاصنع ما شئت”
“Sabda Nabi: ‘Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan engkau tidak ingin diketahui oleh orang‘. Ada dosa yang sudah jelas hukumnya. Ada pula dosa (yang tidak jelas) yang membuat hati resah dan menyesakkan dada, dan ia tidak ingin diketahui orang-orang karena ia malu melakukannya di depan orang-orang. Ia khawatir orang-orang membicarakan perbuatannya tersebut. Maka ini semisal dengan hadits-hadits yang dibahas sebelumnya, yaitu hadits:
فمَن اتَّقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه
“barangsiapa yang menjauhkan diri dari syubhat maka ia menyelamatkan agamanya dan kehormatannya”
Dan hadits:
دع ما يريبُك إلى ما لا يريبك
“tinggalkan yang meragukan dan ambil yang tidak meragukan”
Dan hadits;
إنَّ مِمَّا أدرك الناس من كلام النبوة الأولى إذا لم تستح فاصنع ما شئت
“Diantara perkataan para Nabi terdahulu yang diketahui manusia adalah: jika engkau tidak tahu malu maka berbuatlah sesukamu” (Fathul Qawiyyil Matin, 1/93).
Maka perkara-perkara seperti haramnya berbuat syirik, wajibnya memakai jilbab bagi wanita, wajibnya shalat berjamaah, wajibnya puasa Ramadhan, haramnya memilih pemimpin kafir, ini semua tidak semestinya seseorang meminta fatwa pada hatinya karena sudah jelas hukumnya.
Wabillahi at taufiq was sadaad.
Sumber Artikel Muslim.or.id,
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

UNDUH Murottal Syaikh Ali al-Hudzaifi

 






Deskripsi

Judul:  Murottal Al Qur’an:

Syaikh Ali al-Hudzaifi

Qori : علي الحذيفي

Sumber:  mp3quran.net

Download Komplit Murottal via Torrent

Silahkan lihat:  Petunjuk Download Torrent


No dan Nama Surat

Download

No dan Nama Surat

Download

001 – Al-Fâtihah

Download

058 – Al-Mujâdilah

Download

002 – Al-Baqarah

Download

059 – Al-Hashr

Download

003 – Âli `Imrân

Download

060 – Al-Mumtahanah

Download

004 – An-Nisâ

Download

061 – As-Saff

Download

005 – Al-Mâidah

Download

062 – Al-Jumuah

Download

006 – Al-Anâm

Download

063 – Al-Munâfiqûn

Download

007 – Al-Arâf

Download

064 – At-Taghâbun

Download

008 – Al-Anfâl

Download

065 – At-Talâq

Download

009 – At-Tawbah

Download

066 – At-Tahrîm

Download

010 – Yûnus

Download

067 – Al-Mulk

Download

011 – Hûd

Download

068 – Al-Qalam

Download

012 – Yûsuf

Download

069 – Al-Hâqqah

Download

013 – Ar-Rad

Download

070 – Al-Maârij

Download

014 – Ibrâhîm

Download

071 – Nûh

Download

015 – Al-Hijr

Download

072 – Al-Jinn

Download

016 – An-Nahl

Download

073 – Al-Muzzammil

Download

017 – Al-Isrâ

Download

074 – Al-Muddaththir

Download

018 – Al-Kahf

Download

075 – Al-Qiyâmah

Download

019 – Maryam

Download

076 – Al-Insân

Download

020 – Tâ-Hâ

Download

077 – Al-Mursalât

Download

021 – Al-Anbiyâ

Download

078 – An-Naba

Download

022 – Al-Hajj

Download

079 – An-Nâzi`ât

Download

023 – Al-Muminûn

Download

080 – Abasa

Download

024 – An-Nûr

Download

081 – At-Takwîr

Download

025 – Al-Furqân

Download

082 – Al-Infitâr

Download

026 – Ash-Shuarâ

Download

083 – Al-Mutaffifîn

Download

027 – An-Naml

Download

084 – Al-Inshiqâq

Download

028 – Al-Qasas

Download

085 – Al-Burûj

Download

029 – Al-Ankabût

Download

086 – At-Târiq

Download

030 – Ar-Rûm

Download

087 – Al-Alâ

Download

031 – Luqmân

Download

088 – Al-Ghâshiyah

Download

032 – As-Sajdah

Download

089 – Al-Fajr

Download

033 – Al-Ahzâb

Download

090 – Al-Balad

Download

034 – Sabâ

Download

091 – Ash-Shams

Download

035 – Fâtir

Download

092 – Al-Layl

Download

036 – Yâ-Sîn

Download

093 – Ad-Duhâ

Download

037 – As-Sâfât

Download

094 – Ash-Sharh

Download

038 – Sâd

Download

095 – At-Tîn

Download

039 – Az-Zumar

Download

096 – Al-Alaq

Download

040 – Ghâfir

Download

097 – Al-Qadr

Download

041 – Fussilat

Download

098 – Al-Bayyinah

Download

042 – Ash-Shûrâ

Download

099 – Az-Zalzalah

Download

043 – Az-Zukhruf

Download

100 – Al-`Âdiyât

Download

044 – Ad-Dukhân

Download

101 – Al-Qâriah

Download

045 – Al-Jâthiyah

Download

102 – At-Takâthur

Download

046 – Al-Ahqâf

Download

103 – Al-Asr

Download

047 – Muhammad

Download

104 – Al-Humazah

Download

048 – Al-Fath

Download

105 – Al-Fîl

Download

049 – Al-Hujurât

Download

106 – Quraysh

Download

050 – Qâf

Download

107 – Al-Mâûn

Download

051 – Ad-Dhâriyât

Download

108 – Al-Kawthar

Download

052 – At-Tûr

Download

109 – Al-Kâfirûn

Download

053 – An-Najm

Download

110 – An-Nasr

Download

054 – Al-Qamar

Download

111 – Al-Masad

Download

055 – Ar-Rahmân

Download

112 – Al-Ikhlâs

Download

056 – Al-Wâqiah

Download

113 – Al-Falaq

Download

057 – Al-Hadîd

Download

114 – An-Nâs

Download

Lihat Bacaan Qur’an lainnya di kategori Murottal

Sumber Artikel : Ibnu Majjah.Com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger