Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Isbal Tanpa Bermaksud Sombong, Tetap Diingkari Oleh Nabi

Written By sumatrars on Selasa, 15 April 2014 | April 15, 2014

Category  : Hadits

Imam Ahmad mencatat sebuah riwayat dalam Musnad-nya (4 / 390) :

( حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ ، عَنْ عَمْرِو ابْنِ الشَّرِيدِ ، عَنْ أَبِيهِ أَوْ : عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَاصِمٍ ، أَنَّهُ سَمِعَ الشَّرِيدَ يَقُولُ : أَبْصَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ ، فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ : هَرْوَلَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، وَاتَّقِ اللَّهَ ” ، قَالَ : إِنِّي أَحْنَفُ ، تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ ” ، فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ ، أَوْ : إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ

Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan kepadaku, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amr bin Asy Syarid, dari ayahnya, atau dari Ya’qub bin ‘Ashim, bahwa ia mendengar Asy Syarid berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki yang pakaiannya terseret sampai ke tanah, kemudian Rasulullah bersegera (atau berlari) mengejarnya. Kemudian beliau bersabda:

“angkat pakaianmu, dan bertaqwalah kepada Allah“. Lelaki itu berkata: “kaki saya bengkok, lutut saya tidak stabil ketika berjalan”. Nabi bersabda: ”angkat pakaianmu, sesungguhnya semua ciptaan Allah Azza Wa Jalla itu baik”.

Sejak itu tidaklah lelaki tersebut terlihat kecuali pasti kainnya di atas pertengahan betis, atau di pertengahan betis.

Derajat Hadits

Hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah. Ya’qub bin ‘Ashim dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia maqbul” . Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Dan demikian juga Adz Dzahabi yang berkata: “ia tsiqah”. Maka inilah yang tepat insya Allah. Al Albani berkata: “sanad ini sesuai syarat Bukhari-Muslim jika (Ibrahim meriwayatkan) dari ‘Amr dan sesuai syarat Muslim jika dari Ya’qub. Dan yang lebih kuat adalah yang pertama (dari ‘Amr)” (Silsilah Ash Shahihah, 3/427).

Faidah Hadits

  1. Hadits ini dalil terlarangnya isbal bagi laki-laki, yaitu menjulurkan atau memakai pakaian hingga melebihi mata kaki. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

    ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار

    “Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari 5787).

  2. Hadits ini bantahan telak bagi pendapat yang mengatakan bolehnya isbal jika bukan karena sombong.

  3. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengingkari sahabatnya yang isbal tanpa mengecek maksud sahabat tersebut ber-isbal karena suatu maksud yang mengandung kesombongan atau tidak. Dan ini sering beliau lakukan kepada para sahabat, diantaranya juga kepada Ibnu ‘Umar:

    مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

    “Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

    juga kepada Sufyan bin Abi Sahl: dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:

    رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل إزارك فإن الله لا يحب المسبلين

    “Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangu kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

    dan para sahabat yang lain.

  4. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengecek maksud para sahabat ketika berisbal namun langsung diingkari, ini menunjukkan isbal itu terlarang walaupun bukan karena sombong.

  5. Dalam hadits ini bahkan sahabat Nabi yang isbalnya diingkari oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menjelaskan maksud dan tujuan dia ber-isbal, yaitu karena ada kekurangan pada kakinya, bukan sesuatu yang mengandung kesombongan. Namun tetap diingkari isbal-nya oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

  6. Ciptaan Allah itu semuanya baik.


Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mujahirin, Orang Yang Bermaksiat Terang-Terangan

Category  : Akhlaq dan Nasehat

Wahai saudaraku, sudahkah kita menyadari bahwa agama kita ini, agama Islam, adalah agama yang paling sempurna dan paling lengkap? Betapa tidak, agama kita telah menjelaskan segala sisi dan sudut permasalahan yang dialami oleh setiap manusia yang ada di muka bumi. Kita bisa buktikan, tidaklah kita mendapati suatu masalah dalam kehidupan kita, kecuali Islam telah memberikan solusinya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai suri teladan kita, telah mengajarkan kepada kita semua. Solusi yang lengkap, sempurna, dan mengandung banyak sekali hikmah dan kebaikan di dalamnya telah diberikan kepada umatnya.

Berbeda halnya dengan agama lain, yang pasti mereka banyak memiliki kekurangan dan kecacatan di dalamnya. Karena agama mereka berasal dari tangan manusia, sedangkan Islam syariatnya dibuat dan diatur oleh Rabbul ‘Alamin, Tuhan semesta alam, Yang Maha Merajai seluruh kekuasaan langit dan bumi, dan Yang Maha Mengatur segala hal yang ada di dalamnya.

Wahai saudaraku, salah satu hal yang menunjukkan bahwa agama Islam ini adalah agama yang sempurna, lengkap, dan tidak ada bandingannya adalah bahwa Tuhan kita, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni seluruh dosa-dosa hamba-Nya, walaupun dosa itu setinggi langit dan sepenuh isi perut bumi. Hal ini sebagaimana yang telah Allah ‘Azza wa Jalla firmankan kepada kita dalam sebuah hadis qudsi,

عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول – قال الله تعالى : يا بن ادم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان ولا أبالي , يا بن ادم لو بلغت ذنوبك عنان السماء ثم استغفرتني غفرت لك , يا بن ادم إنك لو أتيتني بقراب الأرض خطايا ثم لقيتني لا تشرك بي شيئاً لأتيتك بقرابها مغفرة – رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukanku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberi ampunan sepenuh bumi pula”[1]

Subhanallah, perhatikan dan renungkan, wahai saudaraku! Betapa luasnya ampunan Allah Jalla wa ‘Ala kepada para hamba-Nya. Allah Tabaraka wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa para hamba-Nya selama hamba tersebut menjauhi kesyirikan. Dan luasnya ampunan Allah tersebut juga akan dirasakan oleh para hamba-Nya yang selalu berbuat baik dan berusaha menjauhi dosa-dosa besar. Sebagaimana yang telah Allah janjikan kepada kita dalam firman-Nya,

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya.”[2]

Saudaraku, walaupun setiap muslim akan mendapatkan ampunan dari Allah selama dia menjauhi kesyirikan, tapi ada satu golongan manusia yang dikecualikan dari mendapat ampunan Allah. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis berikut ini,

عن سالم بن عبد اللّه قال: سمعت أبا هريرة يقول سمعت رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم- يقول: كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبح يكشف ستر اللّه عنه

Dari Salim bin Abdullah, dia berkata, Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu bercerita bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.”[3]

Apa maksud dari معافى yang terdapat dalam hadits?

Syaikh Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa yang dimaksud معافى dalam hadis adalah bahwa setiap umat muslim akan Allah ampuni dosa-dosanya.[4]

Akan tetapi, kata tersebut juga bisa dimaknai dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, beliau mengatakan bahwa makna kata tersebut adalah setiap umat muslim akan selamat dari lisan manusia dan gangguan mereka.[5]

Apa saja bentuk terang-terangan dalam berbuat dosa?

  1. Orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan di hadapan manusia. Seperti apa yang dilakukan para pemain sinetron dan pelawak yang bermain di layar televisi. Jenis orang yang seperti ini telah melakukan dua perbuatan dosa sekaligus, yaitu:

    1. Menampakkan kemaksiatannya

    2. Mencampurinya dengan lawakan dan kebohongan. Dan telah kita ketahui bersama bahwasanya kedua hal tersebut adalah perbuatan tercela berdasarkan syariat Islam dan juga pandangan manusia.

  2. Orang yang telah menyingkap apa yang telah Allah tutupi dari perbuatan maksiatnya. Seakan-akan, mereka itu menceritakan perbuatan maksiatnya karena bangga dan meremehkan dosa yang telah dia lakukan itu. Mereka ini tidak bisa merasakan nikmatnya ampunan Allah yang Dia berikan kepada para hamba-Nya.

  3. Seperti apa yang dilakukan pelaku maksiat yang mengumumkan perbuatan maksiatnya kepada khalayak umum. [6]

Celaan terhadap para pelaku mujaharah

Dalil Alquran

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [7]

Dalil Hadits

Celaan yang secara langsung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berikan kepada para pelaku mujaharah terdapat dalam hadis di atas. Sedangkan secara makna, telah banyak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam isyaratkan dalam hadis-hadis yang lain.

Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah perbuatan zina dan riba itu telah tampak (secara terang-terangan) di suatu kaum, kecuali mereka telah menghalalkan azab Allah bagi mereka sendiri.”[8]

Perkataan ulama

Ibnu hajar rahimahullahu dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan bahwa barang siapa yang berkeinginan untuk menampakkan kemaksiatan dan menceritakan perbuatan maksiat tersebut, maka dia telah menyebabkan Rabb-nya marah kepadanya sehingga Dia tidak menutupi aibnya tersebut. Dan barang siapa yang berkeinginan untuk menutupi perbuatan maksiatnya tersebut karena malu terhadap Rabb-nya dan manusia, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala akan memberikan penutup yang akan menutupi aibnya itu. [9]

Dampak bahaya dari terang-terangan berbuat dosa

  • Pelaku perbuatan ini menyebabkan Allah Azza wa Jalla marah terhadapnya.

  • Pelaku perbuatan ini telah mengharamkan bagi dirinya sendiri ampunan Allah Ta’ala.

  • Manusia akan merendahkan pelaku perbuatan ini dan meninggalkannya.

  • Diperbolehkan bagi kita untuk memperbincangkannya karena keburukannya tersebut.

Dan masih banyak yang lain. [10]

Beberapa faedah yang bisa kita ambil dari pembahasan ini

  • Kerasnya celaan bagi para pelaku perbuatan ini.

  • Menceritakan perbuatan maksiat kepada khalayak umum menyebabkan pelakunya melakukan kemaksiatannya secara terus menerus. Dan hal ini juga menyebabkan manusia ikut mengamalkan perbuatan maksiat tersebut, sehingga dia akan mendapatkan dosa dari dosa-dosa para pengikutnya tersebut tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka. Karena penunjuk kepada keburukan seperti pelaku keburukan itu sendiri.

  • Pelaku perbuatan ini membuat dosanya menjadi besar walaupun pada asalnya dosa yang dia lakukan itu kecil.

  • Meng-ghibah pelaku mujaharah tidak termasuk dari perbuatan tercela. Para ulama telah mengecualikan hal ini dalam beberapa hal.

  • Terang-terangan dalam kemaksiatan adalah dosa tersendiri selain dari dosa maksiat itu sendiri, karena dia telah meremehkan kebesaran Allah azza wa jalla.

  • Terang-terangan dalam kemaksiatan menyebabkan tersebarnya kemungkaran di antara kaum muslimin.

  • Barang siapa yang Allah tutupi aibnya di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di akhirat dan tidak akan memperlihatkannya di hadapan manusia yang lain. Dan ini termasuk dari luasnya rahmat Allah Ta’ala untuk para hamba-Nya.

Dan masih banyak yang lain.[11]

Nasihatku untukmu wahai saudaraku

Wahai saudaraku, setelah kita mengetahui betapa luasnya rahmat dan ampunan Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya, dan betapa keras balasan dan celaan terhadap para hamba-Nya yang durhaka terhadap-Nya, maka melalui tulisan ini kami ingin memberikan nasihat kepada penulis sendiri dan kepada saudaraku-saudaraku seiman;

Marilah kita senantiasa bersyukur kepada Allah Jalla Jalaluhu. Karena Dia telah memilih kita di antara milyaran manusia yang lain untuk menjadi seorang muslim yang akan merasakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi yang bertakwa kepada-Nya.

Bersyukur dengan cara mempelajari agama yang haq dan sempurna ini, mempelajari hal-hal yang menjadikan Rabb kita rida kepada kita sehingga kita bisa melakukannya, dan hal-hal yang menyebabkan Rabb kita marah kepada kita, sehingga kita bisa menjauhi hal tersebut.

Marilah kita bersama-sama berusaha untuk menjadikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai suri teladan dan panutan kita dalam setiap keadaan. Sehingga kita bisa menjadi hamba yang diridai-Nya dan kita bisa merasakan kenikmatan yang kekal di hari yang abadi di surga-Nya.

Jadikan dosa dan maksiat yang pernah kita lakukan itu adalah sesuatu yang besar sehingga kita tidak meremehkannya dan tidak terus menerus melakukannya. Dengan seperti itu, lisan kita akan senantiasa beristigfar atas banyaknya dosa dan maksiat yang telah kita lakukan, sembari mengharapkan luasnya rahmat dan ampunan-Nya untuk kita.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik dan istikamah di atas jalan-Nya. Amin.


Catatan kaki

[1] H.R. Tirmidzi, Hadis hasan sahih

[2] Q.S. An Najm: 31-32

[3] H.R. Bukhari (6069) dalam kitab Fathul Bari dan lafadz ini milik Bukhari, dan riwayat Muslim (2990)

[4] Lihat Syarh Riyadh ash-Shalihin hal 24, jilid 3

[5] Lihat Bahjatun Nadzirin hal 299, jilid 1

[6] Lihat Nadhratun Na’im, hal 5548, jilid 11

[7] Q.S. An Nur: 19

[8] H.R. Ahmad dan Abu Ya’la, dan dinilai sahih oleh Syekh Ahmad Syakir

[9] Lihat Nadhratun Na’im hal 555. – 5554

[10] Lihat Nadhratun Na’im hal 5555, jilid 11

[11] Lihat Al-Manahi asy-Syar’iyyah hal 306, jilid IV dan Bahjatun Naadzirin, hal 299, jilid I

Sumber rujukan

  • Al Qur’anul Kariim

  • Bahjatun Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly, cetakan II Daar Ibnul Jauzi.

  • Mausu’ah al-Manahi asy-Syar’iyyah fi Shahih as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly, Dar Ibnu ‘Affan

  • Nadhratun Na’im fi Makarim al-Akhlak ar-Rasul al-Karim, cetakan IV, Daarul Wasiilah.

  • Syarh Riyadh ash-Shalihin fi Kalam as-Sayyidial Mursalii, Syaikh Shalih al Utsaimin, cetakan 1425 H, Madarul Wathan

  • Hadits Arba’in an Nawawiyyah, E-Book

  • Hadits Web, E-Book

Penulis: Winning Son Ashari

Pemurajaah: Ust. Misbahuzzulam, Lc, M.H.I

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tanya Jawab Fiqih Muamalah Bersama Ustadz Aris Munandar


Category  : Soal dan Jawab Fiqih

Berikut ini kami kumpulkan beberapa tanya-jawab singkat bersama Ustadz Aris Munandar, Ss., MPi. hafizhahullah seputar masalah fiqih muamalah yang diambil dari milis fatwa pengusaha muslim. Semoga bisa diambil banyak faidah dari beberapa tanya-jawab berikut.

Soal:
Saya punya pertanyaan mengenai jual beli mata uang asing. Seperti yang diprediksikan sejumlah pengamat, 1 dolar akan mencapai nilai Rp15.000 pada 2014 nanti. Nah bolehkah sekarang saya membeli dolar dengan tujuan mengambil keuntungan saat rupiah melemah nanti? Tentunya transaksi bersifat kontan, bukan forward, spot, dsb. Terima kasih. (xxxxx8zig@yahoo.com )

Jawab:
Asalkan tunai yaitu semua diserahterimakan sebelum majelis transaksi berakhir hukumnya boleh karena jika tukar menukar uang yang berbeda semisal dollar dengan rupiah hanya ada syarat yang wajib dipenuhi yaitu semua telah diserahterimakan sebelum majelis transaksi berakhir.

***
Soal:
jika ada pengurus DKM yang memesan kue kepada saya untuk acara mesjid lalu saya memberikan sejumlah uang ( uang tersebut diambil dari harga persatuan saya kurangi Rp 100 kali jumlah kue yang dia pesan ) sebagai tanda terima kasih apakah diperbolehkan?

Jawab:
Jika untuk pemesan, hukumnya tidak boleh karena itu adalah uang suap agar selalu pesan kue di tempat tersebut.
***
Soal:
Bagaimana jika kantor menggunakan asuransi ABC dimana asuransi ABC tidak memotong gaji karyawan. Pertanyaannya adalah apakah kita boleh menggunakan asuransi ABC yang disediakan oleh kantor? (xxxxxfirdaus@yahoo.com)

Jawab:
Boleh senilai besaran premi yang dibayarkan kantor kepada perusahaan asuransi tersebut

***
Soal:
Saya mau tanya tentang hukum menjual produk MLM tanpa ikut sistem MLM-nya. Artinya kita menjadi member/anggota tapi hanya untuk menjual produknya ke konsumen tapi tidak ikut sistem MLM seperti rekrut-merekrut anggota. (xxxxxos@yahoo.co.id)

Jawab:
Hukumnya diperbolehkan karena yang terlarang adalah mengikuti sistem MLM-nya.

***
Soal:
Ustadz, bagaimana hukumnya menjual kosmetik untuk kecantikan, tapi kita tidak tahu kehalalan bahan-bahan kosmetik tsb? Kosmetik tersebut utk pemakaian luar (di kulit/wajah). (xxxxxro@gmail.com)

Jawab:
Jika tidak ada indikator yang mencurigakan maka kita kembalikan ke hukum asal yaitu diperbolehkan

***
Soal:
Apa hukum menerima sumbangan dari yayasan orang kafir untuk keperluan darurat seperti biaya pengobatan rumah sakit. Sedangkan orang tersebut sudah berusaha untuk meminjam uang pada orang muslim tidak / belum ada yang memberi pinjaman padahal keperluannya sangat mendesak

Jawab:
Insya Allah tidak mengapa jika tidak menyebabkan berhutang budi kepada si kafir.

***
Soal:
Mau tanya hukumnya mengikuti tender, apa dibolehkan? Karena di salah satu Hadits Nabi Saw dari Ibnu Umar ra. kurang lebihnya dinyatakan bahwa dilarang untuk menawar sesuatu (barang/jasa) yang sedang ditawar oleh saudaramu. Mengingat mekanisme tender adalah mengajukan penawaran, meskipun telah ada penawaran dari pihak lain yang terlebih dahulu dimasukkan dan belum diputuskan diterima atau ditolaknya tawaran itu (xxxxxnto@gmail.com)

Jawab:
Jual beli lelang boleh dalam Islam asalkan semua peserta lelang berniat untuk menjadi pemenang, bukan sekedar basa basi.

***
Sumber: Milis PM-Fatwa

Publisher of the article by :  Muslim.Or.Id

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction
Kembali Keatas
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Doa Agar Diberi Ilmu yang Bermanfaat

Written By sumatrars on Selasa, 25 Maret 2014 | Maret 25, 2014

“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku atas apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah kepadaku apa yang bermanfaat bagiku, serta tambahkanlah ilmu kepadaku.”

HR. At-Tirmidzi no. 3599, Ibnu Majah no. 251 dan 3833, Shahiih at-Tirmidzi III/185 no. 2845, Shahiih Ibni Majah 1/47 no. 203 dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.”

HR. Ibnu Majah no. 925, lihat juga Shahiih Ibni Majah 1/152 no. 753

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمًا لاَ يَنْفَعُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

HR. Ibnu Majah no. 3843 dari Jabir رضي الله عنه. Lihat juga Shahiih Sunan Ibni Majah 11/327 no. 3100 dan lafazhnya:

سَلُوا اللهَ عِلْمًا نَافِعًا، وَتَعَوَّ ذُوْا بِاللهِ مِنْ عِلْمًا لاَ يَنْفَعُ

“Mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Dikutip dari: Kumpulan Do’a dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas خفظه الله

Doa Agar Diberi Kepahaman Dalam Agama

اَللَّهُمَّ فَقِّهْنِيْ فِيْ الدِّيْنِ

“Ya Allah, berikanlah pemahaman kepadaku dalam diin (agama Islam).”

HR. Al-Bukhari /Fat-hul Baari 1/244 no. 143 dan Muslim IV/1927 no. 2477 mengenai do’a Nabi صلى الله عليه وسلم bagi Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما.

Dikutip dari: Kumpulan Do’a dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas خفظه الله

Doa Berlindung dari Kesesatan

اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي، أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لَا يـَمُوتُ وَالْـجِنُّ وَالْإِنْسُ يـَمُوتُونَ

Ya Allah, kepada-Mu-lah aku berserah diri, dan kepada-Mu-lah aku beriman, kepada-Mu-lah aku bertawakkal, kepada-Mu pula aku kembali (bertaubat) dan dengan (Nama)-Mu aku membela. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keperkasaan-Mu, tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi dengan benar melainkan Engkau, agar Engkau tidak menyesatkan diriku. Engkaulah yang Mahahidup yang tidak akan pernah mati, sedangkan jin dan manusia semuanya akan mati.

HR. Al-Bukhari no. 7383 dan Muslim no. 2717 dari Ibnu ‘Abbas, Lafazh ini adalah lafazh Muslim.

Disalin dari: Kumpulan Do’a dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas خفظه الله

Berlindung dari 4 Kejelekan

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعِ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, do’a yang tidak didengar, jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Aku berlindung kepada-Mu dari keempat hal tersebut.”

HR. At-Tirmidzi no. 3482, an-Nasa-i VIII/254-255 dari ‘Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنه. Abu Dawud no. 1548, dan selainnya dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه. Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 1297, Shahiih an-Nasa-i III/1113 no. 5053, dan Shahiih Sunan Abi Dawud no. 1384 cet. Gharras

Dikutip dari: Kumpulan Do’a dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas خفظه الله

Sumber Artikel : Doandzikir.wordpress.com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Antara Puasa Dan Tauhid

Oleh: Islam Mahmud Dirbalah

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya):

Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keislaman seorang hamba tidaklah sempurna kecuali dengan melaksanakan semua asas, tiang, dan rukun islam yang dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di dalam hadist ini. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengumpamakan asas dan tiang ini dengan bangunan yang besar dan kokoh dimana tidaklah bangunan ini dapat berdiri tegak kecuali dengan adanya pondasi-pondasi, jika tidak ada pondasi-pondasi tersebut maka bangunan akan rubuh menimpa penghuninya. Sedangkan amalan-amalan lainnya yang diwajibkan di dalam islam adalah pelengkap dari pondasi tersebut sebagaimana bangunan memiliki pelengkap yang seorang hamba juga membutuhkan pelengkap tersbeut. Dan empat rukun islam lainnya yang disebutkan di dalam hadist di atas seluruhnya dibangun di atas pondasi syahadat karena Allah tidak akan menerima amal seseorang sedikitpun yang tidak dilandasi dengan pondasi syahadat.

Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah merupakan pondasi islam yang paling agung. Karena dengan adanya pondasi tersebut terjaga darah dan harta. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya):

Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan alasan yang dibenarkan dalam Islam. Adapun perhitungan atas mereka itu adalah urusan Allah.” (HR. Muslim).

Dengan adanya pondasi syahadat Allah menerima amal-amal ibadah kita dan dengan adanya pondasi syahadat seseorang masuk dapat ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri darinya maka tidak akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jarum…” (QS. al-A’raaf: 40). Dan dengan adanya pondasi syahadat dosa-dosa diampuni seberapa pun besarnya.

Makna syahadat laa ilaaha illallah adalah menerima dan tunduk serta patuh kepada Allah dengan melaksanakan peribadatan secara jujur dan berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesuatu selain-Nya karena Dia adalah sesembahan yang haq dan segala sesembahan selain-Nya adalah bathil. Sedangkan makna syahadat muhammadur rasulullah adalah bersaksi bahwa beliau diutus dari sisi Allah, wajib mencintainya, menta’atinya dalam segala hal yang beliau perintahkan, dan tidak mendahulukan perkataan seorang pun dari perkataan beliau.

Kalimat tauhid berarti memberikan pemuliaan dan penghormatan terhadap syari’at Allah. Allah berfirman (yang artinya):

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS. Al-A’raaf: 3).
dalam ayat lain Allah juga berfirman (yang artinya):

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”(QS. Ar-Ruum: 30).

Kalimat tauhid berarti berlepas diri dari segala bentuk perbuatan-perbuatan jahiliyah. Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS. al-Maa’idah: 50).

dan berlepas diri dari semua agama selain agama islam. Allah berfirman (yang artinya):

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali-Imran: 85).

Dan sungguh Al-Qur’an dari awal hingga akhirnya, isinya menerangkan makna syahadat laa ilaaha illallah disertai dengan penafian terhadap kesyirikan dan derivat-derivatnya, dan menetapkan keikhlasan (kemurnian ibadah) serta syari’at-syari’atnya. Maka semua perkataan dan amalan shalih yang dicintai dan diridhai oleh Allah semuanya adalah kandungan dari kalimat ikhlas. Karena penunjukan kalimat ikhlas atas agama ini seluruhnya bisa berupa penunjukan muthabiqah, penunjukan tadhammun, maupun penunjukan iltizam. Dan sesungguhnya Allah menamakan kalimat tauhid ini dengan kalimat taqwa.

Taqwa adalah engkau menjaga dirimu dari murka dan azab Allah dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan kemaksiatan, dan mengikhlaskan segala bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, serta mengikuti segala apa yang diperintahkan-Nya sebagaimana perkataan seorang tabi’in Thalq bin Habib –rahimahullah-:

“(taqwa adalah) engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah diatas cahaya petunjuk dari Allah karena mengharap pahala dari Allah, dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah diatas cahaya petunjuk dari Allah karena takut terhadap azab Allah”.

Dan tauhid adalah makna dari syahadat laa ilaaha illallah yang berarti seseorang tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah semata, tidak kepada malaikat yang didekatkan dan tidak pula kepada Nabi yang diutus, terlebih lagi kepada orang-orang selain mereka.

Dan Al-Ilaah (sesembahan) adalah sesuatu yang ditaati dan tidak bermaksiat kepadanya karena takut (yang disertai rasa hormat –pent) kepadanya, memuliakannya, mencintainya, takut kepadanya, berharap kepadanya, bertawakkal kepadanya, meminta kepadanya, dan berdo’a kepadanya. Semua perbuatan-perbuatan itu tidaklah pantas ditujukan melainkan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang menujukan sedikit saja dari perbuatan-perbuatan di atas kepada makhluk dimana perbuatan-perbuatan tersebut hanya boleh ditujukan kepada Allah maka berarti telah timbul satu noda kesyirikan di dalam keikhlasannya terhadap syahadat laa ilaaha illallah, dan cacat di dalam ketauhidannya, serta ada unsur peribadatan kepada makhluk sesuai dengan besarnya perbuatan kesyirikan yang ada padanya. Itu semua termasuk dari cabang-cabang kesyirikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. an-Nisaa’: 48).

Maka Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik, yaitu tidak mengampuni seorang hamba yang menemui-Nya di akhirat dalam keadaan dia membawa dosa syirik. Dan Allah mengampuni dosa-dosa selain syirik bagi hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.

Tauhid ini adalah awal dan akhir dari ajaran agama, lahir dan batinya, dan tauhid ini adalah awal dan akhir dari dakwah para rasul. Tauhid ini adalah makna dari syahadat laa ilaaha illallah, karena sesunggunya al-Ilaah (sesembahan) adalah sesuatu yang disembah dan ditujukan peribadatan kepadanya berupa rasa cinta, takut, sikap pemuliaan, pengagungan, dan semua bentuk-bentuk peribadatan lainnya.

Tauhid merupakan asas yang paling agung yang dinyatakan dan dijelaskan oleh al-Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan asas yang paling agung secara mutlak, asas yang paling sempurna, paling utama, dan paling wajib keberadaannya bagi kemaslahatan umat manusia. Untuk tujuan tauhid ini Allah menciptakan jin dan manusia, Allah menciptakan seluruh makhluk, dan menetapkan berbagai syari’at demi tegaknya tauhid ini. Dan dengan adanya tauhid ini maka akan terwujud kemaslahatan dan dengan tidak adanya maka akan muncul keburukan dan kerusakan.

Maka penjelasan atas masalah ini adalah bahwa dosa syirik adalah dosa yang paling besar karena Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik kecuali dengan taubat. Adapun dosa-dosa selain syirik berada dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka Dia akan mengampuninya tanpa taubat dan jika Allah berkendak maka Dia akan mengazabnya.

Wajib bagi seorang hamba untuk benar-benar takut dari terjerumus ke dalam dosa syirik karena begitu besarnya dosa ini di sisi Allah. Sesungguhnya demikian keadaannya karena syirik merupakan perbuatan keji yang paling keji dan bentuk kedzoliman yang paling dzolim sebab inti dari perbuatan syirik adalah mencacati Allah Rabb semesta alam dan memalingkan hak mengikhlaskan ibadah kepada selain-Nya, dan karena syirik bertentangan dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia dan bertentangan dengan perintah untuk menafikan syirik. Perbuatan syirik merupakan bentuk penentangan yang paling besar kepada Allah Rabb semesta alam dan bentuk kesombongan dari ketaatan kepada-Nya, dan bertentangan dengan sikap menghinakan diri dan ketundukan terhadap perintah-perintah-Nya.

Maka hakikat tauhid adalah kita beribadah hanya kepada Allah semata, dan tidak melihat kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertaqwa kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Nya, tidak kepada seorang makhluk pun, dan tidak menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Rabb selain-Nya.

Ketahuilah –semoga Allah merahmatiku dan kalian- sesungguhnya suatu ibadah tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan asas tauhid, maka tidak akan diterima puasa, sholat, zakat, dan haji, kecuali dari seorang hamba telah merealisasikan tauhid dan membentengi dirinya dari menjadikan segala sesuatu selain Allah sebagai tandingan dan dari berbuat syirik kepada Allah.

Alhamdulillaahi bini’matihi tatimmus shaalihaat…

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id































?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Makna Taubat

clip_image002

 

Menurut bahasa At-taubah berarti ar-rujuu' (kembali), sedangkan menurut istilah taubat adalah kembali dari kondisi jauh dari Allah SWT menuju kedekatan kepada-Nya. Atau : pengakuan atas dosa, penyesalan, berhendi, dan tekat untuk tidak mengulanginya kembali di masa datang.

Mengapa Harus berTaubat?

  1. Karena manusia pasti berdosa.
  2. Karena dosa adalah penghalang antara kita dan Allah SWT, maka lari dari hal yang membuat kita jauh dari-Nya adalah kemestian.
  3. Karena dosa pasti membawa kehancuran cepat atau lambat, maka mereka yang berakal sehat pasti segera menjauh darinya.
  4. Jika manusia yang tidak melakukan dosa, pasti ia pernah berkeinginan untuk melakukanya. Jika ada orang yang tidak pernah berkeinginan untuk melakukan dosa, pasti ia pernah lalai dari mengingat Allah. Jika ada orang yang tidak pernah lalai mengingat Allah, pastilah ia tidak akan mampu berikan hak Allah sepenuhnya. Semua itu adalah kekurangan yang harus ditutupi dengan taubat.
  5. Karena Allah SWT memerintahkan kita bertaubat, sebagaimana dalam firman-Nya.

" Hai orang-orang yang briman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa. Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalhan-kesalahanmu dan memasukkan ke dalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin bersama dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil merekan mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Eangkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".(QS. At-Tahrim : 8)

 

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-nuur : 31)

 

"dan hendakalh kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepada-Nya. (JIka kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada

 

tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaanya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut akan ditimpa siksa hari kiamat."(QS. huud : 31)

  • Karena Allah mencintai orang yang bertaubat, sebagaimana dalam firman-Nya

"Sesungguhnya Allah menyukai Orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."(QS. Al-baqarah : 222)

  • Karena Rasulullah SAW senantiasa bertaubat padahal beliau seorang nabi yang ma'shum (terjaga dari dosa). Beliau bersabda :

"Demi Allah sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali." (HR. Bukhari)

 

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau beristighfar seratus kali dalam sehari.

 

Syarat-Syarat Taubat :

  • Penyesalan dari dosa karena Allah.
  • Berhenti melakukanya.
  • Bertekat untuk tidak mengulanginya dimasa datang.
  • Dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan ketika sakaratul maut, atau sebelum matahari terbit dari barat.
  • Jika dosa berkaitan dengan sesama manusia, maka syaratnya bertambah satu : melunasi hak orang tersebut, atau meminta kerelaanya, atau memperbanyak amal kebaikan.

Kemaksiatan yang dilakukan berkaitan dengan hak sesama manusia, ada empat syarat yang harus di penuhi, yakni syarat pertama. kedua dan ketiga, sebagaimana tiga syaratdi atas, dan syarat keempat: membebaskan diri dari hak tersebut.

 

Artinya, jika hak itu berupa harta benda, ia harus mengembalikan kepada pemiliknya. Jika berupa qadzaf (menuduh orang lain berbuat Zina), ia harus menyerahkan dirinya untuk dijatuhi hukuman atau meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Jika berupa ghibah (menggunjing orang lain) ia harus meminta maaf kepada orang tersebut.

 

Setiap orang harus bertaubat dari segala dosa yang pernah diperbuat. jika ia hanya berjaubat dari sebagian dosanya, taubat tersebut di terima, namun masih mempunyai tanggungan dosa yang lain.

 

Sumber Artikel : Ilmuenjoy.blogspot.com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Malu adalah Identitas Muslim

Malu adalah Identitas Muslim

clip_image001

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]

 

Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana nafsu lebih mendominasi tanpa akal.

Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.

 

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

 

Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan sebaliknya tontonan menjadi tuntunan.

 

Penting untuk dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci Allah SWT bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui perbuatannya.

 

Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memilika rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali bisikan-bisikan buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini.”

 

Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.

 

Seorang siswa yang tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah malu dalam bertanya. Kenapa harus takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang dipelajari? Sebaliknya dia akan malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek atau memberikan contekan juga.

 

Seorang Muslim akan merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang tersuguh dalam bentuk gossip dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi yang masih mempuyai rasa malu.

 

Seorang pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.

 

class="Apple-style-span" style="color: #262626; line-height: 18px;">

Seorang wanita merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga sesuai aturan yang telah digariskan.

Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.

 

Seorang penguasa merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam akherat tidak tersisa bab sekecil apapun.

 

Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat kecil maka bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih besar.

Satu lagi, kalau malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan melahirkan manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia akan bersikap baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak manusia, dia akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta melakukan kejahatan kejam lainnya.

 

Rasa malu merupakan identitas bagi setiap Muslim.

 

Dari Zaid bin Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah malu”. [HR Malik, di dalam Muwaththa' : 905]

 

Artinya, rasa malu merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap Muslim.

Begitu hilang rasa malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang Muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun tersembunyi. Makanya, sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya rasa malu.

 

Dari Abu Mas’ud, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa yang didapati orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu sudah tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]

 

Betul! Silahkan berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan bersiaplah untuk menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita jaga dan budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI dalam memperjuangkan kebenaran.

 

Sumber : R,Chan

Baca artikel di bawah ini juga ya....!

 

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Membaca Al Fatihah Dalam Sealat (1)

Written By sumatrars on Rabu, 19 Maret 2014 | Maret 19, 2014



Membaca Al Fatihah Dalam Sealat (1)

Fiqih dan Muamalah

Sudah kita ketahui bersama bahwa Al Fatihah adalah surat yang agung yang dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat dan tata caranya.

Hukum Membaca Al Fatihah

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ

“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.

Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)

Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:

في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ

“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).

Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:

  1. Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
  2. Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
  3. Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
  4. Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.” [selesai nukilan]

Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:

Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab”

sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).

Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an

Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).

Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)

Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena

  • Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
  • Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
  • Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.

Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.

Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:

كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب

“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).

Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Tarjih Pendapat

Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:

لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها

“mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)

Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:

هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ

“apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”

Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)

Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:

مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ

“barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”

(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).

Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).

Namun perlu kami tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.

  1. Shalat yang bacaannya dilirihkan, yaitu shalat zhuhur dan ashar
  2. Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shalat shubuh, maghrib dan isya

Dikutip dari Artikel Blog Muslim.Or.Id

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger