Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Akhlaq dan Nasehat : Batang Pohon pun Menangis

Written By sumatrars on Jumat, 21 Februari 2014 | Februari 21, 2014


Batang Pohon pun Menangis
Kategori: Akhlaq dan Nasehat

Hampir tidak ada pada zaman ini seorang khatib Jum’at yang berkhutbah tidak di atas mimbar. Mimbarnya pun bervariasi. Ada yang yang berbentuk kotak biasa seperti di perkampungan, ada yang beratap seperti di perkotaan, ada yang berbentuk tiga tangga seperti di beberapa pesantren, ada yang berbahan kayu nan sederhana seperti di masjid kecil, ada yang berbahan logam nan mewah seperti di masjid besar.

Lalu, bagaimanakah sejarah seputar mimbar yang dulu dipakai Nabi saat berkhutbah?

Asal Pembuatan Mimbar Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang termasuk di antara para sahabat yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kali memakai mimbar bercerita, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus salah seorang sahabat kepada seorang wanita Anshar.
Beliau ingin agar wanita itu memerintahkan budaknya yang ahli pertukangan untuk membuatkan beliau sebuah mimbar agar dapat berkhutbah dan duduk di atasnya.
Budak wanita tersebut kemudian membuat mimbar yang terbuat dari kayu thorfa dari kota Ghabat (daerah sekitar Madinah ke arah Syam). Setelah jadi, mimbar tersebut pun kemudian dikirimkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [i].

Bentuk Mimbar Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbentuk tangga biasa bertingkat, dengan tiga anak tangga. Beliau berdiri dan berkhutbah di atas anak tangga kedua dan duduk (di antara dua khutbah) di atas anak tangga ketiga [ii].

Ibnu An-Najjar rahimahullah berkata, ”Panjang mimbar Nabi adalah dua hasta satu jengkal dan tiga jari, sedangkan lebarnya satu hasta [iii].”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Mimbar tersebut tetap dalam keadaan semula, hingga akhirnya di masa Khalifah Mu’awiyah, Gubernur Marwan bin Al-Hakam menambah tingkatannya menjadi enam tingkat [iv].”

Dan Pohon pun Menangis
Sebelum ada mimbar yang dibuatkan oleh budak wanita Anshar tadi, Nabi biasa berkhutbah dengan bersandar pada sebatang pohon.
Kemudian datang mimbar baru (yang dipesan Nabi kepada seorang budak wanita Anshar –pen). Tatkala mimbar tersebut diletakkan untuk menggantikan batang pohon yang lama, si pohon pun menangis keras hingga suaranya terdengar seperti unta hamil yang hampir melahirkan. Bahkan Nabi harus turun dari mimbar barunya lalu meletakkan tangannya di atas pohon tersebut (agar ia tenang –pen) [v].

Untukku dan Saudaraku …
Hasan Al-Bashri rahimahullah bila membicarakan hadits ini selalu menangis dan berkata:-
“Wahai hamba-hamba Allah, pohon saja merintih seperti unta melahirkan karena cinta dan rindu kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah. Kita sebenarnya lebih layak untuk merindukan pertemuan dengan beliau [vi].”

Ya, seandainya sebatang pohon yang tidak mengalami hisab di hari kiamat bisa merasakan cinta dan rindu mendalam pada Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mulia, tentunya kita yang banyak melakukan dosa, akan ditimbang amalnya di hari pembalasan, belum ada jaminan untuk bisa masuk surga, jauh lebih membutuhkan rasa cinta dan rindu yang dirasakan pohon tersebut. Karena dengan rasa cinta dan rindu itu, serta buktinya yang nyata, maka di akhirat kelak kita akan dikumpulkan bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam surga Allah yang disediakan hanya untuk orang-orang beriman dan beramal shalih.

Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu bercerita:-

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: “وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ؟” قَالَ: حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ. قَالَ: “فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ”.

“Pernah seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah datangnya hari kiamat?” Beliau pun menjawab, “Apa yang sudah engkau siapkan untuk hari kiamat?” Ia menjawab, “Kecintaan(ku) kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamم pun bersabda, “Sesungguhnya kamu bersama yang engkau cintai.“”

Hingga Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu pun berkata:

فَمَا فَرِحْنَا بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحًا أَشَدَّ مِنْ قَوْلِ النَّبِىِّ صلّى الله عليه وسلم “فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ”. فَأَنَا أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ.

“Kami tidak pernah merasa gembira setelah masuk Islam, dengan kegembiraan yang lebih besar daripada setelah mendengar sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kamu bersama yang engkau cintai.” Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar dan Umar, dan aku berharap akan ada bersama mereka (di hari kiamat –pen) walau aku tidak beramal sebagaimana mereka beramal.” [vii]

Semoga Allah menganugerahkan kita rasa cinta dan rindu yang besar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya serta mengumpulkan kita dengan mereka di tempat mulia, yang kenikmatannya tak pernah terlihat mata, terdengar oleh telinga dan terbersit di jiwa.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يِوْمِ الدِّيْنِ

Riyadh, Kamis, 22 Muharram1434 H (6 Desember 2012)
Penulis: Muflih Safitra
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Muslim.Or.Id

________________________________________
[i] HR. Bukhari no.917 dan Muslim no.544.
[ii] HR. Ad-Darimi dalam kitab Sunannya (I/19) dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya  (I/19)), diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[iii] Akhbaar Madiinatir Rasuul (82)
[iv] Fathul Bari, 2: 399. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari tiga tangga sebagaimana hal ini ditegaskan dalam riwayat Muslim.” (Syarh Muslim, 5: 33) (ed).
[v] HR. Bukhari no.918, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
[vi] Riwayat Abu Ya’la dalam Musnadnya no.2748.
[vii] HR. Muslim no.2639.

Sumber Dari artikel 'Batang Pohon pun Menangis — Muslim.Or.Id'




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Akhlaq Muslimah : Bolehkah Mengucapkan Salam pada Lawan Jenis?


Bolehkah Mengucapkan Salam pada Lawan Jenis?
Kategori: Akhlaq dan Nasehat, Muslimah

Godaan pada wanita memang begitu dahsyat, paling berat terasa bagi seorang pria, apalagi seorang bujang. Dari sini, Islam membentengi umatnya agar tidak terjerumus dalam kerusakan besar yaitu zina. Awalnya dari sesuatu yang disangka baik, hanya ucapan salam pada wanita.
Ujung-ujungnya bisa jadi godaan yang dahysat. Inilah yang Muslim.Or.Id kaji kali ini yaitu mengenai hukum mengucapkan salam pada wanita non mahram atau lebih umum kita bahas mengucapkan salam pada lawan jenis.

Perintah Mengucapkan Salam
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk saling mengucapkan salam. Dan ketika diberi salam, maka wajib menjawabnya. Bahkan di antara faedahnya, ucapan salam ini bisa menjadi ikatan kasih terhadap sesama.
Tentang ucapan salam ini, Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An Nisa’: 86).

Mengenai keutamaan mengucapkan salam disebutkan dalam hadits Abu Hurairah di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Salam itu Umum, Namun Ada Pengecualian
Perintah mengucapkan salam adalah umum untuk seluruh orang beriman. Perintah ini mencakup laki-laki dan perempuan. Seorang pria boleh mengucapkan salam pada mahramnya dan di antara keduanya dianjurkan untuk memulai mengucapkan salam, dan wajib bagi yang lain untuk membalas salam tersebut.

Hal ini dikecualikan jika seorang pria mengucapkan salam pada  wanita non mahram. Dalam masalah terakhir ini ada hukum tersendiri. Ada mudhorot yang mesti dipertimbangkan ketika memulai atau membalas salam. Bentuk mudhorotnya adalah godaan dari si wanita pada beberapa keadaan.

Karena bentuk mudhorot yang jadi pertimbangan, maka seorang pria tidak sepatutnya memberi salam kepada wanita muda atau gadis non mahram karena ada unsur godaan di dalamnya. Sedangkan jika yang diberi salam adalah wanita non mahram yang telah lanjut usia (dalam artian: tidak ada lagi rasa simpati padanya), maka dibolehkan selama tidak berjabat tangan dengannya.

Mengucapkan Salam pada Wanita Non Mahram Menurut Para Ulama
Imam Malik pernah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan salam pada wanita?” “Adapun untuk wanita tua (tua renta), maka saya tidak memakruhkannya. Sedangkan jika yang diucapkan salam adalah gadis, maka saya tidak menyukainya“, jawab beliau.

Az Zarqoni memberikan alasan dalam Syarh Muwatho’ mengapa Imam Malik tidak menyukai hal tersebut. Alasannya, karena beliau khawatir akan fitnah (godaan) karena mendengar balasan salam si wanita.

Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih menyebutkan bahwa Ibnu Manshur pernah menyebutkan pada Imam Ahmad mengenai hukum mengucapkan salam pada wanita (non mahram). Beliau lantas menjawab, “Jika wanita tersebut sudah tua renta, maka tidak mengapa.”

Sholih, anak Imam Ahmad berkata, “Aku pernah bertanya pada ayahku tentang bolehkah memberi salam pada wanita.” Beliau menjawab, “Adapun wanita yang tua renta, maka tidak mengapa. Adapun untuk gadis, maka aku tidak menganjurkan mengucapkan salam supaya salam itu dibalas.”

Imam Nawawi dalam Al Adzkar berkata,  “Ulama Syafi’iyah berkata: “Memberi salam sesama wanita sebagaimana pada sesama pria. Adapun seorang pria memberi salam pada wanita di mana wanita tersebut adalah istri, budak atau mahramnya, maka hukumnya boleh memberi salam kepada mereka-mereka.

Sehingga dianjurkan untuk memberi salam kepada salah seorang di antara mereka dan wajib menjawab salamnya.
Adapun jika yang diberi salam adalah wanita non mahram, jika wanita tersebut elok wajahnya dan khawatir tergoda dengan wanita tersebut, maka tidak boleh seorang pria memberi salam kepada wanita tersebut. Jika wanita tadi diberi salam, maka ia tidak perlu membalasnya.
Begitu pula wanita tersebut tidak boleh mendahului memberi salam pada si pria tadi. Jika wanita tersebut memberi salam, maka tidak wajib membalasnya dan jika membalasnya, itu dimakruhkan.

Adapun jika wanita tersebut sudah tua renta dan tidak tergoda dengannya, maka boleh mengucapkan salam padanya. Dan jika diberi salam, maka tetap dijawab salam tersebut.

Mengucapkan Salam pada Sekumpulan Wanita
Adapun jika ada sekelompok wanita dan diberi salam oleh seorang pria atau ada sekelompok pria diberi salam oleh seorang wanita, itu dibolehkan selama mereka-mereka tadi tidak tergoda satu dan lainnya.

Sebagaimana terdapat riwayat dari Abu Daud dari Asma’ binti Yazid, ia berkata,

مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati kami para wanita, lalu memberi salam pada kami.” (HR. Abu Daud, shahih).

Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa jika mereka –para sahabat- selepas shalat Jum’at, memberi salam kepada seorang wanita tua dan ia pun melayani para sahabat tadi.” Demikian perkataan Imam Nawawi yang telah diringkas.

Diam Bisa Jadi Lebih Baik Jika Takut Tergoda
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa boleh seorang pria mengucapkan salam pada wanita dan begitu pula sebaliknya. Dan yang dimaksudkan oleh beliau adalah jika aman dari fitnah (godaan).

Al Halimiy berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi salam pada wanita karena aman dari godaan mereka. Barangsiapa yang yakin dirinya bisa selamat dari godaan tersebut, boleh baginya mengucapkan salam. Jika tidak, maka diam dari mengucapkan salam, itu lebih baik.”

Al Muhallab berkata,
“Seorang pria mengucapkan salam pada wanita begitu pula sebaliknya, itu dibolehkan selama aman dari fitnah (godaan wanita).”

Semoga Allah memberi kita taufik untuk selamat dari kerusakan dan perbuatan zina.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi :
Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 39258
Sumber Artikel Muslim.Or.Id




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah : Memupuk Rasa Takut Kepada Allah

Memupuk Rasa Takut Kepada Allah

Kategori: Aqidah

Pernahkah kita tersadar bahwa lancangnya kita melakukan hal-hal yang dilarang agama, meninggalkan perintah agama, dan meremehkan ajaran-ajaran agama itu semua karena betapa minimnya rasa takut kita kepada Allah. Bahkan kita terkadang lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah Ta’ala.
Padahal Allah berfirman (yang artinya) :
..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku” (QS. Al Ma’idah: 44).

Maka takut kepada Allah (al khauf minallah) adalah ibadah salah satu bentuk ibadah yang semestinya dicamkan oleh setiap mukmin.

Sifat Orang Yang Bertaqwa
Takut kepada Allah adalah sifat orang yang bertaqwa, dan ia juga merupakan bukti imannya kepada Allah. Lihatlah bagaimana Allah mensifati para Malaikat, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :
Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” (QS. An Nahl: 50).

Lihat juga bagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang hamba-hambanya yang paling mulia, yaitu para Nabi ‘alahimus wassalam (artinya) :
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” (QS. Al Anbiya: 90)

Semakin Berilmu Semakin Takut Kepada Allah
Oleh karenanya, seseorang semakin ia mengenal Rabb-nya dan semakin dekat ia kepada Allah Ta’ala, akan semakin besar rasa takutnya kepada Allah. Nabi kita Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya aku yang paling mengenal Allah dan akulah yang paling takut kepada-Nya” (HR. Bukhari-Muslim).

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya) :
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28)

Ya, karena para ulama, yaitu memiliki ilmu tentang agama Allah ini dan mengamalkannya, merekalah orang-orang yang paling mengenal Allah. Sehingga betapa besar rasa takut mereka kepada Allah Ta’ala.
Karena orang yang memiliki ilmu tentang agama Allah akan paham benar akan kebesaran Allah, keperkasaan-Nya, paham benar betapa pedih dan ngeri adzab-Nya.

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda kepada para sahabat beliau:
Demi Allah, andai kalian tahu apa yang aku ketahui, sungguh kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. Kalian pun akan enggan berlezat-lezat dengan istri kalian di ranjang. Dan akan kalian keluar menuju tanah datang tinggi, mengiba-iba berdoa kepada Allah” (HR. Tirmidzi 2234, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Demikian, sehingga tidaklah heran jika sahabat Umar bin Khattab radhiallahu’anhu, sahabat Nabi yang alim lagi mulia dan stempel surga sudah diraihnya, beliau tetap berkata:
Andai terdengar suara dari langit yang berkata: ‘Wahai manusia, kalian semua sudah dijamin pasti masuk surga kecuali satu orang saja’. Sungguh aku khawatir satu orang itu adalah aku” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 138)

Yaitu karena rasa takut yang timbul dari ma’rifatullah yang mendalam.
Orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu’alahi Wasallam, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, beliau ulama di kalangan para sahabat, yang tidak perlu kita ragukan lagi keutamaannya, beliau pun menangis ketika sekarat menghadapi ajalnya dan berkata:
Aku tidak menangis karena urusan dunia kalian. Aku menangis karena telah jauh perjalananku, namun betapa sedikit bekalku. Sungguh kelak aku akan berakhir di surga atau neraka, dan aku tidak mengetahi mana yang diberikan padaku diantara keduanya” (HR Nu’aim bin Hammad dalam Az Zuhd, 159)

Maka orang-orang yang lancang berbuat maksiat, yang mereka tidak memiliki rasa takut kepada Allah, adalah karena kurangnya ilmu mereka terhadap agama Allah serta kurangnya ma’rifah mereka kepada Allah Ta’ala.

Memupuk Rasa Takut
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adalah bagaimana kita memupuk rasa takut kepada Allah Ta’ala?

1. Mengingat betapa lemahnya kita, dan betapa Allah Maha Perkasa
Sadarlah betapa kita ini kecil, lemah, hina di hadapan Allah. 
Sedangkan Allah adalah Al Aziz (Maha Perkasa), Al Qawiy (Maha Besar Kekuatannya), Al Matiin (Maha Perkasa), Al Khaliq (Maha Pencipta), Al Ghaniy (Maha Kaya dan tidak butuh kepada hamba).

Betapa lemahnya hamba sehingga ketika hamba tertimpa keburukan tidak ada yang bisa menghilangkannya kecuali Allah. Ia berfirman (yang artinya) :
Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri” (QS. Al An’am: 17)

Betapa Maha Besarnya Allah, hingga andai kita durhaka kepada Allah, sama sekali tidak berkurang kemuliaan Allah.
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. An Nisa: 131) Dengan semua kenyataan ini masihkah kita tidak takut kepada Allah?

2. Memupuk rasa cinta kepada Allah
Dua orang yang saling mencintai, bersamaan dengan itu akan timbul rasa takut dan khawatir. Yaitu takut akan sirnanya cinta tersebut. Demikian pula rasa cinta hamba kepada Allah. Hamba yang mencintai Allah dengan tulus, berharap Allah pun mencintainya dan ridha kepadanya. Bersamaan dengan itu ia akan senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan hal yang dapat membuat Allah tidak ridha dan tidak cinta kepadanya.

3. Adzab Allah sangatlah pedih
Jika kedua hal di atas belum menyadarkan anda untuk takut kepada Allah, cukup ingat satu hal, bahwa adzab Allah itu sangatlah pedih yang disiapkan bagi orang-orang yang melanggar aturan agama Allah.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)

Pedihnya adzab Allah sampai-sampai dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa setan berkata:
Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya” (QS. Al Anfal: 48)

Dan hendaknya kita takut pada neraka Allah yang tidak bisa terbayangkan kengeriannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)

Jangan Merasa Aman
Sebagian orang merasa sudah banyak beramal, sudah banyak berbuat baik, merasa sudah bertaqwa, merasa dirinya suci, sehingga ia pun merasa Allah tidak mungkin mengadzabnya. Hilang darinya rasa takut kepada Allah.
Allah berfirman tentang manusia yang demikian (yang artinya) :
Apakah kalian merasa aman dari makar Allah? Tidaklah ada orang yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 99).

Bagaimana mungkin seorang yang beriman merasa percaya diri dengan amalnya, merasa apa yang telah ia lakukan pasti akan membuatnya aman dari adzab Allah? Sekali-kali bukanlah demikian sifat seorang mukmin.
Adapun orang beriman, ia senantiasa khawatir atas dosa yang ia lakukan, tidak ada yang ia anggap kecil dan remeh. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
Seorang yang beriman melihat dosa-dosanya bagai ia sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh, ia khawatir tertimpa. Sedangkan orang fajir (ahli maksiat), melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya” (HR. Bukhari 6308)

Tapi Jangan Putus Asa
Seorang mukmin senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah. Namun bukan berarti rasa takut ini menyebabkan kita putus asa dari rahmat-Nya, sehingga kita merasa tidak akan diampuni, merasa amal kita sia-sia, merasa pasti akan masuk neraka dan bentuk-bentuk keputus-asaan lain. Ini tidak benar.
Keimanan yang sempurna kepada Allah mengharusnya kita memiliki keduanya, rasa takut (khauf) dan rasa harap (raja’). Dengan berputus-asa terhadap rahmat Allah seakan-akan seseorang mengingkari bahwa Allah itu Ar Rahman (Maha Pemberi Rahmat), Ar Rahim (Maha Penyayang), dan Al Ghafur (Maha Pengampun). Ingatlah nasehat Nabi Yusuf ‘alahissalam kepada anak-anaknya:
dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).

Al Hasan Al Bashri berkata: 
“Raja’ dan khauf adalah kendaraan seorang mukmin”. Al Ghazali pun berujar: “Raja’ dan khauf adalah dua sayap yang dipakai oleh para muqarrabin untuk menempati kedudukan yang terpuji”.

Demikian sedikit yang dapat kami paparkan. Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa takut kepada-Nya, sehingga dengan itu kita enggan mengabaikan segala perintahnya dan enggan melanggar segala larangannya.

(Penulis mengambil banyak faidah dari tulisan Syaikh DR. Falih bin Muhammad As Shughayyir berjudul “Al Khauf Minallah”)

Sumber Artikel Muslim.Or.Id




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah, Ikhlas, Karunia Terbesar

Ikhlas, Karunia Terbesar

Kategori: Aqidah

Ikhlas, amatlah kita perlukan. Karena inilah landasan setiap amalan itu diterima. Berikut beberapa nukilan dari ulama tentang pentingnya ikhlas dalam beramal.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:
Sesungguhnya seseorang akan mendapatkan anugerah -balasan dari Allah- sebatas apa yang dia niatkan.” (lihatAdab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 7 oleh Imam an-Nawawi)

Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah mengatakan:
Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 7-8)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan:
Tidaklah aku mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering berbolak-balik.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan:
Ikhlas adalah menunggalkan al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apapun selain mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Abu Ya’qub as-Susi rahimahullah mengatakan:
Apabila orang-orang telah berani mempersaksikan keikhlasan telah melekat pada dirinya maka sesungguhnya keikhlasan mereka itu masih butuh pada keikhlasan.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Abu ‘Utsman rahimahullah mengatakan:
Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian) al-Khaliq.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan:
Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala Allah menyelamatkan dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata:
Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata:
Sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 249)

Kerendahan Hati Para Ulama
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan:
Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya, lihat Fath al-Bari [1/136-137])

Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata:
Apabila disebutkan tentang orang-orang salih maka aku merasa diriku teramat jauh dari kedudukan mereka.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 76 oleh Imam Ibnu Abid Dun-ya)

Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata:
Sungguh aku pernah menghitung-hitung seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada diriku tidak ada satu pun darinya.” (lihatMuhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 80)

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan:
Kalau seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 82)

Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata:
Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)

Nasehat Para Ulama

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
Dahulu dikatakan: Bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)

Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr rahimahullah:
Dimanakah aku bisa beribadah kepada Allah?

Maka beliau menjawab:
Perbaikilah hatimu, dan beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu berada.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)

Abu Turab rahimahullah mengatakan:
"Apabila seorang hamba bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata:
Abu Hazim rahimahullah berkata:
Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan.

Yaitu:
Untuk siapa?
dan Bagaimana?
Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan.
Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).

Semoga Allah karuniakan keikhlasan kepada kita…

Sumber Dari artikel 'Ikhlas, Karunia Terbesar — Muslim.Or.Id'





Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hazbut Tahrir Membagi Maulid Menjadi Tiga Bagian

Hizbut Tahrir Membagi  Maulid Menjadi Tiga Bagian

Oleh Abu Namira Hasna Al-Jauziyah

Tiga Peristiwa Besar Rabiul Awal, Maulid Nabi, Maulid Daulah Islam dan Maulid Khilafah

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Biasanya pada bulan Rabi’ul Awal kaum muslimin memperingati Maulid Nabi SAW.
Padahal, itu hanya satu dari tiga peristiwa besar yang terjadi tanggal 12 Rabi’ul Awal. Ketiga peristiwa tersebut adalah;Pertama, maulid (hari lahirnya) Nabi SAW. Kedua, hijrahnya Nabi SAW ke Madinah, yakni berdirinya Daulah Islamiyah.Ketiga, wafatnya Nabi SAW, yakni berdirinya Khilafah Islamiyah Rasyidah. Ringkasnya, 12 Rabi’ul Awal adalah Maulid Nabi SAW, Maulid Daulah Islamiyah, dan Maulid Khilafah Rasyidah. (Al-Waie (Arab), Edisi no. 278, Rabi’ul Awal 1431 H / April 2010 M). Silahkan Lihat di Tiga Peristiwa Besar Rabiul Awal, Maulid Nabi, Maulid Daulah Islam dan Maulid Khilafah

Bantahan 

perlu di ingat,  perkara di atas, yakni pembagian maulid menjadi tiga bagian, di antaranya :  Maulid Nabi SAW, Maulid Daulah Islamiyah, dan Maulid Khilafah Rasyidah, tidak ada tuntunan dalam syariat Islam. jangankan pembagian maulid menjadi tiga bagian, lho wong maulid itu sendiri, lebih-lebih maulid Nabi adalah sesuatu yang bid`ah dalam agama.

Islam adalah agama yang sangat sempurna, dan kesempurnaan ajaran Islam sudah tertutup setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maksudnya, setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Islam tidak butuh amalanamalan dan ajaran-ajaran baru yang dimasukan menjadi bagian dari Islam, padahal sesungguhnya bukanlah bagian dari Islam, kesempurnaan Islam, sudah dijelaskan oleh  Allah Ta’ala  dalam firmannya :  
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. (Qs al-Mâidah/5:3).

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata dalam tafsirnya:


“Ini merupakan nikmat Allâh Ta’âla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh Ta’âla menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh Ta’âla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan (Allâh Ta’âla) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan(Tafsir Al-Qur’ânil ‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr surat al-Mâidah ayat 3).

Dalam hadist shohih, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

 Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan keburukan yang dia ketahui kepada mereka. (HR. Muslim no. 1844), dalam riwayat shohih dan lebih tegas Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam juga bersabda:  
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Ta’âla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya(adits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. Riwayat Syâfi’i, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdâdi, dan lainnya. 

Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni di dalam Silsilah ash-Shahîhah 4/416-417 dan Syaikh Ahmad Syâkir dalam Ta’lîqur-Risâlah, hlm. 93-103.) 

Dinukil dari Al-Bid’ah Wa Atsaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, hlm 25). dalam riwayat lain yang hampir semakna, Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam juga bersabda:  shallallâhu ‘alaihi wasallam juga bersabda:  

Tidaklah tersisa sesuatu pun  yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kamu.
( Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya di dalam Ar-Risâlah karya Imam Syâfi’i, hal 93 Ta’lîq Syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm 19.). dalam kesempatan lain Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahayanya bid`ah, di antaranya : 
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak. (HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718) Dalam riwayat lain dengan lafazh: 
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya tuntunan kami, maka amalan itu tertolak. (HR. Muslim no. 1718)

Inilah sebagian ayat Quran dan hadist-hadist yang menjelaskan kesempurnaan Islam dan bahayanya bid`ah dalam agama. Mungkin di antara sebagian muslim dalam memperingati maulid Nabi, berargumen : kan ini baik??, kita serahkan jawabannya kepada ulama ahlussunnah.

Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh berkata:“Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam dan dia memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama) ini, karena Allâh telah berfirman:

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.”
(Qs al-Mâidah/5:3).

Oleh karena itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan dari agama, pada hari ini pun juga bukan dari agama”.( Kitab Al-I’tishâm, juz: 2, hal: 64, karya Imam Asy-Syâtibi)

Dalil-dalil yang menyatakan merayaan dalam Islam hanya tiga, di antaranya :

yakni idul fitri, idul adha dan jumatan. perhatikan ini :

Dari Anas Radliallahu ‘anhu ia berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah ( Yaitu hari Nairuz dan hari Mahrajan. Lihat “Aunul Ma’bud” (3/485) oleh Ath Thayib Al-Adhim Abadi (3/485).
Maka beliau bersabda (yang artinya) : “Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri”. (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa’i (3/179) dan Al-Baghawi (1098).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna : “Maksudnya : Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan dengan syariat Allah Ta’ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu Haji dan Puasa, serta didalamnya Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat.

Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu. Penyebab ditentukannya hari itu sebagai hari raya buat mereka adalah karena pada kedua hari itu situasi kondisi, suhu udara dan selainnya dari keistimewaan yang akan sirna.

Perbedaan antara dua keistimewaan antara Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya”. [Fathur Rabbani 6/119].

asulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu :

يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمَ

“Wahai Abu Bakar sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita”.

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari Arafah, hari qurban dan hari-hari mina adalah hari raya kami, umat Islam dan hari-hari itu adalah hari makan dan minum”. [HR. Abu Daud, Nasa’ i dan Tirmidzi]

sedangkan hari jumat sebagaai hari raya :

Hadist yang menyebutkan bahwa hari jum’at adalah hari raya, Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ لَكُمْ عِيْدًا

“Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagai hari raya bagi kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamash-Shaghir dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’).

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa agama Islam ini telah dinyatakan sempurna oleh Allâh Ta’âla dan Rasul-Nya. Demikian juga diakui oleh para Sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dan para Ulama setelah mereka. Maka, segala macam tambahan dan perkara baru di dalam agama ini adalah tertolak. Karena setelah jelas al-haq, semua yang bertentangan dengannya adalah kebatilan. Semoga Allâh Ta’âla selalu menganugerahkan kepada kita keikhlasan di dalam niat dan kebenaran dengan mengikuti Sunnah. Amin.


Referensi :
  1. keutamaan hari jumat karya Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
  2. Kesempurnaan Islam Konsekuensinya karya  Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dalam (Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII) (penulis banyak mengambil faidahnya, dalam menyusun artikel ini).
  3.   Hari Raya Dan Maknanya Dalam Islam karya Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais (www.almanhaj.or.id).
  4.   http://anataqiyasholehah.blogspot.com/2012/02/tiga-peristiwa-besar-rabiul-awal-maulid.html
Sumber Oleh :  Abu Namira Hasna Al-Jauziyah



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Saat Banjir Melanda, Amalkan Do’a Ketika Terjadi Hujan Deras

Written By sumatrars on Minggu, 02 Februari 2014 | Februari 02, 2014

Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus turun atau karena adanya hujan deras, bisa juga karena banjir kiriman. Jika yang terjadi adalah hujan yang begitu deras di tempat kita atau hujan yang tidak kunjung berhenti, maka kita bisa meminta pada Allah untuk memalingkan hujan tersebut pada tempat yang lebih manfaat dengan mengamalkan do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do’a yang dimaksud adalah sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ عَلَى اْلآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

(Allahumma hawaalainaa wa laa ‘alainaa. Allahumma ‘alal aakaami wadz dzirabi wa buthuunil awdiyati wa manabitis syajari)

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, jangan yang merusak kami. Ya, Allah! turunkanlah hujan di dataran tinggi, di bukit-bukit, di perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” 1


Do’a di atas disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ketika hujan tak kunjung berhenti (dalam sepekan), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memohon pada Allah agar cuaca kembali cerah. Lalu beliau membaca do’a di atas. (HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897).

Do’a tersebut berisi permintaan agar cuaca yang jelek beralih cerah dan hujan yang ada berpindah pada tempat yang lebih membutuhkan air. [ed]

Atau untuk ringkasnya membaca:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا
“Allahumma hawaalainaa wa laa ‘alainaa” [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, jangan yang merusak kami]

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata menjelaskan hadits, “Maksud hadits ini adalah memalingkan hujan dari pusat kehidupan, al-aakaam adalah jamak dari akmah dengan memfathahkan hamzah, yaitu gunung kecil atau apa yang tinggi di bumi (dataran tinggi). Adz dziraf maknanya adalah bukit yang kecil. Adapun penyebutan lembah karena di situlah tempat berkumpulnya air dalam waktu yang lama sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia dan binatang ternak.”2

Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil doa memohon dihentikan dampak buruk hujan, sebagaimana dianjurkan untuk berdoa agar turun hujan, ketika lama tidak turun. Karena semuanya membahayakan (baik lama tidak hujan atau hujan yang sangat lama, pent).”3

Syaikh Abdul Aziz bin Biz rahimahullah berkata,  “Selama hujan tidak membawa bahaya maka –alhamdulillah- ucapkan doa:

اللهم صيّباً نافعاً، مطرنا بفضل الله ورحمته
Allahumma shayyiban nafi’a, muthirna bifadhlillahi wa rahmatihi, Allahummaj’alhu mubarakan

Jika hujan ini memberatkan, maka berdoalah:

اللهم حوالينا ولا علينا
Allahumma hawalaina wa laa ‘alaina”4

Jadi, bagi saudara-saudara kami yang merasakan hujan yang begitu deras, amalkanlah do’a di atas. Moga hujan tersebut turun tidak membawa musibah banjir. Moga dengan diberikannya ujian, kita sadar untuk bertaubat pada Allah. Moga kita pun terus diberi kesabaran. [ed]

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Editor: M. Abduh Tuasikal
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id


  1. HR. Al-Bukhari 1/224 dan Muslim 2/614
  2. Fathul Baari 2/505, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, syamilah
  3. Ihkam Al-Ahkam, 1/358. Mathba’ah As-Sunnah Muhammadiyyah, syamilah
  4. Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4123

Artikel :Blog Al Islam



Daftar Artikel
Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

12 Golongan yang Didoakan Para Malaikat

Written By sumatrars on Minggu, 05 Mei 2013 | Mei 05, 2013

 12 Golongan yang Didoakan Para Malaikat

Oleh: al-Akh Moegrand Tomu Gubali

Inilah 12 golongan manusia yang akan didoakan olah para malaikat.

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci
“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa: Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.” (HR. Imam Ibnu Hibban dari Abdullah bin Umar)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat
“Tidaklah salah seorang di antara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya: Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia.” (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim 469)

3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaf-shaf terdepan.” (HR. Imam Abu Dawud -dan Ibnu Khuzaimah- dari Barra’ bin ‘Azib)

4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf)
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf.” (Para Imam, yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah)

5. Para malaikat mengucapkan ‘aamiin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al-Fatihah
“Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu.” (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Bukhari 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat
“Para malaikat akan selalu bershalawat (berdoa) kepada salah satu di antara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat di mana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata: Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia.” (HR. Imam Ahmad dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106)

7. Orang-orang yang melakukan shalat Shubuh dan ‘Ashar secara berjama’ah
“Para malaikat berkumpul pada saat shalat Shubuh lalu para malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga Shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘Ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘Ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’ Mereka menjawab: Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 9140)

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.” (HR. Imam Muslim dari Ummud Darda’, Shahih Muslim 2733)

9. Orang-orang yang berinfak
“Tidak satu hari pun di mana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu di antara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Bukhari 1442 dan Shahih Muslim 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa) kepada orang-orang yang sedang makan sahur. Insya Allah termasuk di saat sahur untuk puasa sunnah.” (HR. Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, dari Abdullah bin Umar)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit
“Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya, kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga Shubuh.” (HR. Imam Ahmad dari ‘Ali bin Abi Thalib, Al Musnad 754)

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain
“Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah di antara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily)

Sumber dari Artikel : http://fadhlihsan.wordpress.com

Artikel :Blog Al Islam



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bid'ah Mengupas Tuntas Masalah Bid'ah dan Apa Itu Bid'ah

Written By sumatrars on Jumat, 03 Mei 2013 | Mei 03, 2013


Bid'ah Mengupas Tuntas Masalah Bid'ah dan Apa Itu Bid'ah!)

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌوَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌوَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)

Menanggapi masalah bid'ah ini,sebenarnya tergantung seberapa besarkah iman seseorang muslim meyakini suatu dalil atau nash tersebut shahih atau tidak.
Jika seseorang tersebut tidak percaya akan adanya dan kesahihan hadits tentang bid'ah tersebut,maka ia akan melakukan suatu bid'ah sesuka hatinya.
Namun jika kita asalah seseorang yang beriman kepada Al-Qur'an dan sunnah,sudah menjadi kewajiban kita meyakini dan meninggalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita Muhammad salallohu'alaihi wassalam,karena kita umat ISLAM.
Sudah kewajiban kita sebagai umat Islam untuk selalu berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan sunnah rosulullohu'alaihi wassalam.

Sering kita mendengar seseorang mengatakan; Tahlilan bid'ah,Merayakan Maulid Nabi juga bid'ah apalagi membaca ayat Al-Qur'an diatas makam bid'ah juga,..
“dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,”
“apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!”
“kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”

Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.Semua ucapan ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.

Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.

Bid’ah dan Bahayanya


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

Dalam satu riwayat,

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.

*Takhrij Hadits:

Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah radhiallahu Ta’ala ‘anha.

Adapun lafadz pertama dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).

Dan lafadz kedua dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).

Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.

**Kosa Kata Hadits:

1. “Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur: 63)

2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.
[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]

***Komentar Para Ulama :

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Pondasi Islam dibangun di atas 3 hadits:
-Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”,
-Hadits ‘A`isyah “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”
-Dan Hadits An-Nu’man “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas””.

Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata,

“Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama:
-Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya”
-Hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”
-Hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari”
-Hadits “Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.

Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata,

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu) “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,

“Hadits ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya secara zhohir.
Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.

Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin,

“Hadits ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.

Dan beliau juga berkata,

“… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.

Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in,

“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.

Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,

“Hadits ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya masing-masing, yaitu:

a.Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal dengannya.

b.Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia pencetus bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.

****Syarh :

Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri agar permasalahan menjadi tambah jelas.
Maka kami katakan:

A.Definisi Bid’ah.

A.Definisi Bid’ah.
Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:

بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)

Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)

Yakni :
Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak dari para Rasul.
Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)

Adapun secara istilah syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syari’at- bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab Al-I’tishom (1/50):

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ

“Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanahuwata'ala”.

Penjelasan Definisi.

Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas, beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut, yang kesimpulannya sebagai berikut:

1.Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”.

Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)

Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HR. Bukhory)

Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang dibutuhkan.

2.Perkatan beliau “yang diada-adakan”,yaitu sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali.

Adapun amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum –walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bid’ah dalam agama.
Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.

3.Perkataan beliau “menyerupai syari’at”, yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya tidak demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari beberapa sisi:

a.Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian tertentu.

b.Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjama’ah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.

c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syari’at, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban dan sholat di malam harinya.

4.Perkataan beliau “dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.
Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala- berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya) dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah mencukupi.

B.Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.

1.Bid’ah merupakan sebab perpecahan.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)

Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” :
“Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)

2.Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.

Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:

وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)

Berkata At-Tastury :

“’Qosdhus sabil’ adalah jalan sunnah ‘di antaranya ada yang bengkok’ yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bid’ah-bid’ah”.

Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah:


أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)

Dalam satu riwayat,

“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.

Dan dalam riwayat An-Nasa`iy,

“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka”.

Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)

3.Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)

Dan bid’ah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas sekarang.

4.Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:

فَمَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ عَدْلٌ وَلَا صَرْفٌ

“Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah atau melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)

5.Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا

“Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)

Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam,

“… Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-, karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah menerima taubatnya”.

6.Para pelaku bid’ah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.

Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ

“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)

Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)

7.Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Saya menunggu kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku : “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

8.Para pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-,

“Siapa saja yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.

9.Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.

Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat dalam surah Al-Ma`idah di atas,

“Maka bila Allah telah menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah Allah menyempurnakan agamanya?!.
Jika pendapat-pendapat (bid’ah ini) bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama ?!”.

10.Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)

Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena bid’ah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah.

C.Perkataan Para Ulama Salaf Dalam Mencela Bid’ah.

1.‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:

اَلْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

“Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersungguh-ungguh dalam melaksanakan bid’ah”. (Riwayat Ad-Darimiy)

dan beliau juga berkata:

اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Ittiba’lah kalian dan jangan kalian berbuat bid’ah karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (Riwayat Ad-Darimy no. 211 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam ta’liq beliau terhadap Kitabul ‘Ilmi karya Ibnul Qoyyim)

2.‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik”. (Riwayat Al-Lalika`iy dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah)

3.Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata:

فَإِيَّاكُمْ وَمَا يُبْتَدَعُ, فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌ

“Maka waspadalah kalian dari sesuatu yang diada-adakan, karena sesungguhnya apa-apa yang diada-adakan adalah kesesatan”. (Riwayat Abu Daud no. 4611)

4.‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata kepada ‘Utsman bin Hadhir:

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالْإِسْتِقَامَةِ, وَاتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ

“Wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah dan beristiqomah, ittiba’lah dan jangan berbuat bid’ah”. (Riwayat Ad-Darimy no. 141)

5.Telah berlalu perkataan dari Imam Malik rahimahullah.

6.Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”.

7.Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam kitab beliau Ushulus Sunnah:

أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعَ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya, meneladani mereka serta meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.

8.Sahl bin ‘Abdillah At-Tastury rahimahullah berkata:

مَا أَحْدَثَ أًحَدٌ فِي الْعِلْمِ شَيْئًا إِلاَّ سُئِلَ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَإِنْ وَافَقَ السُّنَّةَ سَلِمَ وَإِلاَّ فَلاَ

“Tidaklah seseorang memunculkan suatu ilmu (yang baru) sedikitpun kecuali dia akan ditanya tentangnya pada hari Kiamat ; bila ilmunya sesuai dengan sunnah maka dia akan selamat dan bila tidak maka tidak”. (Lihat Fathul Bary : 13/290)

9.‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata:

أَمَّا بَعْدُ, أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالْإِقْتِصَادْ فِي أَمْرِهِ, وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ, وَتَرْكِ مَا أَحْدَثَ الْمُحْدِثُوْنَ بَعْدَ مَا جَرَتْ بِهِ سُنَّتُهُ

“Amma ba’du, saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan bersikap sederhana dalam setiap perkaraNya, ikutilah sunnah NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tinggalkanlah apa-apa yang dimunculkan oleh orang-orang yang mengada-adakan setelah tetapnya sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam”. (Riwayat Abu Daud)

10.Abu ‘Utsman An-Naisabury rahimahullah berkata:

مَنْ أَمَّرَ السُّنَّةَ عَلَى نَفْسِهِ قَوْلاً وَفِعْلاً نَطَقَ بِالْحِكْمَةِ, وَمَنْ أَمَّرَ الْهَوَى عَلَى نَفْسِهِ قَوْلاً وَفِعْلاً نَطَقَ بِالْبِدْعَةِ

“Barang siapa yang menguasakan sunnah atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan hikmah, dan barang siapa yang menguasakan hawa nafsu atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan bid’ah”. (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah : 10/244)

{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}

Jadi,jika tahlilan,merayakan maulid dan membaca -Al-Qur'an di makam ada tuntunan dari Rosullulloh,tentu sebagai umat ISLAM yang senantiasa berusaha berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah,kita akan melakukan hal tersebut,tapi bukankah tidak ada dalil untuk hal-hal tersebut dan tidak pula pernah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Salallohu'alaihiwassalam?

Sumber:http://al-atsariyyah.com/?s=bid'ah dengan tambahan dari penulis.

Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)

“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”

"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.

Dikutip Dari Sumber Artikel: http://beritamuslimsahih-ahlussunnah.blogspot.com


Artikel :Blog Al Islam




Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger