Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Qur'an : Keutamaan Surat Al-Fatihah

Written By sumatrars on Senin, 05 November 2012 | November 05, 2012



Keutamaan Surat Al Fatihah


Surat Al-Fatihah adalah surat yang amat masyhur, telah dikenal oleh seluruh kaum muslimin. Saking terkenalnya, terkadang sebagian kaum muslimin menyalahgunakannya, seperti membacanya untuk orang mati saat ziarah kubur, atau mengirimkan pahalanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaniy, dan orang-orang yang telah mati. Semua ini tak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya
Surat Al-Fatihah amat masyhur, namun banyak di antara kita tak mengetahui fadhilah, dan keutamaannya. Padahal banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan keutamaannya, baik dari sisi kandungan atau kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Diantara fadhilah dan keutamaan Surat Al-Fatihah:
Surat yang Paling Agung 

Orang yang membaca Al-Fatihah akan mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah. Terlebih lagi jika ia membacanya dengan ikhlash, dan mentadabburi maknanya. 
Abu Sa’id bin Al-Mu’allaa -radhiyallahu ‘anhu- berkata, 

كُنْتُ أُصَلِّيْ فَدَعَانِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ كُنْتُ أُصَلِّيْ, قَالَ: أَلَمْ يَقُلِ اللهُ: (اسْتَجِيْبُوْا لِلّهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ), ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُوْرَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ؟. فَأَخَذَ بِيَدِيْ, فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّكَ قُلْتَ: لأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُوْرَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ. قَالَ: (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ), هِيَ السَّبعُ الْمَثَانِيْ وَاْلقُرْآنُ الْعَظِيْمُ الَّذِيْ أُوْتِيْتَهُ 


"Dulu aku pernah sholat. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memanggilku. Namun aku tak memenuhi panggilan beliau. Aku katakan, "Wahai Rasulullah, tadi aku sholat". Beliau bersabda, "Bukankah Allah berfirman,

"Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu". (QS. Al-Anfaal: 24). 

Kemudian beliau bersabda, "Maukah engkau kuajarkan surat yang paling agung dalam Al-Qur’an sebelum engkau keluar dari masjid"?. Beliau pun memegang tanganku. Tatkala kami hendak keluar, maka aku katakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi Anda bersabda, "Aku akan ajarkan kepadamu Surat yang paling agung dalam Al-Qur’an". Beliau bersabda, "Alhamdulillahi Robbil alamin. Dia ( Surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat yang berulang-ulang, dan Al-Qur’an Al-Azhim yang diberikan kepadaku". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4720), Abu Dawud dalam Sunan-nya (1458), dan An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (913)] 

Al-Imam Ibnu At-Tiin-rahimahullah- berkata saat menjelaskan makna hadits di atas, "Maknanya, bahwa pahalanya lebih agung (lebih besar) dibandingkan surat lainnya". [Lihat Fathul Bari(8/158) karya Ibnu Hajar Al-Asqolaniy] 
Surat Terbaik dalam Al - Qur’an 

Surat Al-Fatihah merupakan surat terbaik, karena ia mengandung tauhid, ittiba’ (mengikuti) Sunnah, adab berdo’a, al-wala’ wal baro’, keimanan terhadap perkara gaib, dan lainnya. 

Ibnu Jabir-radhiyallahu ‘anhu- berkata, 

اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ إِهْرَاقَ الْمَاءَ فَقُلْتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَقُلْتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَانْطَلَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِيْ وَأَنَا خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى رَحْلِهِ وَدَخَلْتُ أَنَا الْمَسْجِدَ فَجَلَسْتُ كَئِيْبًا حَزِيْنًا فَخَرَجَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَطَهَّرَ فَقَالَ : عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ و عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ ثُمَّ قَالَ اَلاَ أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ جَابِرٍ بِخَيْرِ سُوْرَةٍ فِيْ الْقُرْآنِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اِقْرَأْ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَتَّى تَخْتِمَهَا 


"Aku tiba kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , sedang beliau mengalirkan air. Aku berkata, "Assalamu alaika, wahai Rasulullah". Maka beliau tak menjawab salamku (sebanyak 3 X). Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berjalan, sedang aku berada di belakangnya sampai beliau masuk ke kemahnya, dan aku masuk ke masjid sambil duduk dalam keadaan bersedih. Maka keluarlah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menemuiku, sedang beliau telah bersuci seraya bersabda, "Alaikas salam wa rahmatullah (3 kali)". Kemudian beliau bersabda, "Wahai Abdullah bin Jabir, maukah kukabarkan kepadamu tentang sebaik-baik surat di dalam Al-Qur’an". Aku katakan, "Mau ya Rasulullah". Beliau bersabda, "Bacalah surat Alhamdulillahi Robbil alamin (yakni, Surat Al-Fatihah) sampai engkau menyelesaikannya". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/177). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. 17633)] 
Al - Fatihah adalah Al - Qur’an Al - Azhim 

Surat Al-Fatihah dinamai oleh Allah dengan "Al-Qur’an Al-Azhim", padahal Al-Qur’an Al-Azim bukan hanya Al-Fatihah, masih ada surat-surat lainnya yang berjumlah 11 3. Namun Allah -Azza wa Jalla- menamainya demikian karena kandungan Al-Fatihah meliputi segala perkara yang dikandung oleh Al-Qur’an Al-Azhim secara global. Wallahu A’lam bish showab. 

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 

أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِيْ وَالْقُرْآنُ الْعَظِيْمُ 


"Ummul Qur’an (yakni, Al-Fatihah) adalah tujuh ayat yang berulang-ulang, dan Al-Qur’an Al-Azhim". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4427), Abu Dawud dalam Sunan-nya (1457), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3124)] 
Surat Ruqyah 

Al-Qur’an seluruhnya bisa digunakan dalam meruqyah. Namun secara khusus Al-Fatihah pernah dipergunakan oleh para sahabat dalam meruqyah sebagian orang yang tergigit kalajengking. Dengan berkat pertolongan Allah, orang yang digigit kalajengking tersebut sembuh kala itu juga. 
Sekarang kita dengarkan kisahnya dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu- ketika beliau berkata, 

انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفْرَةٍ سَافَرُوْهَا حَتَّى نَزَلُوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوْهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِيْنَ نَزَلُوْا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوْا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ وَسَعْيُنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ فَهَلْ عَنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ وَاللهِ إِنِّيْ لأَُرْقِي وَلَكِنْ وَاللهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُوْنَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوْا لَنَا جُعْلاً فَصَالَحُوْهُمْ عَلَى قَطِيْعٍ مِنَ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ يَتْفُلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ { الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ } . فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ . قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِيْ صَالَحُوْهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوْا فَقَالَ الَّذِيْ رَقِيَ: لاَ تَفْعَلُوْا حَتَّى نَأْتِيّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِيْ كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ فَذَكَرُوْا لَهُ فَقَالَ: وَمَا يُدْرِيْكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ . ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوْا وَاضْرِبُوْا لِيْ مَعَكُمْ سَهْمًا . فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 


" Ada beberapa orang dari kalangan sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka lakukan sampai mereka singgah pada suatu perkampungan Arab. Mereka pun meminta jamuan kepada mereka. Tapi mereka enggan untuk menjamu mereka (para sahabat). Akhirnya, pemimpin suku itu digigit kalajengking. Mereka (orang-orang kampung itu) telah mengusahakan segala sesuatu untuknya. Namun semua itu tidak bermanfaat baginya. Sebagian diantara mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian mendatangi rombongan (para sahabat) yang telah singgah. Barangkali ada sesuatu (yakni, obat) diantara mereka".Orang-orang itu pun mendatangi para sahabat seraya berkata, "Wahai para rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat, dan kami telah melakukan segala usaha, tapi tidak memberikan manfaat kepadanya. Apakah ada sesuatu (obat) pada seorang diantara kalian?" Sebagian sahabat berkata, "Ya, ada. Demi Allah, sesungguhnya aku bisa me-ruqyah. Tapi demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tak mau menjamu kami. Maka aku pun tak mau me-ruqyah kalian sampai kalian mau memberikan gaji kepada kami". Merekapun menyetujui para sahabat dengan gaji berupa beberapa ekor kambing. Lalu seorang sahabat pergi (untuk me-ruqyah mereka) sambil memercikkan ludahnya kepada pimpinan suku tersebut, dan membaca, "Alhamdulillah Robbil alamin (yakni, Al-Fatihah)". Seakan-akan orang itu terlepas dari ikatan. Maka mulailah ia berjalan, dan sama sekali tak ada lagi penyakit padanya. Dia (Abu Sa’id) berkata, "Mereka pun memberikan kepada para sahabat gaji yang telah mereka sepakati. Sebagian sahabat berkata, "Silakan bagi (kambingnya)". Yang me-ruqyah berkata, "Janganlah kalian lakukan hal itu sampai kita mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu kita sebutkan kepada beliau tentang sesuatu yang terjadi. Kemudian kita lihat, apa yang beliau perintahkan kepada kita". Mereka pun datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya menyebutkan hal itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, "Apa yang memberitahukanmu bahwa Al-Fatihah adalah ruqyah?" Kemudian beliau bersabda lagi, "Kalian telah benar, silakan (kambingnya) dibagi. Berikan aku bagian bersama kalian". Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tertawa". [HR. Al-Bukhoriy (2156), Muslim (2201)] 
Al-Imam Ibnu Abi Jamroh-rahimahullah- berkata, "Tempat memercikkan ludah ketika me-ruqyah adalah usai membaca Al-Qur’an pada anggota badan yang dilalui oleh ludah". [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (9/206)] 
Cahaya Untuk Ummat Islam 

Satu lagi diantara fadhilah Al-Fatihah, ia disebut dengan cahaya, karena di dalamnya terdapat petunjuk bagi seorang muslim dalam semua urusannya. Jika kita mengkaji Al-Fatihah secara mendalam, maka kita akan mendapat banyak faedah dan petunjuk. Oleh karena itu, sebagian ulama’ telah menulis kitab khusus menafsirkan Al-Fatihah dan mengeluarkan mutiara hikmahnya yang berisi pelita yang menerangi kehidupan kita. 
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata, 

بَيْنَمَا جِبْرِيْلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيْضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى اْلأَرْضِ لَمْ يَنْزِلُ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ أُوْتِيْتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيْمَ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلاَّ أُعْطِيْتَهُ 


"Tatkala Jibril duduk di sisi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , maka ia mendengarkan suara (seperti suara pintu saat terbuka) dari atasnya. Maka ia (Jibril) mengangkat kepalanya seraya berkata, "Ini adalah pintu di langit yang baru dibuka pada hari ini; belum pernah terbuka sama sekali, kecuali pada hari ini". Lalu turunlah dari pintu itu seorang malaikat seraya Jibril berkata, "Ini adalah malaikat yang turun ke bumi; ia sama sekali belum pernah turun, kecuali pada hari ini". Malaikat itu pun memberi salam seraya berkata, "Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu; belum pernah diberikan kepada seorang nabi sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab, dan ayat-ayat penutup Surat Al-Baqoroh. Tidaklah engkau membaca sebuah huruf dari keduanya, kecuali engkau akan diberi". [HR. Muslim dalam Shahih-nya (806), dan An-Nasa’iy (912)] 
Penentu Sholat 

Al-Fatihah adalah kewajiban bagi setiap orang yang mengerjakan sholat, baik ia imam, makmum, atau pun munfarid (sholat sendiri). Barangsiapa yang tak membacanya, maka sholatnya tak sah. 

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلاَثًا غَيْرُ تَمَامٍ فَقِيْلَ لِأَبِيْ هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُوْنُ وَرَاءَ اْلإِمَامِ فَقَالَ: اِقْرَأْ بِهَا فِيْ نَفْسِكَ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَّمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ 


"Barangsiapa yang melakukan sholat, sedang ia tak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) di dalamnya, maka sholatnya kurang (3X), tidak sempurna". Abu Hurairah ditanya, "Bagaimana kalau kami di belakang imam". Beliau berkata, "Bacalah pada dirimu (yakni, secara sirr/pelan), karena sungguh aku telah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, "Allah -Ta’ala- berfirman, "Aku telah membagi Sholat (yakni, Al-Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku setengah, dan hamba-Ku akan mendapatkan sesuatu yang ia minta". [HR. Muslim (395), Abu Dawud (821), At-Tirmidziy (2953), An-Nasa’iy (909), dan Ibnu Majah (838)] 
Abu Zakariya An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Al-Fatihah dinamai sholat, karena sholat tak sah, kecuali bersama Al-Fatihah". [Lihat Syarh Shohih Muslim (2/127)] 
Inilah beberapa diantara keutamaan Al-Fatihah, kami sajikan bagi para khotib, da’i, penuntut ilmu, dan seluruh kaum muslimin agar mereka tahu dan mengamalkan hadits-hadits shohih ini, dan menyebarkannya, tanpa berpegang lagi dengan hadits-hadits lemah dan palsu tentang fadhilah Al-Fatihah. 
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 86 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber Arikel http://almakassari.com/?p=338


Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Komentar atau Saran Saudara/i Terima kasih.....



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Qunut Jika Imam Membaca Qunut Shubuh

Jika Imam Membaca Qunut Shubuh

Bagaimana hukumnya orang yang menjadi makmumnya ahlul bid’ah? Apakah diperbolehkan seseorang mendirikan shalat berjamaah di asrama, dengan alasan masjid terdekat dari asrama imam rawatibnya biasanya melakukan ritual bid’ah sedangkan masjid yang lain jaraknya jauh? Misalnya, jika kita berkeyakinan bahwa qunut subuh adalah suatu bid’ah, maka bagaimana hukumnya jika kita menjadi makmumnya imam yang selalu mengamalkan qunut subuh, apakah boleh? Jazakallahu khairan
Abu Abdirrahman
Alamat: Jl. Mulyosari, Surabaya
Email: emailkuxxxx@yahoo.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:

Pertama, shalat wajib berjama’ah di masjid hukum asalnya adalah wajib sebagaimana telah dijelaskan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,Lc. Hafizhahullah pada artikel HukumShalat Berjama’ah Wajib Ataukah Sunnah.

Kedua, sebagaimana telah diketahui penanya bahwa membaca doa qunut pada shalat shubuh secara rutin adalah perkara baru dalam agama. Meskipun memang sebagian Syafi’iyyah dan Malikiyyah menganggapnya disyariatkan. Penjelasan mengenai hal ini cukup panjang, namun ringkasnya, pendapat yang benar adalah bahwa hal tersebut termasuk perkara baru dalam agama dengan alasan berikut:
  1. Praktek membaca Doa Qunut yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam berdasarkan banyak hadits adalah Qunut Nazilah, yaitu doa Qunut yang dibaca karena adanya musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam mempraktekan hal tersebut tidak hanya pada shalat shubuh, namun pernah dilakukan pada seluruh shalat fardhu. Dan beliau tidak merutinkan membaca doa Qunut pada shalat shubuh meskipun memang praktek Qunut Nazilah yang beliau lakukan paling sering dilakukan ketika shalat shubuh. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:

وكان هديه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القنوت في النوازل خاصة، وترْكَه عند عدمها ، ولم يكن يخصه بالفجر، بل كان أكثر قنوته فيها

“Petunjuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam dalam masalah Qunut adalah hanya melakukannya jika terjadi nazilah (musibah besar) saja. Dan tidak melakukannya jika tidak ada nazilah. Tidak pula mengkhususkannya pada shalat shubuh, walaupun memang beliau paling sering membaca Qunut Nazilah ketika shalat shubuh (Zaadul Ma’ad, 1/273)”
  1. Terdapat hadits shahih dari Abu Malik bin Sa’id Al Asy-ja’i yang tegas menunjukkan bahwa membaca qunut pada shalat shubuh secara rutin tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat:

عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ،وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْيَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّإنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَحَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Dalam lafadz Ibnu Majah:

قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَوَعَلِيٍّ بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِيالْفَجْرِ ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ

Abu Malik berkata: ‘Wahai ayah, engkau pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di kufah selama kurang lebih 5 tahun. Apakah mereka membaca qunut di shalat shubuh?’. Ayahku berkata: ‘Wahai anakku, itu perkara baru dalam agama’
  1. Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam membaca qunut di shalat shubuh hingga wafatnya, telah dijelaskan oleh para ulama bahwa bukan lah maknanya merutinkan qunut, jika dilihat dari praktek beliau.

وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ { مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا } رَوَاهُأَحْمَدُ وَغَيْرُهُ : فَفِيهِ مَقَالٌ ، وَيُحْتَمَلُ : أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ : طُولَ الْقِيَامِ ، فَإِنَّهُ يُسَمَّى قُنُوتًا

“Adapun hadits ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam selalu qunut di shalat shubuh sampai berpisah dengan dunia‘ Hadits Riwayat Ahmad dan lainnya. Tentang makna Qunut di sini terdapat beberapa pendapat. Dan nampaknya maknanya adalah beliau shalat shubuh dengan waktu berdiri yang lama. Oleh karena itu dalam bahasa arab disebut juga Qunut” (Syarhu Muntahal Iradat, 45/2)

Ketiga, mengenai shalat dibelakang imam yang melakukan bid’ah, selama bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maka persoalan ini dibagi menjadi 2 bagian:

1. Bolehkah dan sahkah shalatnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kami bawakan nasehat yang bagus dari Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali:
“Jika imam membaca doa qunut di shalat shubuh, maka ikutilah dia. Walau anda sebagai ma’mum berpendapat berbeda. Bahkan jika anda sebagai ma’mum menganggap shalat sang imam itu tidak sah menurut mazhab anda, namun sah menurut mazhab sang imam, anda tetap boleh berma’mum kepadanya. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan demikian, beliau bersabda:

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أخطؤوا فَلَكُمْوَعَلَيْهِمْ

Shalatlah kalian bersama imam, jika shalat imam itu benar, kalian mendapat pahala. Jika shalat imam itu salah, kalian tetap mendapat pahala dan sang imam yang menanggung kesalahnnya” (HR. Bukhari no.662)

Jika demikian, maka anda tetap boleh shalat bersama imam tersebut.
Demikian juga yang dipraktekan oleh para salaf. Suatu ketika Khalifah Harun Ar Rasyid pergi berhaji lalu singgah di Madinah, kemudian berbekam. Kemudian ia bertanya kepada Imam Malik: “Aku baru berbekam, apakah aku boleh shalat tanpa wudhu lagi?”. Imam Malik menjawab: “Boleh”. Maka beliau pun mengimami shalat tanpa berwudhu lagi.
Karena menurut mazhab Maliki Hanafi, bekam dapat membatalkan wudhu, orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf Al Hanafi: “Bagaimana mungkin aku shalat bermakmum pada Khalifah Harun Ar Rasyid padahal ia belum berwudhu??”. Abu Yusuf berkata: “Subhanallah… Ia Amirul Mu’minin!”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memiliki pendapat dalam hal ini: “Jika anda bermakmum pada imam yang memiliki perbedaan pendapat dengan anda dalam masalah sah atau tidaknya shalat. Lalu anda berpendapat bahwa shalat yang dilakukannya itu tidak sah, namun ia memiliki hujjah dan dalil bahwa shalat yang ia lakukan sudah sah, maka anda boleh bermakmum kepadanya. Kecuali jika sang imam menegaskan bahwa ia belum berwudhu, misalnya ia berkata: ‘Saya belum berwudhu dan saya akan shalat tanpa wudhu’. Maka shalatnya tidak sah bagi si imam dan tidak sah pula bagi anda”.
[Sampai di sini perkataan Syaikh Rabi', dinukil dari
http://www.rabee.net/show_fatwa.aspx?id=208]
Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya juga membuat bab:

باب إِمَامَةِ الْمَفْتُونِ وَالْمُبْتَدِعِ وَقَالَ الْحَسَنُ صَلِّوَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ

“Bab berimam kepada orang yang terkena fitnah atau mubtadi. Dan Al Hasan berkata: ‘Shalatlah bermakmum kepada mereka, sedangkan bid’ah yang mereka lakukan biarlah mereka yang menanggung’”. Perlu diketahui fiqih Imam Al Bukhari terdapat pada judul-judul babnya.
Ringkasnya, anda boleh shalat dibelakang imam yang melakukan kesalahan dalam shalat semisal membaca doa qunut dalam shalat shubuh atau semacamnya, selama kesalahan tersebut bukan kesalahan yang secara ijma ulama dapat membatalkan shalat, seperti tidak berwudhu. Namun tetap disarankan untuk mencari masjid yang imamnya sesuai atau lebih mendekati sunnah jika memungkinkan.
2. Apa yang harus dilakukan?
Jika seseorang bermakmum dibelakang
imamyang membaca doa qunut pada shalat shubuh, yang merupakan bid’ah, apakah ia ikut membaca doa bersama imam? Ataukah diam saja? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.
Pendapat pertama, yaitu mengikuti imam membaca doa qunut, mengingat perintah untuk mengikuti imam. Sebagaimana pendapat Abu Yusuf Al Hanafi yang disebutkan dalam Fathul Qadiir (367/2):

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُتَابِعُهُ ) لِأَنَّهُتَبَعٌ لِإِمَامِهِ ، وَالْقُنُوتُ مُجْتَهَدٌ فِيهِ

“Abu Yusuf rahimahullah berpendapat ikut membaca qunut. Karena hal tersebut termasuk kewajiban mengikuti imam. Sedangkan membaca qunut adalah ijtihad imam”
Dalam Syarhul Mumthi’ Syarh Zaadul Mustaqni’ (45/4) kitab fiqh mazhab Hambali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمامأحمدُ يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنتفتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة،واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض

“Perhatikanlah para ulama yang sangat memahami pentingnya persatuan. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun ia berkata: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Ini dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin”
Pendapat kedua, diam dan tidak mengikuti imam ketika membaca doa qunut, karena tidak harus mengikuti imam dalam kebid’ahan. Dalam Fathul Qadiir (367/2), kitab Fiqih Mazhab Hanafi, dijelaskan:

فَإِنْ قَنَتَ الْإِمَامُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَسْكُتُ مَنْخَلْفَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .

“Jika imam membaca doa qunut dalam shalat shubuh, sikap makmum adalah diam. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah
Dalam Al Mubdi’ (238/2), kitab fiqih mazhab Hambali dikatakan:

وذكر أبو الحسين رواية فيمن صلى خلف من يقنت في الفجر أنه يسكت ولايتابعه

“Abul Husain (Ishaq bin Rahawaih) membawakan riwayat tentang sahabat yang shalat dibelakang imam yang membaca qunut pada shalat shubuh dan ia diam
Namun perkara ini adalah perkara khilafiah ijtihadiyah, anda dapat memilih pendapat yang menurut anda lebih mendekati kepada dalil-dalil yang ada. Wallahu Ta’ala A’lam, kami menguatkan pendapat pertama, yaitu mengikuti imam berdoa qunut mengingat hadits tentang perintah untuk mengikuti imam meskipun imam melakukan kesalahan selama tidak disepakati oleh para ulama kesalahan tersebut dapat membatalkan shalat, sebagaimana telah dibahas di atas.
Yang terakhir, perlu dicamkan bahwa dalam keadaan ini anda tetap berkewajiban untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Sebagaimana solusi yang disarankan oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta:

فإذا كان الإمام يسدل في صلاته ويديم القنوت في صلاة الصبح على ماذكر في السؤال نصحه أهل العلم وأرشدوه إلى العمل بالسنة ، فإن استجاب فالحمد لله ،وإن أبى وسهلت صلاة الجماعة وراء غيره صُلِّيَ خلف غيره محافظةً على السنة ، وإن لميسهل ذلك صُلِّيَ وراءه حرصاً على الجماعة ، والصلاةُ صحيحةٌ على كل حال .

“Jika imam melakukan sadl atau merutinkan membaca doa qunut ketika shalat shubuh, sebagaimana yang anda tanyakan, katakan kepadanya bahwa para ulama menasehatkan dirinya untuk beramal dengan yang sesuai sunnah. Jika ia setuju, alhamdulillah. Jika ia menolak, maka bila anda dapat dengan mudah mencari masjid lain, shalatlah di sana. Dalam rangka menjaga diri agar senantiasa mengamalkan yang sunnah. Jika sulit untuk mencari masjid lain, maka anda tetap shalat menjadi makmum imam tersebut, dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat berjama’ah” (Fatawa Lajnah Ad Daimah, 7/366)
Wabillahi At Taufiq

Sumber Penulis: Yulian Purnama dan Sumber Artikel UstadzKholid.Com



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Ulil Amri

Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan: Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati yaitu penguasa dan pemerintah. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf/terdahulu dan kholaf/belakangan dari kalangan ahli tafsir maupun ahli fikih dan selainnya. Ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah para ulama. Ada yang mengatakan bahwa mereka itu adalah umara’/pemerintah dan ulama. Adapun orang yang berpendapat bahwa ulil amri itu hanya para Sahabat maka dia telah keliru.” [1]

Adapun pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok tersebut; yaitu ulama maupun umara/pemerintah. Dikarenakan kedua penafsiran ini sama-sama terbukti sahih dari para Sahabat [2]

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Mereka (ulil amri) adalah parapemimpin/pemerintah.” Penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dan yang lainnya. Sedangkan Jabir bin Abdullah berkata bahwa mereka itu adalah para ulama dan pemuka kebaikanMujahid, Atha’, al-Hasan, dan Abul Aliyah mengatakan bahwa maksudnya adalah para ulamaMujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah para Sahabat. Pendapat yang dikuatkan oleh Imam asy-Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah[3]

Referensi:
[1] Syarh Muslim [6/467] cet. Dar Ibnu al-Haitsam
[2] adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235 dan 238]
[3] Fath al-Bari [8/106]
Sumber Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi  dan Sumber Artikel Muslim.Or.Id


Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Komentar atau Saran Saudara/i Terima kasih.....



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

E T I K A BERCAKAP-CAKAP

Written By sumatrars on Selasa, 30 Oktober 2012 | Oktober 30, 2012


Adab Berbicara

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, kemudian shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan sahabatnya serta yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari yang dijanjikan. Dalam kehidupan ini sebagai makluk sosial manusia tidak akan pernah lepas dari berkomunikasi, satu dengan yang lainnya. Terkadang untuk suatu keperluan dan terkadang juga sekadar basa-basi. Tapi, kadangkala adab dalam bercakap-cakap ini diabaikan, sehingga tidak sedikit membuat kesal dan tersinggung lawan bicaranya. Karena itu, inilah eBook yang menjelaskan beberapa etika yang perlu diperhatikan agar percakapan kita menjadi berfaedah dan penuh dengan hikmah, selamat menyimak…

Baca Selengkapnya

Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Komentar atau Saran Saudara/i Terima kasih.....



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Iman - Malu adalah Identitas Muslim

Malu adalah Identitas Muslim

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana nafsu lebih mendominasi tanpa akal.
Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.
Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan sebaliknya tontonan menjadi tuntunan.
Penting untuk dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci Allah SWT bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui perbuatannya.
Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memilika rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali bisikan-bisikan buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini.”
Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.
Seorang siswa yang tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah malu dalam bertanya. Kenapa harus takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang dipelajari? Sebaliknya dia akan malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek atau memberikan contekan juga.
Seorang Muslim akan merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang tersuguh dalam bentuk gossip dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi yang masih mempuyai rasa malu.
Seorang pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.

Seorang wanita merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga sesuai aturan yang telah digariskan.
Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.
Seorang penguasa merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam akherat tidak tersisa bab sekecil apapun.
Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat kecil maka bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih besar.
Satu lagi, kalau malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan melahirkan manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia akan bersikap baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak manusia, dia akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta melakukan kejahatan kejam lainnya.
Rasa malu merupakan identitas bagi setiap Muslim.
Dari Zaid bin Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah malu”. [HR Malik, di dalam Muwaththa' : 905]
Artinya, rasa malu merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap Muslim.
Begitu hilang rasa malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang Muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun tersembunyi. Makanya, sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya rasa malu.
Dari Abu Mas’ud, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa yang didapati orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu sudah tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]
Betul! Silahkan berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan bersiaplah untuk menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita jaga dan budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI dalam memperjuangkan kebenaran.
Sumber : R,Chan



Sebelum Saudara/i Berpindah ke Artikel Lain atau ke Blog kesedian-nya untuk meninggalkan Komentar atau Saran Saudara/i Terima kasih.....



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah Makna Tauhid

Written By sumatrars on Minggu, 28 Oktober 2012 | Oktober 28, 2012



Aqidah Makna Tauhid


Pada artikel kali ini kita akan memahami MAKNA TAUHID
Makna Tahid saya kutib dari Blog : www.muslim.or.id

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

Pentingnya mempelajari tauhid

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).
Dikutip dari Sumber Artikel www.muslim.or.id dan Sumber Penulis: Yulian Purnama

Semoga Artikel kali bermanfaat, dan jangan lupa sebelum pindah ke lain artikel untuk meninggalkan komentar Anda!


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger